HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT V (76A)

Karya RD. Kedum

Langit barat nampak gelap. Padahal baru jelang malam. Waktu baru menunjukkan pukul 18.15 wib. Burung taktaraw seperti biasa akan memberi kode jika magrib telah tiba. Burung kecil itu seperti toah teriak kemana-mana. Jika dipikir-pikir, Sang Maha Besar benar-benar pengasih, alam pun ikut memberikan isyarat. Berbeda dengan orang kota bisa melihat jam setiap waktu.

Jika di hutan, jauh di atas bukit, minim penerangan, jam bukan alternatif yang baik. Sejak dulu nenek moyang sudah mengajarkan tentang waktu. Bukan membaca matahari saja, namun lewat suara-suara hewan. Sayang, saat ini banyak yang tidak peduli dengan berbagai macam isyarat dari alam. Alam semakin dijauhi. Jelang magrib, burung taktaraw akan berkicau. Jika sudah hening, maka bisa dipastikan waktu magrib telah tiba. Sebelumnya kalong akan terbang ke huluan ketika langit masih berwarna jingga. Jika sudah lewat magrib, maka para kalong itu tidak akan lagi terbang ke hulu. Selanjutnya, jika tengah malam, maka ayam akan berkokok sekali. Diperkirakan pukul 01.00 dini hari. Selanjutnya dia akan berkokok tiap satu jam menjelang subuh, lalu setelah lewat pukul 05.30 wib maka ayam jago itu akan berkokok bersahut-sahutan pertanda sudah pagi. Maka ayam jantan kecil yang baru belajar berkokok pun akan memamerkan suaranya.

Masihkah ada kode alam lagi selain kokok ayam? Ada! Yaitu burung kecil bersuara merdu akan selalu bernyanyi dari dahan satu ke dahan lainnya dengan irama tertentu. Aku menyebut burung cutninit. Karena suaranya panjang dan berirama. Dia akan berhenti berkicau jika matahari sudah mulai naik. Suara-suara satwa unggas ini juga menjadi pedoman bagiku dan kawan-kawan kala jelajah hutan atau naik gunung.

Pernah suatu kali, ketika aku dan kawan-kawanku naik salah satu bukit di kabupaten Rejang Lebong, langit terlihat terang, tidak ada awan, karena memang cuaca sangat bagus. Karena cuaca bagus itulah membuat kami terlena, kami kira masih siang. Padahal sudah petang. Sebelumnya burung taktaraw sudah berkicau berulang kali. Satwa hutan tropis itu hilir mudik seakan mengingatkan semua makhluk hidup agar bersiap-siap karena sudah waktunya menunaikan ibadah magrib. Aku pun mengingatkan kawan-kawanku agar berhenti aktivitas, fokus dulu dengan ibadah. Duduk diam bersiap-siap untuk menunaikan solat sampai satwa itu berhenti berbunyi lalu laksanakan solat, baru melanjutkan perjalanan kembali. Ternyata sebagian besar kawan-kawanku tidak mendengarkan dan menganggap remeh. Hanya aku, Wawan, dan Andin yang berhenti sejenak. Albert salah satu sahabat kristenku ikut juga berhenti. Kami berniat hendak solat. Melihat kami berniat solat, Albert membantu membentangkan kain panjang seadanya untuk menggantikan sajadah, karena tidak ada air akhirnya kami tayamum. Kami bertiga menunaikan solat masing-masing. Sedangkan Albert duduk diam sambil menjaga tas kami. Mungkin dia berdoa. “Kita kan kotor, tidak sah dong solatnya” Suara Ari salah satu rekan kami sambil terus berlalu. “Kalian solatlah, kami menunggu di simpang ya.” Kata Vivi senior kami yang sudah malang melintang naik gunung di Indonesia. Jarak antara simpang dengan tempat sekarang kira-kira lima ratus meter lagi. Kami mengiyakan saja melihat punggung mereka semakin jauh. Akhirnya satu rombongan terdiri tujuh orang itu meninggalkan kami yang solat di jalan setapak yang sempit. Kiri kanan jalan jurang yang dalam kira-kira lima puluh meter. Di bawah jurang adalah cadas kering tanpa rumput. Usai salat, kami segera menyusul kawan-kawan kami yang berjalan lebih dulu. Baru kira-kira dua puluh meter, kami mendengar suara dari depan riuh seperti suara ketakutan ke arah kami. Aku saling pandang dengan Wawan. Heran! Siapa itu? Tak lama kulihat tujuh orang rekan kami kembali dengan wajah pucat. “Loh ada apa kalian? Kami kira sudah sampai di simpang!” Kata Albert kaget. Aku tidak heran mereka kembali, pasti mereka dihadang makhluk lain. Yang jelas bukan manusia. Wajah mereka pucat pasi. Untung tidak ada yang pingsan. “Ada tiga ekor harimau menghadang kami, tidur-tidur di tengah jalan.” Ujar Vivi sang senior. “Tubuhnya besar sekali. Satu di antara mereka melihat kami. Untung mereka tidak mengejar iiih…” Jaka bergidik. “Makanya, sudah diingatkan Dedek berhenti saja dulu, laksanakan solat. Berdiam sejenak. Kalian masih ngotot. Kalian menganggap remeh isyarat alam. Mestinya kita sama belajar, semula aku tidak terlalu percaya ketika Dedek mengatakan jika suara burung yang sangat merdu itu memberi isyarat waktu. Ternyata benar. Dan aku yakin. Nah, kalian meremehkan isyarat itu bukan. Coba kalau kalian solat bareng kami, pasti kalian tidak akan mengalami hal yang menakutkan bukan?” Lanjut Wawan mengingatkan kawan-kawan. Mereka hanya diam dan duduk di tanah sambil istighfar. “Aku mau solat, tapi tidak ada air untuk wudu,” kata Ali gemetar. “Tayamun.” Jawabku bersamaan dengan Wawan. Akhirnya mereka segera melaksanakan solat magrib. Sementara aku, wawan dan Andin duduk diam menunggu mereka. Tujuh orang rombongan itu sudah tidak mau disuruh berjalan paling depan. Mereka memilih berjalan di tengah. Akhirnya aku dan Wawan berjalan paling depan, sementara Andin berjalan paling belakang. “Di sini kami bersua dengan raja hutan itu.” Ujar Vivi dengan suara sedikit bergetar. Yang lain meski diam namum ekspresi mereka terlihat sekali tegang, menggigil ketakutan. Aku mencari-cari untuk mengetahui siapa mereka. Apakah manusia harimau atau harimau benaran. Tapi mencium aromanya, nampaknya mereka manusia harimau. Langit sudah mulai temaran. Jalan nampak abu-abu. Antara terang dan tidak. Kami masih menyisir jalan setapak yang diapit jurang kiri kanan. Masih jauh untuk sampai ke tanah datar, apalagi simpang jalan untuk menuju bukit. Beberapa kawan sudah menyalakan senter sebagai penerangan. “Assalamualaikum…” Ada yang menyapaku. Aku mejawab salamnya sambil tersenyum. Mereka tiga nenek gunung yang tidak menunjukkan diri seperti tadi. “Sengaja kami menghadang kawan-kawanmu. Sudah jelas magrib, masih saja melanjutkan perjalanan. Selain mengabaikan waktu solat, mereka seperti menantang makhluk asral yang baru hendak beraktivitas. Mestinya berdiamlah sejenak sampai lepas azan.” Ujar salah satu mereka sambil tertawa kecil. Aku membatin, berterima kasih pada mereka. Mereka adalah tiga pemuda yang memiliki kegemaran sama dengan kami. Suka berjalan dan mejelajah ke hutan-hutan. Jika ingat peristiwa itu, aku senyum-senyum sendiri. Sebab pengakuan Ika salah satu rekan kami waktu itu, ketika melihat harimau, dia ketakutan luar biasa. Sampai-sampai dia terkencing sedikit dalam celana saking takutnya. Tapi karena tidak memungkinkan bisa ganti pakaian dalam dan cuci, dia juga ikutan solat. “Pokoknya aku takut sekali, dan aku solat. Terserah Tuhan mau diterima atau tidak ibadahku. Hanya Tuhan yang tahu perasaanku kala itu.” Ujarnya suatu kali. Dan ini kerap jadi bahan cerita tiap kali kumpul.

Taktaraw! Taktaraw! Lalu hening. Aku segera masuk bergegas menjalankan ibadah magrib. Makhluk kecil itu telah mengingatkan aku. Nampaknya Nenek Kam masih berwudu di garang. Terdengar air tumpah dan jatuh di pelimbahan. Suara gesekan seng dengan daun pisang ketika ditiup angin sedikit mengganggu pendengaran. Ketika hendak fokus mendengar langkah halus mendekati pondok nenek Kam. “Nek, besok aku tebang ya pohon pisang yang daunnya menjuntai ke atap. Berisik sekali kedengarannya.” Ujarku sembari melipat sajadah dan mukena. Nek Kam diam saja, mengiyakan tidak, menolak juga tidak. Kuperhatikan apa yang sedang dikerjakannya. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang ringkih. Mukena masih disarungnya. Katanya malam ini mau mengajak aku pergi. Tapi beliau belum siapa-siap. Ketika hening tanpa angin, di sela-sela derik jangkrik aku kembali mendengar suara halus menuju pondok nenek. Aku segera fokus mencari tahu sumber suara. Masya Allah! Aku melihat Putri Bulan dan kakek Kuda! Mereka benar-benar datang. Macan Kumbang aku lihat ada di sampingnya. Aku buru-buru meletakkan sajadah dan mukenaku di sudut ruangan lalu berlari ke luar. Aku akan tunggu mereka di garang. Sudah beberapa menit, orang yang kutunggu belum juga sampai. Sementara langkah mereka masih terdengar. Aku menoleh ke dalam pondok nek Kam. Nenek masih seperti tadi, yang kulihat hanya punggungnya saja. Sebenarnya aku ingin bertanya pada beliau. Tapi pertanyaanku tadi saja tidak beliau jawab, aku khawatir beliau memang sedang sibuk dan tidak mau diganggu. Akhirnya aku kembali diam. Perasaan gembiraku berubah jadi sejuta tanya. Mengapa mereka tidak sampai-sampai ke sini? Akhirnya aku duduk dan fokus mencari tahu kemana mereka. Oh! Rupanya mereka singgah ke gunung Dempu menjemput A Fung. Nyaris jeritku meledak saking gembira. Macan Kumbang tahu betul jika aku sangat merindukan adik Tionghoaku itu. Paman Raksasa pun tak ketinggalan. Beliau juga ikut! Aku tersenyum lebar menatap langit. Di antara langit yang temaram, pucuk-pucuk daun kopi seperti bayangan hitam yang bergunduk-gunduk. Sesekali bergoyang kala ditiup angin. Suara daun pisang yang bergesekan dengan seng masih terdengar samar-samar.

“Selasih, kamu segera ke Selatan. Bantu petani kecil di sana. Sekarang juga” Suara kakek Andun. “Baik Kek, tapi bagaimana dengan nek Kam katanya beliau mau mengajak pergi malam ini. Lalu puyang Ulu Bukit Selepah menunggu pula di sana?” Tanyaku mohon pertimbangan. Tidak apa-apa, tidak akan lama. Setelah dari selatan, kau segera ke Ulu Bukit Selepah. Kakek juga akan ke sana. Kakek tunggu kamu.” Ujar kakek Andun lagi. Aku segera mendekati nenek Kam lalu kuceritakam perihal perintah kakek Andun. “Pergilah cepat. Hati-hati ya.” Ujar nek Kam masih menunduk. Aku segera menuju selatan. Entah apa yang terjadi di sana aku tidak tahu. “Selatannya di mana, Kek?” Aku membatin setelah terasa berjalan cukup jauh. Tak lama aku disuruh kakek melihat ke bawah. Ku awasi. Ternyata di sana ada bangsa manusia sedang dikeroyok beberapa sosok asral. Seorang ibu-ibu. Beliau menjerit-jerit karena bangsa asral ada yang menjambak, memukul, menarik, menikam. Pendek cerita si Ibu sangat menderita. Beberapa orang yang menjaga beliau hanya bisa memegangi Si ibu yang mirip orang kesurupan. Aku segera mendekatinya dan mendorong makhluk asral yang mengeroyok Si Ibu. Beberapa di antara mereka terpental jauh. “Siapa kau anak manusia. Jangan ikut campur urusan kami!” Ujar di antara mereka marah. “Justru ini menjadi urusanku karena kalian sudah mengganggu dan menyakiti Ibu ini. Beliau bangsa manusia. Bangsaku. Tidak ada hak kalian menyakitnya!” Ujarku geram. Tanpa bertanya apa penyebabnya, kukirimkan langsung pukulan-pukulan melumpuhkan. Mereka sudah keterlaluan. Mengeroyok seorang perempuan yang sudah tidak berdaya. Aku tidak peduli apa pun masalahnya. Setelah mereka lepas dari tubuh Si Ibu, kulihat si Ibu tidak panik seperti tadi. Tapi nafasnya masih memburu. Empat makhluk asral yang mengeroyok sang ibu kuikat serentak. Mereka tidak bisa bergerak meski mengeluarkan dan ilmu masing-masing. “Apa yang kalian lakukan pada Ibu ini? Mengapa kalian mengeroyoknya!” Bentakku. Rupanya mereka sengaja menyakiti siapapun yang berladang di bukit ini. Tidak hanya ibu ini yang mereka ganggu, hampir semua petani mereka buat sakit. Bahkan siang hari pun petani-petani yang bekerja di kebun atau ladang mereka ganggu. Bahkan sering kali mereka menampakkan diri kadang seperti kakek-kakek, kadang nenek-nenek, tapi pada akhirnya mereka mengubah dirinya menjadi besar. Belum lagi menakut-nakuti warga dengan suara. Petani yang memiliki lahan di sini semuanya diteror. Yang kulihat saat ini hanya di antaranya. Perdebatan aku dan makhluk asral terjadi. Mereka ngotot dan marah agar aku tidak ikut campur. Aku katakan, aku tidak ikut campur jika tidak ada kaitannya dengan manusia. Dan aku berharap mereka pergi. Akhirnya aku bertarung menghadapi empat makhluk asral yang jahat ini. Terakhir diketahui hampir semua penduduk dusun yang berladang di daerah sini mereka ganggu. Jadi bukan yang sedang bergadang saja.

Mendengar kenyataan tersebut akhirnya aku mengusir mereka dari sana. Tapi mengusir mereka bukan pekerjaan mudah. Jika belum bertemu dengan rajanya, urusan dengan mereka belum selesai. Akhirnya kuminta pemimpin mereka hadir segera. Kembali aku diserang. Rata-rata mereka memiliki kekuatan yang dasyat. Aku tak ingin berlama-lama mengingat ada Eyang Kuda, Putri Bulan, Paman Raksasa dan A Fung datang ke pondok nenek Kam. Hiiiiat!! Tiba-tiba sosok besar hitam berbulu sudah berdiri di hadapanku. “Kau mencari mati manusia harimau kecil. Membuat onar saja. Beraninya kau memanggil aku!” Suaranya berat menggelegar. Oh ini pemimpinnya. Aku membatin. “Kalian sudah mengganggu saudara-saudaraku di sini. Maka ini menjadi urusanku. Aku tidak akan biarkan bangsaku kalian ganggu. Kalian harus pergi dari sini!” Ujarku. Sengaja kukerahkan tenaga dalamku untuk mengimbangi suaranya. Tanpa menjawab, pimpinan makhluk asral ini langsung menyerangku. Serangannya berhawa panas sekali. Kami pun saling serang. Berbagai ilmu dia keluarkan. Tenaganya luar biasa. Aku tidak hanya bertahan namun juga melakukan serangan. Ketika ada kesempatan aku lemparkan selendangku. Aku mengikat pimpinan makhluk asral. Dia memberontak berusaha melepaskan ikatan selendangku. Pasukannya yang menyerangku tadi hanya dapat memandang dari jauh. Mereka makhluk-makhluk yang berbeda bentuk. Ada yang seperti harimau, ada yang besar tinggi sebangsa genderewo, ada yang seperti manusia namun cacad, kepalanya miring-miring. Namun rata-rata mereka berilmu tinggi. “Mengapa kalian mengganggu para petani di bukit ini?” Tanyaku. Sang Raja tidak mau mengakui. Dia bungkam dengan mata merah. Berkali-kali dia mencoba melepaskan ikatanku. “Lepaskan, kami harimau kecil. Kami tidak mengganggumu.” Ujarnya lagi. “Tapi kalian mengganggu bangsaku!” Ujarku lagi. Diam-diam kukencangkan zikirku, lalu kusalurkan lewat selendang. Sang pimpinan makhluk asral menjerit kepanasan. “Sudah, hentikan! Berhenti panas!” Jeritnya. Aku tidak peduli sebelum ia mengakui apa tujuannya mengganggu masyarakat yang berkebun di sini. Ketika ikatannya semakin kueratkan baru dia mau menjelaskan dengan syarat kalau sudah dijelaskan mereka minta dibebaskan. Aku menyetujui namun dengan syarat mereka harus pindah dan tidak mengganggu bangsa manusia lagi. Akhirnya kami sepakat. Beliau menjelaskan mereka mengganggu manusia karena ingin menguasai bukit ini untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka. Selanjutnya masyarakat yang mereka ganggu kelak dijadikan pengikut mereka. Maka lambat laun bangsa manusia ini mereka ambil dan kuasai. Mendengar itu aku marah sekali. “Enak saja kalian mau memperalat manusia!” Bentakku. Aku disarankan kakek Andun mencari wilayah yang kosong untuk tempat baru mereka. Akhirnya, kupilih wilayah hutan dan jurang yang menghadap ke laut Hindia. Sang Raja setuju. Akhirnya kulepaskan ikatan pada tubuhnya. Dia mengumpulkan massanya, lalu mengajaknya pindah sesuai tempat yang sudah kusediakan. Kubantu mereka mengarah ke wilayah yang dimaksud. Akhirnya mereka angkat kaki pindah ke tempat yang telah kutentukan jauh dari kehidupan manusia. Aku mengawasi pergerakan mereka. Ternyata mereka benar-benar sportif. Sang Raja mengumpulkan rakyatnya lalu beramai-ramai mereka tinggalkan bukit ini. Setelah selesai, aku mulai menyisir bukit melihat apakah sudah bersih atau belum. Selanjutnya kudatangi penduduk yang mereka ganggu. Sekarang mereka memang masa pemulihan. Sukma mereka kembalikan meski masih terlihat linglung. Aku mercoba menetralisir mereka agar ingatan mereka kembali pulih. Setelah semua kuanggap beres aku berniat pulang.

Tapi lagi-lagi aku dikagetkan ada suara ramai jauh di bagian utara tempatku berdiri. Aku tertarik lalu mendekat untuk sekadar mengetahui tempat apa itu. Masya Allah! Mataku terbelalak. Dari kejauhan aku melihat di area perkebunan ini sebuah keramaian mirip kota. Semua makhluknya beraktivitas meski bentuknya tidak sama. Aku semakin tertarik, akhirnya aku mendekat. Benar, mereka berakfivitas layaknya kehidupan manusia. Bangunan-bangunan terlihat klasik. Bahkan terkesan kuno. Berbeda dengan keramaian yang kulihat di gunung Dempu. Di sana terlihat megah. Bahkan istananya berdiri seperti emas bercahaya. Rumah-rumah kampung di gunung dempu ornamen khas Besemah disebut rumah baghi. Tapi rumah-rumahmu sini berbeda. Tidak sama dengan ornamen rumah baghi. Lalu aku juga pernah melihat pasar ketika berkunjung ke Bukit Dusun Tinggi Sebakas. Rumah-rumah perkampungannya adalah rumah panggung. Tapi yang kulihat di sini berbeda. “Siapa kamu cucu Adam? Mengapa kamu di sini?” Seorang pemuda menghampiri. Pakaiannya seperti pakaian raja-raja. Kepalanya dibalut tanjak, bajunya berwarna hitam bermotif manik-manik seperti rompi. Celananya juga berwarna hitam sebatas betis. Dadanya yang bidang dan berbulu terlihat jelas. Demikian juga otot perutnya terlihat kencang. Bahkan tulang rusuknya mirip sebuah lukisan. Rambutnya lurus panjang, berwarna agak keemasan. Aku tertarik dengan gelang yang melingkar di lengannya. Mirip tembikar, atau akar yang diukir. Indah sekali. “Namaku Putri Selasih. Kebetulan saja aku lewat sini lalu mendengar suara ramai. Ternyata memang ada keramian. Bahkan aku melihat sebuah perkampungan yang indah. Entah dusun, atau kota, atau apa ini aku tidak tahu. Tapi aku kagum melihatnya.” Jawabku sedikit gagap karena kaget. Pemuda ini memang datang tiba-tiba. “Tidak baik seorang gadis berjalan sendiri. Darimana asalmu? Di sini banyak makhluk yang suka mengganggu kehidupan manusia. Bahaya untukmu” Aku mendengarkan apa yang beliau sampaikan. Yang suka mengaganggu manusia mungkin makhluk yang baru kuusir barusan. Jika melihat perkampungan yang kulihat auranya positif. Aku mengiyakan sambil mengangguk.

Aku tidak bercerita jika aku baru saja bertempur dan mengalihkan makhluk asral jauh ke barat. “Oh terimakasih sudah mengingatkan. Maaf aku harus panggil apa ya? Aku berasal dari Besemah. Apa nama daerah ini? Aku tidak paham aku berada di mana.” Ujarku jujur. “Namaku Hatam Maras, yang kau lihat itu adalah kampungku. Mari akan kulihatkan padamu. Kita berjalan sejenak ke sana.” Ujarnya. Mendengar itu aku langsung tertarik. Akhirnya kami berjalan memasuki perkampungan mirip kota ini. Aku makin terpukau ketika baru memasuki kampung ini. Bersih dan unik. Bangunannya benar-benar kuno. Semua terbuat dari kayu berwarna coklat tua yang kokoh. “Ini jalan kota, Selasih. Kampung-kampung kecil kami terletak di lereng dan bukit-bukit itu.” Kata Hatam Maras sambil menunjuk beberapa bukit. Melihat kami berjalan, semua makhluk yang ada menunduk sujud. Aku bertanya dalam hati, siapa gerangan di sebelahku ini. Raja atau pangeran? Hendak bertanya aku malu sudah terlanjur berjalan bersama. Semakin ke dalam, semakin banyak penduduk yang memberi hormat. Mereka sujud dalam sekali. Aku berhenti sejenak. “Maaf Kang Hatam Maras, maaf juga jika aku lancang memanggil kakang. Aku tidak tahu Kakang pemimpin mereka atau pangeran, atau apa? Aku tidak berani masuk lebih jauh. Aku khawatir salah dalam menempatkan diri. Nanti ada tingkahlaku ku yang tidak sesuai dengan adat istiadat di sini.” Ujarku agak segan karena melihat semua tertunduk sujud. Hatam Maras hanya tersenyum. Beliau bukan bangsa manusia harimau. Perkampungan ini pun bukan perkampungan manusia harimau. Ini bisa dilihat dari bentuk tubuh mereka yang bermacam-macam. Tapi mereka sopan dan tertib. “Mereka memang rakyatku. Maafkan jika baru memberitahumu, Putri Selasih. Tidak usah canggung jika mereka sujud. Aku memang jarang keliling berjalan kaki.” Jawabnya sambil tersenyum. Aku kaget bukan main. Yang membuatku kaget bukan masalah kepemimpinnya. Tapi kerendahan hatinyalah. Jarang-jarang aku bertemu dengan makhluk asral seperti ini. Biasanya apabila dia seorang pemimpin biasanya langsung memberitahu siapa dirinya. Tiba-tiba ada sosok mendekati kami berdua sepertinya tokoh agama. Beliau berjalan memegang tasbih yang dikalungkannya dengan ukuran cukup besar. Di tangannya ada semacam kitab. Lalu beliau berdiri di hadapan kami sambil mengucapkan sesuatu seperti mantra. Aku mengikuti Hatam Maras berdiri. Kulihat Hatam Maras mengatupkan telapak tangannya ke dada. Aku merasa canggung tidak tahu harus bersikap seperti apa kecuali diam tak bergerak sampai lelaki di hadapanku berhenti membaca mantranya. Bersambung..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *