HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (65D)
Tiba-tiba rasa nyeri di betisku kembali menyerang. Kulihat sekitar bekas jarum yang tertancap berwarna hitam. Aku nyaris kehilangan keseimbangan. Sementara naga jelmaan Darang Kuning terus mendesakku. Aku keluarkan pedang. Secepat kilat kukibaskan ke arah ular naga yang menggeram. Cahaya biru yang dikeluarkan pedangku kadang seperti perisai, kadang seperti tali, kadang berubah seperti ujung tombak. Cahayanya yang panas kerap kali mengenai naga diiringi jeritan yang menggema memekakkan telinga.
Di sela pertempuran sengit tersebut, kulihat salah satu bayanganku berhasil membuka kunci kurungan para perempuan yang ditahan. Entah darimana asalnya aku melihat dua sosok putih seperti bayangan membantu membuka mantra pintu tahanan itu. Para perempuan yang terkurung berhamburan ke luar. Mereka berusaha menyelamatkan diri kabur dari area gelanggang melalui pintu yang sudah tak berpenjaga. Sebagian lagi bayanganku berusaha melabrak pagar gaib yang dibangun Darang Kuning. Lagi-lagi kelebatan dua bayangan itu membantu. Tak lama, pagar yang dibangun berlapis itu nyaris kehilangan kekuatannya. Semakin kencang zikir yang dilantunkan dua sosok itu semakin membuatnya tipis dan sebentar saja dinding itu buyar. Benar saja, tak lama kemudian, pagar gaib itu koyak, lama kelamaan lenyap berganti menjadi asap hitam membumbung tinggi. Sementara beberapa makhluk asral yang hendak kabur, dikejarnya sambil diserang oleh putri jelmaan sabukku.
Ah!! Gedebuk!! Seperti nangka jatuh, tiba-tiba aku terduduk. Rasa sakit di betisku sudah tak mampu kutahan meski energi telah kupusatkan pada bagian yang sakit. Aku kembali mencoba menotoknya sembari berguling menghindari serangan naga jelmaan Darang Kuning. Hantaman angin dari dengusan si naga membuat lubang di beberapa tempat. Aku berusaha bangkit dan membaca kembali mantra angin lalu dengan cepat angin seperti meraih tubuhku menghindari serangan-serangan naga yang semakin ganas. Aku seperti sudah kehabisan tenaga. Meski sudah kutotok ternyata jarum yang menancap di betisku menjalarkan racun. Aku tak sempat mengobati diri sendiri.
Di tengah situasi yang genting, aku mencoba melawan serangan naga dengan pukulan petir. Hantaman kilatan api mengarah pada naga. Namun seperti yang disampaikannya, ternyata Darang Kuning memang kebal. Pukulanku meski mengenai tubuhnya namun seperti tidak dirasakannya. Aku jadi berpikir, mengapa tadi sayap Darang Kuning bisa patah? Harusnya kalau dia kebal, sayapnya tidak akan patah. Oh! Mungkin hari ini adalah hitungan pantangannya. Maka setinggi apa pun ilmu yang dimilikinya akan “talu” juga. Aku jadi makin semangat! Aku memusatkan pikiran membaca kekuatannya kembali. Aku jadi ingat pesan nek Kam. Ilmu kebal yang dimiliki seseorang itu hanya sebesar lingkaran koin. Benda itulah yang melindungi setiap bagian yang kena sabetan, pukulan, atau bacokan. Ketika aku melihat titik hitam di tubuh sang naga, dengan cepat kuarahkan telapak tanganku, kusedot ilmu kebalnya. Naga terpekik. Suaranya melengking kesakitan dan marah seperti hendak membelah langit. Erangannya yang panjang mengisi ruang perbukitan hingga ke lembah.
Putri cantik sabukku selesai dengan tugasnya. Kawan-kawan Darang Kuning sebagian besar tewas. Lalu ada beberapa melarikan diri. Aku meraih putri cantik lalu kuubah menjadi ular naga. Seketika putri yang cantik berubah menjadi naga yang sama besar dengan jelmaan Darang Kuning. Sekarang naga melawan naga. Saat ke duanya bertempur, aku mencoba duduk. Kaki kiriku kuselonjorkan. Aku mencoba mengobati betisku yang terluka. Dengan susah payah dan menahan sakit luar biasa, aku mencoba membersihkan racun yang menghitam seperti lingkaran. Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Meski sedikit terasa racunnya tetap mengalir di aliran darahku. Aku kembali menyalurkan energi, berusaha mengobati diri sendiri. Namun rasa sesak menghalangi tenagaku. Entah datang darimana, aku merasakan ada tangan menempel di punggungku lalu dihentakkannya. Aku muntah. Dari mulutku ke luar seperti dahak menggumpal hitam. Anehnya gumpalan seperti dahak itu bergerak seperti benda hidup. Wow! Dasyat sekali racunnya.
Aku menoleh hendak mengetahui siapa yang menolongku. Oh, seorang perempuan berpakaian serba putih berusaha memulihkan energiku.
“Terimakasih Nenek…” Bisikku. Nafasku kembali lega. Lingkaran hitam dibetisku makin lama makin pudar. Sekarang berubah menjadi merah sedikit bengkak mirip bisul. Aku menyapunya sembari menyalurkan energi kembali. Sekarang aku tidak merasakan rasa nyeri lagi. Si nenek yang menolongku lenyap entah kemana. Aku kembali fokus menatap naga jelmaan Datang Kuning dan jelmaan sabukku. Beberapa bagian tubuh naga Darang Kuning terluka. Ilmu kebalnya telah pudar. Aku segera menghimpun kekuatan badai kukombinasikan denga bola es. Deru angin kembali seperti hendak menggulung semua yang ada di area gelanggang ini. Dua kekuatan badai dan bola es kuhantamkan ke arah naga jelmaan Darang Kuning. Tiba-tiba tubuh Darang Kuning berubah mejadi manusia harimau kembali. Tubuhnya menggigil kedinginan. Lama kelamaan membeku. Kubaca mantra agar Darang Kuning tak mati beku. Cukuplah bola es ini membalutnya. Tiba-tiba aku merasakan bukit ini seperti bergoyang. Lama-kelamaan tanahnya retak makin lebar. Aku segera melesat ke atas. Beberapa anak buah Darang Kuning terperosok ke dalam tanah yang melekang. Tak lama kemudian, suara gemuruh seperti hujan lebat menderu membuat suasana sedikit mencekam. Entah kekuatan darimana tiba-tiba bukit area gelanggang seperti di dorong, longsor. Tanah yang longsor menggerus semua yang ada. Aku segera mengangkat tubuh Darang Kuning yang beku. Kalau tidak, tubuhnya yang beku akan ikut terkubur hidup-hidup.
Melihat tanah bergerak, lalu lebih separuh bukit membelah diri, membuatku makin takjub. Masya Allah, betapa semua makhluk di muka bumi ini jika marah sudah pada puncaknya, maka akan melahirkan pemandangan yang mengerikan. Dalam sekejap, bukit yang semula tinggi menjulang, kini tinggal separuh. Selebihnya telah membuat dataran baru di lembah. Setelah semuanya hening, aku turun ke lembah. Bayanganku kembali menyatu. Nagaku kembali menjadi sabuk. Tubuh Darang Kuning tergeletak di tanah. Sejenak aku berpikir akan aku apakan makhluk satu ini. Akhirnya tetap dalam posisi beku, kusedot semua energi Darang Kuning. Sekarang dia tidak memiliki kekuatan apa-apa.
Aku segera duduk timpuh. Mengiringi zikir yang masih terdengar lirih. Makin lama- makin lirih. Hembusan angin terasa sangat lembut. Buminterasa damai kembali. Aku serasa baru selesai menyapu bagian rumah yang kotor. Sekarang bisa bernafas lega. Kucoba berinteraksi dengan Putri Bulan sejenak. Kusampaikan semuanya termasuk saat ini Darang Kuning sedang kutawan dengan bola esku. Beberapa kali aku mendengar Putri Bulan mengucapkan rasa syukur.
“Putri Selasih, misimu sudah selesai bukan?” Tiba-tiba di hadapanku berdiri tiga sosok berpakaian serba putih, satu perempuan, dua orang laki-laki. Merekalah yang telah membantuku di akhir-akhir pertempuran. Aku jadi ingat, suara perempuan yang memimpin zikir, apakah perempuan itu nenek yang ada di hadapanku ini? Aku sujud pada ketiganya.
“Terimakasih Nenek dan kakek telah membantu ku.” Ujarku sembari merunduk. Ketika makhluk ini patut kuhormati. Wajah mereka menggambarkan raut orang-orang suci.
“Bagaimana keadaanmu, Putri Selasih. Sudah membaikkah?” Kata si Nenek. Oh! Aku baru sadar yang membantu mengeluarkan racun di tubuhku pasti Nenek ini juga. Siapakah mereka ini sebenarnya? Aku segera menjawab aku merasa lebih baik setelah beliau bantu mengeluarkan racun dalam tubuhku.
“Maafkan aku yang lancang ini, Kakek, Nenek? Aku telah membuat keributan di sini” Ujarku masih menunduk. Aku merasa tak sanggup menatap wajah mereka yang bercahaya.
“Sudah terlalu tuakah kami Selasih? Sebelumnya kami disapa paman sekarang berubah menjadi kakek?” Aku makin kaget. Suara paman Udai Satra!!
“Paman Udai Satra?” Aku mengangkat kepala. Lalu di sampingnya kutatap juga, pasti Paman Muning Kriya. Aku langsung duduk dan membungkuk kembali pada ke tiganya. “Mohon beritahu saya, siapa gerangan Nenek, dan Paman yang baik hati ini? Terimakasih sudah banyak membantuku Nenek, Paman. Ampunkan aku jika tidak sopan.” Ujarku sedikit bergetar. Aku jadi terbayang puyangku dari Bukit Marcawang. Hampir sama seperti mereka, berbaju putih, wajahnya bercahaya teduh, aura mereka benar-benar mendamaikan. Sama-sama berdiam di perut bukit menjadi ahli zikir.
“Yang membantumu sejak awal adalah nenek Siti Abdillah, beliau petapa di bukit sebelah barat gunung Kerinci. Tidak jauh dari sini. Beliaulah yang kita temui di lembah tadi. Dan yang kau panggil paman Udai Satra berdiam di bukit Halimun sebelah timur. Dan saya, terdiam di bukit dekat telaga Kecil sebelah selatan tempat kita berdiri. Sudah lama kami menunggu manusia damai sepertimu, untuk menjadi penyambung lidah dan perpanjang tangan bangsa kami. Sebab tanpa campur tangan manusia, masalah kemaksiatan di alam kami belum tentu selesai dengan mudah. Terimakasih Selasih, kamu sudah membantu kami.” Aku benar-benar kaget mendengar uraian Paman Muning Kriya. Tidak menyangka perjalananku malam ini akan berjumpa dengan orang -orang soleh dan soleha ini.
“Kami sudah lama tahu siapa dirimu, Putri Selasih. Makanya aku minta izin leluhurmu, Puyang Pekik Nyaring untuk menggiringmu sampai ke mari. Jadi ada campur tangan leluhurmu juga hingga kau bisa sampai ke mari”.Ujar nenek Siti Abdillah sembari tersenyum. Aku hanya bisa mengangguk-angguk terpukau.
Selanjutnya aku bertanya akan diapakan Darang Kuning yang masih membeku. Apakah kubawa ke hadapan orangtuanya? Bagaimana jika orang tuanya marah? Apa yang harus kujawab?
“Bawalah dia kehadapan orang tuanya. Berikan dan ceritakan. Termasuk juga tujuanmu ke mari. Sudah lama Temenggung Sonang Alam bapaknya hendak menakhlukan anaknya yang telah mencoreng nama suku dan leluhurnya ini. Tapi selalu gagal. Anak ini sangat melawan dengan orang tua. Bahkan Bapaknya berdoa agar Darang Kuning segera mati. Berapa banyak anak perawan yang dia culik lalu dijadikannya budak nafsunya dan kawan-kawannya. Mereka yang telah kau bebaskan tadi adalah bangsa kami dan bangsamu yang mereka tawan sejak lama.” Beber Muning Kriya. Aku makin tak percaya ada anak sedurhaka itu pada orang tuanya. Akhirnya aku sepakat membawa Darang Kuning ke hadapan Temenggung Sonang Alam.
Ketiga resi, Nenek, Udai Satra dan Muning Kriya sudah lenyap dari hadapanku. Sejenak aku memandang bukit yang tinggal seperempat. Tanah merah, bongkahan batu dan pohon yang tumbang seakan tawa puas bumi setelah mengubur segala atribut maksiat di kulitnya. Darang Kuning yang berbalut es masih tergeletak di tanah. Akhirnya aku membentang selendangku. Kupindahkan Darang Kuning ke atasnya. Aku terbang menuju rumah Temenggung, Bapaknya.
“Assalamualaikum, bisakah saya bertemu dengan Temenggung Sonang Alam?” Aku berdiri di anak tangga paling bawah. Ada lelaki tua berkain sarung duduk di beranda.
“Sayalah Sonang Alam. Siapa kamu anak Gadis?” Matanya menatapku heran setelah menjawab salamku. Aku kenalkan diri. Lalu kusampaikan darimana Asalku. Termasuk tujuanku mencari Darang Kuning. Tanpa menunggu naik atau duduk, aku ceritakan semuanya pada beliau.
“Maafkan jika aku lancang Temenggung. Aku telah mengombrak abrik bukit itu setelah memohon pada Darang Kuning untuk membatalkan niatnya mempersunting Putri Bulan. Apalagi setelah aku tahu siapa Darang Kuning sebenarnya. Sekali lagi mohon maaf, sekarang bukit maksiat itu sudah tidak ada, lebih separuh bukit longsor dan rata ke lembah” Ujarku singkat.
“Masya Allah! Jadi kamu menakhlukan Darang Kuning anak gadis? Benarkah? Jadi suara gemuruh kadang seperti petir kadang seperti angin dan hujan itu berasal dari bukit itu? Kalian bertarung?” Mata Temenggung Sonang Alam terbelalak. Aku sedikit heran, barangkali baru kali ini aku melihat seorang ayah tidak khawatir dengan kondisi anaknya. Malah wajahnya nampak berseri-seri.
“Alhamdulilah, Nak Gadis, apakah Darang Kuning ikut terkubur di dalamnya? Dia itu seperti punya sepuluh nyawa. Sulit sekali menakhlukannya. Belum ada yang berani melawannya. Dan kau gadis belia mampu menakhlukannya. Aku akan segera ke Gunung Bungkuk. Akan kutemui Riu Sapura adik sepupuku. Akan kubatalkan lamaranku. Akan kuceritakan siapa Darang Kuning sebenarnya?” Ujar Temenggung Sonang Alam dengan ekspresi gembira. Dari beliau juga diketahui jika beliau hampir mati dihajar Darang Kuning ketika dia memaksa melamar Putri Bulan untuknya.
Ketika kusampaikan jika yang berbalut es ini Darang Kuning, Temenggung Sonang Alam malah menyuruhku membuangnya ke sungai atau menguburnya.
“Jangan Temenggung, Darang Kuning masih hidup. Aku telah membalutnya dengan es beku ini. Ilmunya telah kucabut semua. Kini Darang Kuning tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Bagaimana pun dia adalah anak Temenggung. Maafkanlah dia Temenggung” Aku memohon pada Temenggung. Beliau terdiam cukup lama.
“Masih ada waktu untuk mengubah wataknya, Temenggung. Anggaplah Darang Kuning bayi polos yang perlu diajari berbagai macam hal. Ajari dia agama, Temenggung.” Ujarku lagi.
Temenggung Sonang Alam masih terdiam. Nampaknya beliu berat sekali mempertimbangkan permintaanku. Barangkali karena beliau sudah sangat kecewa dan trauma.
“Aku sudah sangat malu karena perbuatannya, nak Gadis. Nyaris tidak ada tempat untukku menghadapkan wajah pada semua bangsa kami sepanjang bukit ini. Terlalu banyak orang yang dia rugikan dan permalukan” Suara Temenggung Sonang Alam seperti tersekat di tenggorokan. Timbul rasa kasihanku pada beliau.
“Selasih, serahkan Darang Kuning pada raksasa. Biarkan Raksasa yang menggemblengnya.” Suara Puyang Pekik Nyaring. Aku langsung menjawab setuju. Akhirnya kusampaikan pada Temenggung Sonang Alam bagaimana kalau Darang Kuning kubawa ke gunung Dempu untuk digembleng belajar agama di sana. Temenggung Sonang Alam makin tak percaya. Matanya makin membesar menatapku.
“Apa yang harus aku ucapkan padamu nak Gadis. Kau sudah menakhlukan anak bejat itu saja aku sudah bersyukur dan bahagia. Ratusan kali aku mendoakannya agar dia segera mati. Sekarang malah kau juga memberikan solusi untuknya.” Mata Temenggung Sonang Alam berair. Akhirnya aku segera konsentrasi memanggil paman raksasa. Tak lama angin berhembus kencang. Pelan-pelan sosok paman Raksasa berdiri di hadapanku.
“Assalamualaikum, Paman! Apa kabar” Paman raksasa menyambarku. Aku mengelus-ngelus wajahnya rindu. Akhirnya kusampaikan pada paman Raksasa untuk menitipkan Darang Kuning putra Temenggung Sonang Alam. Kuceritakan sekilas siapa Darang Kuning. Paman Raksasa menyambut dengan gembira. Selanjutnya Darang Kuning yang masih berbalut es diboyongnya ke gunung Dempu.
Setelah paman Raksasa pergi, aku juga mohon diri pada Temenggung. Temenggung kaget dan baru sadar jika kami berbicara sambil berdiri beliau di atas rumah sementara aku di jenjang tangga paling bawah.
“Nak Gadis, maafkan sampai lupa mengajakmu naik dan masuk ke dalam rumah.” Temenggung turun tangga lalu memegangku mengajak naik. Dengan lembut kutolak ajakannya. Aku segera minta izin untuk pulang. Nampak sekali beliau masih keberatan melepaskan aku pergi. Kusampaikan suatu saat jika umur panjang, pasti akan bertemu.
Aku kembali melintas di atas bukit-bukit gundul yang telah ditumbuhi sawit-sawit muda. Kecepatan angin yang membawaku sedang saja. Tanpa menoleh kiri kanan lagi aku fokus menuju pusat kota bumi Raflesia. Sebelum tiba, dari jauh terlihat gunung Bungkuk. Aku merasa lega, karena di sana ada gadis lembut, selembut cahaya bulan dan tengah berbahagia karena batal di lamar. Aku senyum sendiri, mestinya orang yang dilamar bahagia, tapi ini justru sebaliknya. “Ah! Ada-ada saja, masalah jodoh pun harus diurusi, Selasih….Selasih.” Aku membatin ketika tiba di kamarku. Seperti biasa, menahan kantuk menunggu subuh.
Bersambung…