HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (6)
Mendengar kata “pengajian” apakah sama dengan kehidupan manusia pada umumnya? Ada ustad yang berceramah atau yang membimbing kajian agama seperti Mualim guru ngajiku?
Tak lama berselang adzan subuh berkumandang. Kabut masih menyelimuti kota kecil Pagaralam. Udara yang dingin memang mengundang untuk kembali melingkar dalam selimut. Meski sudah memakai mantel tapi tetap saja dingin menggigit.
Dari dapur aku mendengar nenek Kam berbincang-bincang dengan ibuku. Entah apa yang mereka bicarakan. Sesekali aku mendengar suara Bapak ikut tertawa. Pasti mereka tengah bercerita lucu, batinku.
Aku masih terpukau dengan kejadian barusan. Bukan masalah nenek Kam diantar Si Kumbang tunggangannya. Hal seperti itu sudah sangat biasa. Bahkan di kampungku bukan suatu hal yang aneh jika mendengar nenek Kam diantar dan pergi dengan macan berwarna hitam itu. Tapi mendengar kata “pengajian” apakah sama dengan kehidupan manusia pada umumnya? Ada ustad yang berceramah atau yang membimbing kajian agama seperti Mualim guru ngajiku? Luar biasa!
Dalam hati muncul rasa kagumku. Nenek Kam memang perempuan hebat. Jasadnya ada di sini, tapi jiwanya bisa pergi ke puncak gunung Dempu. Tapi jangan-jangan yang kulihat tadi bukan jasad Nenek Kam? Tapi jasad temannya atau hanya alisunasiku saja melihat sosok yang duduk timpuh itu Nenek Kam? Ah! Pusing!
Baru saja aku hendak beranjak mau ikut menyusul ke dapur ternyata di sampingku sudah berdiri nenek Kam. Aku dibuat lebih kaget lagi karena tadi aku mendengar suaranya berbincang-bincang dengan Ibuku. Kapan dia naik ke lantai dua? Cepat sekali?
“Nenek tadi di dapur bersama Ibu. Tiba-tiba sudah berada di sini? Cepat sekali?” Ujarku.
“Di bawah panas, nenek mau nyari angin di teras ini saja” Katanya sambil membawa secangkir kopi dan sepiring kecil buah rengas.
“Itu Nenek bawa kopi dengan buah rengas untuk Si Kumbang apa temen nenek yang lain?” Tanyaku. “Sebab baru saja aku melihat beberapa ekor nenek gunung melintas di jalan. Apakah itu teman Nenek Kam atau hanya sekadar lewat saja? “ Lanjutku lagi. Nenek Kam tersenyum. Mungkin beliau pikir alangkah cerewetnya anak kecil ini.
“Namanya juga makhluk hidup, mereka sepertimu masih suka main, jalan-jalan dan lain-lain” Nenek Kam menyeruput kopi panasnya.
Aku mengehempaskan pantat kembali ke kursi. Setengah berbisik, aku bertanya bagaimana bentuk pengajian di puncak Dempu tadi malam. Siapa penceramahnya? Lagi-lagi nenek Kam tersenyum.
“Kamu ini anak kecil yang serba ingin tahu. Pengajian ya dimana-mana sama. Ada guru yang membimbing. Kebetulan tadi malam yang ceramah Habib dari Palembang.” Ujarnya.
“Habib? Siapa beliau itu Nek? Apakah Habib itu manusia seperti kita? Atau..” ujarku sedikit ragu.
“Manusia, bukan seperti nenek gunung. Habib itu orang Palembang keturunan Arab, cucu Nabi Muhammad. Beliau sengaja di undang Bapak” Lanjutnya lagi.
Aku berusaha mencerna maksud Nenek Kam. Orang Arab di Palembang? Selama ini setahuku teman-temanku menyebut keturunan Arab itu dengan sebutan ‘ayib”. Entah apa maknanya. Yang jelas dari segi fisik mereka berbeda dengan penduduk Sumatera Selatan pada umumnya. Kalau yang wanita berhidung mancung, rambut mereka ikal-ikal berwarna pirang. Tubuh mereka besar tinggi, bermata agak cekung dan dalam, berbola mata coklat, cantik sekali. Sedangkan yang lelaki selain berhidung bangir, besar tinggi, putih dan berbrewok, rata-rata ganteng dan gagah.
“Lalu Habib itu datang dari Palembang? Ke puncak gunung Dempu, ceramah di hadapan nenek gunung? naik apa Nek?” Aku semakin bingung. Waktu itu menempuh perjalanan Palembang – Pagaralam memakan waktu sehari penuh. Belum lagi untuk naik ke puncak Dempu butuh waktu 4-5 Jam. Itupun kalau star perjalanan dimulai dari Tangsi I, titik pertama jika hendak menuju puncak Dempu. Apakah mungkin manusia biasa bisa secepat kilat datang dan pergi seperti nenek Kam? Ah, tidak masuk akal.
“Hmm…serba ingin tahumu itu bikin nenek seneng!” Nenek Kam menjitak kepalaku. Pengajian di puncak Dempu yang dilaksanakan sebulan sekali. Kadang mengundang penceramah dari bangsa manusia kadang dari bangsa mereka sendiri. Bisa jadi si Habib tidak menyadari jika ia diundang oleh makhluk halus, bangsa nenek gunung.” Sambung Nenek Kam lagi.
Aku semakin takjub. Aku jadi teringat cerita Paman temanku keturunan Keling (Tamil). Beliau berjualan bahan pakaian. Suatu petang, ada Bapak Haji menemuinya dengan masud meminjam kain putih satu pist (satu gulungan besar). Katanya untuk aksesoris tenda karena beliau hendak memestakan anaknya. Ketika ditanya rumahnya dimana? Beliau menjawab rumahnya ada di jalan Gunung, salah satu jalan menuju gunung Dempu.
Entah mengapa tanpa berpikir panjang, Paman kawanku memberikannya. Tidak ada perasaan curiga sama sekali. Apalagi untuk ukuran kota kecil Pagaralam, nyaris satu kecamatan saling kenal karena penduduknya masih sedikit dan wilayah kotanya pun kecil. Konon, di Jalan Gunung yang disebutkan Pak Haji yang meminjam kainnya tidak ada yang pesta waktu itu. Namun tiga hari kemudian Pak Haji datang kembali mengembalikan gulungan kain putih satu pist tersebut. Belum sempat Si Keling bertanya, Pak Haji sudah pamit sekan tidak memberikan kesempatan pada Si Keling untuk bertanya. Apa mungkin peristiwa yang dialami Habib sama halnya dengan yang dialami si Keling? Tidak tercium sama sekali jika yang datang atau jamaahnya dari bangsa halus?
“Nek, Kalau pengajian, jamaahnya banyak tidak?” Tanyaku kembali.
“Oo, kalau pengajian akbar seperti tadi, jamaahnya ribuan. Pak Rais, pernah mengisi pengajian di sana” Sambung Nenek.
“Pak Rais? Guru SMA Muhammadiyah yang ustad itu? Beliau sering main ke rumah kita, Nek. Apa beliau tahu kalau beliau ceramah di puncak Dempu? Ah kalau beliau kemari lagi, aku mau Tanya. Hebat ya Nek, manusia bisa ceramah di depan ribuan Nenek Gunung. Apalagi kalau dihadapannya dalam bentuk loreng… Kira-kira pak Rais atau Habib itu sanggup tidak ya?” Ujarku bercanda.
“Sesekali ajak aku, Nek. Aku ingin melihat kampung di puncak Dempu itu“. Ujarku iseng. Seolah-olah aku memiliki keberanian dan gagah luar biasa. Tiba-tiba aku merasakan tangan nenek mengusap wajahku. Dalam sekejap aku sudah berada di pinggiran sebuah kota yang ramai. Dari kejauhan aku melihat istanah megah. Indah sekali. Cahaya kuning yang memantul dari dinding, tiang dan lampunya membuat istana seperti cahaya.
Seumur hidup baru kali ini aku melihat gedung yang besar tinggi dan mewah. Tepatnya istana. Aku terbelalak melihatnya.
Di sudut lain aku melihat orang lalu-lalang sepertinya sibuk sekali. Tapi herannya mereka semuanya diam. Tak ada satu pun yang berbicara. Aku masih terbengong-bengong melihatnya. Di sampingku ada nenek Kam yang memegang lenganku. Pun seolah mengisyaratkan agar aku pun tidak bersuara.
Lalu aku bersama Nenek Kam seakan berjalan pada satu perkampungan. Jalannya mulus dan bersih. Sebelumnya kami berdua melintasi pasar tradisional. Aku melihat para pedagang buah dan sayur-mayur segar, mereka gelar di tikar-tikar pinggir jalan. Persis seperti pasar yang kutemui pada umumnya. Aku melihat kesibukan mereka bertransaksi dari jauh. Mereka sangat tertib. Namun sekali lagi tak terdengar suara.
Selanjutnya aku dan nenek Kam meniti jalan agak kecil. Kali ini aku melihat rumah panggung berderet rapi. Setiap rumah memiliki halaman yang sama luas. Di halaman rumah mereka aku melihat kopi dan padi di gelar di atas tikar. Mereka hendak mejemur kopi dan padi rupanya. Meski matahari belum muncul. Mereka seperti paham jika cuaca hari ini akan panas. Tidak akan turun hujan. Taman bunga, pohon-pohon yang rindang turut menghiasi halam rumah panggung mereka yang luas.
Aku juga melihat beberapa perempuan nampak membawa sangkek bulat (keranjang dari rotan) berisi piring kotor menuju pancuran di belakang rumah panggung mereka. Airnya pancurannya kencang dan bening. Sementara di belakang rumah-rumah panggung itu ada kolam ikan dan terhampar sawah yang luas, ditumbuhi padi-padi yang bernas. Mungkin beberapa minggu lagi mereka akan panen. Sekali lagi aku takjub! Kampung apa ini? Mengapa ramai tetapi sepi?
Ada pula lelaki dan perempuan terlihat bergegas seperti hendak menuju kebun membawa kinjagh (keranjang rotan yang dikaitkan di kepala) lengkap dengan bekalnya. Anak perawan menampi beras dari jendela rumah mereka. Pemandangan yang sering kutemukan ketika aku pulang kampung Bapak Ibuku.
Hanya satu yang membuatku heran, mengapa mereka tidak ada yang berbicara. Apakah ini kampung bisu? Tiba-tiba di kejauhan aku mendengar petikan batang hari Sembilan. Tapi tidak jelas dari rumah yang mana. Aku hendak bertanya dengan nenek Kam. Tapi ternyata mulutku kaku seperti terkunci.
Kami berdua masih berjalan pelan. Aku seperti tak berkedip melihat perkampungan yang indah ini. Meski embun masih sedikit berkabut, namun tidak menghalangi aku untuk melihat berbagai aktivitas di kampong ini. Aku menoleh ke kanan ketika mendengar suara detungan alu bertalu-talu. Ada yang menumbuk padi apa kopi? Oh ada yang sedang mengayak hasil tumbukan. Tapi tidak jelas apakah mengayak kopi atau ghebuk (tepung beras). Dua anak gadis itu terlihat cekatan dan kompak sekali.
Bersambung…