HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (92B)
Aku berdiri di depan papan pengumuman menelisik nomor urut dan nomor test Ujian Nasional. Di belakangku beberapa teman dari jurusan IPS melompat-lompat kegirangan. Tak lama depan papan pengumuman sudah berdesak-desakan membuat aku sulit bergerak. Antusias kawan-kawan untuk melihat pengumuman kelulusan membuat dada mereka berdegup kencang. Nafas mereka sebagian besar terdengar memburu seperti dikejar maling.
“Sejak semalam aku sulit tidur menunggu pengumuman hari ini.” Ujar salah satu anak IPS di sebelahku. Entahlah dia berbicara dengan diri sendiri atau berbicara dengan kawannya. Tapi nampaknya tidak ada yang menjawab. Semua mata nanar melihat kertas yang di tempel di papan pengumuman. Ketika mengetahui namanya tercantum maka teriakan kembali pecah. Kerumunan pun diterjang agar bisa melompat girang. Ya demikianlah ekspresi ketika seseorang gembira dan berhasil menerima capaiannya.
Aku berusaha ke luar dari himpitan keramaian. Namaku ada di urutan delapan, dinyatakan lulus.
“Ce, lulus? Selamat ya!” Aku menjabat dan memeluk Ice teman sekelasku.
“Aku belum lihat pengumuman, Dek. Rame banget. Nanti saja tunggu agak sepi. Aku mau pulang sebentar.” Ujarnya buru-buru meninggalkan aku. Aku sedikit heran meski tidak melihat wajahnya cemas. Tapi Ice memang tidak segembira kawan-kawan yang lain. Tidak sedikit kawan-kawanku sujud syukur sambil berurai air mata.
“Alhamdulilah Dek, perjuangan kita tidak sia-sia. Lepas rasanya beban berat selama ini. Sekarang kita tinggal melanjutkan mempersiapkan diri ikut ‘Sipenmaru’ Neti memelukku erat sekali. Kulihat mata cipitnya basah saking harunya. Aku memaklumi sahabatku satu ini. Sejak ayahnya meninggal, dia ikut kakaknya yang honorer di salah satu instansi pemerintah. Sementara ibunya di kampung, beratani. Hanya sesekali saja ibunya datang dari Lintang Empat Lawang ke Bengkulu. Itu pun jika sudah panen sahang, atau kopi.
“Rasanya aku ingin cepat pulang ke dusunku, Dek. Aku ingin ziarah, menyampaikan berita gembira ini pada Ayah” Ujarnya dengan suara tertahan.
“Iya, lusa kita akan tandatangan ijazah. Kalau sudah kau pulanglah sebentar ke dusunmu. Lalu segera balik ke Bengkulu untuk siap-siap tes Sipenmaru” Lajutku sambil menghapus air matanya.
“Tapi kakak belum gajian, awal bulan aku baru bisa pulang, Dek” Lanjutnya lagi. Aku merogok kantong celana panjangku dan mengeluarkan uang dua puluh ribu.
“Pakailah uang ini untuk ongkos pulang kampung. Cukup kan untuk pulang pergi” Lajutku menyodorkan uang pecahan sepuluh ribu. Tatapan Neti ragu. Dia tidak percaya jika aku serius hendak menolongnya.
“Ini terlalu banyak, Dek. Lagian pula entah kapan aku bisa mengembalikannya padamu. Kamu juga butuh uang kan?” Ujarnya lagi. Setelah kubujuk, akhirnya Neti mengambil uang yang kusodorkan. Katanya uang segitu lebih dari cukup untuknya pulang pergi. Aku melihat senyummu mekar. Dalam batin bahagia sekali aku melihat sahabatku satu ini.
“Hei, nama Ice, Siti, Budi, tidak ada di papan pengumuman. Apa mereka tidak lulus ya” Akhirudin salah satu teman sekelasku membawa berita mengejutkan sambil menghampiri kami berdua. Aku penasaran. Diam-diam kuawasi lagi pengumuman kelulusan. Benar! Nama ketiga sahabatku itu tidak ada. Sejenak aku tercengang. Perasaan ketiga sahabatku itu tidak bodoh. Dari kelas satu kemampuan mereka sedang-sedang saja. Bagaimana mereka bisa tidak lulus? Bahkan Budi mantan ketua OSIS. Aku tidak habis pikir. Pantas tadi Ice terkesan buru-buru. Tenyata namanya tidak ada di papan pengumuman itu. Terbersit rasa kasihan pada mereka. Cukup lama juga aku terdiam memikirkan mereka.
Jika teman-temanku berlari ke sana ke mari, berteriak gembira lalu berpeluk-pelukan, aku justru memilih pergi ke kantor. Yang pertama kutemui kepala sekolahku, Bapak Saldanis. Beliau seringkali kurepotkan dengan meminta tinta cair merek ‘hero’ untuk mengisi penaku sampai penuh. Saking seringnya aku disuruhnya mengambil sendiri di ruangannya.
“Kenapa Dek, mau minta tinta lagi?” Sapa beliau ketika melihat aku nongol di depan pintu. Aku langsung tersenyum mendengar sapaannya. Buru-buru aku mengucapkan terimakasih karena sudah mendidikku, dan hari ini lulus. Beliau tersenyum lebar menyalamiku.
“Alhamdulilah, selamat Dek. Lanjutkan kuliah. Bapak doakan kamu sukses” Ujar beliau lagi. Bahagia sekali rasanya bisa berjabatan dan mendapat ucapan selamat langsung dari beliau. Selebihnya beliau m nasehati dan memotivasi aku agar terus menggali diri dan membangkitkan potensi.
Dari Pak Saldanis, aku berlari gembira mencari wali kelasku di ruang guru. Ternyata beliau tidak ada. Akhirnya aku bersalaman dan mengucapkan terimakasih pada guru-guruku yang lain. Usai menemui para guru, selanjutnya aku dan kawan-kawan berkumpul di kantin Datuk belakang sekolah. Mendengar rata-rata kami lulus, Datuk tersenyum lebar. Lelaki yang sudah berusia tujuh puluhan ini nampak turut bahagia.
“Doakan Datuk tetap sehat yo, Datuk minta maaf kalu ado salah. Datuk jugo doakan tobo kamu koh jadi orang segalo” Ujar Datuk menatap kami bahagia. Wajahnya berseri-seri. Lelaki sepuh ini sangat baik. Sering aku melihat beliau diam-diam memberikan makanan jualannya pada teman-temanku yang kelihatan hidupnya prihatin dan jarang jajan. Selebihnya tidak sedikit kawan-kawanku yang iseng membayar makanan tidak sesui dengan jumlah yang diambil atau pun dimakan. Biasanya Datuk memberikan sesuatu diam-diam, tidak diketahui oleh Andung, sapaan untuk istrinya. Sebab pasangan suami istri sepuh ini punya sifat seperti bumi dan langit. Datuk seorang yang dermawan, kerja tanpa pamri, akrab dengan anak-anak. Sementara Andung, pelit, cerewet, marah melulu. Apalagi kalau jajan cuma berapa biji lalu duduk lama-lama di kantinnya, Andung pasti marah lalu mengusir kami agar ke luar dari kantin. Makanya tidak heran, Andung tidak masuk dalam kategori orang yang dirindukan seperti Datuk. Wajahnya selalu masam, kerutnya berlari-lapis. Bahkan ada yang memprediksi masa mudanya beliau berhati sempit, dan itu tercerminan hingga kini.
Usai berkumpul, kawan-kawanku berjanji akan ke sekolah lagi esok. Meski kami bingung apa yang akan dilakukan. Usai mengiyakan, aku segera pamit pulang. Kami bubar dari katin Datuk. Aku memilih jalan pintas di belakang sekolah agar cepat sampai di simpang Kampung Bali. Aku ingin mengabari Bapak dan Ibu segera. Beliau pasti menungguku di rumah dengan perasaan gelisah. Bagaimana pun mereka berdua wajib tahu lebih dulu di bandingkan yang lain.
Benar saja, ketika mendengar aku pulang, yang pertama ditanya apakah aku lulus atau tidak. Bukan bertanya berapa nilaiku. Nampaknya nilai tidak penting. Yang penting adalah mendengar kata ‘lulus’. Mendengar kata lulus wajah keduanya nampak berseri. Bapak langsung memberikan alternatif-alternatif pendidikanku selajutnya. Nada suara Bapak antusias sekali dan beliau sangat yakin aku lulus seleksi masuk Perguruan Tinggi.
Aku bersyukur meski orang kampung, Bapak dan Ibu selalu mengutamakan pendidikan.
“Pokoknya kalau kamu mau kuliah, harus kita wujudkan meski terjual harta benda sekali pun tidak masalah. Ibu ingin anak ibu bisa mengubah kehidupan. Cukup Bapak dan Ibu saja yang jadi petani, hidup di desa. Kalian harus hidup di kota” Ujar Ibu semangat. Aku mendengarkan celoteh ibu tentang orang-orang kampung yang sukses. Menurut Ibu mereka yang sukses adalah mereka yang ditempa oleh keprihatinan. Tekad untuk berubah bukan dari orang lain. Tapi harus tumbuh dari diri sendiri. Orang lain hanya bisa menasehati, memberi jalan. Yang menentukan jalan lurus atau bengkok kembali pada diri kita masing-masing. Aku sepakat dengan apa yang disampaikan ibu. Wanita sederhana ini menurutku cukup cerdas dan bijak jika diajak berbicara tentang hidup. Tapi jika berbalik ke belakang, Ibu memang perempuan tangguh. Jika Ibu tidak tangguh, tidak mungkin Bapak akan kembali bergairah menjalani hidup seperti usai mengalami musibah kebakaran berapa tahun lalu.
“Ibu memang wanita hebat!” Aku mencium pipi dan memeluknya dari belakang. Tiba-tiba aku sangat kagum dengan perempuan kampung ini. Untuknyalah aku harus bisa masuk Perguruan Tinggi Negeri.
Baru saja aku merebahkan badan menikmati kelulusan hari ini. Jadi terbayang kebersamaan bersama teman-teman selama ini. Entahlah, tiba-tiba aku merasa kesepian, lalu muncul pula perasaan rindu pada guru, pada teman-temanku, pada lingkungan sekolah. Padahal baru dapat pengumuman lulus, tapi jiwa serasa sudah merantau ke mana-mana. Seperti rangkaian gerbong kereta api, satu-satu berbagai peristiwa di sekolah terekam semuanya.
BRaaaaRTT!!!
Aku tersesetak tiba-tiba ketika mendengar gerakan angin kencang di atas bubungan rumah. Aku diam sejenak, lalu pelan-pelan mengawasi apa yang terjadi.
“Hati-hati Putri Selasih! Jangan ke luar!” Suara merdu mengingatkanku. Masya Allah, Ratu Ular Putih yang memiliki istana tidak jauh dari rumahku mengingatkan. Sudah lama sekali aku tidak berjumpa dengannya. Tiba-tiba malam ini dia mengingatkan aku. Sementara aku belum tahu apa yang terjadi.
“Apa kabar Ratu Ular Putih. Sudah lama sekali kita tidak saling sapa. Apa yang terjadinya luar?” Aku membatin, menjawab perintahnya. Sebenarnya aku sangat penasaran ingin mengetahui apa yang terjadi. Mengapa bubungan atap rumahku seperti terangkat.
“Ratusan makhluk astral pengikut dukun-dukun santet nampaknya hendak menyerbumu. Mereka datang dari Utara” Lanjut Ratu Ular Putih lagi.
“Oh..kalau begitu, akan kuhadapi mereka!” Jawabku langsung melesat ke luar rumah. Benar apa yang dikatakan Ratu Ular Putih. Ratusan makhluk astral mengelilingi rumahku dengan wujud berbagai bentuk. Rata-rata mereka memiliki senjata. Aneka bentuk pedang, tombak, dan ular mereka pamerkan mengancam dan menakutiku. Rupanya bunyi gaduh di atas bumbungan rumahku ini adalah gabungan kekuatan ratusan jin fasik yang berusaha menjebol pagar rumah.
“Apa keperluan kalian datang ke mari? Mengapa kalian kompak sekali hendak menjebol pagar rumahku?” Tanyaku masih santai. Jawabannya adalah suara menggeram dan nafas berat. Mata mereka terlihat nanar. Beberapa di antara mereka langsung mengirimkan bola api padaku.
Waasstt!!
Aku mengibas bola api dengan telapak tangan. Bola api terpental jauh. Aku belum sempat mendeteksi siapa mereka. Jadi aku tidak tahu tujuan dan datang dari mana. Melihat mereka nampaknya bernafsu sekali ingin menyerangku. Aku mulai waspada. Benarlah kata Ratu Ular Putih, mereka kasar dan berniat tidak baik. Ini terlihat dari cara mereka menyerangku tiba-tiba.
Hiiiaaat!!!
Aku menggerakkan kedua tangan sekaligus memasang kuda-kuda. Pasukan tidak dikenal ini nampak serentak menyerangku.
“Hati-hati Selasih! Mereka licik sekali” Ratu Ular Putih berteriak. Aku tidak tahu memastikan beliau ada di sisi mana. Tapi cukup berterimakasih karena teriakkan Ratu Ular Putih aku menjadi awas. Apalagi dari belakang sabetan ekor ular berwarna kuning emas siap mengait lalu melilitku.
“Mati kau! Sok suci menolak ajakan kami perempuan kecil” Suara lelaki berat bernada meremehkan. Aku mengenal suara itu. Dia lelaki, dukun santet yang memimpin paguyuban, yang kuambil sukmanya beberapa waktu lalu. Rupanya dia belum puas dan merasa diremehkan karena aku sempat menyanderanya.
“Dasar pengecut! Tidak puas rupanya, sekarang mengirim makhluk-makhluk pesuruh yang tidak punya perasaan. Mau apa lagi Bapak dukun?” Ujarku di sela-sela menyiapkan perlawanan. Aku disambutnya dengan tawa menggelegar. Tak lama terdengar riuh sekali. Mereka memukul pusaka masing-masing, persis seperti orkestra. Pusaka-pusaka mereka berfungsi menjadi alat-alat musik. Iramanya yang mistis membuat makhluk-makhluk astral semakin bergairah. Efeknya, kekuatan mereka berlipat ganda.
Aku mulai bergerak, mengangkat tangan ke atas tinggi-tinggi. Kekuatan mulai kupadu jadi satu. Sebelumnya, kupagari diri, lalu memanggil kekuatan angin. Aku membatin, nampaknya pertempuran malam ini akan terjadi cukup sengit. Melawan dukun santet yang bersatu, apalagi mereka berasal dari segala penjuru bukan hal yang muda. Apalagi untuk melawan kekuatan-kekuatan mistis dari pulau Kalimantan menurutku ilmunya cukup unik dan aneh. Baru saja aku hendak memutar badan, tiba-tiba hawa panas menghantamku dari depan. Rupanya lidah salah satu makhluk astral bisa menjalar panjang dan menyerang. Bersyukur angin dengan cepat menarik tubuhku untuk mengelak dari serangan yang tiba-tiba. Sambil melayang ke atas, aku hantamkan pukulan api mengimbangi hawa panas yang menjalar-jalar itu. Dalam satu kesempatan kutebas dengan pedang api yang kutarik dari kekuatan matahari. Lidah yang panjang menjalar terputus. Namun anehnya, bagian ujung yang putus bisa menyerang balik. Darahku sedikit terkesiap. Ilmu yang aneh, aku membatin.
DuuuaaRR!
Bola es dan pukulan halimun beku kuhantamkan kembali pada potongan lidah yang menyala-nyala. Dalam sekejab, seperti api tersiram air, lidah mendesisis dan langsung berkerut. Tinggallah makhluk astral pemilik lidah mental ke sana kemari seperti bola bekel sambil mengirimkan pukulan padaku.
Tawa para dukun pecah sambil berteriak “mati kau, mati..mati” melihat aku berkelit ke sana-kemari. Mereka mengira aku kelabakan mendapatkan serangan maut yang mereka kirimkan. Mereka memukul-mukul pusaka dan alat musik tertentu dengan irama aneh. Lama-lama seperti suara musik itu bersatu seperti orkestra, semakin lama semakin kencang. Belum lagi makhluk astral yang sengaja datang mengepungku, mereka juga terlihat liar dan sulit dikendalikan.
Aku menutup pancaindera agar bunyi yang membisingkan itu tidak menyerang gendang telinga dan membuyarkan konsentrasiku. Aku tidak paham ilmu apa ini. Selain mengirim godam, para dukun ini bisa pula mengirim bunyi-bunyian. Belum lagi serangan pukulan mereka. Tidak sedikit kekuatan-kekuatan mereka memiliki energi dasyat yang mematikan. Tiba-tiba aku mendengar deru angin sangat kencang dari arah belakangku. Aku berkelit menghindari sabetan berupa kilatan-kilatan senjata tajam berseleweran dari samping, atas, dan depan. Mereka mencoba mengepungku. Makhluk astral ini bukan hanya bertugas sebagai perentara saja. Tapi bertugas mencelakakan aku. Penggerak sesungguhnya ada pada Bapak dukun dan dua puluh lima pengikutnya.
“Pak dukun! Apa Bapak tidak malu mengeroyok seorang perempuan? Atau Bapak sudah kehilangan kejantanan hanya berani dengan perempuan? Dasar dukun banci!” Teriakku sengaja mengejeknya. Tidak ada jawaban. Yang ada hanya suara menggeram pertanda si dukun mengerahkan kekuatan batinnya.
“Pak Dukun! Maumu apa mengirim pasukan iblis ini ke mari?” Teriakku. Lagi-lagi aku mendapatkan jawaban berupa gigil dan geraman yang menyeramkan.
Akhirnya setelah mendapatkan serangan dua kekuatan makhluk astral dan pasukan dukun, aku mencoba untuk menyelesaikan lawan satu-satu. Sekarang saatnya aku menyerang. Sebab jika terus bertahan, aku akan kehilangan banyak energi. Aku beralih pada jurus baru dan kekuatan baru.
Di samping terus bertahan dengan serangan jarak jauh, aku juga fokus menghadapi makhluk astral secara langsung. Aku segera menyilangkan tangan, membaca mantra, lalu kutarik kekuatan langit dan badai. Kekuatan itu kukumpulkan ke lengan hingga telapak tangan. Melihat desau angin dan energi kekuatanku berkumpul tidak sedikit makhluk astral di hadapanku bergerak minggir. Tak lama mereka Kembali maju karena diasup kekuatan oleh para dukunnya.
Tak lama bubungan rumahku seperti lapangan perang. Erangan, teriakan, jeritan, tangisan, sampai tawa makhluk astral campur aduk menjadi satu. Kali ini aku balas menyerang mereka. Tubuhku berkelebat ke sana kemari. Kekuatan angin masih kukerahkan untuk membantuku bergerak. Beberapa kali sabetan ekor ular besar berwarna emas nyaris membanting tubuhku. Tiba-tiba aku merasakan tubuhku ditarik dari segala arah, sehingga terasa tubuhku akan dicabik di sana-sini. Aku berusaha bertahan sembari mengerahkan tenaga untuk melepas tarikan yang maha dasyat itu. Namun ternyata tenaga makhluk astral ini yang dibantu kekuatan para dukun luar biasa. Aku akui, para dukun dalam paguyuban itu bukan dukun biasa. Mereka adalah dukun-dukun ternama di daerah masing-masing. Bahkan batinku mengatakan di antara dukun itu, ada yang paling keji. Dia sudah membunuh kurang lebih empat ratus dua puluh lima manusia melalui santetnya dari berbagai kalangan. Ada tokoh agama, masyarakat biasa, pejabat, dan lain sebagainya. Dalam hati aku tak habis pikir. Ada juga bangsa manusia tega membunuh bangsa sendiri dengan keji. Istilah metode “membunuh tanpa menyentuh” sudah mendarah daging bagi para dukun santet. Dan mereka bangga dengan profesi mereka. Apalgi jika bisa membunuh orang dalam waktu singkat. Dan bayarannya tidak tanggung-tanggung. Puluhan juta bahkan ada yang ratusan juta. Bergantung cepat lambatnya mengenai sasaran. Makin pendek waktunya, maka makin mahal pula taripnya.
Tiba-tiba aku merasa kekuatan para makhluk astral yang dikendalikan oleh para dukun ini semakin bertambah. Beberapa kali aku menjadi sasaran pukulan telak mereka. Tidak ada kesempatan untukku mengubah posisi dan kembali melakukan serangan. Akhirnya aku hanya menghindar dibantu angin. Berkelit ke sana – ke mari, kadang berputar ke sana ke mari seperti penting balet.
Baru saja aku hendak menarik nafas setelah ada sela, tiba-tiba api berkobar mengelilingi tubuhku. Kulihat di sekitar rumahku pun dikelilingi api. Dalam hati aku heran dengan kelakuan para dukun ini. Mengapa mereka begitu gencar menyerangku hanya karena aku menolak berseketu? Rasanya tidak masuk akal. Melihat mereka serius hendak mencelakai aku, dalam keadaan terdesak aku baca mantra badai dan hujan. Dalam sekejap, angin dan hujan menggulung api. Kulihat api melakukan perlawanan pada angin dan hujan. Api merupakan perwujudan lain makhluk astral bergerak tak karuan. Akhirnya dimana-mana ada kelompok api menyala. Aku kembali menghimpun kekuatan badai. Kali ini api kukepung dari segala penjuru. Dari atas, bawah, samping. Akibatnya benturan energi makin menjadi.
Plaakk!!! Aku terpental. Pukulan ekor ular berwarna emas menghantamku dari belakang. Meski tidak terlalu telak karena angin sempat mearikku untuk berkelit, namun karena energi yang dikeluarkan bukan energi biasa, sedikit saja menyentuh tubuhku rasanya bukan main. Aku seperti dibanting dan terhempas di karang tajam. Sesaat aku menahan nafas karena nyeri. Segera kutarik nafas berusaha memulihkan diri. Namun belum sempat aku pulih sepenuhnya, seperti kilat serangan api berpasir menyerang tubuhku. Ratusan kekuatan yang dihimpun jadi satu ini benar-benar dasyat. Kali ini aku merasakan pasir panas yang menerpa nyeri sekali. Kulitku terasa disayat-sayat. Mungkin beginilah rasanya kena santet. Pasir terasa bergerak dan berjalan ke seluruh tubuh dan semuanya terasa tersayat. Tiba-tiba wajah dan kulitku menggelembung seperti luka bakar. Lalu terdengar tawa berbarengan para dukun dan makhluk astral.
“Mampussss kau perempuan sombong!” Jerit salah satu mereka terdengar sangat lantang.
Di tengah rasa sakit yang maha dasyat tersebut, aku mencoba menatralisir semuanya. Serangan-serangan masih terus berlangsung. Bahkan beberapa kali aku kena pukulan di dada, perut, dan nyaris kepala dan wajah. Aku tidak punya kesempatan untuk melakukan perlawanan.
“Gunakan sabuk dan selendangmu, kerahkan pedang dan permatamu. Biarkan cambukmu bekerja sesuatu kehendak hatimu” Suara gaib itu tidak kukenal.
Mendengar pesan itu, di tengah pukulan yang kutahan semampunya, aku mencoba mengeluarkan dan memerintahkan semua pusaka yang ada. Tak lama aku merasakan hawa dingin menyejukkan berkelebat kencang dan ke luar dari tubuhku. Kulitku yang melepuh normal kembli. Aku segera turun menginjak tanah, lalu membaca mantra. Dalam sekejap aku mengaum, mencakar tanah dengan kuku-kukuku. Lalu aku berteriak, menggeram, dan mengaum sekeras-kerasanya. Kukerahkan tenaga dalam untuk mengalahkan suara pusaka yang mirip orkestra para dukun dan serangan-serangan maut para makhluk astral. Semua senjataku bekerja dengan kompak mencari lawan masing-masing. Aku masih berusaha menggempur pasukan dukun dari jauh.
Usai seperti team orkestra, para dukun buru-buru berlari ke pantai. Rupanya mereka masuk ke dalam laut yang berair tenang. Kali ini mereka melakukan ritual dalam air sambil terus menyerangku. Aneh-aneh sekali ilmu mereka. Bahkan dukun dari Kalimantan beberapa kali mengirimkan benda gaib lewat angin. Ada berupa lebah, racun, miang bambu seperti hidup, pasir, rambut-rambut seperti jarum, darah, belatung, dan lain sebagainya. Belum lagi dukun dari Jawa mengirimkan jarum, paku, pecahan beling, ijuk kasar, beberapa kali diarahkan ke perutku. Aku segera berzikir menghadapi ilmu-ilmu iblis mereka. Dalam bentuk harimau putih besar kiriman-kiriman mereka semuanya kutarik lalu kutelan. Pada satu kesempatan aku kirimkan pukulan-pukulan jarak jauh. Kucabik tanah yang kuhubungkan dengan laut tempat mereka berendam. Seketika air laut bergejolak. Kuputar hingga membentuk pusaran. Dalam sekejap mereka seperti tumpukan ikan menjadi satu. Jerit dan suara minta ampun silih berganti memecah malam sepanjang pantai itu.
“Huu Allah….Huu Allah…Huu Allah…” Zikir itu teratur dan kompak seirama nafasku. Maya Allah, ternyata pusaka-pusakaku kompak berzikir sambil menyerang makhluk astral yang menyerangku sebelumnya. Tak lama semua makhluk astral mereka tumpas nyaris berbarengan. Sementara suara zikir terus melantun makin cepat namun halus dan nyata.
Menyadari sudah di posisi menang, karena semua makhluk astralnya berhasil dilumpuhkan, sedangkan para dukunnya banyak yang tumbang, satu-satu benda-benda pemberian para leluhurku itu kembali masuk ke dalam tubuhku. Fisikku pun sudah kembali normal menjadi manusia. Baru saja aku hendak melangkah, tiba-tiba aku merasakan tubuhku layu tak berdaya. Aku ambruk seketika. Oh! Duniaku gelap.
Bersambung..