HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (95C)

Karya RD. Kedum

Akhirnya aku dan Temenggung berjalan ke tepi hutan. Sebelumnya aku wujudkan diriku terlebih dahulu agar bisa dilihat oleh para pemburu. Aku sepakat bersama Temenggung, agar aku saja yang menjelaskan pada gerombolan pemburu itu. Temenggung sepakat.
“Kalau dia mengancam dirimu Putri Selasih, maka akan kutujah dengan tombak ini” Ujarnya gagah. Beliau terlihat berbalik seratus derajad, menyadari kekeliruannya. Memang untuk menjaga keseimbangan alam, kaum orang luar rimba, tetap harus komunikasi dengan Orang Rimba. Begitu juga sebaliknya. Rasa kesetiakawanan sebagai salah satu sifat Orang Rimba kadang membuat mereka tergelincir. Mereka tidak paham jika banyak orang licik yang memanfaatkan keluguan mereka.

Aku berjalan di belakang Temenggung. Sungguh wajar beliau dan masyarakatnya mendapat sebutan sebagai Orang Rimba. Ketika menyisir semak belukar yang berduri sedikitpun tidak membuat kulitnya luka. Postur tubuhnya tidak tegap berdiri, berjalan agak merunduk, tanpa alas kaki, namun langkahnya sangat lincah dan cepat. Semak belukar, onak dan duri dengan mudah dilaluinya. Jangan heran jika berjumpa sekilas dengan mereka di hutan, secepat kilat mereka menghilang. Alam telah membentuk mereka selalu waspada, terampil dan cekatan.

Suku Anak Dalam atau Orang Rimba ini terkenal keilmuannya. Dari kabar yang kudapat, konon tidak sedikit orang menuntut ilmu, berguru pada mereka. Tentu saja, yang menginginkan ilmu mereka, harus menyatu, hidup di alam terbuka di dalam rimba bersama-sama. Mengikuti cara mereka bertahan hidup di dalam hutan. Keseharian mereka, tidak memakai busana. Yang lelaki hanya pakai cawat selembar kain untuk menutupi kemaluan mereka, sedangkan yang perempuan, berkain blacu warna hitam, atau sejenis kain mori, yang diikat di dada. Sementara anak-anak yang masih kecil, telanjang bulat tanpa busana.

Meski tidak memakai busana lengkap, namun mereka tidak pernah sakit, masuk angin dan lain sebagainya. Mereka ahli dibidang pengobatan. Ada beberapa jenis daun dan akar yang mereka konsumsi sehingga nyamuk hutan, dan serangga enggan menggigit mereka. Mereka tidak punya rumah sebagaimana tempat menetap pada umumnya. Hutan rimba adalah rumah mereka, langit adalah atap, bumi dasar berpijak. Untuk sekadar menghindari dari serangan hewan liar, mereka akan membuat semacam amben dari kayu-kayu bulat yang disusun sedemikian rupa sebagai alas, lalu diberi atap seadanya dari daun-daun pohon kecil di sekitar mereka. Itu pun tidak terlalu tinggi. Tempat itulah mereka jadikan sebagai rumah singgah, tempat istirahat anak-anak mereka dan kaum perempuannya sementara. Cara hidup mereka berpindah-pindah dari tempat satu ke tempat lainnya, dari hutan satu ke hutan lainnya.

Dulu, ketika belantara ini masih utuh. Belum banyak manusia yang mengembangkan sayap kehidupan hingga ke dalam-dalam rimba. Rimba belum dijamah oleh para cukong yang memperalat masyarakat kampung yang miskin dan aparat, kehidupan Suku Anak Dalam damai sejahtera. Hutan memberikan kehidupan pada mereka lebih dari cukup.

Sebelum hutan berubah menjadi kebun-kebun sawit, Orang Rimba menjaga sedikit memberi jarak berkomunikasi dengan orang luar. Bahkan pantang bagi mereka bertemu, apalagi bekerjasama. Hal itu mereka lakukan karena mereka tidak ingin adat dan tradisi mereka terkontaminasi. Mereka masyarakat yang tertutup. Tapi kini berubah. Desakan perut dan tuntutan hidup, ditambah banyak hewan dan tumbuhan yang telah punah, membuat mereka seperti kehilangan penghidupan. Sebagian mereka menjadi liar dan tidak terhimpun oleh Temenggungnya. Bahkan tidak jarang mereka menerobos belantara hingga sampai ke perbatasan Provinsi Jambi, memasuki hutan Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan terpisah dengan kelompoknya dalam waktu lama.

“Kita tetap berbicara baik-baik dengan mereka, Temenggung. Jangan kotori tangan Temenggung dengan darah. Mereka sama dengan kita, bangsa manusia. Jika jiwa kita terancam, baru kita lakukan perlawanan. Tapi jika masih bisa diajak bicara, biarlah saya yang berbicara pada mereka Temenggung” Aku kembali meyakinkan beliau. Akhirnya kami kembali menembus hutan belentara yang gelap. Sesekali aku harus berpegangan dengan akar ketika melalui bagian yang terjal.

Setelah melintasi sungai kecil, dari balik semak-semak kulihat lima pemburu tengah berdiang, mamanaskan tubuh mengusir halimun pegunungan yang tebal. Api unggun menyala kecil. Masing-masing mereka memegang senjata sambil mengembangkan tangan ke arah api. Melihat kesiapan mereka, bisa dipastikan setiap waktu benda itu siap meledak. Mereka rata-rata pemburu ulung yang memiliki insting dan penciuman yang tajam. Mirip anjing pelacak.

Aku meraih tangan Temenggung agar berhenti sejenak. Aku menyuruh agar beliau tidak bergerak. Aku segera duduk lalu dengan cepat aku bergerak, diam-diam bayanganku menekuk dan merusak sejata mereka agar tidak berfungsi tanpa mereka sadari. Pelatuk senjata api mereka kupatahkan. Aku tersenyum pada Temenggung ketika membuka mata. Beliau belum paham apa yang kulakukan. Beliau tidak tahu jika aku telah mematahkan pelatuk-pelatuk sejata api para pemburu.
“Hati-hati, Selasih. Mereka punya sejata yang bisa meledak. Senjata itu bisa ke luar api” Bisiknya dalam bahasa rimba. Kujawab dengan anggukan.

Kami terus berjalan. Kali ini kuajak Temenggung berbicara. Kami ngobrol sambil berjalan. Tidak berbisik-bisik lagi seperti tadi. Sengaja aku keluarkan suara sedikit kencang agar para pemburu mendengar jika ada orang selain mereka. Suara kami berdua memecah malam yang berkabut. Bahkan sedikit bergema, menggusik beberapa hewan yang terlelap.

Dalam batin aku bahagia bisa menginjakkan kaki di hutan belantara ini. Jadi ingat bagaimana pertama kali nenek Kam mengajari aku masuk hutan tanpa alas kaki, malam-malam blusukan di dalam hutan belantara yang aku sendiri tidak tahu belantara mana. Aku tidak diizinkan menggunakan alas kaki. Menginjak onak dan duri. Semula aku mengira telapak kakiku akan tertusuk duri. Ternyata tidak sama sekali. Waktu itu, setiap kali bangun tidur Ibuku kerap kaget dan marah, pasalnya dibajuku sering kali menempel bunga dan rumput dari hutan. Bahkan di kasur dan di bawah selimut ibu pernah menemukan buah rotan lantaran aku lupa meletakkannya di dapur. Terbayang masa itu aku senyum sendiri. Ada perasaan senang ketika melihat Ibuku khawatir dan takut. “Ah! Dedek yang nakal!” aku membatin.

Di belantara Kerinci ini, banyak sekali aku melihat buah hutan yang masih utuh. Hampir sama dengan hutan di tanah Besemah. Biasanya buah-buah hutan ini menjadi makanan para monyet, kera, beruk, siamang, simpai, dan cingkuk. Juga menjadi santapan para Orang Rimba. Selain daun-daunan untuk obat ada juga kulit kayu dan akar yang bermanfaat dan berkasiat.
“Temenggung, aku bahagia sekali melihat hutan masih perawan seperti ini. Meski tidak seluas dulu lagi. Jangan biarkan hutan ini dijarah orang luar lagi, Temenggung. Biarkan semuanya hidup dan tumbuh menjadi belantara” Ujarku sembari mengelus akar-akar yang menonjol. Air bening mengalir di bawahnya. Aku tahu, banyak makhluk astral hidup damai di sana.

Benar saja, ketika mendengar suara kami yang bercakap-cakap tengah malam buta di hutan belentara, para pemburu serentak menoleh dan waspada. Senjata mereka sudah siap di tangan, mengarah ke arah kami. Kulihat masing-masing mereka memiliki belati yang terselip di celana samping dan pinggang. Sebelumnya aku bertanya pada Temenggung siapa nama pemimpinnya. Ternyata kelompok ini dipimpin oleh Bapak Baron. Menurut Temenggung, beliau mantan tentara. Jika melihat fisik dan romannya, benar beliau gagah, rautnya tegas, cocok jadi tentara.

“Selamat malam Bapak Baron dan kawan-kawan. Saya Putri Selasih sengaja ikut Temenggung untuk menemui Bapak-bapak terhormat” Ujarku berhenti di sisi semak hutan lindung. Mereka serentak menatap ke arah kami. Dari tatapannya aku tahu mereka kaget dan heran melihat ada perempuan tengah malam di hutan. Moncong senjata mereka sudah mengarah padaku. Temenggung kutarik ketika beliau maju ke depan hendak melindungi.
“Tidak usah Temenggung. Biarkan mereka” Bisikku.
“Jangan sakiti anak gadis ini, Pak Baron. Dia adalah sahabatku. Cucu kerabat leluhur kami. Jika kalian menyakitinya, kalian berhadapan denganku!” Suara Temenggung lantang. Pak Baron dan kawan-kawannya terbengong.

Di antara cahaya api unggun yang remang-remang wajah mereka bagiku tetap jelas. Nafas mereka sedikit memburu. Dada mereka turun naik menahan emosi. Tegang, cemas, takut, dan tidak yakin berhadapan dengan perempuan di rimba yang gelap, sepertinya membuat mereka seperti bermimpi. Mungkin ini adalah pengalaman pertama mereka melihat wanita di hutan malam-malam.

“Simpanlah senjata kalian. Saya ke mari hanya ingin berbicara baik-baik” Ujarku.
“Berhenti! Jangan mendekat. Engkau manusia atau demit sekali pun jangan mendekat kalau tidak kuberondong dengan senjata api ini. Apa urusannya dengan kami perempuan. Siapa kau!” Suara Bapak Bondan tinggi. Kuakui beliau sosok yang berani dan tegas. Sayang rasa cinta tanah air tidak menjiwa di batinnya. Buktinya beliau yang memimpin para anak buahnya menjarah hutan dan isinya.Mereka sengaja mendekatkan diri pada orang rimba untuk melancarkan misi pribadi.
“Aku manusia sepertimu Bapak Bondan. Tapi aku bukan maling licik seperti Bapak. Bapak telah memperalat Orang Rimba untuk memuluskan keinginan pribadi Bapak. Bapak tidak saja menjarah isi hutan. Tapi juga telah membodohi saudara-saudara kita Orang Rimba. Harusnya Bapak malu dengan jabatan Bapak” Ujarku masih sambil mendekat. Mata pak Bondan makin membesar. Mulutnya sedikit mengaga. Beliau masih tidak yakin ada manusia selain mereka.

Klek…klek..klek!
Beberapa kali tangan pak Bondan menarik pelatuk untuk memastikan senjata itu siap memuntahkan timah panasnya. Kutatap wajahnya mirip orang dungu. Di tengah remang dan kabut hutan, peluh pak Bondan mengucur deras. Bahkan anak buahnya menggigil seperti orang kedinginan. Tersenyum dalam hati. Begini ekspresi orang yang ketakutan. Hilang semua kegagahannya.
“Mengapa senjatanya, Pak? Tidak berfungsi?” Tanyaku. Wajah Pak Bondan makin panik.
Hiiiiaaat!
Tiba-tiba Pak Bondan mengayunkan senjata laras panjangnya ke arahku. Aku masih berdiri tidak jauh di hadapannya tidak menghindar sama sekali. Melihat gerakan cepat pak Bondan, Temenggung menjerit tertahan. Aku berkelit dengan cepat. Justru hantaman pak Bondan nyaris mengenai Temenggung kalau tidak kutepis tangan pak Bondan dengan kaki.

Melihat pukulannya mengenai angin kosong, emosi pak Bondan makin memuncak. Urat di wajahnya seperti hendak ke luar. Warna kulitnya bersemu merah. Tatapannya liar, semua otot di tangan dan lehernya pun ikut tegang. Ketika beliau bergerak ke dua kali hendak memukul, tubuhnya kubuat kaku. Pak Bondan berdiri seperti patung.
“Percuma marah pak Bondan. Bapak akan termakan oleh emosi Bapak sendiri. Senjata api kalian tidak berfungsi sama sekali. Pelatuknya sudah kurusak sejak tadi. Kalian tidak sadar bukan?” Ujarku membuat mereka semakin takut. Pak Bondan hanya bisa menatapku lurus dengan urat leher mengencang.

Aku maju selangkah mendekati Pak Bondan.
“Aku tahu, Pak Bondan punya ilmu kanuragan. Jika sudah mematung seperti ini apakah masih bisa menggunakan ilmu itu?” tanyaku. Matanya melotot merah. Kidam di dalam tubuhnya ikut marah. Bukan seorang pemburu kalau tangan kosong. Beberapa jimat dimiliki pak Bondan dengan berbagai macam fungsi. Ada penakhluk, pengasihan, kebal, dan lain-lain. Bahkan salah satu jimat yang dimilikinya pemberian Temenggung yang dibungkus dengan kain hitam, melilit di pinggangnya.

Prok..prok..prok!
Aku bertepuk tangan ke atas tiga kali. Tak lama dari hutan terdengar gemerusuk seperti banyak kaki menginjak daun kering dan ranting. Dalam gelap hanya terlihat sepasang mata biru makin dekat ke tempat kami berdiri. Rombongan pemburu langsung mengkeret saling himpit. Mereka ada yang memegang kaki pak Bondan, ada yang memeluk tubuh gempalnya, ada yang terkapar setengah pingsan, bahkan terkencing-kencing di celana. Sementara pak Bondan masih kaku berdiri dengan mata membelalak. Mereka tahu yang datang adalah sosok nenek gunung.
“Ampuuun neng, ampuun” suara gemetar salah satu mereka. Macan Kumbang dan Alif berdiri di sampingku. Temenggung juga ikut menjauh dengan menaiki pohon tidak jauh di hadapanku. Melihat tubuh besar hitam pekat Macan Kumbang, membuat mereka bergidik.
“Lihat pak Bondan, apa yang bisa Bapak lakukan dalam situasi seperti ini? Jika harimau kumbang ini hendak membunuh kalian, bukan hal sulit baginya. Sekali terkam habis kalian semua” Ujarku. Tidak ada yang menjawab kecuali gemeletak gigi yang beradu karena takut.

Sambil mengelus-ngelus punggung Macan Kumbang, aku kembali menggertak para pemburu.
“Berapa banyak bangsa cindaku yang kalian ambil, kalian bantai, kalian jual hidup-hidup? Kalian telah memperalat Suku Anak Dalam, Orang Rimba untuk menakhukan cindaku. Kalian telah merusak ekosistem rimba ini” Ujarku lagi. Tidak ada jawaban. Kutatap mereka satu-satu. Ingin sekali aku mencekik mereka satu-satu. Tapi tangan kananku seakan ditarik ke belakang, agar tidak melakukannya.

Bondan dan anak buahnya makin gemetar ketika aku mundur beberapa langkah, lalu aku ubah diriku menjadi harimau putih. Aku melompat lalu menggeram sambil mengais tanah hingga berlubang. Lalu aku dan Macan Kumbang mendekati Bondan dan kawan-kawannya. Sengaja kuendus-endus tubuh mereka. Bahkan Macan Kumbang menjilat wajah mereka satu-satu. Kelimanya pingsan dengan tubuh saling tindih seperti tumpukan manusia, kecuali pak Bondan pingsan sambil berdiri dengan mata terbelalak namun kosong. Air liurnya meleler hingga ke dada. Temenggung yang melihat kejadian di depan mata, semakin tinggi naik pohon. Beliau tidak bisa berkata-kata. Meski dia mengeluarkan mantra-mantra perisai diri tetap saja tidak berpengaruh baik padaku mau pun Macan Kumbang.

Setelah kembali ke asal, aku tidak bisa menahan tawa. Ternyata nyalih mereka tidak sebesar biji padi. Godam Pak Bondan memberontak, berusaha menyerangku. Beberapa pusaka yang ada di dalam tubuhnya bergerak-gerak hendak melawan.
“Jangan bergerak kalian, kalau tidak ingin kubakar” Alif maju mengancam. Makhluk-makhluk astral, godam pak Bondan akhirnya bersembunyi kembali.
“Kalau kalian hendak makan, makanlah Tuan kalian. Karena selama ini, kalian bodoh! Diperbudak oleh Bondan, manusia serakah. Dia kaya raya, kalian hanya diberi kembang, darah, sekadarnya. Tidak ada yang membuat kalian lebih sakti. Ternyata kalian bodoh sekali” Lanjut Alif. Aku senyum-senyum sendiri. Ternyata Alif bisa juga menjadi propokator dengan mengadu domba bangsa tak kasat mata dengan tuannya.
“Tapi pak Bondan selalu memberi kami makan. Tidak pernah terlambat sekali pun” Ujar salah satu makhluk astral itu.
“Itu pak Bondan melakukan itu karena beliau butuh tenaga kalian. Supaya kalian bisa beliau perintah ini dan itu. Selalu menjaganya, bahkan melakukan apa saja demi dia. Padahal kalian sedang diperbudaknya. Kalian bekerja, pak Bondan bahagia menunggu laporan kalian. Iya kan? Pak Bondan duduk-duduk bahagia menikmati jerih payah kalian. Yang hebat itu Pak Bondan, bukan kalian” Lanjut Alif lagi. Mendengar perkataan Alif mata mereka memerah menatap pak Bondan yang masih pingsan.
“Kamilah yang paling hebat. Kamilah yang punya kuasa. Bukan dia” Kata salah satu mereka sambil menunjuk pada Pak Bondan. Lalu dengan cepat dicakarnya kepala Pak Bondan. Yang lain ikut memukul-mukul kepala, jantung, hati, bahkan otak pak Bondan. Pak Bondan mereka siksa beramai-ramai.

Aku membiarkan makhluk peliharaan Pak Bondan menyiksanya. Beliau memang pantas mendapatkannya. Beliau terkenal kaya dan dianggap pengusaha sukses. Padahal beliau adalah maling, berotak licik dan keji. Segala cara beliau lakukan untuk kepentingan dan memperkaya diri.

Aku menatap Temenggung yang masih memeluk dahan di atas pohon.
“Kemarilah Temenggung. Mendekatlah ke mari. Temenggung melihat sendiri bukan jika kami bisa memutarbalikkan godam yang selama ini mengabdi dan menjadi bala tentara Pak Bondan, berbalik menyiksa tuannya. Demikian juga dengan balantentara Temenggung. Bisa kami putarbalikkan. Namun kami tidak hendak melakukannya, Temenggung. Kami menghargai Temenggung sebagai pewaris belantara ini” Ujarku meyakinkan. Temenggung makin merunduk malu. Wajah polosnya makin terlihat. Beliau mirip seperti tikus tercebur minyak. Tubuhnya makin kuncup seperti kedinginan.
“Saya berjanji, tidak akan menjual harga diri kami lagi, Selasih. Kami akan kembali merawat belentara yang tinggal secuil ini. Aku akan menghimpun rakyatku kembali untuk bersama-sama kembali merawatnya” Ujar Temenggung penuh penyesalan.
“Benar Temenggung, ajaklah Suku Anak Dalam, Orang Rimba lainnya yang masih tersebar di Bukit Barisan ini. Terutama di hutan-hutan Kerinci, seputara Bukit Dua Belas, Bukit Seblat, hingga ke hutan lindung bagian Selatan, Utara, Barat gunung Kerinci. Bangkitkan kembali hukum adat yang telah diwariskan oleh leluhur kalian Temenggung. Karena kedekatan dan kekukuhan itu telah banyak membantu kestabilan alam yang kita cintai ini” Lanjutku menyelipkan kembali atas nama leluhurnya. Sebab hanya dengan cara itu aku bisa meyakinkan mereka betapa pentingnya menjaga semesta alam. Dan Orang Rimba umumnya sangat menghormati leluhurnya. Temenggung turun lalu terbungkuk-bungkuk mendekat.

“Jika berkenan, izinkan aku dan rakyatku, berguru denganmu, Dis” Lanjut Temenggung. Mendengar keinginannya aku tertawa. Kedengarannya aneh Orang Rimba mau berguru dengan orang luar. Aku tahu mereka punya ilmu kuno yang aneh dan unik, dasyatnya luar biasa.
“Temenggung, apa yang Temenggung miliki luar biasa. Bukankah orang di luar rimba lebih banyak berguru pada Orang Rimba? Itu karena Temenggung hebat” Ujarku memujinya. Sebab meski sudah tua namun beliau tetap energik dan gagah.
“Tidak Putri Selasih, kami tidak punya ilmu yang bisa membuat orang seperti pohon. Diam di tempat seperti pak Bondan” Ujarnya. Mendengar itu lagi-lagi aku tertawa. Padahal kemampuan mereka melebihi sekadar membuat lawan seperti patung. Dalam sekejab mata, Orang Rimba mampu membuat lawan mati tanpa menyentuhnya. Akhirnya kujelaskan, jika mereka belajar padaku, maka mereka harus siap kehilangan ilmu-ilmu mereka yang bermacam-macam itu. Lalu mereka harus siap pula untuk meninggalkan belantara, hidup bersosialisasi dengan banyak manusia dari luar. Mendengar pernyataanku Temenggung berkerut berat menentukan pilihan.

Ketika kami masih asyik membahas tentang kemampuan dan keinginan Temenggung, tiba-tiba anak buah Pak Bondan ada yang siuman. Wajah cemas dan ketakutan membuatnya terlihat seperti orang setengah gila.
“Ampuuun Neng…ampuuun! Temenggung selamatkan kami. Mati aku. Kami tidak akan mengulanginya lagi. Aku menyesal. Ampuuun” Dia menangis seperti anak kecil. Ada rasa kasihan ada juga rasa ingin tertawa. Ketika ketakutan sudah sampai pada puncaknya, ternyata manusia sedikit rada aneh. Hilang rasa malu bahkan siap menggadaikan harga diri.
“Temenggung, kelima orang ini kuserahkan pada Temenggung. Silakan urus mereka. Kami izin hendak pulang” Ujarku lagi. Mendengar itu Temenggung kaget.
“Biarlah mereka di sini. Aku tidak mau mengurus mereka. Biarlah mereka dimakan beruang hutan, atau digigit babi hutan” Ujarnya menegaskan penyesalannya atau melampiaskan amarah, sulit dirumuskan. Dalam hati aku kasihan juga dengan lima orang ini. Akhirnya, kusadarkan kelimanya. Wajah kuyuh, pucat, seperti tidak dialiri darah membuat mereka nampak sedikit menyeramkan.

Kabut sisi hutan lindung ini makin tebal. Udara dingin makin menggigit. Api unggun para pemburu sudah mati. Akhirnya kami sepakat mereka ditinggalkan di sini saja., Biarlah mereka pulang sendiri setelah siang dan siuman. Sebelum pergi aku pagari mereka terlebih dahulu agar tidak diganggu oleh binatang buas.

Setelah semuanya beres, aku saling tatap dengan Macan Kumbang dan Alif. Keduanya tersenyum. Di samping mereka ada harimau kecil yang pertamakali kujumpai ketika masuk rimba gunung Kerinci beberapa jam yang lalu.
“Dia ingin berkenalan denganmu, Selasih. Namanya Aramba. Salah satu penghuni rimba larangan ini” Macan Kumbang menjelaskan. Aku menatapnya dalam-dalam. Dari awal bersua kami memang sudah saling sapa.
“Sini Aramba, aku Putri Selasih. Jadilah anak yang sehat, jujur, dan perkasa. Kamulah kelak yang bertugas melajutkan keturunananmu dan keamanan hutan ini. Jagalah bangsa kalian agar tetap lestari” Aku memelukknya erat. Serasa dihadapanku saat ini A Fung yang manja, yang selalu minta diperhatikan. Aku bahagia sekali bisa berkenan dengan Aramba.

Ketika aku merenggangkan pelukan, di balik semak belukar ke luar beberapa Orang Rimba laki-laki dan perempuan. Semuanya langsung mendekati Temenggung dan berdiri di belakangnya. Mereka berbincang dalam bahasa yang tidak kupahami.
Aku segera mohon diri pada Temenggung. Dan mengingatkan kembali beliau untuk terus menjadi gardah terdepan hutan lindung di sini. Melihat kami memutar belakang, Temenggung nampak menguaraikan air mata. Aku Alif dan Macan Kumbang, kembali menyilamkan diri, menuju istana Datuk Raden Samangga. Menemui Puyang Pekik Nyaring, Nenek Ceriwis, dan Nyi Ratih yang masih menunggu kami di sana. Ternyata, Aramba ingin ikut kami sampai ke puncak gunung.

Angin peggunungan medesing. Kami menembus halimun yang turun rendah. Aramba nampak sangat bahagia. Wajahnya selalu tersenyum. Anak kecil ini akan tumbuh menjadi nenek gunung yang hebat. Semua terlihat dari raut dan sinar matanya.

Bersambung…

Satu tanggapan untuk “HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (95C)

  • 6 April 2021 pada 18 h 05 min
    Permalink

    Tidak sabar lagi membaca kelanjutannya, upload terus dulurku, semoga banyak pembaca akan sadar penting ny hutan rimba

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *