HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (19)
Langit gelap. Angin yang semula semilir berubah menjadi kencang. Pohon akasia dan asam di seberang jalan menggugurkan daun. Dari kejauhan, rumpun bambu di arah Bedeng Munir nampak menari ke kanan- ke kiri. Seriti hilir mudik sembari berteriak gembira seolah-olah mengabarkan akan turun hujan dan berterimakasih pada semesta.
Beberapa tukang becak berkemas hendak pulang. Berduyun-duyun melintas di depan ruko Bapakku. Sebagian mereka tinggal di rumah-rumah kecil di Bedeng Munir, Simpang Asam dan Gunung Gendang. Angkutan desa biasanya ngetem di simpang empat, hilir ruko Bapakku sudah mulai sepi. Hanya beberapa kendaraan saja masih bertahan menunggu penumpang. Biasanya mobil yang bertahan itu sengaja menunggu penumpang dan sudah berjanji lebih dulu karena memang kendaraan ke kampung mereka waktu dan jumlahnya terbatas.
Aku masih duduk di teras depan lantai dua ruko Bapakku. Gunung Dempu tidak tampak sama sekali. Awan hitam tebal seolah tergesah-gesah di dorong angin ke arah selatan. Dari jauh, atap-atap pedagang di pinggir jalan seperti gelombang turun naik dipermainkan angin. Para pedagang kaki lima itu nampak bergegas, menutup dagangannya lalu pindah seadahnya di teras-teras tokoh di sekitarnya.
Tak berselang lama, aku mendengar suara ramai dari lantai satu. Rupanya keluarga koh Ayung kembali menepati janji datang menemui nenek Kam petang ini. Aku tidak tertarik sama sekali untuk turun. Aku masih asik menikmati angin yang berhembus. Entahlah, aku merasakan sesuatu yang berbeda hembusan angin kali ini.
“Sebentar lagi rumah ini akan ramai didatangi iyiak dari Gunung Talang. Kamu akan jadi mediatornya” Suara Putri Selasih sangat dekat dengan nadiku.
“Hmmm…jangan sok tahu kamu. Aku tidak mau jadi mediator. Mediator untuk apa?” Aku membatin.
“Tidak percaya? Buktikan saja nanti. Hanya kamu yang dapat menolong menjelaskan pada keluarga Ayung itu” Sambungnya. Aku menggeleng.
“Inyiak dari Gunung Talang merasa cocok denganmu. Makanya beliau memilih kamu untuk jadi mediatornya. Kamu nggak akan bisa menolak. Keras kepala sekali si?” Ujarnya mulai berani menyebutku keras kepala.
Spotanitas naluri manusiaku timbul. Aku mulai tersinggung dengan ucapan Putri Selasih. Apa urusannya soal aku mau atau tidak jadi mediator? Toh yang akan dipakai juga fisikku?
“Keluar kau Putri Selasih. Tampakan dirimu!” Ujarku marah. Lama aku menunggu, Putri Selasi tidak muncul di hadapanku. Aku segera duduk membatin. Kucari keberadaan Putri Selasi. Kucoba mengeluarkannya dari tubuhku.
Belum sempat aku mengetahui keberadaanya, dia sudah berdiri di hadapanku. Aku langsung memasang kuda-kuda siap untuk membanting dan memilintirnya. Aku sangat yakin pasti bisa. Apalagi bentuk tubuh kami tidak jauh berbeda. Kami sama kecil dan sama tinggi. Bedanya kulitnya halus putih berambut keemasan dan lembut, sementara aku bekulit sawo mateng dan penampilan tidak terlalu lembut seperti perempuan.
“Apa kau bilang tadi? Kau katakan aku keras kepala? Apa urusanmu Putri Selasih? Mengapa kau berani mengaturku. Aku tidak mau kau atur-atur, tahu?” Tanganku sudah mulai mau bergerak menyerangnya. Kulihat ekspresinya biasa-biasa saja. Tidak ada rasa takut sedikitpun meski aku sudah meradang. Tiba-tiba dia meniupku. Aku merasakan tiupannya bukan tiupan biasa. Tapi kurasakan angin kencang menerpa tubuhku. Aku terdorong dua langkah ke belakang. “Selasih!” Teriakku. Aku heran, bagaimana mungkin hanya dengan meniupku seperti itu Putri Selasih bisa membuatku mundur dua langkah ke belakang. Kekuatan apa yang dimiliki harimau putih ini? Tapi aku tidak habis akal. Kutantang dia agar tidak menggunakan kekuatan batin. Aku menantangnya untuk duel fisik. Putri Selasih hanya tersenyum. Dan senyum itu manis sekali. Tidak sedikit pun aku menemukan aroma kemarahana di rautnya. Dalam hati aku menggerutu. Memangnya terbuat dari apa makhluk satu ini? Mengapa dia tidak bisa marah, terutama padaku?
Rupanya Putri Selasih menerima tantangannku. Kulihat Putri Selasih memasang kuda-kuda setelah sebelumnya menyampaikan gerakan salam dan hormat padaku. Aku bingung membalasnya. Tak lama aku melihat tubuhnya meliuk-liuk lincah mirip seperti orang menari. Lalu berubah menjadi gerakan seperti harimau yang hendak menerkam. Setiap gerakannya kurasakan desing angin pertanda tenaga yang dimilikinya maha dasyat. Sangat sempurna!
“Hei! Kamu belajar kuntau darimana?” Tanyaku kagum. Emosiku tiba-tiba reda. Aku terpana pada tiap gerakkan yang dilakukannya. Indah namun mematikan.
“Lawan dulu aku, bukankah tadi kamu menantangku?” Ujarnya masih dengan nada biasa. Aku terkaget. Kalau tadi aku yang serius ingin menghajarnya, berubah menjadi kagum dan ingin menikmati keindahan gerakannya.
“Kenapa? Takut?” Ujarnya sedikit menekan. Mendengar ini harga diriku kembali bangkit. Aku melompat memasang kuda-kuda kembali. Satu gerakan aku sudah berhadapan dengan Putri Selasih. Aku mengkombinasikan berbagai macam jurus kung fu yang diajarkan guruku. Meski aku sudah berusaha mengumpulkan tenaga pada setiap pusat hantaman tapi selalu gagal.
Emosi untuk melumpuhkannya membuatku sangat lelah. Ternyata aku kalah gesit. Putri Selasih lebih lincah dan cepat. Aku tahu setiap gerakannya mengunci dan mematikan. Tapi hal itu tidak dilakukannya padaku. Setiap hantaman tangan dan sapuan kakiku mampu dia hindari dengan cepat. Beberapa kali aku hendak menotok punggungnya agar tangannya tidak bisa bergerak karena nyilu, selalu gagal. Justru lenganku ditangkapnya.
Semestinya dia bisa membanting dan mengunciku tapi tidak dilakukannya. Suara kakiku yang bergerak berdentam-dentam menghantam lantai. Sementara putri Selasih bergerak seperti kapas. Setiap hantaman kakinya tidak mengeluarkan suara sedikitpun.
Dalam hati aku mengakui Putri Selasih memiliki ilmu peringan tubuh yang sempurna. Aku naik ke atas kursi, aku siap-siap melakukan gerakan serangan kembali. Kutingkatkan kewaspadaan. Aku bermaksud memberikan gerakan tipuan agar sikuku bisa menyikut perutnya lalu menyapu kakinya agar dia terguling.
“Hiiiiaaaaat” Aku mengerahkan seluruh kekuatan. Kali ini dengan lincah kembali Putri Selasih menghindar. Setiap serangan yang kulakukan selalu melawan angin. Tubuhnya seperti belut, licin sekali. Aku merasakan nafasku sudah terengah-engah. Peluh sudah bercucuran. Sementara Putri Selasih masih biasa-biasa saja. Justru semakin anggun dengan gaun putih pendeknya.
Dalam hati aku menggerutu. Gerakan kami terhenti ketika kami mendengar tepukan tangan dari sudut rumah. Kami serentak menoleh. Ternyata Macan Kumbang tersenyum lebar menatap kami berdua. Kali ini aku melihatnya dalam bentuk manusia. “Sudah? Senang sekali sore-sore melihat permainan yang indah kalian berdua” Katanya sambil menghampiri kami berdua. Aku masih berusaha mengendalikan nafasku yang masih terengah-engah. Peluh yang mengucur kuhapus dengan punggung lengan. Murni aku menggunakan tenaga asliku. Tidak ada kekuatan-kekuatan lainnya. Kulihat Putri Selasih tak setetes peluh mengucur dari tubuhnya. Apalagi nafasnya masih seperti biasa.
“Aku ingin belajar kuntau kayak Putri Selasih”, ujarku bergelayut di lengan Macan Kumbang. Kulihat keduanya tersenyum. Mataku masih menatap kagum pada Putri Selasih. Masih kecil tapi dia sudah menguasai kuntau dengan sempurna. “Tanpa kau minta nanti juga kau akan tahu sendiri” Balas Macan Kumbang.
Aku tidak paham maksud perkataan macan kumbang. Bagaimana caranya aku akan bisa sementara aku tidak pernah mempelajarinya? Aku jadi teringat dengan Bakwo Senamim sepupu Bapakku. Setahuku beliau ahli kuntau. Aku ingin belajar pada beliau.
Belum sempat aku berpikir lebih lanjut tentang Bakwo Senamin, mang Sam naik memanggilku menyuruh aku ke bawah. Katanya dipanggil nenek Kam. Putri Selasih bertatapan dengan Macan Kumbang seakan-akan keduanya sudah tahu mengapa aku dipanggil. Aku menatap keduanya.
“Kamu melihat apa, Dek?” Tanya mang Sam. Ah, aku lupa kalau beliau tidak melihat sosok Macan Kumbang dan Putri Selasih. Aku hanya menggeleng. “Ayo, Mamang gendong” Mang Sam langsung mengangkat tubuhku dan memboyongku turun tangga ke lantai satu. Tubuhnya yang tinggi berotot, tampaknya ringan sekali membopong tubuh kecilku. Aku bahagia saja digendong anak buah Bapakku yang satu ini.
Sampai di bawah aku melihat nenek Kam duduk melingkar bersama keluarga Koh Ayung. Macan Kumbang berdiri di belakangku. Aku mencari-cari Putri Selasih. Kemana gadis cantik itu? Aku membatin. Tiba-tiba aku melihat tujuh orang berpakaian hitam seperti pendekar. Mereka berdiri berbaris. Wajah mereka tegas-tegas dengan mata sedikit cekung dan dalam. Kaki mereka tampak kekar dan betisnya berotot. Tangan mereka juga, kekar-kekar. Mereka serentak memberi hormat pada Nenek Kam. Nenek Kam menyambut mereka dengan ramah.
Aku melihat ada dua sosok nenek Kam. Satu masih asyik ngobrol dengan para tamu. Satu lagi menyambut tujuh pendekar inyiak dari Gunung Talang. Aku terbengong-bengong melihat dua nenek Kam. Dalam hati aku bertanya yang mana nenek Kam asli dan yang mana yang bukan? Aku kagum melihat pemandangan seperti ini, bisa melihat dua sosok nenek Kam sekaligus.
Beliau sangat hebat di mataku. Di sisi lain, aku sering bingung mengapa nenek Kam bisa seperti ini? Mereka ngobrol juga seperti di dunia nyata. Ada dua nenek Kam ngobrol di dua alam yang berbeda dalam waktu bersamaan? Aneh! Tapi aku suka.
Aku juga melihat Macan Kumbang menyambut ramah ke tujuh pendekar itu. Nampaknya mereka sudah saling kenal satu sama lain. Mereka juga terlibat obrolan yang sangat akrab sekali. Lalu pendekar berbaju hitam itu mereka silakan duduk. Mereka duduk tertib di antara para tetamu. Tak ada gerakan dan gejala para tetamu meyadari jika di antara mereka ada orang lain tak kasat mata.
Nenek Kam ke dua tersenyum padaku. Tiba-tiba, aku merasakan tubuhku seperti melesat tanpa mampu kuhalangi. Aku seperti berada di alam lain yang semuanya sangat ringan. Aku melihat-lihat fisikku. Mengapa aku pun menjadi dua? Di sana ada aku yang sedang duduk di pangkuan mang Sam yang sedang memperhatikan obrolan seputar koh Ayung. Nenek Kam menyuruhku sujud pada tujuh pendekar inyiak dari Gunung Talang. Aku pun menyalami mereka sembari mencium punggung tangannya masing-masing.
Mereka tersenyum ramah padaku. Beberapa orang mengelus-elus kepalaku. Lalu aku mendengar nenek Kam terlibat obrolan dalam bahasa yang tidak kupahami. Mataku menyapu semua ruangan. Aku berharap ada Putri Selasih di sisiku seperti biasanya, lalu membantuku menerjemahkan obrolan mereka.
“Aku ada di dalam dirimu. Nanti juga kamu tahu sendiri apa yang mereka bicarakan” Aku sedikit terkaget. Ternyata Putri Selasih sangat dekat denganku. Kulihat nenek Kam menggerakan tangannya lalu mengarah padaku yang masih berdiri. Tak lama berselang, tubuhku terlonjak kembali menjadi satu.
Tanpa dapat kucegah, satu di antara ketujuh pendekar itu seperti tersedot, ikut juga menyatu dalam tubuhku. Aku merasakan semua urat nadiku menegang. Lalu nenek Kam mengusap seluruh tubuhku. Ajaib, semua terasa ringan. Aku merasakan ada tiga bayangan tubuhku. Satu aku yang asli, satu lagi ada bayangan Putri Selasih, satu lagi bayangan salah satu pendekar inyiak dari Gunung Talang. Bayanganku berdiri paling depan. Lalu inyiak gunung talang, baru Putri Selasih. Aku seolah-olah diperintah duduk bersila. Serentak aku bersama tiga bayangan di tubuhku duduk bersila.
“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Selamat datang Pandeka dari Gunung Talang. Aku mohon maaf sudah mengundang Pandeka datang kemari.” Nenek Kam memulai pembicaraan.
“Waalaikum salam WarahmatullahiWabarakatuh, terimakasih nenek Relingin sudah berkenan mengundang kami kemari. Kenalkan saya Pandeka Kumbang dari Gunung Talang” Ujar inyiak dari Gunung Talang menyebut nama nenek Kam. Lalu kembali Nenek Kam berbicara menyampaikan maksud dan keinginananya mengapa dia memanggil Pandeka Kumbang dari Gunung Talang tersebut. Nenek Kam sampaikan jika yang hadir di tengah-tengah kita ini adalah golongan manusia keluarga besar Ayung, keturunan cina yang ditahan di Gunung Talang.
“Baik, Nenek Relingin. Saya akan sampaikan pesan junjugan kami pada keluarga besar Ayung yang telah kami tangkap dua hari lalu. Sebelumnya kami mohon maaf pada keluarga Ayung. Jika bukan karena kesalahan besar, golongan kami tidak akan menangkap golongan manusia lalu membawanya ke alam kami. Kami sangat paham dengan perasaan kalian” Ujar Pandekar Kumbang pada tetamu yang datang. Aku merasakan yang keluar dari mulutku bukan suaraku. Tapi suara Pandeka Kumbang, berat dan sedikit berirama. Lidah minangnya sangat ketal meski berbicara dalam bahasa Indonesia.
“Apa yang dilakukan oleh Ayung, belum setimpal dengan kejahatan yang telah dilakukannya. Tidak cukup diganti dengan selembar nyawa Ayung saja. Perbuatan keji yang telah dia lakukan sulit sekali untuk dimaafkan.” Ujar Pandekar Kumbang lagi.
“Lalu, bagaimana kira-kira yang harus kami lakukan datuk, agar suamiku bisa kembali lagi?” Ujar istri Ayung.
“Kamu istri yang baik, tegar dan sopan. Hatimu bersih. Aku bisa membacanya dari sini. Sangat jauh sekali sifatmu dengan Ayung yang kerap sesumbar karena merasa paling hebat dan kaya. Ayung sangat sombong, selalu menepuk dada mengatakan dirinya hebat, kuat, berani, dan gagah. Dia sudah beberapa kali memperjualbelikan harimau hingga ke Jakarta. Terakhir, dia tidak hanya memperjualbelikan anak panglima kami, namun juga memakan dagingnya. Kalian tahu, diantara harimau yang dia bunuh itu adalah jelmaan anak panglima kami.” Ujar Pendekar Kumbang kembali.
“Di alam kami, kematian golongan kami disebabkan oleh manusia maka akan kami tuntut. Nyawa harus dibalas dengan nyawa. Besarnya kesalahan Ayung, membuat Panglima marah, beliau minta Ayung bulat-bulat. Kesimpulannya, apapun yang kalian minta dan lakukan, kami tidak akan meloloskannya. Ayung tidak akan pernah kami kembalikan” Lanjut Pendekar Kumbang. Nada bicaranya tegas dan bernas. Lalu beliau minta istri Ayung duduk persis di hadapanku.
Aku merasakan tanganku mengusap wajah isteri Ayung setelah sebelumnya disuruh diam dan memejamkan mata.
“Silakan jika kau hendak melihat suamimu yang terakhir” Ujar Pendekar Kumbang. Tak lama berselang istri Ayung menangis histeris. Dia melihat suaminya di dalam kerangkeng yang dijaga oleh beberapa orang berwajah bengis. Fisik suaminya sangatlah menderita sekali. Kumel dan tidak terurus. Di sampingnya ada beberapa orang yang fisiknya sama seperti Ayung, dalam keadaan terikat. Demi melihat istrinya, Ayung menangis tesedu-sedu minta tolong. Namun jangankan memegang, mendekat saja istri Ayung tak bisa. Meski dalam hatinya sangat ingin ia memeluk suaminya untuk yang terakhir kalinya.
“Aching, maafkan aku. Aku telah melakukan kesalahan besar. Sampaikan salamku pada keluarga besar kita. Jaga anak kita baik-baik” Ujar Ayung dengan mata berair. Suaranya sangat lemah. Istrinya semakin tersedan. Jiwanya serasa hilang demi melihat suaminya dalam keadaan terikat. Sementara penjaga yang berada di sekitarnya tak satupun menampakan wajah simpati. Pandangan mereka tajam dan bengis. Salah satu mereka mendakati Aching, lalu memintanya pergi karena waktunya sudah habis.
Tangisan istri Ayung semakin jadi. Tiba-tiba suaminya hilang dalam pandangannya. Aching tidak dapat membendung perasaaannya. Bagaimanapun dia sangat menyayangi suaminya, bapak dari anak-anaknya. Suara menyayat tangisan istri Ayung memancing yang lain ikut menitikan air mata. Beberapa kali dia menyebut Kokoh Ayung. Beberapa orang memegang tubuhnya yang bergoncang. Semua terdiam. Membiarkan Aching menagis sepuasnya.
Di belakang Bapak Ayung menunduk kuyuh. Kali ini dia tidak banyak berbicara. Dalam hati pahamlah dia, bahwa Ayung tidak akan kembali. Sepertinya tidak ada istilah damai dan kata maaf bagi Ayung.
“Nah, Aching kamu sudah melihat sediri kondisi suamimu bukan? Bangsa kami bukan tidak memiliki rasa kasihan dan enggan memaafkan kesalahan golongan manusia. Memaafkan itu mudah. Namun hukum di alam kami pun tolong dihargai. Kami juga punya adat istiadat, kami juga punya aturan hukum yang harus kami tegakkan. Sama dengan kehidupan manusia. Jadi saya hadir di tengah-tengah ini untuk menyampaikan hal inilah. Ikhlaskan saja Ayung, biarkan dia menerima hasil perbuatannya. Selanjutnya kalian tidak akan pernah bisa bertemu dengan Ayung kembali. Jika tidak ada lagi yang ingin disampaikan, saya mohon diri” Ujarnya lagi.
Suasana hening diwarnai isak tangis tetamu. Mendengar Ayung tidak akan pernah kembali membuat semua menjadi sedih. Tidak bisa tidak mereka harus menerima kondisi ini.
“Baiklah Pandeka Kumbang. Terimakasih sudah berkenan datang dan menjelaskan kepada keluarga Ayung. Semoga penjelasan Pandeka bisa mereka terima dengan lapang dada. Sekali lagi maafkan kelancangan kami. Sampaikan salam hormat kami pada Panglima Gunung Talang” Ujar nenek Kam.
“Sama-sama Relingin, kami akan kembali pulang ke Gunung Talang dan sebagian lagi ke gugusan Bukit Barisan malam ini. Tugas kami sudah selesai. Kami berharap peristiwa ini jangan terulang lagi. Cukuplah ini yang pertama dan terakhir. Semoga kita sama-sama bisa menjaga diri agar tidak terjadi gesekan. Terimakasih Relingin. Datanglah sesekali ke Gunung Talang. Kami tunggu. Akan kuperkenalkan kamu dengan Panglima Gunung Talang. Beliau tentu akan sangat senang bersua denganmu. Saya mohon izin, sekali lagi saya ucapkan terimakasih. Assaalamuaalikum Warahmatullahi Wabarakatuh” Pandeka Kumbang menyalami dan mencium tangan Nenek Kam dengan takzim.
Tak lama aku melihat Pandeka Kumbang keluar dari tubuhku. Saat ini beliau berdiri persis di hadaanku. Beliau tatap mataku dengan lembut. Senyumnya sangat menyejukan. Tak lama beliau mendekatiku lalu meniup ubun-ubunku lembut sekali. Aku merasakan ada hawa dingin mengalir ke seluruh tubuhku. Semula kau merasakan panas dan berkeringat, kali ini terasa sebaliknya dingin dan sejuk.
“Jaga dirimu baik-baik Putri Selasih. Semoga engkau tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan cinta sesama” Ujarnya. Dalam hati aku protes, mengapa beliau menyebut Putri Selasih saja? Bukan menyebut namaku? Rupanya Pendeka Kumbang sepertinya paham. Beliau tersenyum lalu berkata bukankah kalian adalah satu. Kambali kepalaku dielus-elusnya.
Tak lama berselang tujuh pendekar itu bangkit lalu berpamitan dengan nenek Kam ke dua, mereka bersalam-salaman. Demikian juga macan kumbang. Aku melihat ada tujuh kuda berwarna coklat tua sudah menunggu di luar. Ke tujuh pendekar itu melompat di atas punggung kuda-kuda mereka. Tak lama berselang aku mendengar derap kaki kuda semakin lama semakin menjauh.
Wajahku terasa dingin. Aku membuka mata. Ternyata Nenek Kam membasuh wajahku dengan secangkir air putih. Lalu meminumiku. Aku tersenyum memandang beliau. Yang kulihat dalah fisik Nenek Kam yang asli. Sementara Nenek Kam satu lagi kulihat melebur pada dirinya. Suara isak tangis masih terdengar. Aku memandang sedih pada tetamu yang mengusap mata. Tak lama mereka pun berpamitan pulang masih dalam keadaan menagis. Mereka hanya mengaguk-angguk ketika dinasehati oleh Bapakku untuk tetap sabar.
Di luar hujan mulai turun. Para tetamu berlari-lari kecil menuju kendaraan mereka yang diparkir. Gundang Bapakku kembali sepi. Hanya Mang Sam dibantu beberapa orang saja yang nampak sibuk merapikan karung kopi yang berserak. Bapak memandangku sambil tersenyum.
“Ini Dedek Erus, apa Pandeka Kumbang. Kalau Pandeka Kumbang, silakan pulang ke Gunung Talang” Bapak menggodaku. Aku ikutan tertawa sembari mengejar Bapakku yang berlari menyusul nenek Kam ke dalam. Kutepuk-tepuk belakang Bapakku dengan gemas
Bersambung…