HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (1)

Karya RD Kedum

Akhir-akhir ini, kampung kelahiranku (Pagaralam dan sekitarnya) geger karena banyak harimau berkeliaran di dekat pemukiman masyarakat. Bahkan beberapa orang mati diterkamnya. Mengapa?

Jika aku mengatakan ‘harimau Sumatera’ adalah hewan beradat. Mungkin kalian akan tertawa. Beradat seperti apa?

Sejak kecil, nyaris tidak pernah aku mendengar masyarakat suku(ku) Besemah menyebut kucing raksasa itu dengan sebutan “harimau” atau “raja hutan”. Kecil besar, tua muda, masyarakat Besemah menyebut hewan satu ini dengan sebutan ‘Se-tue’ maksudnya dituakan, dalam arti kata dimuliakan, dihargai. Atau dengan sebutan ‘Nenek gunung’, pun artinya sama, sebutan kehormatan untuk makhluk yang dianggap sepuh.

Ada pantangan (mitos) yang berkembang di masyarakat melarang menyebut nama hewan ini selain dengan sebutan ‘setue’ atau ‘nenek gunung’. Sebab jika kita menyebutnya dengan sebutan harimau, maka dia akan datang tiba-tiba, sekadar menampakan diri untuk menakut-nakuti, atau peringatan agar manusia tidak lancang berbicara. Mereka seperti makhluk gaib, tahu jika mereka dibicarakan. Demikian kata nenekkuSejak kecil, aku beberapa kali bertemu dengan makhluk ini. Meski kami hanya saling bertatapan dari jarak jauh. Usai bertatapan sejenak, biasanya aku akan melihatnya melangkah pergi dengan santai lalu menghilang di semak-semak.

Bahkan pernah suatu kali aku melihat makhluk besar ini melompat di hadapanku. Sambil melompat dia menoleh dengan mulut terbuka. Lompatannya tinggi sekali (mirip sirkus) Jangkauan lompatannya nyaris sepuluh meteran. Aku melihatnya seperti terbang ke arah puncak gunung Dempu. Dialah si raja hutan yang paling besar yang kulihat. Tubuhnya tinggi, berbulu lebat, panjangnya lebih dua meter.

Waktu itu, aku ikut Ibuku ke kebun kopi yang letaknya di kaki gunung Dempo. Seperti biasa tiap kali ikut ibu atau kakekku, aku akan bermain dan naik ke atas batu besar. Batu satu-satunya berada di tengah-tengah kebun kopi Bapakku. Setahuku batu itu dihuni kakek-kakek berjenggot, berambut panjang, berjubah putih (ini pun tidak ada yang percaya ketika kuberitahu). Beliau sering membantuku untuk naik ke atas batu mulus, licin, yang tingginya hampir tiga meter itu. Di atas batu itu aku bermain masak-masakan, bernyanyi, bercerita sendiri sampai bosan. Dari atas batu ini pula aku kerap melihat nenek gunung melintas. Kadang seekor, kadang sepasang. Gerakannya gesit lincah dan seperti terburu-buru.

Ibuku akan merasa nyaman berkeliling kebun atau ikut memetik buahnya yang sudah masak jika aku sudah di atas batu. Alasannya sederhana. aku tidak akan diganggu binatang buas, terutama segerombolan babi hutan yang kadang datang tiba-tiba.

Herannya, aku tidak merasa kaget atau takut ketika melihat makhluk besar itu menyeringai menampakan lidahnya yang merah dan empat taringnya yang panjang. Justru seringainya kulihat seperti tersenyum menyapaku.

Ketika tiba waktu istirahat siang, ditandai bunyi suling dari PTP IX (perkebunan Teh Gunung Dempo), pertanda waktu sudah menunjukan tengah hari, waktunya salat dan makan siang. Maka akupun akan ikut ibuku atau ikut kakekku ke sungai kecil di pingggir kebun. Sambil bersih-bersih aku ceritakan dengan ibuku kalau aku melihat nenek gunung lewat dan melompat di hadapanku.

Waktu itu aku tidak paham mengapa wajah ibuku sedikit berubah. Setengah buru-buru beliau membantuku menyuci kaki tangan lalu dengan cepat menyeretku segera menuju pondok kakek. Sesampai di pondok setengah berisik ibuku bertanya kembali. “Dimana lagi Nak kamu melihat nenek gunung? Kamu tidak takut? Dia tidak mendekatimu kan?” wajah ibu serius. Dengan jujur aku ceritakan apa adanya. Termasuk beberapa kali melihat mereka melintas jauh sebelum hari ini.

Usai makan ibu segera berkemas mengajakku pulang. Aku sedikit protes. Biasanya kami akan pulang sore hari. Sebab aku belum sempat mengumpulkan biji petai cina tua yang berserakan di bawah pohon kopi untuk kujadikan media bermain dengan teman-temanku. Sesampai di rumah kembali ibuku bertanya. Kali ini pertanyaannya agak detil. Sebesar apa, mengapa dia, lewat mana, warnanya bagaimana, ke arah mana, dan lain-lain. Lalu bagaimana perasaanku, siapa kakek yang suka mendorongku ke atas batu dan lain sebagainya. Sejak itu aku tidak diizinkan jauh-jauh dengannya atau dengan kakekku kalau ikut ke kebun kopi lagi.

Suatu hari, aku pulang dari kebun bersama kakekku. Kami bersama menyusuri jalan berbatu. Jalan satu-satunya menghubungkan gunung Dempu dengan kota Pagaralam. Hari baru menunjukan pukul 16. 00 Wib petang. Matahari sudah mulai condong ke Barat. Tiba-tiba aku mendengar derap langkah sangat ramai dari belakang kami. Aku menoleh. Tapi aku tidak melihat apa-apa. Sementara suara batu yang dijak-injak sangat jelas bunyinya beradu. Karena hanya mendengar suara saja aku bertanya dengan kakekku. Siapa yg berlari di belakang kita. Suara derap kaki menginjak batu-batu sangat jelas dan sangat dekat. Kakek menjawab tidak ada dan tidak mendengar apa-apa. Lalu katanya tidak usah menoleh. Bagaimana aku tidak menoleh jika aku serasa akan digempur oleh entah pasukan apa. Akhirnya aku memilih berjalan di sisi jalan. Sesekali hampir tergelincir karena batu-batunya memang licin. Bahkan hampir masuk ke parit kering di sisi jalan.

Tidak lama berselang, benar saja. Aku melihat debu membumbung bergulung-gulung. Di tengah debu aku melihat rombongan nenek gunung berlari cepat ke hilir. Persis jalan yang akan kami lalui. Aku segera menarik kakekku ke pinggir hingga nyaris terjerengkang. Aku takut kakek ditabrak oleh rombongan nenek gunung ini. Kulihat yang memimpin berlari paling depan nenek gunung bertubuh lebih besar dan kekar. Bahkan menurutku sanget ganteng, gagah, dan berwibawa. Sulit bagiku mendefenisikannya, karena secara umum bentuk harimau di mata awam sama. Selintas aku melihat dia menatapku. Tidak kurang tujuh ekor nenek gunung yang melintas. Sekali lagi aku mengingatkan kakekku, jangan berjalan di tengah agar tidak tertabrak mereka. Tapi lagi-lagi kakek menepis agar aku jangan banyak bicara dan bertanya.

Akhirnya aku diam saja. Di sepanjang jalan nampak jelas bekas kaki mereka. Kuamati satu-satu. Kuikuti, sampai di mana jejak mereka. Suara derap kaki mereka semakin jauh. Sampai di hilir, kira-kira satu kilo meter jaraknya dari kebun kakek, Simpang Kecepol namanya, aku berhenti. Sejenak aku berpikir, mengapa bekas kaki nenek gunung hanya sampai di sini? Aku kembali bertanya dengan kakek. Mengapa tapak kaki nenek gunung hanya sampai Simpang Kecepol ini? Lalu kemana rombongan nenek gunung yang aku lihat tadi? Aku mencari-cari. Namun tidak satupun memberikan isyarat padaku tentang keberadaan mereka. Aku berputar-putar melempar pandang ke tiga arah. Ke sebelah kanan ada simpang yg disebut simpang kecepol. Ke hulu jalan satu-satunya menuju gunung Dempo. Ke hilir, jalan menuju kota Pagaralam. Tapi jejak kaki tujuh nenek gunung hanya sebatas simpang tiga ini? Selebihnya aku melihat jalan ditumbuhi semak belukar menutup hingga sisi jalan. Beberapa orang terlihat menyembul keluar dari kebun-kebun mereka untuk pulang.

Aku memilih duduk sejenak meski kakek mengajakku melanjutkan perjalanan. Aku terkejut dan nyaris terpelanting ketika tiba-tiba persis di sebelahku duduk nenek gunung sambil mengibas-ngibaskan bulu, menggeleng-gelengkan kepala sembari menjilat-jilat lehernya. Aroma khasnya hingga sekarang masih terekam di benakku. Pelan-pelan aku bangkit sambil berucap “Nek, minta maaf, anak cucung mau pulang”. Setengah berlari aku tinggalkan kakek yang menyusulku dengan langkah cepat. Sambil menoleh aku ingin memastikan apakah nenek gunung mengejar kami? Ternyata tidak. Makhluk itu masih asyik membersihkan bulu-bulunya dan masih duduk di tengah jalan. Batinku legah. Usai magrib, kebiasaan di dalam keluargaku adalah makan malam bersama. Nasi, lauk-pauk dihidangkan di atas tikar. Membentuk hidangan panjang dan melingkar lalu seisi rumah akan makan bersama. Saat semua berkumpul inilah kesempatan aku bertanya pada Kakek dan Bapakku. Hanya Bapak yang menjawab jika simpang Kecepol adalah pintu gerbang pejagaan pertama ke gunung Dempu. Tempat itu dijaga oleh tiga nenek gunung. Kata Bapakku lagi, banyak orang yang pernah melihat nenek gunung tidur-tiduran di tengah jalan di simpang itu baik siang atau pun malam. Aku menarik nafas lega. Ternyata aku tidak bermimpi. Lalu kembali aku bertanya, mengapa nenek gunung tidak mengganggu manusia? Beberapa kali aku melihatnya melintas di kebun kita. Kembali bapakku menjawab, jika kebun kami adalah pelintasan atau jalan bagi nenek gunung itu. Dia tidak akan mengganggu selagi manusia tidak mengusik kehidupan mereka. Jika bertemu, sapalah dia. Persis seperti yang kaulakukan petang tadi. Jangan melakukan gerak-gerakan yang kita-kira menantang atau membuat mereka marah. Apalagi berbuat salah. Dalam hati aku membatin kembali. Mengapa hewan liar itu harus diajak berbicara? Lalu mengapa hanya aku yang kerap melihatnya? Lalu berbuat salah yang bagaimana yang akan membuat makhluk ganas itu murka? Bersambung….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *