Kunyah daun kokain merupakan tradisi setempat ! Menyusuri Jejak Bangsa Inka (bagian 2)

Menuju danau Titicaca, saya melewati Altiplano. Altiplano merupakan dataran berpenghuni tertinggi didunia setelah dataran Tibet membentang sepanjang 1500 km yg membagi empat negara: Argentina, Chili, Peru dan Bolivia. Di plataran Altiplano ini juga sering terlihat gerombolan hewan  Lama dan Alpaga yang sedang merumput. Jalur darat dengan bis dari Arequipa ke danau Titicaca sekitar 250 km ditempuh kurang lebih 4 jam dengan kondisi jalan yang cukup bagus. Di danau Titicaca saya menginap di guest house lokal tempat penduduk setempat di pulau kecil Taquile berada di tengah danau Titicaca.

Pulau Taquile 45 km dari kota Puno ditempuh sekitar 1,5 jam berperahu adalah pulau asri tanpa ada kendaraan umum dan sarana perhotelan, ini disengaja oleh pemerintah daerah demi menjaga kelestarian alaminya. Bagi wisatawan yang datang ke sini harus mau membaur dengan kebudayaan setempat dan mengikuti sistem ekotourisme dengan prasana turistik seminimal mungkin.

Salah satu yang menarik di Peru selain alamnya, adalah pakaian atau kostum penduduk setempat yang beraneka warna. Warna-warni mencolok dari pocho yang merupakan kostum sehari-hari dihiasi dengan topi penutup kepala. Ini sangat terlihat menawan! Nah mengenai topi ada uniknya, rupanya tiap daerah memiliki ciri khas topi sendiri. Jadi dari pakaian dan topi yang mereka kenakan orang Peru sudah bisa menebak dari daerah mana mereka berasal. Biasanya pakaiaan tradisional ini kerap dijadikan sebagai obyek foto atau kenang-kenangan sebagai oleh-oleh.


Satu hal yang belum saya terangkan arti dari danau Titicaca yang saya datangi! Dalam bahasa Inka kuno berarti hewan Puma. Karena menurut legenda setempat dahulu ada seekor Puma yang tenggelam dan berubah menjadi batu. Danau Titicaca teritorialnya terbagi menjadi dua. Satu kawasan Peru dan sebagai menjadi bagian dari Bolivia. Anehnya untuk danau yanga sangat luas ini  tidak terlalu kaya dengan habitat perikanan. 

Hanya ada beberapa jenis ikan yang hidup di danau Titicaca, itupun tak banyak. Tak heran jika masyarakat setempat yang tinggal dilingkungan danau tampak tak antusis dalam hal bernelayan mereka lebih memprioritaskan di bidang agrikultur dan ternak. Padahal saat ini mulai banyak terlihat kolam-kolam pembudidayaan ikan trout yang didatangkan para peneliti dari Eropa. Namun tetap masyrakat belum bisa beralih mata pencarian.

Untuk bidang agronomi kawasan tinggi sini, menanam kentang merupakan budidaya secara tradisional yang memegang peran utama, selebihnya sekitar dua puluh persen palawiya seperti jagung, kinoa dan kacang-kacangan. Bila kentang menjadi sumber budidaya utama dikarenakanmerupakan makanan pokok bangsa peru. Tak heran sekitar lebih dari 1463 macam jenis kentang dari family solanum tuberosum ini dari yang tumbuh secara liar hingga yang dibudidayakan bisa ditemukan di sini. Makanya selama saya di sini tiap hari bisa dipastikan akan menikmati kentang dari mulai sarapan hingga makan malam, sama seperti di Indonesia, dari pagi sampai malam nasi! Tapi buat saya tak biasanya makan kentang terus menerus, cukup membuat saya blenger! Secara saya ini lebih suka nasi dari pada kentang layaknya orang asing. Dan rupanya berdasarkan sejarah, kentang pertama kali ditemukan di sini! di Peru! Ditemukan oleh penjajah Spanyol diakhir abad ke 16 dan baru kemudian di bawa ke benua Eropa.

Di sini juga ada pulau terapung bernama Uros! Pulau yang dihuni oleh keturunan suku Indian Uru merupakan perkampungan terapung yang dibangun dari bahan ilalang air “Totora”, yang memang banyak tumbuh di sekitar itu. Hal ini mengingatkan saya kepada pasar terapung tempat saya berasal di Kalimantan. Perkampungan terapung ini, dari pulau, rumah dan perahu tradisional mereka “Balsa” semuanya terbuat dari tumbuhan air! Bahkan mereka juga mengkonsumsi akar budanya seperti sayur umbut. Nah untuk hal ini, bila kita ke Peru khususnya daerah pegunungan kita akan sering melihat masyarakatnya banyak yang mengunyah daun koka (erythroxylum coca), iya betul daun sebagai bahan kokain banyak beredar di sini tapi jangan beranggapan negatif karena memang dari leluhur mereka kebiasaan mengunyah daun koka sudah ada sejak lama, layaknya di Indonesia sirih yang dikunyah.

Selain tradisi mengunyah daun koka, ada tradisi lainnya yaitu memberikan sesajen kepada “Pachamam” yang berarti Dewi bumi. Sesajen ini berupa daun koka untuk mendapatkan berkah dan perlindungan. Masyrakat di Peru percaya fungsi dari mengkonsumsi daun koka adalah, pertama untuk memberikan stimulasi energi, kedua menghilangkan sakit kepala yang disebabkan karena ketinggian tempat. Di percaya membantu untuk percernaan dan melancarkan peredaran darah. Sayangnya sejak masuknya peradaban moderen, daun koka banyak disalahgunakan. Sehingga menjadi sesuatu yang bersifat negatif, demi kesenangan dan tak berhubungan dengan kesehatan atau tradisi, bahkan membahayakan! Karena itulah dikeluarkan larangan membawa daun koka kering ke luar dari Peru. Namun karena sudah menjadi bagian dari tradisi setempat, maka untuk para turis diganti menjadi, teh, permen, roti dan makanan kecil lainnya yang terbuat dari campuran daun koka. Tapi mengunyah daun koka bagi masyarakat setempat tak akan pernah tergantikan dengan seperti yang disajikan bagi wisatawan. Saking sudah merupakan budaya, sampai magnet atau pernak pernik kecil yang dijual untuk cenderamata pun, menggambarkan wanita atau orang dengan kantung yang berisi daun koka sebagai ciri khas.


Saya melanjutkan perjalanan setelah melewati  dua malam di pulau Taquile dan semalam di kota Puno untuk menuju ibu kota bangsa Inka jaman dahulu yaitu “Cuzco”. Dari kota Puno ke Cuzco bisa diambil dengan jalur bis atau kereta api. Dikarenakan kereta api yang menghubungkan kedua kota ini cuma ada tiga kali seminggu, saya memilih bis yang berangkat pukul delapan pagi. Sangat menyenangkan selama perjalanan kita bisa menikmati pemandangan dari kaca jendela. Bis berhenti tepat untuk makan siang di sebuah kota kecil, saking kecilnya saya sampai lupa namanya. Setelah perut penumpang dan si supir terisi, kami melanjutkan perjalanan, mendekati Cuzco mulai terlihat banyak situs arkelogi peninggalan bangsa Inka. Raqchi, Rumicolca, Pikilaqta dan Tipon, sayangnya bis yang saya tumpangi tak berhenti hanya melewati saja. Wajar karena bisa saya bukan bis turis tapi transportasi umum……(bersambung)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *