HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT III (43A)

Karya RD. Kedum

Entahlah. Beberapa minggu ini suasana jadi lain. Baik suasana di rumah, maupun suasana di luar rumah. Ada sesuatu yang aneh namun tidak bisa kurumuskan. Semua aktivitas  petualanganku libur, karena para nenek gunung nampaknya sibuk melakukan berbagai macam persiapan menjelang tahun baru Islam, satu Muharam, yang diyakini hari rayanya para jin.

Aku juga minta izin pada semuanya, agar sejenak libur berinteraksi karena harus menghadapi ujian Nasional. Namun, keinginan tidak sesuai rencana. Menjelang Ujian Nasional, keluargaku mendapat musibah. Ruko kami terbakar Padahal di gudang kopi Bapak waktu itu ada sekitar tiga puluh ton kopi bersih yang belum dikirim ke Palembang. Belum lagi yang masih mengapar di lantai, biji kopi eceran  yang baru dibeli Bapak petang itu. Semuanya terbakar. Api merambat cepat dalam hitungan menit terlalap semuanya. Akhirnya hanya tinggal pakaian di badan. 

Ketika api merambat kemana-mana, tidak sedikit ruko yang  dijarah. Saat yang punya ruko berusaha menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan, namun yang pura-pura menolong juga banyak. Termasuk milik Ibu Bapakku, berapa banyak barang yang sempat dikeluarkan dari ruko dan gudang, namun kenyataannya lebih banyak hilang  diambil orang.

Waktu itu, ketika api sudah melalap dinding dan atap dapur, aku masih tidur. Saat terjaga, aku melihat api menyala dari  bagian belakang gudang tetangga langsung merambat ke bagian dapur. Dalam hitungan detik api sudah membumbung dan merambat ke mana-mana. Padahal waktu itu rasanya aku baru saja terlelap.  Dari  lantai atas, terlihat separuh ruko Bapak sudah terbakar. Antara sadar dan tidak, aku langsung menggendong adik  bungsuku dan membimbing adik lelakiku menuruni anak tangga.

Jarak kami dengan api yang membumbung tidak lebih dua meter. Udara sudah sangat panas. Dari lantai bawah, aku melihat separuh kamar Bapak dan ibu sudah dilalap api. Aku dan adikku bergegas ke luar. Untung pintu sudah terbuka. Aku tidak tahu siapa yang membobolnya. Ibu masih di lantai atas menjatuhkan apa yang bisa beliau jatuhkan lewat beranda depan.

Sebenarnya aku ingin turun tangan untuk  mematikan api yang sudah menyebar luas. Namun dilarang oleh beberapa sesepuh gaibku. Terlalu riskan, api sudah sangat besar. Ada waktu tertentu kita harus turun tangan, namun ada waktunya tidak, meski hal yang terjadi pada diri kita sendiri, katanya. Malam itu, aku seperti kosong tak punya kemampuan apa-apa. Melihat ruko bapak hangus terbakar di depan mata, aku hanya bisa menatapnya tanpa rasa.
“Biarkanlah Selasih. Ini kehendak sang Maha untuk pembelajaran kita semua. Jangan halangi. Kau lihat raja angin berkesiur seakan memang diperintah untuk membuat lautan api kotamu malam ini. ” Suara itu jelas sekali. Aku ingin protes! Ini yang  terbakar rumah dan toko Bapakku. Ruko ini tempat kami berlindung. Lalu kami akan ke mana sesudah ini? Aku masih memeluk kedua adikku sembari menatap api yang melalap ruko di antara orang yang lalu lalang. Aku tidak tahu, kakak, ayuk, Bapak dan ibuku di mana. Kami terpisah.

Di dalam batin aku sangat kecewa sebenarnya. Saat orang lain yang membutuhkan pertolongan, semua kulakukan dengan mudah. Saat peristiwa besar berkaitan dengan masa depan hidup keluarga besarku, aku tak mampu melakukan apa-apa. Aku hanya menatap ekspresi polos adikku. Keduanya belum bisa mencerna peristiwa malam ini.
“Kenapa City tidak di bawa ke luar, Yuk?”  Ujar polos adik bungsuku ingat dengan kucing kampungnya. Lalu adik lelakiku membayangkan ikan goreng lele kesukaannya, habis terbakar. Aku hanya diam. Pernyataan keduanya tak ada kujawab. Entah sudah berapa lama kami bertiga berdiri di trotoar seberang jalan, bersandar pada tiang tilpon.

Tak lama aku melihat  sosok Bapakku di antara kerumunan orang banyak. Di tengah cahaya remang-remang api, Bapak berteriak-teriak memanggil namaku, adik, kakak, dan ayukku. Akhirnya kami berempat menyatu. Bapak memeluk kami erat sekali.
“Alhamdulilah..kalian selamat Anakku. Mana ibu, kakak, dan ayukmu.” kata Bapak sedikit gemetar. Bapak memang sedang tidak di rumah ketika kejadian. Sejak petang  Bapak kumpul-kumpul dengan sahabat-sahabatnya di rumah saudaranya yang akan hajatan. Beliau tahu rukonya dilalap  api, ketika api sudah tak terkendali.
“Ibu  masih ada di dalam rumah, Pak.” Ujarku pada Bapak. Bapak hanya dapat menatap diam lurus ke ruko. Kobaran api pelan-pelan menghabiskan kusen jendela depan dan atap. Tempat biasa aku duduk memandang gunung Dempu dengan lantang.

Aku menatap ekspresi Bapakku yang tak henti itighfar dengan perasaan perih. Kota gelap. Hanya pencahayaan dari ruko-ruko yang terbakar saja terlihat terang. Satu mobil pemadam kebakaran yang hilir mudik  tak banyak membantu. Angin kencang berhembus dari arah gunung Dempu seperti tersedot hawa panas mengeluarkan suara menderu. Atap-atap rumah banyak yang melayang. Kembang api membumbung mengeluarkan suara gemeretak. Kadang-kadang terdengar suara ledakan.

Manusia yang berjubel sepanjang jalan,  ada yang murni hendak menolong, ada yang sekadar ingin melihat jadi penonton, ada juga yang berniat mencari kesempatan untuk mencuri. Mereka seperti punya kepentingan sendiri-sendiri. Ada sekitar dua puluh lima ruko ludes dilalap api malam itu. Gedung  yang rata-rata berlantai dua dan tiga, rata dengan tanah. Tinggallah puing-puing yang masih menyimpan bara. Sisa tangis dan eluhan syok masih menghiasi pinggir-pinggir jalan. Tak sedikit mereka yang kenal memberi suport berucap ‘sabar’. Berusaha memberi kekuatan. Namun ada juga yang hanya menatap ibah. Atau barangkali ada juga berucap syukur dengan kejadian ini?

Api sudah mulai mengecil. Namun kerumunan manusia makin bertambah. Rupanya ada juga kenalan dan keluarga yang mencari keberadaan kami. Bakwo Ruslan, kakak angkat Bapak menjemput dan membawa kami ke rumahnya di Selangis. Di rumah Bakwo Ruslan inilah akhirnya aku bertemu dengan kakak, ayuk dan ibuku.

Selebihnya aku merasakan hidup ini seperti terbalik.  Kami tidak punya rumah sama sekali. Aku lebih banyak diam. Rasa kecewa yang mendalam benar-benar melukai perasaan. Di satu sisi rasa berdosa teramat sangat karena aku melakukan pembiaran. Di sisi lain, aku harus  putuh pada takdir.

Sejak itu kututup komunikasi dengan alam gaib terutama dengan nenek gunung. Aku engan bertemu dengan siapa-siapa. Aku tidak peduli. Pernah suatu hari nenek Kam mengajakku ke gunung Dempu, aku tolak. Macan Kumbang berusaha memanggilku, kuabaikan. Kubunuh rindu pada kakek Andun, Kakek Njajau, Nenek Ceriwis, Macan Kumbang. Aku ingin sendiri!! Apalagi Gundak dan Gali. Kulupakan! Aku benci kehidupanku. Aku kecewa! Aku merasa hidupku tidak ada artinya.  Melihat Bapak dan Ibu, ibaku tak ada habisnya.

Kebetulan rumah Bakwo Ruslan, persis di sisi sungai Selangis. Kerap aku berlari ke belakang rumahnya, menuruni tebing curam dekat penggilingan kopi, sekadar duduk berjam-jam di sisi sungai. Membiarkan anganku melanglang buana ke mana-mana. Kutepis tiap kali teringat dengan kehidupan dimensi Uluan. Aku ingin putuskan untuk tidak bersentuhan dengan mereka lagi. Persetan soal aku keturunan kerajaan Pekik Nyaring segala. Beberapa kali kakek Andun membujukku, agar aku dapat menerima kenyataan.

“Apa yang menimpa orang tuamu adalah takdir. Sudah digariskan Sang Maha. Kita tidak boleh larut dalam kesedihan, apalagi menyesali diri sendiri. Kamu sudah menyelamatkan dua adikmu dari kobaran si jago merah itu lebih baik dibandingkan menyelamatkan harta Bapakmu. Harta bisa dicari, Cung.”  Ujar kakek Andun suatu malam.
“Iya Kek, termasuk takdirku juga dengan mata dan kepala sendiri aku melihat usaha Bapakku hancur dilalap api. Padahal itulah satu-satunya usaha Bapak. Dan aku tidak berbuat apa-apa…” Ujarku dengan nada kecewa. Kakek terus memberikan nasihat. Aku tidak peduli. Masuk kanan ke luar kiri. Hingga Akhirnya beliau pulang tanpa pamit.

Demikian juga kakek Njajau. Nyaris tiap waktu beliau mencoba  menembus dinding pembatasku. Aku tahu beliau berusaha untuk jumpa langsung denganku tapi aku menutupnya. Akhirnya beliau hanya berbisik agar aku bangkit. Jangan larut dalam kesedihan. Nasihatnya pun mirip-mirip dengan kakek Andun. 

Semua mengharapkan agar aku kembali seperti semula. Mana bisa. Setiap hari aku melihat Bapak dan Ibu seperti jasad tanpa roh. Pandangan mereka kosong. Siapa yang bisa memberikan suport pada mereka? Mereka telah kehilangan langkah. Sementara aku menyesal tak mampu memberikan yang terbaik untuk mereka. Aku tidak melakukan apa-apa.
“Untuk apa aku memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh orang lain pada umumnya, Kek. Sementara musibah menimpa orang tuaku, aku tidak mampu berbuat apa-apa. Sekarang keduanya seperti mayat hidup. Jasadnya saja yang ada. Tapi ruhnya seperti tidak bersemayam dalam tubuhnya.” Suatu kali aku menangis ketika Kakek Njajau mendesak untuk bertemu denganku.
“Maafkan aku, Kek. Aku tidak butuh kalian semua. Kalian tidak bisa membantuku ketika Bapakku terpuruk. Biarkan aku menjadi aku. Ambillah apa yang  pernah kalian berikan padaku.”  Tangisku.  Aku benar-benar ingin menutup diri. Melupakan segala petualang bersama nenek gunung. Melupakan mereka.

Suatu kali, kakek Pekik Nyaring datang lewat mimpi. Tatapan lembut beliau, menyiratkan jika beliau paham kesedihanku. Beliau bimbing tanganku, mengajak aku berjalan sambil bercerita.
“Setiap manusia, pasti akan mendapat ujian dalam hidupnya, Cung. Ujian itu sebagai tolak ukur rasa syukur. Masihkah kita bersyukur meski dihadapkan pada hal yang tidak sesuai dengan keinginan kita? Di situ juga untuk melihat ketaqwaan seseorang, Cung. Dan kamu saat ini tengah menghadapi ujian itu. Kamu harus jadi pemenang! Kamu harus jadi yang terbaik. Sebagai makhluk hidup, kita memang ada rasa sedih, kecewa, marah dan lain sebagainya. Itu sangat normal, Cung. Ekspresikanlah kemarahanmu pada hal-hal yang baik-baik saja. Kau harus mampu mengontrol diri sendiri. Ingat, orang lain hanya bisa menasehati. Tapi penentu nasib ada di tangan kita masing-masing.” Kakek Andun jongkok sambil menatap wajahku.
“Garis hidup seseorang, sudah tertulis sebelum manusia itu lahir, Cung. Termasuk dirimu, usia sekian kau akan mengalami apa, usia sekian kau akan mendapatkan apa, usia sekian kau akan jadi apa. Termasuk juga hidup mati kita, sudah tertulis di catatan nasib, takdir kita. Dirimu tak mampu berbuat terbaik untuk Bapak dan Ibumu, itu juga takdir. Musibah yang dialami Bapak Ibumu, pun takdir. Kuncinya tetap bersabar dan bersyukur” Tiba-tiba  aku terjaga. Bau harum dari tubuh kakek Pekik Nyaring masih menyebar di kamarku. Lama aku merenungi perkataan beliau. Tapi dorongan untuk tidak berpetualang bersama nenek gunung  dalam batinku sangat kencang. Biarlah aku dibilang anak durhaka. Tidak tahu diri, tidak beriman dan lain sebagainya. Toh yang merasakan sesak dada hanya aku. Bukan mereka.

Belakangan kuketahui jika kebakaran ruko Bapak disengaja, bukan karena arus pendek listrik. Yang melakukan pekerjaan  jahat itu kawan bisnis Bapak. Aku berusaha menyembunyikannya. Berbulan-bulan bahkan bertahun, aku simpan agar Bapak ataupun siapa saja  tidak mengetahui  kalau kebakaran itu ada unsur kesengajaan. Dan orang yang membakarnya adalah sahabat bisnis Bapak. Orang yang selama ini dekat dengan keluarga kami, yang kupanggil Wak. Rupanya berbagai cara telah beliau lakukan untuk menghancurkan bisnis Bapak. Sayang, aku mengetahuinya setelah kejadian.

Keinginan beliau membuat usaha Bapak hancur berhasil. Bapak telah hancur sehancur-hancurnya. Beliau iri melihat usaha Bapak lancar. Lalu agen-agen kecil yang selama ini kerap menjual kopi dengannya berpindah ke Bapak membuat beliau makin meradang. Alasan pindah tempat menjual pengusaha kecil itu simpel, karena timbangan yang digunakan Wak tidak akur. Setiap menimbang, banyak sekali pengurangannya. Beliau berani  membeli dengan harga mahal di luar harga pasaran, namun untuk menutupi kerugian beliau mainkan ‘timbangan’. Lama-lama pelagan tahu permainan ini, lalu satu-satu berpindah ke tempat lain. Salah satunya ke tempat Bapakku.

Sejak kebakaran  itu, hidup kami memang sangat berubah. Bapak kehilangan langkah. Bapak sudah enggan untuk membangun kembali bisnisnya. Akibatnya, satu-satu kendaraan milik Bapak habis dijual untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Pengusaha-pengusaha kecil yang pernah  berhutang, meminjam modal usaha dengan Bapak, seakan raib. Mereka menjauh semua, seakan-akan tidak punya sangkutan sama sekali. Akhirnya, untuk tetap berlangsung hidup, Ibu rela berjualan sayur di emperan jalan dekat Majid Raya. Masa-masa ini, adalah masa tersulit keluarga kami. Ketika ingat nasehat kakek Pekik Nyaring, siapa yang dapat melawan takdir? Aku berusaha berpikir positif. Aku bukan manusia super yang dapat mengubah atau mengembalikan kondisi Bapak.

Ternyata niat orang jahat  untuk menghancurkan Bapak, belum cukup sampai disitu.  Keinginan orang yang kupanggil Wak, berharap Bapak mati. Berbagai usaha dilakukan untuk membunuh Bapak. Teluh, santet, seperti air mengalir diarahkan ke pada Bapak. Berkali-kali Bapak jatuh sakit, namun tidak ada obatnya. Secara medis bapak selalu dinyatakan sehat.
Bahkan si Wak rela membayar tetanggaku untuk menanamkan sesuatu sesuai perintah  dukun di sudut  rumah kontrakan kami. 

“Obati Bapak..” Selasih menangis.
“Tidak!” Jawabku.
“Kalau aku mengobati Bapak, maka aku akan berurusan dengan nenek di Ulu. Aku tidak mau!” Jawabku.
“Tapi ini darurat!” Selasih meyakinkan.
“Apa kau kira ketika api melalap rumah dan toko Bapak, itu bukan darurat? Mengapa aku dilarang  untuk membantu menyelamatkan ruko Bapak? Mengapa aku membiarkan api melalap semua yang Bapak miliki? Padahal aku punya kemampuan saat itu.” Aku kembali kecewa dengan diri sendiri. Selasih diam. Berbulan-bulan dia tidak pernah berbicara padaku. Kami sama diam. Sama tidak membutuhkan.

Tuhan tidak tidur! Demikianlah adanya. Setelah berhasil menghancurkan bisnis Bapak, usaha Wak tidak juga meningkat.  Malah sebaliknya, beliau gulung tikar. Terakhir, diketahui beliau membakar rumahnya sendiri.

Ketika memasuki SMP, Bapak membujukku agar aku tetap melanjutkan ke SMP Xaverius. Alasannya selain dekat, tingkat disiplinnya itu yang membuat Bapak suka.  Tapi aku bersikeras menolak. Alasanku  ingin pula  merasakan sekolah negeri agar bertambah teman  dari berbagai dusun yang tersebar di kota Pagaralam. Padahal aku paham, ekonomi keluarga tidak mendukung. Biaya sekolah di Xaverius  terbilang mahal. Akhirnya aku diizinkan sekolah di SMP Negeri 2 Pagaralam.
Sekolah yang terletak di kaki gunung Dempu. Setiap hari aku berjalan kaki delapan kilo meter pulang pergi. Menyisir jalan ke arah gunung Dempu yang berbatu. Pukul enam pagi, ketika kabut kotaku masih sangat kental aku bersama kawan-kawanku sudah menembusnya. Yang menjadi kendala adalah ketika musim hujan. Aku tidak berani minta sepatu boot dan jas hujan, apalagi minta diantar.

Aku bersyukur pernah dididik di Xaverius. Hidup disiplin membekas padaku. Hal itu kuterapkan dalam kebidupan sehari-hariku. Efeksnya, aku selalu mendapat juara umum, dan mendapat beasiswa ketika itu. Hanya ini yang dapat kupersembahkan pada Bapak dan Ibu, mereka bangga sekali ketika diundang kepala Sekolah untuk tampil bersamaku ketika kenaikan kelas, aku dinobatkan sebagai siswa yang  memiliki nilai terbaik dan diberi penghargaan.

Di SMP ini, aku merasa seperti mendapatkan gemblengan baru. Aku belajar memahami kedua orang tuaku menjalani hidup yang sulit. Lalu belajar pula bagaimana mengatasinya. Makanya hingga sekarang aku sangat kagum pada ibuku. Kukira beliau perempuan lemah, penakut. Tapi ternyata beliau adalah perempuan tangguh yang tak pernah roboh disapu badai. Beliau adalah pejuang kehidupan. Di tengah keterpurukan ekonomi keluarga, ibulah yang berusaha bangkit. Beliau tampil sebagai pahlawan dalam keluarga. Akhirnya ibulah yang banyak bergerak mengantikan Bapak agar keluarga besar kami tetap hidup meski hanya sekadarnya.
Terakhir, Bapak dan Ibu  memilih pulang ke seberang Endikat mengurus kebun-kebun kopinya. Sementara aku, kakak dan adikku tetap di Pagaralam karena masih sekolah.

Pernah suatu kali, di dapur sudah tidak lagi yang bisa kami makan. Beras habis. Uang tidak ada. Bapak dan Ibu jauh. Mau berhutang di warung tidak berani karena takut tidak ada uang untuk membayarnya. Mau minta kepada saudara-saudara Bapak atau ibu, tidak berani, malu. Beruntung aku punya kakak yang terampil. Kami butuh makan. Aku sarankan kakakku untuk membuat layang-layang. Kebetulan musim kemarau sudah tiba. Kakak bingung karena tidak punya bambu untuk kerangka layang-layang. Kebetulan  pagar sekeliling rumah disisipi bambu. Akhirnya kuambil sebilah. Kusuruh kakaku membuat kerangkanya. Benang jahit ibuku kumanfaatkan, lalu sekajang kertas jagung rencana untuk sampul buku sekolahku, kukorbankan. Aku pergi ke rumah saudara Bapak, meminta sesendok tepung sagu, lalu kubuat lem. Alhasil jadi empat layang-layang berukuran sedang. Aku dan kakakku segera menggantungnya di depan rumah, sembari berteriak “yoo layangan..layangan…” Hanya beberapa menit, layangan habis tejual. Uangnya kami belikan beberapa kajang kertas minyak warna-warni. Aku bertugas melukis layang-layang dengan gincu. Lalu sisa kertas kubuat ekor dan kutempel pada layang-layang agar terlihat cantik. Hari itu puluhan layang-layang laku. Ayukku membeli beras dan sayuran dari uang berjualan layang-layang. Tak disangka, petang itu Ibu pulang. Maksud Ibu pulang hendak membeli beras melengkapi kebutuhan kami. Ibu hanya bisa menatap haru, ketika melihat kami duduk melingkar makan bersama di atas tikar dengan lauk seadanya. Petang itu terasa nikmat sekali. Wajah sumringah saudara-saudaraku menumbuhkan optimisme baru. Suasana inilah yang paling berkesan dalam hidupku.

Malamnya kami kembali membuat layang-layang. Sudah separuh pagar rumah jadi ompong karena bambunya kuambil untuk kakak membuat kerangka. Dengan sigap kakak meraut bambu, dan menimbangnya. Aku menggunting dan mengelemnya. Malam itu puluhan layang-layang siap jual.

Aku mulai merasakan kehidupan lebih ringan. Kesederhanaan membuat aku lebih paham untuk menghargai sebuah usaha, menghargai waktu, dan menghargai makna hidup. Aku mulai terbiasa untuk tidak berinteraksi dengan semua makhluk tak kasat mata. Sudah puluhan bulan, seolah aku dibiarkan hidup sendiri. Hanya Putri Selasih yang senantiasa setia mendampingi. Itupun lebih banyak diam. Pernah suatu hari ketika ramai-ramai hendak pulang sekolah, aku kehilangan jalan pulang. Akhirnya aku membatin, baiklah jika jalanku untuk pulang dihilangkan, aku akan pulang ke gunung Dempu. Menemui kakek Pekik Nyaring. Tiba-tiba jalan pulang terbentang kembali. Akhirnya aku berjalan sendiri menyisir jalanan berbatu yang sepi.

Menjalani hidup sebagaimana manusia biasa. Tanpa ada keinginan untuk menjadi lebih.
“Lari yok!” Bisik Selasih. Aku menolaknya. Aku lebih memilih menikmati dan  menghayati setiap tapak sebagai bangsa manusia.
“Kita nikmati dulu hidup seadanya seperti sekarang. Lelah, peluh, panas, lapar, haus dan lain-lain. Agar kita kelak memahami makna syukur. ” Ujarku lembut. Beberapa makhluk asral berusaha menyapa bahkan menggapai. Aku diamkan saja.
“Tetaplah abadi di alammu. Jangan ganggu aku!”

Bersambung..


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *