HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT II (36)
Berkali-kali aku menepis rasa geli hidungku, beberapa kali ditepis masih juga terasa geli. Ingin membuka mata melihat apa gerangan yang mengganggu, tapi terasa sangat berat. Akhirnya aku berbalik badan. Menghadap ke dinding. Uf! Wajahku terbenam di bulu-bulu. Seluruh wajahku terasa geli. Aku kaget dan segera mundur. Ternyata Macan Kumbang tidur melingkar dekat kepalaku. Kutepuk perutnya hingga mengeluarkan suara berdebuk. Disambutnya dengan tawa. “Hei…salah siapa? Siapa suruh mencium perutku wewww!” Ejeknya. Sekali lagi tanganku melayang ke perutnya. Kali ini lebih keras dari tadi. “Aku masih ngantuk tahu!” Teriakku berbalik hendak membelakangi perutnya. Dan ah! Lagi-lagi hidungku membentur kaki depannya. Macam Kumbang makin jadi tertawa. “Ambil kelapa segera parut, Jangan dicungkil pakai kuku, Dari pada mencium perut, Lebih sedap cium kakiku” Kumbang berpantun.
Dalam hati aku kagum juga dengan makhluk satu ini. Ternyata manusia harimau bisa juga berpantun. “Kumbang, ayo dong wujud manusia saja” pintaku sambil mendorong kakinya Rupanya bulu kakinya sengaja digesek-gesekannya ke hidungku. Busyet! “Tidak Selasih, dilarang. Tidak boleh keseringan wujud manusia. Kecuali dalam situasi tertentu. Jika di Ulu. Maka akan saya lepas jubah dan jadi manusia sepertimu. Tapi di demensi yang berbeda.” Ujarnya. Benar, ketika aku ikut nek Kam ke gunung Dempu aku melihat banyak jubah tergantung di dinding. Setiap orang punya jubah. Jubah-jubah itulah yang mereka pakai untuk ke alam manusia, lalu mengubah fisiknya menjadi nenek gunung.
Akhirnya aku menaikkan kepala berbantal kaki Macan Kumbang. Al hasil dia tidak bisa bergerak. Sengaja kuberatkan tubuhku. “Selasih balas dendam ya” godanya lagi. Aku diam saja, berusaha kembali tidur. Kupejamkan mata. Belum berhasil tidur kembali, suara nek Kam dari garang belakang memanggil-manggil. Rupanya mendengar aku ribut-ribut bersama Kumbang, dikira nek Kam aku sudah bangun. Nek Kam menyuruhku mengambil puntung di salangan bawah pondok. Aku mengiyakan. Lalu berbisik dengan Macan Kumbang agar dia saja mengambil kayu di bawah pondok. “Yang di suruh siapa? Kok malah nyuruh?” Ujarnya cuek. Aku bangun juga sambil bertanya ke nek Kam butuh berapa banyak.
Aku turun dari pondok sembari menahan gigil. Udara di luar pondok memang sangat dingin. Meski aku sudah beberapa hari di sini masih belum dapat menyesuaikan diri. Masih kedinginan. “Salurkan hawa panas kan bisa untuk melawan dingin. Tapi kamu malas dan sok kuat sih” Selasih mulai memancing keributan. Akhirnya aku memilih diam dan terus menahan dingin sebagai manusia biasa. Kuambil beberapa puntung, lalu menjulurkannya ke atas garang beberapa kali. Setelah kurasakan cukup aku naik kembali, berniat membawa puntungnya ke dapur. Alangkah terkejutnya aku, ketika hendak menyusun puntung di sudut dapur, ternyata di sana banyak puntung yang tersusun. Dalam hati bertanya untuk apa nek Kam butuh kayu sebanyak ini kalau sekadar untuk berdiang atau menjerang air untuk membuat kopi? Akhirnya kususun juga. “Banyak sekali, Dek?” Tanya nek Kam. Kujawab aku tidak tahu, tiba-tiba puntung ini sudah disusun di sini. Nek Kam tersenyum. Tapi senyumnya kulihat ganjil. Aku mencoba mencernanya. Aku terkejut! Ternyata di hadapanku bukan nek Kam. Tapi nenek Ceriwis yang mengubah diri menjadi nek Kam! Aku celingukan mencari nek Kam yang asli. Aku sudah tidak dapat dibohongi. Aroma nenek Gunung ada pada sosok nenek Kam palsu ini.
“Sudahlah, nenek tahu perasaanmu. Kamu heran melihat nenekmu berubah bukan? Kamu mencari nek Kam, bukan?” Katanya sambil ikut merapikan puntung yang baru kuambil. Aku menatap nenek Ceriwis dengan tatapan galau. Meski aku tahu sebenarnya adik gaib nenek Kam satu ini baik juga. Yang tidak kusuka dia pemarah, terus suka mencubit. “Iya, nenek Kam dimana?” Ujarku ragu. “Eiiii ngg sopan. Kamu belum cium tangan Nenek. Kan sudah lama tidak bertemu” ujarnya. Aku langsung menyongsongnya, mencium punggung tangannya. Benar saja, pipiku langsung dicubitnya kuat sekali. Terasa perih. Bisa dipastikan merah. Kuusap-usap sambil tersenyum semanis-manisnya. Lalu aku berlari mendekati macan kumbang, naik ke atas punggungnya, memeluknya. Kali ini gantian, Macam Kumbang yang kuganggu. Dia tidak boleh tidur lagi.
“Sakit ya…” Bisik Macan Kumbang. Aku hanya mengangguk pelan. Masih memeluknya dari belakang. Macan Kumbang tertawa kecil. Dalam hati aku ikut menggerutu. Tak ada yang perlu ditertawakan kalau kena cubit. Sakit! “Halah segitu aja sakit. Mau nangis…kecillah! Wong ular ganas saja kamu lawan. Mosok karena cubitan saja dah ngambek? Memalukan, Putri Selasih manusia damai, cengeng'” Ujar Macan Kumbang sedikit menantang. Aku makin erat memeluknya. Tahu banget makhluk satu ini jika aku galau. “Aku ingin pulang ke tempat Ibu” Bisikku. Macan Kumbang langsung berbalik badan membuat aku terjerembab ke samping. “Belum boleh pulang. Belum disuruh nek Kam. Bukankah malam nanti kamu akan ke perbatasan lampung? Ada tiga dukun harimau yang harus kamu hadapi” Kata Macan Kumbang. “Mengapa harus aku? Mengapa bukan nek Kam saja. Atau nenek gunung yang sakti-sakti itu kan banyak” Ujarku. Macan Kumbang menggeleng. Menurutnya meski rata-rata nenek gunung itu memiliki ilmu dan kemampuan tinggi, untuk masuk ke alam manusia tetap harus pakai perantara manusia. Manusia yang mampu berinteraksi dengan bangsa kami inilah kita sebut manusia damai. Mereka adalah manusia pilihan. Salah satunya adalah nenek Kam.” Sambungnya. “Terus mengapa bukan nek Kam ke perbatasan?” Ulangku. “Dedek Erus, dirimu sudah dipersiapkan sejak lahir bersama Putri Selasih. Kalian titisan tiga leluhurmu; Nenek Kam, Nenek Bakek, dan Nenek Putri Suria. Di darahmu mengalir darah kerajaan kecil Pekik Nyaring. Kerajaan yang berada di lereng gunung Merapi yang terletak di sisi gunung Dempo” Sambung Macan Kumbang.
Mendengar penjelasan Macan Kumbang aku hanya diam. Ini bukan kali pertama aku mendengar perihal disebut-sebut keturunan kerajaan Pekik Nyaring. Sudah sangat sering. Tapi bagaimana asal usulnya aku bisa keturunan kerajaan kecil itu aku tidak tahu. Sampai sekarang belum ada yang menjelaskan siapa nama rajanya, keturunan keberapa aku. Lama aku berpikir. Buntu! “Alah tidak penting juga tahu keturunan keberapa. Yang penting kamu tahu kalau kamu itu keturunan raja dan dicintai oleh orang uluan, sudah!” Tiba-tiba nenek Ceriwis sudah duduk di dekat kami berdua. Aku bungkam seketika. Dan kembali berbisik menanyakan kemana Nek Kam. Melihat Macam Kumbang menggeleng, akhirnya aku kembali menelungkup di badannya. “Sini, duduk!” nenek Ceriwis menarik tanganku. Aku bangun agak malas. Mau menolak tidak enak. Akhirnya aku bangun dan duduk di hadapannya. Baru saja aku duduk, nenek Ceriwis langsung meletakkan tangannya ke dadaku. Aku sedikit terdorong. Untung terhalang tubuh Macan Kumbang. Aku memilih pasrah tidak berani menolak. Aku ingin tahu apa yang dilakukan nenekku satu ini.
“Pusatkan pikiranmu pada energi yang nenek berikan. Kumpulkan dalam benakmu, Lalu sebarkan ke seluruh tubuhmu sampai ujung kaki dan rambutmu” Bisik nenek Ceriwis. Aku kembali mematuhi petunjuknya. Kulakukan segera mengumpulkan energi yang beliau salurkan. Aku melihat seperti ada angin yang mendesing disalurkan nenek Ceriwis satu tangan ke dadaku, satu lagi melalui tangan kananku. Aku mulai membuat energi yang beliau berikan menjadi bulat. Ketika kuanggap semua sudah terkumpul, kusalurkan ke seluruh tubuh. Pelan-pelan energi yang bulat itu menyebar menyusup ke semua tubuhku. Nenek Ceriwis membantu meratakannya. Udara dingin pebukitan ini tidak terasa lagi olehku. Hawa hangat energi yang diberikan nenek Ceriwis turut mengubah suhu tubuhku. Setelah dianggap cukup, nenek Ceriwis menarik tangannya. Aku merasakan seperti ada tali yang terputus ketika tangannya lepas. Aku masih memejamkan mata menikmati rasa hangat yang mengalir di tubuhku. Nenek Ceriwis menangkupkan ke dua tangannya ke dada. Lalu melalui batinnya menyuruhku membuka mulut. Aku pun melakukannya. Tak lama berselang, aku merasakan ada lagi energi mengalir dan berkumpul di lidahku. Seketika aku merasakan lidahku kaku dan tebal. Sekali lagi aku pasrah. Aku tidak berani menolak energi yang diberikan. Setelah dianggapnya cukup, tiba-tiba tangan nenek Ceriwis mencakar tanganku. Aku kaget seketika. Cakarannya sangat dalam. Tanganku berdarah. Aku merasakan perih sangat. Dengan cepat kukumpulkan energi untuk menghalangi rasa sakit. Lalu tangan kananku kuletakkan di atas tangan yang luka, entah darimana asalnya, lidahku mengucapkan mantra, dua kekuatan cahaya biru dari kakek Andun, lalu energi dari nenek Ceriwis, dikumpulkan jadi satu di dalam mantra-mantra penyembuh. Dalam sekejap, luka di tanganku hilang. Kulitku kembali seperti semula. Tidak ada sedikitpun bekas luka.
“Bagus!!! Anak cerdas. Tanpa diajari lagi paham apa yang harus dilakukan. Wajar kalau dirimu jadi pilihan, Cucuku!” Ujar nenek Ceriwis dengan nada puas. Beliau mencium keningku. Mendengar itu, hilanglah prasangka dan tidak simpati pada beliau. Hatiku lega. “Siap-siap Selasih. Sebentar lagi akan ada yang datang” Ujar nenek Ceriwis. “Siapa Nek?”. Ujarku penasaran. “Tunggu saja, nanti juga kamu tahu” Ujarnya. Apakah ada kaitannya dengan tugasku nanti malam? Katanya aku akan diajak ke perbatasan. Aku tidak pernah melihat seperti apa dukun -dukun yang dimaksud kakek Adil. Yang membuatku penasaran adalah mengapa para setue itu bisa tunduk dan patuh. Ini yang harus kupecahkan. Bagiku ini adalah tantangan. Pasti mereka orang-orang hebat yang memiliki kemampuan luar biasa. Sambil berpikir aku berusaha mencari keberadaan nenek Kam. Ternyata nenek Kam ada di puncak Dempu bersama keluarga besarnya di Uluan. Mereka tengah berbincang-bincang. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku tidak mau berlama-lama. Mereka pasti tahu kehadiranku. Aku membelok ke ibu. Ternyata ibu ada di dusun, di rumah panggung kami yang panjang. Semua jendela delapan kamar dibukanya. Belum lagi berende kace dan ruang tengah. Dusun Singepure nampak sepi. Hanya rumah ibu saja yang terbuka. Selebihnya tertutup semua. Ibu tengah membongkar tikar purun, lalu menjemurnya. Berbulan-bulan rumah panggung ini kosong tidak di tunggu, membuat semuanya seperti lembab. Ingin sekali sebenarnya menyapa ibu. Tapi aku sadar ibu tidak bisa melihatku. Kalau aku bersuara, nanti ibu ketakutan. Akhirnya aku hanya melihat ibu yang sibuk sendiri tanpa bisa membantu.
Selanjutnya aku mencari Kakek Haji Majani dan kakek Haji Yasir. Baru empat hari mereka kutinggalkan rasanya sudah bertahun-tahun. Janji hanya dua malam, jadi lebih target. Oh! Dua kakekku tengah bercengkrama. Mereka tengah minum kopi dan menghadapi sepiring serabi tepak. Asyik sekali sambil tertawa. Sesekali kakek Haji Yasir mengambil bakau yang disusunya rapi dalam kupak, dilintingnya bakau dengan paper khusus sampai runcing lalu menyalahkan pemantik. Diisapnya. Asap mengepul pelan. Lalu menari ke udara. Sebenarnya aku ingin sekali memeluk mereka berdua. Tapi akhirnya sekali lagi aku sadar mereka tidak bisa melihatku. Sejenak aku duduk memerhatikan mereka berdua. Memandang dua cangkir kopi hangat di hadapan mereka masing-masing. Ingin sekali ikut nimbrung menyeruput kopi kakek haji Majani atau punya kakek Haji Yasir. Tapi apa yang akan terjadi seandainya mereka tiba-tiba melihat cangkirnya terangkat sendiri. Apa tidak akan membuat dua kakekku jantungan? Ah! Aku sayang mereka. Biarlah, dapat melihatnya seperti ini saja aku sudah bahagia. “Pulang Selasih…Jangan jauh-jauh” Bisik nenek Ceriwis. Aku kaget! Aku segera bangkit dan membuka mata. Kulihat Macan Kumbang dan Nenek Ceriwis duduk sejajar seakan sedang menunggu kedatangan tamu khusus. Aku mengatur posisi duduk diam agak jauh seberang mereka.
Matahari belum juga muncul meski waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Langit gelap. Bumi redup. Pelan-pelan aku merasakan angin berdesir dingin. Semula aku duduk sipuh biasa tiba-tiba berubah sendiri menjadi bersila. Di belakangku ada beberapa orang sedang salat duha. Entah darimana datangnya. Tiba-tiba mereka ada. Apakah mereka tamu yang dimaksud nenek Ceriwis, aku tidak tahu. Aroma harum yang keluar dari setiap gerakan salatnya membuatku merinding. Luar biasa. Setiap gerakannya ada energi dasyat yang disebut dengan patrap salat. Aku menegakkan tubuh ikut menikmati energi gerakannya. Dari sini saja dapat kunilai jika yang salat di belakangku memiliki tingkat sadar Allah yang maha tinggi. Mereka mirip seperti sufi yang memiliki kepasrahan tingkat tinggi. Kagumku makin menjadi, aura yang muncul dari energinya membuat semua makhluk di sekitarku serentak berzikir dengan suara yang teratur. Jika sebelumnya aku hanya mendengarnya seperti desis, tapi kali ini seperti dipandu, kompak dan syahdu. Tubuhku ikut bergetar bahkan terlonjak.
“Tarik nafas pelan..ucapkan Huu…lalu keluarkan sembari mengucapkan Allah…”Suara gaib membimbingku. Aku tidak tahu darimana asalnya. Benakku tak mampu lagi berpikir untuk menyusuri asal suara. Nuansa ghaib yang menaungi sekitar pondok nek Kam membawaku ke alam yang sulit untuk kuungkapkan. “Huu…Allah, Huu Allah.., Huu Allah…..” Pohon, tanah, batu, angin, daun kering, ranting, serangga, serentak turut berzikir. Aku mencobat meyamakan diri sesuai suara yang membisikiku tadi. Ada gelombang cahaya biru, putih, kuning, ungu seperti payung menaungi semesta alam. Seperti masuk ke alam lain, aku menitikkan air mata saking harunya. Sekadar berzikir saja aku merasakan luar biasa dasyatnya. Apalagi jika aku masuk ke wilayah sosok yang tengah salat di belakangku itu. Tak sanggup rasanya.
Tak lama berselang, alam kembali hening. Suara zikir berubah menjadi desis yang pelan sekali. Dalam sedikit hening, aku mendengar derap langkah dari jauh semakin mendekat ke pondok nek Kam. Aku makin menajamkan pendengaranku. Benar derap kaki banyak sekali. Tapi derap kaki apa? Aku terbayang derap kaki nenek gunung waktu bersama kakek Haji Yasir ketika kami hendak pulang dari kebun kopi di kaki gunung Dempu beberapa tahun lalu. Debu jalan batu mengepul akibat kira-kira sembilan nenek gunung berlari. Herannya, kakek Haji Yasir tidak mendengar, apalagi melihat rombongan nenek gunung ketika itu. Jantungku berdegup mendengar langkah yang ramai yang kian dekat itu. Entahlah, kali ini aku tidak bisa melihat secara batin kehadiran mereka. Aku seperti melihat selimut tipis menutupi pasukan yang baru datang. Energinya luar biasa seakan mendorong kadang menyedot tubuhku. Kulihat nenek Ceriwis dan Macan Kumbang sepertinya orang yang sedang khusuk semedi. Diam dengan mata terpejam. Samar-samar aku melihat beliau berdua Tengah menyambut yang baru datang. Masya Allah..baru aku terkejut. Kabut tipis yang menyelimuti para tetamu pelan-pelan terbuka. Aku melihat sosok lelaki agung yang sangat karismatik. Siapakah dia? Di belakangnya berdiri delapan nenek gunung yang gagah-gagah. Merekalah yang mengawal beliau.
“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” Beliau mengangkat tangan. Belum sempat dijawab, di belakang beliau hadir nek Kam, kakek Andun, Kakek Njajau, Kakek Bujang Kuning, dan beberapa lelaki berjubah dengan wajah teduh. Semuanya memakai gamis. Seketika ruangan pondok Nek Kam yang tak seberapa besar ini menyebar aroma harum yang khas dan tidak ada bandingannya. Menyegarkan. Tak ada rasa bosan mencium aromanya. Sementara beberapa orang yang kulihat salat dhuha tadi menyongsong boncengan yang baru datang. Nenek Ceriwis langsung menarikku. “Ikut nenek yok, mandi dan ganti pakaian dulu” Ujarnya. Aku patuh saja. Aku dimandikan di garang dengan air hangat. Mandi cara kilat. Usai disiram tanpa sabun langsung diangkat nenek ke dalam. Menghadapi tamu agung seperti rombongan yang baru datang, memang kurang pantas berkaos oblong lengan panjang, celana tidur. Tapi ketika ingat kalau bajuku mungkin sudah kotor semua karena tidak pernah dicuci, aku jadi mikir. Pakai baju yang mana? Oh! Rupanya nenek Ceriwis mengeluarkan baju dari tasnya, celana panjang, kaos bergambar nenek gunung, dan jubah berwarna hitam. Lengkap dengan sabuknya. Aku merasa aneh dengan jubah dan sabuk ini. Lalu ada ikat kepala. Tanganku dipakaikan gelang kiri dan kanan. Kuperhatikan gelang dari akar. Herannya, semua yang dipakaikan padaku pas semuanya. Tidak kebesaran tidak pula kekecilan Sayang tidak ada cermin untukku melihat sosok seorang Dedek dengan pakaian aneh ini. “Baju apa namanya ini, Nek” Tanyaku sambil menahan saja ketika ikat kepala dililitkan erat. Lalu ada bambu berukuran kecil, dua ruas warnanya kuning dan mengkilap. Persis seperti sumpit. Entah untuk apa bambu ini aku tidak tahu. Ketika disuruh pegang, aku patuh saja.
“Hmmm…kamu cantik sekali Cucuku. Nampak lebih dewasa dibanding usiamu.”Mata nenek Ceriwis sedikit berbinar. Ada kilatan-kilatan sayang terpancar di sana. Aku mengangguk sembari tersenyum. Lagi-lagi aku menyesal tidak bisa melihat sosokku sendiri. “Jangan khawatir lihat di depanmu.” Kata nenek Ceriwis. Aku tertegun tidak percaya melihat bayangan di depanku. Apakah benar itu Dedek? Wajahku bisa berubah? Benar aku terlihat lebih dewasa! Meski perempuan namun aku terlihat sigap dan gagah. Belum selesai aku kagum pada sosok di cermin, nenek Ceriwis menarikku ke dalam. “Sambutlah tamu kita. Mereka ingin menemuimu.”Ujarnya.
Aku melihat rombongan masih berbincang-bincang sambil berdiri. Mereka masih asyik bersalam-salaman lalu sejenak bercerita. Aku bingung harus melakukan apa. Aku kikuk sendiri. Ketika satu persatu mereka masuk, aku menyalami, mencium tangan mereka. Kakek Andun mencium keningku lama sekali. Aku memeluknya erat. Entahlah aku selalu rindu padanya sama halnya rinduku pada kedua kakekku haji Yasir dan Haji Majani. “Kamu cantik sekali Cucuku. Cantik dan makin matang. Kakek makin bangga padamu. Dalam beberapa minggu saja kakek tidak melihatmu, terjadi perubahan yang luar biasa.” Kakek Andun tertawa senang sambil mengangkat tubuhku. Yang lain tersenyum melihat adegan kami berdua. Terakhir aku berhadapan dengan kakek yang penampilannya berbeda dengan yang lain. Kakek yang diantar delapan nenek gunung tersenyum lembut padaku. Aku terpaku menatapnya. Tanganku tak mampu menjulur padanya. Karisma yang dimilikinya tak dapat kuungkapkan dengan kata-kata.
“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Apa kabar Putri Selasih. Sudah siapkah dirimu untuk petualang ke perbatasan, menyelamatkan ingunan kita di sana. Memutuskan mantera-mantera dukun dari seberang.” Ujarnya mengusap-ngusap bahuku. “Mohon bimbingannya Puyang. Aku tidak paham sama sekali bagaimana memutuskan mantra para dukun dari seberang itu.” Ujarku. Aku memang tidak tahu sama sekali tentang ilmu perdukunan yang dimaksud. Bingung sekarang sedikitpun belum dapat gambaran seperti apa praktik dukun-dukun itu. ” Hehe…nanti juga engkau akan tahu sendiri Cucungku. Yang penting adalah, kesiapan mental dan kemauanmu” Lanjut Puyang lagi. “Siap Puyang” Ujarku sembari memberi hormat segala-dalamnya. Aku tahu, sambil berbicara ada energi yang disalurkan oleh Puyang karismatik ini padaku.
Selanjutnya nek Kam memberi kode padaku agar aku mundur. Aku mematuhinya. Aku di suruh duduk di tengah-tengah lurus dengan kakek yang karismatik itu. Dalam hati aku berdoa, semoga tidak seperti kejadian di sisi Endikat seperti malam kemarin. Prasangka buruk yang kulakukan terhadap puyang nenek gunung, nek Kam, Macan Kumbang malam itu hampir saja membuatku salah langkah. Nyaris aku ngamuk membabi buta. Untung otakku masih bisa berpikir waras dan segera tahu jika aku sedang dididik oleh guru yang banyak. Ruang pondok nek Kam senja ini menjadi sangat lain. Padahal pondok ini tidak terlalu besar, tapi tamu dari uluan yang banyak ini bisa muat? Aku juga heran. Sementara tubuh para tamu besar-besar. Puyang yang karismatik terus menatapku. Akhirnya aku menunduk aku tidak berani menatap matanya langsung. Para nenek gunung yang sepuh lainnya telah mengatur posisi mereka masing-masing. Mereka duduk melingkar. Dalam hati aku memperkirakan, kumpulnya orang-orang gunung sepuh ini pasti ada kaitannya dengan rencana nanti malam. Mereka pasti akan memberikan wejangan dan bekal padaku. Tapi apakah aku sanggup? Bukankah aku anak kecil kemarin yang tidak paham apa-apa? Sementara mereka adalah orang-orang sakti semuanya. Tak lama aku disuruhnya memejamkan mata dan fokus memerhatikanya dengan mata batin. Aku menatap kakek karismatik dengan degup dada kencang sekali. Kulihat tangannya terjulur ke arahku. Sementara beliau masih duduk tidak berubah sama sekali. Pelan-pelan, tangan itu seperti pisau membelah dadaku. Sementara kakek Andun, nek Kam, nenek Ceriwis, Macan Kumbang, dan nenek gunung lainnya mereka tidak hanya memerhatikan, namun juga bergerak mengirimkan energi dalam bentuk cahaya menyelimuti tubuhku. Cahaya kekuatan batin mereka yang mengitari tubuhku seperti gelombang.
Tiba-tiba tubuhku bergetar. Dan getar itu tak mampu kuhalangi. Gelombang energi yang mengitariku semakin pekat. Aku berusaha pasrah, membiarkan gelombang cahaya seperti membalut seluruh tubuhku. Tiba-tiba tubuhku terangkat masih dalam posisi duduk. Makin tinggi. Lalu entah bagaimana tubuhku pelan-pelan berputar, makin lama makin kencang seperti gasing. Aku melihat kebutan anginnya berubah menjadi putih mengalirkan hawa dingin dan hawa panas silih berganti. Masih dalam posisi duduk timpu, pelan-pelan aku turun sesuai dengan keinginan otakku.
Gelombang energi yang membalut tubuhku pelah-pelan kukumpulkan menjadi satu sehingga bentuknya seperti bola. Kupegang dengan kedua belah tanganku lalu pelan-pelan kusalurkan ke dalam tubuh. Seketika tubuhku kembali terlonjak. Bola energi yang kukumpulkan seperti cairan berdesakan-desakan memenuhi tiap ruang dalam tubuh. Aku merasakan tubuhku semakin ringan namun energinya semakin berlapis. Kurasakan ada cahaya putih kebiru-biruan seperti ke luar dari tubuhku. Peluhku mulai mengucur. “Huf! Huf! Huf!” kakek Karismatik menggerakkan tangannya. Lalu tangannya seperti mendorong ke arah tubuhku. “Arahkan telapak tanganmu ke arah saya Selasih” Bisiknya. Aku langsung menghadapkan telapak tangan ke arah kakek karismatik. Sama dengan sebelum-sebelumnya, aku merasakan ada energi yang dikirim kakek karismatik padaku. Selanjutnya beliau memberikan dua senjata. Satu ke tangan kanan berupa cambuk. Seperti magnit benda itu langsung menyatu ke tangan kananku. Satu lagi berupa pedang, langsung menyatu dengan tangan kiriku. Sejenak tubuhku terasa berat luar biasa. Bahkan untuk bergerak sepertinya aku tidak bisa. Dalam hati aku bertanya, apa lagi ini? Mengapa tubuhku terasa berat? Oh..kakek karismatik menghembuskan mantranya ke kepalaku, selanjutnya turun ke lidahku. Lalu aku merasa beliau membelah tubuhku menjadi beberapa. Semula dua tubuh, lalu terbelah lagi jadi empat, terbelah lagi jadi enam. Sekarang di hadapanku ada enam Putri Selasih. Tujuh dengan aku yang masih duduk timpu. Entah ilmu apa ini namanya. Aku seperti bakteri bisa membelah diri jadi enam. Dan enam sosok itu persis diriku.
Kemudian kakek karismatik menyuruhku membaca mantra kembali. Entah bagaimana, lidahku melafaskan mantra-mantra yang tidak pernah kupelajari sebelumnya. Mantra itu menyatukan kembali enam sosok ke tubuhku. Apa yang diberikan padaku senja ini luar biasa. Tubuhku padat dengan berbagai macam kemampuan yang ditransfer beramai-ramai. Terakhir aku seperti dituntun melakukan gerakan angin. Secepat kilat bisa berpindah-pindah. Tubuhku di hulu tapi suaraku di hilir, jika aku ke hilir maka tubuhku di hulu. Lalu aku seperti di bawa ke alam terbuka. Aku disuruh berjalan di atas seutas tali yang sangat halus, kemudian disuruh berlari. Dan tali tidak boleh bergoyang. Akhirnya kutingkatkan diriku seringan angin. Aku meluncur tanpa menggoyang tali sedikitpun. Lalu kakek karismatik melemparkan selendang. Selendang yang dilemparkan beliau seperti benda hidup melayang dan bergerak. Dengan cepat aku meluncur hendak mengambilnya. Ternyata selendang itu sangat licin. Tiap kali aku pegang selalu lepas. Segera aku berpikir bagaimana cara mengambilnya? Akhirnya aku kumpulkan kekuatan energi di tanganku agar selendang itu bisa tersedot ke tanganku. Otomatis aku dapat menggenggamnya. Benar saja, dua kali gerakan selendang itu berhasil kugenggam. Ternyata selendangnya sangat tipis. Hanya segenggam tangan anak kecil. Namun ketika di bentang bisa menjadi lebar. Aku mencoba membentangnya dengan cara melemparnya, sementara ujungnya masih kugenggam. Aku kaget sendiri. Ternyata selendang ini adalah senjata yang bisa berubah sesuai dengan yang kupinta. Menjadi api, menjadi ular, menjadi tongkat, menjadi perempuan cantik dan lain sebagainya. Akhirnya kulilitkan di leher. Aku merasakan tubuhku menjadi lebih besar dan tinggi.
Selanjutnya, aku disuruh membaca mantra nenek gunung. Kurasakan ini adalah mantra pamungkas. Sebab baru saja pangkal mantra kubaca tubuhku langsung berubah menjadi nenek gunung putih yang bertubuh besar. Aku melompat tinggi dan mengaum. Suara yang kukeluarkan bukan suara biasa. Tapi suara yang berenergi, jika orang biasa yang mendengarnya bisa dipastikan akan pecah gendang telinganya. Lalu kaki depanku mencakar tanah. Dalam sekejap tanah yang kucakar berlubang. Tidak dapat kubayangkan jika ini kulakukan pada orang maka bisa dipastikan orang tersebut akan hancur lebur tidak ada lagi bagian yang utuh. Dalam keadaan bertubuh nenek gunung tersebut, semua senjata bisa kugunakan. Bahkan satu angin gerakan cakar kaki depanku, bisa mencabik-cabik tubuh lawan. Lalu pelan-pelan aku membaca mantra kembali, dalam sekejap tubuhku telah berubah menjadi manusia.
Terakhir, aku disuruh duduk diam. Batinku di suruh berzikir. Semua yang hadir melakukan hal yang sama. Di tengah gema zikir yang dilantunkan para nenek gunung, satu-satu mereka menata apa yang kumiliki dalam tubuh. Baik yang berada di dada, di tangan, di lidah, di kepala, di seluruh tubuh. Aku seperti melihat lapisan-lapisan cahaya yang berbeda warna dan bentuknya. Semua lapisan-lapisan tersebut nampak patuh denganku. Selanjutnya kakek karismatik mengusap mataku. Tiba-tiba mataku sangat awas. Aku dapat menatap benda sekecil apapun dari jarak jauh. Apalagi gerakan seseorang, sebelum dia melakukan sesuatu aku sudah tahu, Mataku juga bisa membaca pikiran lawan. Terakhir aku seperti dimandikan air seribu kembang. Tubuhku basah dengan pakaian baru yang diberikan nenek Ceriwis. Lalu aku disuruh minum air langsung dari kendi. Segar sekali. Aku merasa sangat kenyang usai meminum air itu. Kulihat air mengalir di tubuhku. Semua kotoran dan serbuk hitam disapunya, lalu di dorongnya di kantong kencing. Tiba-tiba aku ingin buang air kecil. Akhirnya aku totok perut bagian bawah. Kukunci sementara. ‘Bagus! Ternyata kamu cerdas, Cung! Lanjutkan, bersihkan sambil terus berzikir” kakek karismatik megarahkan. Aku melakukannya berulang-ulang. Tak lama kurasakan tubuhku telah bersih, darahku pun juga terasa bersih.
“Ya..sekarang baring, dalam posisi telentang.” Ujar kakek Karismatik lagi. Aku segera telentang. Aku merasa masih berada di alam terbuka. Kutatap langit masih berawan. Tiba-tiba aku merasakan seluruh tubuhku panas sekali. Bahkan sampai mengeluarkan asap. Baju yang semula basah kuyup berubah mejadi kering. Tidak ada bagian tubuhku yang tidak panas. Bahkan aku khawatir baju yang kupakai bisa terbakar menjadi api. Pelan-pelan suhu panas badanku berubah menjadi dingin. Lama-lama aku merasakan tubuhku semakin dingin dan beku. Bahkan saking dinginnya mengeluarkan embun. Nah seperti ini aku merasa sangat menderita. Aku bisa beku. Sementara aku tidak boleh menyalurkan hawa panas. Sama seperti ketika aku kepanasan aku dilarang mengeluarkan hawa dingin. Apa maksudnya aku tidak tahu. Apa hubungan hawa panas dan hawa dingin ini aku tidak paham. Tiba-tiba aku bangkit. Di hadapanku ada batu sebesar bukit mirip batu es, menggelinding cepat ke arahku. Secepat kilat kusalurkan hawa panas di kedua telapak tangan. Aku berputar cepat lalu menurunkan kaki ke bumi, Secepat kilat kudorong bukit es yang menggelinding itu. Aku merasa tidak yakin dengan apa yang kulakukan. Hawa panas yang kusalurka dari tanganku berubah menjadi tenaga dalam yang mengeluarkan hawa panas luar biasa. Kuhantamkan tanganku. Bukit es lebur seketika. Aku melihat bukit es meleleh. Dalam sekejap area bukit es tergenang menjadi sebuah kolam. Entah darimana asalnya, tiba-tiba di belakangku menggelinding bola api yang mengeluarkan hawa panas luar biasa. Bara yang yang dikandungnya melelehkan semua yang ada di dekatnya. Bahkan air dalam kolam yang berasal dari bukit es mendidih seketika. Aku berbalik badan dan agak menjauh. Bola api sebesar bukit itupun menggelinding hendak menyerangku. Aku undang hawa dingin yang bisa membekukan. Dengan tenaga dalam yang kuhimpun di tangan. Kuhantam bola api dengan semburan dingin dalam sekejap bola api itupun membeku. “Huuuack!!!” tiba-tiba darah segar menyembur dari mulutku.
Aku merasakan tubuhku limbung. Mataku berkunang-kunang. Dunia tiba-tiba gelap. Kurasa beberapa tangan menyambarku. Beberapa orang kudengar bernada cemas sembari istighfar. Aku pasrah saja. Apa yang harus kulakukan dalam situasi seperti ini aku tidak tahu. Sementara dadaku terasa sesak. Aku kembali menyemburkan darah. Kali ini lebih banyak dari sebelumnya. Aku mendengar nek Kam beberapa kali menyebut “Cungku…Cungku” dengan suara sedikit bergetar. Entah apa lagi yang dilakukannya. Aku tahu beliau cemas. “Pucat sekali! Mana air seghebat” nada nenek Ceriwis juga cemas. Tiba-tiba ada energi hangat meredakan sesak dadaku. Pelan-pelan aku merasakan pernafasanku lega kembali. Rasa nyeri juga hilang. Nek Kam membersihkan mulutku. Lalu aku diminumkan air beraroma rempa-tempa. “Selasih, jika hendak mengeluarkan tenaga dalam yang dimuarakan pada kekuatan tangan, jangan pecahkan dengan kekuataan tenaga dalam dari perut. Akibatnya dua tenaga dalam tubuhmu berbenturan. Dan kau cedera. Jika mengalami hal seperti ini, lakukan terapi diri sendiri. Caranya, pusatkan segera tenaga dalam tubuhmu lalu ajak lewat pikiranmu tenaga dalam itu menyembuhkan bagian yang sakit. Eluskan energi juga dari tanganmu seperti ketika kamu mengobati Gundak di ulu bukit Patah.” Benar sekali. Mengapa aku tidak melakukan hal itu? Aku menyesali lambannya aku berpikir. Aku baru tahu jika tenaga dalam tubuhku bisa berbenturan. Aku didudukan kakek karismatik. Punggungku kembali beliau terapi untuk memastikan apakah masih ada terluka atau tidak. Aku juga berusaha meraba dadaku. Semuanya baik-baik saja. Aku bangkit lalu sujud pada kakek yang kusebut kakek karismatik.
“Nek Kam belum mengenalkan saya padamu ya Selasih? Aku puyangmu dari lereng Merapi di gunung Dempu, Cung. Akulah puyang Pekik Nyaring.” Puyang Pekik Nyaring yang kusebut-sebut kakek karismatik mengelus kepalaku. Lalu tangannya mengembang menunggu aku memeluknya. Aku langsung memeluk kakek Pekik Nyaring. Bahagia sekali rasanya bersua dengan leluhurku. Bapak dan ibuku sendiri belum tentu memahami soal keturunan ini apalagi untuk berjumpa leluhurnya. Kepalaku dielus-elus oleh beliau lalu diciumnya hangat sekali. “Terimakasih Puyang, bahagia sekali bersua dengan Puyang. Mohon bimbingan Puyang” Ujarku sembari menggenggam dan mencium tangannya. “Seringkali aku disebut keturunan Pekik Nyaring, tapi aku tidak pernah tahu siapa Pekik Yaring. Tidak ada juga yang menjelaskan padaku” Ujarku sembari menatapnya. Aku sedikit terperanjat ketika menatap lebih dalam bola matanya. Bola mata itu persis bola mata yang kumiliki. “Puyang telah lama bangga padamu. Mengawasi gerak-gerikmu, melihat kemampuanmu. Baru kali ini Puyang berkesempatan bertemu langsung padamu. Sebab Puyang menggagap perlu membekalimu demi misi penyelamatan setue gunung, Cung. Hanya kamu yang dapat memutuskan pemburuan kejam itu. Kalau tidak, maka bangsa setue gunung Dempu akan habis. Musna!” Ujar Puyang Pekik Nyaring. Aku mendengarkannya dengan saksama. “Puyang rasa, bekal dirimu sudah lebih dari cukup untuk melaksanakan misi ini, Cung. Kamu memang telah ditempa lebih dewasa dari usiamu. Karena sejak kau masih dalam kandungan, tanda-tanda manusia pilihan itu ada padamu. Kamu sudah ditakdirkan untuk menjadi ratu di dua alam. Puyang bersyukur, pikiran dan hatimu ternyata sinkron dengan apa yang Puyang maksud.” Ujar Puyang Pekik Yaring.
Mendengar apa yg disampaikan puyang Pekik Nyaring semangatku makin berkobar untuk membantu saudara-saudaraku yang terancam di perbatasan. Tekadku makin menjadi-jadi. Aku sudah tidak sabar menunggu malam hari. Bibi Ceriwis makin cerewet. Beliau berusaha membujuk untuk menyuapiku padahal aku belum hendak makan. Banyak sekali alasannya. Biar sehat, kuat, dan lain sebagainya. Akhirnya terpaksa juga aku telan.
Entah siapa yang mengantarkan makanan ini aku tidak tahu. Setiap hari makan enak terus. Padahal aku bosan. Aku rindu makan masakan ibu, sambal picak, rebusan labu siam, atau gulai masak kuning dalam ghuas. Lalap petai cina atau jengkol muda. Ini setiap hari menu kami daging terus. Ketika kutanya nenek Ceriwis gulai apa, beliau jawab gulai puyuh. Enak, gurih, lembut. Tapi ketika ingat Ibu, kembali aku rindu masakannya. Aku sendawa beberapa kali. Timbul pula rasa kantuk yang sangat. Pondok nek Kam sudah mulai sepi. Para tamu rombongan Puyang Pekik Nyaring sudah pulang. Yang tinggal hanya nek Kam, nek Ceriwis, Macan Kumbang. Sepertinya malam inilah beliau-beliau inilah yang akan mengantarkan aku. Tapi aku akan bertunggang dengan siapa. Ah! Aku tidak ambil pusing. Aku bisa datang sendiri ke wilayah yang dimaksud. Paling aku berlari minta bantu angin.
Matahari sebentar lagi akan tergelincir. Gajah ngesai bulu nampak berulang kali mengedip-ngedipkan cahayanya serupa kilatan kecil menghias lengkung langit. Kalong besar sudah mulai terbang ke huluan. Langit nampak cerah. Awan hanya seperti polesan cat tipis di mana-mana. Aku memperkirakan nanti malam tidak akan turun hujan. Mudah-mudahan begitu sehingga aku akan lebih mudah mengawasi jalan, pasti ke luar masuk hutan dan berkabut. Menjelang magrib, aku bersama nek Kam sudah memakai mukena. Burung taktarau sudah mulai hening. Pertanda waktu magrib tiba. Tiba-tiba aku mendengar dari jauh derap kaki menuju pondok nek Kam. Kembali kutajamkan pendengaranku. Benar langkah nenek gunung. Aku kembali meningkatkan pancaideraku untuk mengetahui siapa yang datang. Oo rupanya kakek Adil dan empat kawannya berlari cepat. Menembus hutan dan belukar. Dalam sekejap mereka sudah sampai di halaman pondok dan disambut nek Kam untuk masuk. Nyatanya mereka salat magrib di halaman pondok. Makmuman di sana. Usai magrib aku ke luar pondok. Nek Kam memberikan wejangan dan berbagi macam strategi yang harus kulakukan.
Kami semua duduk melingkar. Kakek Adil juga memberikan gambaran situasi terakhir yang beliau ketahui perihal pemburu dan tiga dukun penakhluk nenek gunung. Biasanya mereka akan datang lewat tengah malam. Kira-kira pukul dua belas. Artinya sekitar lima jam lagi dari sekarang. Kakek Adil memimpin doa selamat sebelum keberangkatan. “Selasih, strategi apa yang akan kau lakukan awal ini?” Tanya kakek Adil. “Kek, bisakah kita berangkat lebih awal? Aku ingin melihat situasi alamanya secara langsung. Meski tadi malam aku sudah berusaha untuk masuk ke wilayah itu, namun akan berbeda apabila berada langsung di sana” Jawabku.
Akhirnya kami sepakat berangkat lebih awal. Aku memang berkeinginan berangkat lebih awal agar bisa memberikan intruksi dan strategi apa yang harus kami lakukan. Kukira medan perbatasan itu cukup sulit karena terdiri dari gundukan-gundukan tanah yang berjurang sempit. Usai isya kami berangkat. Nek Kam, Nenek Ceriwis, dan Macan Kumbang mencium dan memelukku. Mereka bertiga memberi semangat yang luar biasa. Ketiganya tidak ikut rupanya. Aku disuruh pergi bersama kakek Adil dan kawannya. Aku menunggangi salah satu nenek gunung pengawal kakek Adil. Kami berjalan pelan karena masih melalui pemukiman masyarakat, talang, pondok, dangau dan sawah. Beberapa satwa malam melintas riang karena langit bersih tanpa awan. Jarang-jarang langit dusunku bisa bersih seperti ini. Akhirnya sampailah kami di hutan perbatasan. Medan yang akan ditempuh pebukitan dan balantara. Lereng bukit yang curam, ngarai, dan sungai. Aku mengajak semua berhenti terlebih dahulu. “Nenek gunung, kita akan melalui medan yang cukup berat. Mudah-mudahan tidak ada hambatan sampai ke lokasi perbatasan. Saya tidak tahu berapa jauh perjalanan kita. Tapi kita harus cepat sampai ke sana sebelum ritual pada dukun itu dilakukan. Mari kita buat lingkaran. Aku akan mengajak para nenek gunung untuk segera sampai di lokasi tujuan” Ujarku pelan.
Para nenek gunung menggangguk paham. Aku mulai membaca mantra agar kami segera sampai ke lokasi. Pelan-pelan angin berhembus. Semula terasa semilir. Lama kelamaan semakin kencang. Kuminta bantuan angin untuk membawa kami segera ke lokasi. Kami kembali melakukan perjalanan. Kami seperti berlari kencang, cepat sekali. Aku memacu angin secepatnya sehingga nyaris tidak bisa melihat kiri kanan. Yang ada desingan angin berupa garis putih membayang dari pandangan mata sekilas. Baru terasa setengah perjalanan, aku melihat beberapa sosok menghadang kami. Rupanya para raksasa. Aku meminta angin memperlambat gerakannya. Nampaknya raksasa tersebut sengaja menghadang. Melihat kami berhenti para raksasa tertawa. Sebenarnya aku bisa saja menyuruh angin untuk membawa kami melintas jalan lain. Tapi aku ingin melihat apa yang hendak mereka lakukan. “Kakek Adil, mereka ini sengaja menghadang kita. Mereka adalah suruhan dukun itu. Ternyata dia tahu kalau kita akan bergerak menghalangi.” Ujarku. Kakek Adil membenarkan. Aku menyuruh kakek Adil dan kawan-kawan agak menyingkir.
Aku mulai mempersiapkan diri untuk melawan tiga raksasa ini. Dari hawa tertawanya raksasa ini pasti jahat. “Paman Raksasa, jangan halangi jalan kami. Kembalilah ke rumah kalian. Saya tidak punya urusan dengan kalian. Jangan bodoh mau diperalat oleh dukun jahat itu!” Ujarku sembari mengeluarkan tenaga dalam agar tiga raksasa itu mendengar. Ketiganya malah semakin tertawa dan menghantan-hantam bumi. Seketika bumi bergetar. Aku tidak mau membuang waktu. Kuluncurkan tenagaku untuk menotok kaki mereka. Lalu secepat kilat kutotok pula punggung mereka agar tangan mereka lumpuh. Ternyata tidak pengaruh sama sekali. Mereka masih dapat bergerak bebas dan mengirimkan pukulan-pukulan dasyat padaku. Akhirnya aku tidak bisa menganggap mereka main-main. Niat membunuh terlihat dari cara mereka. Mereka bukan raksasa biasa. Tapi mereka adalah raksasa-raksasa sakti. Aku mencoba membaca titik kelemahan mereka. Oh, rupanya mereka punya semacam mustika di kening mereka masing-masing. Mustika itulah sumber kesaktian mereka. Aku berpikir sejenak bagaiman cara mengambilnya agar mereka lumpuh.
Aku meluncur cepat mendekati wajah mereka, sebelumnya kukelabui mereka dengan cara memberikan kilatan-kilatan seakan aku yang bergerak di sana. Dan “Crassstt!!” satu mustika raksasa ke dua berhasil aku musnakan. Sang raksasa meraung keras sekali. Selanjutnya dia seperti orang buta, bergerak ke sana kemari tanpa terkontrol. Melihat salah satu temannya tidak mampu, dua raksasa lainnya ngamuk. Mereka berusaha menangkapku. Mantra-mantra mereka seperti jaring mengejarku dengan cepat. Aku kembali meminta bantuan angin agar tubuhku menyatu seperti angin, sehingga tidak bisa masuk dalam jaring itu. Benar saja tiap kali jaring itu mengurungku, aku lolos melalui cela-celanya. Dua raksasa nampak lelah. Aku kembali membuat gerakan tipuan seakan-akan aku ada di samping mereka. Ketika ada kesempatan, secepat kilat kutempelkan tanganku kembali menyedot mustika di keningnya. Dan berhasil. Kali ini tidak kuhancurkan. Akan tetapi kupegang dan kuperlihatkan pada mereka. Mustika yang kupegang terasa panas sekali. Kusalurkan hawa dingin ke tangan sehingga mustika mengeluarkan asap lalu beku. Sang raksasa mengamuk. Sama dengan kawannya satu lagi. Rupanya mereka seperti buta ketika mustika itu diambil. Contohnya raksasa pertama entah berjalan ke arah mana sambil berteriak.
Mustika adalah kekuatan utama mereka rupanya. Raksasa ke dua pun melakukan hal yang sama. Ngamuk membabi buta tak tahu arah. Ternyata tidak terlalu sulit menakhlukan makhluk berbadan besar ini. Tinggal satu lagi! “Paman, apakah Paman ingin seperti kawan-kawan paman?” Ujarku. Sambil menggeram berat dia menjatuhkan badan dan sujud minta ampun. Aku tidak paham bahasa yang dikeluarkannya. Namun melihat gerakannya minta ampun pahamlah aku jika dia menyerah. Lalu dia minta untuk ikut denganku. “Bukankah lebih baik Paman hidup bebas? ” Ujarku. Disambutnya dengan gelengan kepala. Dia takut, pasti akan dihukum dan terus menjadi budak dukun itu rupanya. Dari bahasa isyarat yang disampaikannya, dia sudah bosan jadi budak dukun itu. Kalau mereka kalah maka akan disiksa. Aku bingung, bagaimana caranya mengajak raksasa ini? “Suruh dia masuk ke dalam betismu, Selasih” Ujar Kakek Adil. Aku mengiyakan segera. “Paman, silakan masuk kebetisku” ujarku cepat. Dalam waktu sekejap tubuhnya berubah menjadi asap lalu dengan cepat menyusup ke betisku. Makhluk raksasa ini sekarang dalam pengawasanku. Kuelus betisku untuk memastikan sang Raksasa tidak berbuat macam-macam.
Kami melanjutkan perjalanan kembali. Aku kembali meminta angin membawa kami. Desingan angin dingin dan hawa lembab hutan tidak menghalangi perjalan misi ini. Ternyata kembali di jalan ada yang menghalangi kami. Angin seperti membentur dinding sangat keras sekali. Secepat kilat aku menyambar tubuh-tubuh nenek gunung dan kakek Adil yang tidak siap dan tidak menduga akan dihadang dinding ghaib. Tubuh mereka terpental semua. Untung tidak sempat terbentur ke tanah. Aku langsung memasang kuda-kuda. Ternyata dinding ghaib ini berlapis dan nyaris tidak ada sisinya. Ke atas ke bawah semua berdinding. Aku mulai memutar akal. Apa yang harus aku lakukan? Kutakar-takar kekuatan dinding ghaib ini demgan mata batinku. Aku bersyukur kakek Njajau dan Puyang Pekik Nyaring telah membuka dan menajamkan mata batinku. Sehingga dapat membantuku menganalisa kekuatan dinding gaib ini. “Oh! Ternyata dinding gaib ini tidak bisa dilawan dengan kekerasan. Tapi harus diperlakukan dengan lemah lembut. Akhirnya kubentang selendang pemberian Puyang Pekik Nyaring. Kuubah menjadi seorang gadis cantik lalu kusuruh dia menari. Tak lupa kubekali jarinya dengan sejata tajam. Sang gadis segera meliuk-liuk sembari menorehkan ujung jarinya dengan lembut ke dinding gaib itu. Benar! Pelan-pelan dinding gaib serupa selaput yang ngaret itu koyak. Makin besar, dan makin besar. Ternyata dinding gaib ini berlapis tiga.
Ketika sampai pada dinding ke dua, tidak bisa dilakukan dengan tarian. Gadis selendangku kutarik kembali. Aku berusaha membaca kelemahan dinding gaib ke dua. Secepat kilat aku mengepalkan tangan dan mengeluarkan bola api. Dinding gaib yang kedua seperti lapisan salju yang mengeluarkan hawa dingin. Siapa saja yang menyentuhnya pasti beku. “Duuuuarrr” benturan dua kekuatan seperti petir dasyat sekali. Kulihat kakek Adil dan kawan-kawannya terpental ke belakang. Aku segera melindungi mereka. Untung sedikit banyak mereka punya tenaga dalam yang sudah matang. Kalau tidak, mereka muntah darah seperti yang kualami petang tadi. Pintu gaib baru retak saja. Aku terpukau dibuatnya. Akhirnya kukombinasikan bola api dan angin. Aku kembali menghantam dinding gaib itu. Kali ini benturannya lebih kencang dari sebelumnya. Dinding gaib yang retak seketika berantakan membentuk lubang yang sangat besar. Aku segera menetralisir dua pintu gaib yang sudah terbuka. Tinggal satu lagi. Segera kupusatkan pikiranku. Jika dilihat sekilas pintu gaib ini seperti lapisan kabut yang sangat tebal. Padahal dia adalah gelombang racun yang selalu bergerak. Siapa yang menyentuh sedikit saja, pasti akan tewas di tempat. Aku mencari akal bagaimana untuk menakhlukannya. Akhirnya aku tarik selendang yang melilit di leherku. Selendang kubentang lalu kuminta mengubah diri jadi ular beracun. Aku akan coba racun bertemu racun. Ular dari selendangku bergerak sangat cepat. Meliuk-liuk ke sana kemari siap menantang lawan. Sang ular kuperintahkan untuk menyemburkan racunnya terlebih dahulu. Kubantu energi melalui semburan racunnya. Dua racun berbenturan sampai mengeluarkan suara berdebum seperti bukit runtuh. Dari sini aku mengakui mantra pagar yang dilakukan dukun dari seberang itu luar biasa. Sebenarnya dengan menghadang perjalanan kami perang sudah dimulai. Dukun-dukun itu sudah tahu kehadiranku. Dari jauh aku melihat mereka sibuk membakar kemenyan dan duduk seperti semedi. Mereka mengendalikan ilmu mereka dari jauh. Meski sudah terjadi benturan kencang, pintu gaib beracun ternyata tidak rusak sama sekali. Yang berbentur adalah dua kekuatan yang kumiliki dengan kenkuatan para dukun itu. Akhirnya aku mendorong kekuatan gaib dari sang dukun melalui ular selendangku untuk menyedot racunnya. Sambil beradu kekuatan, aku masih sempat membantu selendang ularku menyedot racun itu dengan telapak tangan kananku. Racun yang bergerak tak berdaya ketika disedot ular dan telapak tanganku. Kuremuk racun itu hingga bentuknya seperti debu. Racun ular habis, namun pintu gaib belum juga terbuka. Kali ini aku melihat pintu gaib seperti gelombang laut. Kembali aku mencoba menembusnya. Oh ternyata gelombang itu hanya mengelabui halusinasi saja. Sebenarnya tidak ada gelombang laut. Aku kembali menyapukan selendang untuk menghapus alisunasi itu. Benar saja, warna gelombang laut hilang. Pintu gaib pun hilang. Untuk menghindari ancaman yang tiba-tiba dari pintu gaib ini, aku berputar seperti gasing sambil menyapukan selendang untuk menghisap segala hal negatif yang dikirimkan pada kami.
Alam kembali seperti biasa. Kakek Andil menarik nafas lega. Rupanya mereka juga melakukan perlawanan di belakangku. Akhirnya kami bisa melakukan perjalanan lagi. Namun sebelumnya aku kembali membaca alam terlebih dahulu. Aku sulit untuk memperkirakan waktu. Mungkin sudah menjelang tengah malam. Bumi pekat meski langit tak berawan. Kutingkatkan pancainderaku. Baik penciuman maupun pendengaran. Entah tantangan apa lagi yang dilakukan oleh tiga dukun seberang itu. Aku merasakan aura penasaran dari mereka karena berhadapan dengannya kecil, perempuan pula. Selanjutnya mereka menyiapkan pasukan untuk mnyerang kami. Aku tidak mau melibatkan kakek Adil dan kawan-kawannya menghadapi pasukan para dukun itu sebenarnya. Cukup aku saja. Tapi mereka mungkin tidak enak jika tidak melakukan sesuatu.
“Kakek, mohon kalian bertahan melindungi diri saja, jangan ikut menyerang agar tidak mengganggu konsentrasiku. Kecuali jika aku meminta ya Kek” Ujarku selembut mungkin agar mereka tidak tersinggung. “Kita akan berhadapan dengan pasukan jin yang banyak sekali. Mereka punya kekuatan masing-masing Kek. Saya tidak ingin para kakek cidera. Maafkan jika nanti aku akan melakukan tindakan yang mungkin kakek tidak suka.” Ujarku sembari menyuruh angin agar mendorong kami lebih cepat lagi.
Bersambung…