HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT III (40B)

Karya RD. Kedum

Masih dalam keadaan duduk bersila, aku kembali diam. Tiba-tiba aku mendengar ada langkah mendekat. Semakin dekat. Rupanya Gundak dan tiga pengawalnya datang. Melihat kami sedang duduk berkumpul, Gundak dan pengawalnya duduk juga di belakang agak jauh. “Pesan apa yang hendak kamu sampaikan Gundak?” Kakek Andun membuka pembicaraan. Gundak sedikit terkesima. Mungkin dia tidak menduga akan ditegur duluan dan diketahui maksud kedatangannya. “Maafkan saya Kakek, saya datang ke sini menyampaikan pesan dari Bak, untuk mengajak Putri Selasih ke Ulu Bukit Selepah malam ini. Bak dan Umak ingin menjamu Selasih sebelum Selasih pulang ke Pagaralam” Ujar Gundak.

Aku mengerutkan kening. Mengapa aku sendiri? Mengapa yang lainnya tidak? Padahal di sini Nenek dan Kakekku tengah berkumpul. “Maaf jika saya lancang. Kebetulan di sini sedang berkumpul para sesepuh Besemah Libagh izinkan saya menyampaikan pesan Rie Selepah, selain mengajak Putri Selasih ada hal yang penting menurut Rie Selepah membicarakan perihal sekitar dusun baghi Marcawang.” Ujar salah satu pengawal Gundak. Nenek dan Kakekku nampak manggut-manggut. “Betul, beberapa kali Puyang Ulu Bukit Selepah memberi tahu hal ini padaku. Rupanya baru malam ini kesampaian untuk berkumpul di Ulu” Ujar kakek Andun. Dalam hati aku berpikir, wah malam ini aku akan berpetualang lagi? Aku akan kumpul degan sesepuh Besemah Libagh? Tapi kala ingat bagaimana dengan kakek Haji Majani, Kakek Haji Yasir, dan Ibu? Bagaimana menyampaikan pada mereka jika aku dan nenek Kam akan ke huluan bukit Selepah? Nenek Kam paham pikiranku. Beliau mengedipkan mata. Ketika mataku terbentur dengan Gundak, kulihat wajahnya senyum-senyum simpul. Apa yang membuatnya tersenyum entahlah.

Aku masih asyik memikirkan bagaimana bentuk kampung hunian nenek gunung di ulu Bukit Selepah itu. Kalau dilihat dari kebun kakek, aku hanya melihat bukit yang hijau, hening, lalu beberapa atap pondok para pertani terlihat kecil dan mengkilap ketika ditimpa matahari. Jika berjalan kaki, untuk sampai ke sana perlu waktu seharian penuh. Medannya cukup sulit, mulai dari kebun kakek, jalan menuju bukit itu selalu menanjak. Sampai di pinggang bukit masih akan bertemu dengan kebun petani, selebihnya rimba yang masih perawan, tempat dunia berbagai macam satwa. Hanya sesekali saja berjumpa dengan manusia yang kebetulan mengambil rotan di hutan itu untuk buat kinjagh, sangkek, senek, dan bake. Jika ada yang berburu paling berburu kancil atau rusa. Tiba-tiba aku merasakan angin mendesing pelan. Oh ternyata suara kakek Ulu Bukit Selepah dibawa angin mengingatkan kami semua untuk datang menjelang magrib agar bisa salat berjamaah di sana. Menurut beliau ada syech dari pulau Jawa bertandang ke dusun Marcawang, selanjutnya akan ke Ulu Bukit Selepah mengimami salat magrib dan isya. Mendengar itu aku sedikit gugup. Syech dari Jawa? Siapakah nama syechnya? Pasti syechnya luar biasa. Timbul pula pertanyaan dalam hati apakah syechnya ini manusia atau bangsa gaib? Aku antusias sekali ingin dapat melihat orang suci itu. Lagi-lagi jantungku berdebar.

Selanjutnya semua sepakat berangkat serentak. “Selasih, tugasmu membawa kami ke sana. Kami tidak mau datang masing-masing. Tapi ingin bersama-sama” Ujar nenek Ceriwis. “Ah, tahu saja nenek Putri Kuning kalau kali kita ingin bermanja dengan Selasih” lanjut kakek Njajau. Mendengar itu aku tersenyum malu. Kakek dan nenekku ini sangat pandai membesarkan hati. Lagi-lagi aku dianggapa seolah-olah paling hebat, paling berilmu, paling pengalaman dari mereka. Padahal mereka memiliki kemampuan tak terukur. Aku tidak ada apa-apanya dibandingkan beliau-belau ini. Namun rendah hati beliaulah kuambil. Kata guruku ciri orang berilmu maka dia akan pakai ilmu padi. Semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu semakin rendah hati. Nampaknya pas sekali kakek dan nenekku disebut berilmu padi. Sebab belum pernah aku melihat mereka pamer ilmu atau sombong dengan yang mereka miliki.

Aku dan nek Kam akhirnya sepakat memecah diri. Satu sosok nek Kam, satu lagi sosok diriku. Guna menenangkan Ibu, kakek Haji Yasir dan kakek Haji Majani agar mereka tidak merasa kehilangan. Kira-kira pukul lima petang kami siap-siap berangkat. Langit nampak gelap. Udara mulai terasa dingin. Kabut sudah mulai turun. Langit tidak secerah kemarin. Aku membentangkan selendang pemberian kakek Andun. Semua sudah naik ke atas selendangku. lalu kubaca mantra angin untuk mengantar kami ke tanah tujuan. Kakek dan nenekku duduk melingkar sambil bercerita panjang lebar. Gundak dan tiga pengawalnya juga ikut bersama kami. “Selasih, kenapa paman tidak di ajak?” Suara paman Raksasa. “Paman mau ikut?” Batinku. Aku baru sadar kalau paman raksasa mualaf. Kali ini tepat beliau hadir bisa belajar dengan syech yang akan menjadi imam salat magrib petang ini. “Paman minta izinlah dengan kakek Pekik Nyaring” Aku membatin. Tak lama paman Raksasa ikut bergabung dengan kami. Aku bahagia sekali melihat semua duduk santai sambil bercerita. Ini rupanya membuat mereka minta bareng denganku. Jarang-jarang rupanya mereka bisa kumpul seperti ini. Pertemuan petang ini membuat mereka seperti reuni dan terlibat berbagai macam obrolan. Topik yang dibicarakan pun bermacam-macam. Sengaja angin kuminta bertiup pelan. “Hei! Lihat bukankah di bawah sana Muare Cawang? Indah sekali!” Gundak melihat ke bawah. Aliran sungai Cawang Kanan, Cawang Kidau tampak seperti cahaya emas memancar hingga ke atas. Di sudut muara pertemuan dua sungai berdiri istana sangat indah. Aku juga ikut terpukau menatapnya. Selendangku masih merayap pelan. Ketika di hadapan kami ada bukit berdiri lebih tinggi, selendangku mengangkat pelan ke atas.

Udara mulai terasa dingin. Kabut pelan-pelan turun. Awan berwarna hitam nampak menggumpal seperti gulungan kapas membalut punggung bukit. Sesekali penyapu kami sehingga mirip seperti sosok ke luar dari asap. Indah sekali. “Kita sudah sampai, Selasih” ujar Gundak gembira. Benar saja, tidak jauh di hadapan kami, berdiri rumah panggung kokoh dan artistik. Kami mulai turun. Aku kembali menarik selendangku dan melilitkannya kembali ke leher. Beberapa orang menyambut kakek dan nenekku dengan ramah. Aku jadi kikuk karena hanya aku anak kecil. Untung Gundak mencairkan suasana. Aku dipanggilnya, diajaknya ke samping rumah panggungnya yang megah. “Selasih, kita duduk di sana saja dulu yuk. Sambil main ayunan.” Ujarnya sambil melangkah. Aku minta izin nek Kam. Nenek Kam mengangguk pelan. Akhirnya aku menyusul Gundak. Waktu magrib masih cukup lama. Aku menyisir jalan berumput pendek yang ditata rapi. Tiap tapak diberi kayu untuk melangkah. Di sisi kanan tumbuh bunga warna-warni. Lalu aku membelok ke kiri. Untuk bisa ke tempat yang ditunjuk Gundak, aku harus melalui jembatan kecil dari kayu. Jembatan kecil yang kokoh berwarna coklat tua.

Baru saja hendak membelok, ada suara memanggilku dari belakang. “Putri Selasih! Selasih!” aku menoleh. Ternyata Gali. Setengah berlari Gali menyusulku. Aku menghentikan langkah, kutunggu Gali yang tersenyum. Kami bersalaman. Aku melihat tubuhnya sudah sehat nyaris seperti tidak pernah terjadi cedera. “Dengan siapa ke mari?” Tanyanya. “Dengan nenek-nenek dan kakek-kakekku.” Jawabku membalas senyumnya. Kuajak dia menyeberang jembatan menuju sisi taman dan kolam. “Kamu dengan siapa kemari” tanyaku. Gali memberitahu jika dia datang bersama Bak dan Umaknya. “Kamu harus kenal dengan umak dan Bakku, Selasih. Beliau pasti sangat senang bisa bertemu di sini.” Ujarnya sambil berjalan di sampingku. Belum sempat aku bertanya dimana rumah Gali, Gundak yang semula duduk melihat kami langsung berdiri. “Kamu sengaja menyusul Selasih kemari, ya?” Sapa Gundak tidak ramah. Aku kaget mendengarnya. Kok berbicara dengan tamu seperti itu? Tidak ada ramah-ramahnnya? “Tidak, kebetulan saja aku ikut orang tuaku, kulihat Selasih berjalan menuju kemari. Jadi aku susul. Sudah lama ya, Gundak kemari?” Tanya Gali. Rupanya Gali tidak tahu jika ini rumah Gundak. “Kita sekarang ini di rumah Gundak, Gali. Kita sama, datang ke mari karena di undang” Aku berusaha menjelaskan persoalan. “Oh, maaf! Aku tidak tahu kalau Gundak anak Bakwo bukit Selepah.” Gali seperti kaget, menghampiri dan mengajak Gundak bersalaman. Gali mengulurkan tangan, namun Gundak pura-pura tidak melihat. Akhirnya Gali menarik tangannya lagi dengan wajah sedikit memerah. “Oh kalian masih saudara?” Ujarku. Ya, kalau tidak bersaudara tidak mungkin Gali akan memanggil Bakwo dengan orangtua Gundak. Bakwo adalah panggilan kekerabatan untuk mereka yang masih memiliki hubungan darah. “Selasih, aku permisi ya..menemui orang tuaku. Nanti kamu ketemu dulu dengan mereka ya.” Gali beranjak pergi. Melihat wajah Gundak tidak bersahabat aku juga enggan berada di sini. Aku tidak suka sikapnya. Tanpa bicara lagi aku kembali melalui jembatan kecil yang menghubungkan taman dengan rumah Gundak. “Gali, tunggu” Aku berlari mengejar.

Kami kembali berjalan bersama menuju tangga depan rumah panggung orang tua Gundak. Aku berdecak kagum. Luas sekali rumah ini. Tangganya lebar dan panjang. Rumah hunian, namun mirip barak dengan ornamen ukiran khas Besemah, motif rebung dan pakis hutan. Kayu ulin tua dan tebal menjadi tiang-tiang penyangga atap telatah. Jendela berderet dengan daun terbuka. Gorden yang menghias setengah jendela berwarna emas, ada sebagian yang terbuka, semakin indah ketika di tiup angin. Sejenak aku berdiri di beranda. Aku menyapu setiap sudut dengan pandanganku. Tampak sekali pintu dan tiang ukiran ini dikerjakan oleh tangan-tangan terampil. Balok-balok yang menghubungkan tiap sudut, diukir dengan motif yang sama. Uniknya tidak ada yang menyatukan balok dan dinding ini dengan paku. Semuanya memakai pasak. Halus sekali. Atap dari telatah nampak masih terlihat anyar. Meski aku yakin rumah panggung baghi ini telah dibangun cukup lama. Lampu hias yang tergantung di pelalon beranda dan sepanjang sisi rumah membuatku semakin terpukau. Aku belum pernah melihat lampu hias sebelumnya secantik ini. Lalu setiap. lampu itu menyala. Artinya ada listrik? Tiap tangkai lampu bermotif ala-ala turki dengan tembaga berwarna suasa, agak melengkung dengan lampu seperti teratai kuncup. Ini baru luarnya saja. Bagaimana dengan dalamnya? Aku berdecak kagum. Siapa sangka di puncak bukit yang terlihat hijau rimba, ada perkampungan yang asri. Beberapa pas bunga berisi simbagh hutan diletakan di tiap sudut dengan pas bunga dari keramik bermotif naga. Aku mengintip ke dalam. Ruangan yang luas, terbentang ambal turki berukuran lebar, motifnya sangat sepadan dengan warna alami lantai dan dinding papan. Lemari ukiran, menghiasai tiap sudut ruangan. Ada dipan berseprei dan kelambu warna emas di sudut dekat pintu yang menghubungkan ruang dalam dengan ruang tengah. Dalam hati aku bertanya siapa yang tidur si sana? Para tetamu duduk di ruang depan sambil menghadapi hidangan minum yang panjang. Kue basah beraneka macam terhidang di piring-piring. Di ruang agak depan khusus hidangan untuk para lelaki. Sedangkan hidangan minum di ruang agak dalam khusus untuk para ibu. Aku masih berdiri dan berjalan-jalan bersama Gali. Gali asyik memerhatikan sepasang kepala rusa bertanduk panjang dan bercabang yang diawetkan di dinding dekat pintu masuk.

“Gali, besar dan indah sekali rumah ini ya” Ujarku. “Tentulah, Selasih. Bakwo orang nomor satu di sini. Sebagai jurai tue, tentu saja punya rumah besar karena rumah menjadi tempat orang balek” ujarnya. “Tapi mengapa kamu dan Gundak tidak saling kenal padahal kalau mendengar sapaan Bakwo, artinya kalian bersaudara?” Tanyaku heran. “Iya, aku baru kali ini ke sini. Sejak kecil aku bersama kakek dan nenekku di hutan Ranau. Bakku adik bungsu Rie Bukit Selepah, Bapak Gundak. Makanya aku diajak kemari biar tahu keluarga leluburku. Bapak gundak adalah jurai tue dalam keluarga kami. Jadi rumah ini tempat kami pulang” Gali menjelaskan dengan ekspresi tenang. Aku jadi kepikiran dengan Gundak. Sikap yang ditunjukkannya tidak menggambarkan kalau dia dewasa. Sangat kekanakan sekali. Tidak patut menjadi perawaris jurai tue.

Aku membatin. Harusnya jurai tue seusia Gundak sudah paham hukum adat, paham dengan posisinya sebagai perawaris tunggal tatanan keluarga, paham menghargai orang lain, punya karismatik, dan pandai memimpin. Harusnya Gundak sudah tahu bagaimana menjaga keutuhan silsilah keluarganya. Mengayomi keluarga dekat dan jauh. Dalam hati aku menyayangkan selama ini dia lebih banyak menujukkan sikap tidak bersahabatnya. Apalagi dengan Gali yang baru diketahui ternyata Sepupunya. Aku dan Gali berjalan ke samping rumah bari ini menuju halaman luas. Di sisi barat rumah nampak berdiri masjid, bentuknya khas Besemah. Sederhana, namun indah. Masjid setengah raksasa ini anggun sekali nampak dari arah depan. Di sinilah nanti kami akan melaksanakan salat magrib berjamaah bersama syech dari Jawa. Lagi-lagi jangungku berdegup kencang kala ingat syech Jawa yang disebut-sebut itu. Entah mengapa. “Gali, dari tadi aku melihat yang hadir di sini semuanya orang tua. Hanya kita yang kelihatan anak-anak. Apakah di kampung ini tidak ada anak-anak seusia kita?” Tanyaku. “Kau lihat di depan sana. Itu adalah perkampungan penduduk. Di rumah-rumah itu banyak keluarga yang punya anak sebaya kita. Mungkin magrib nanti kita bisa melihat anak-anak kampung ini saat salat berjamaah.”Ujarnya lagi. Aku melemparkan pandang jauh di seberang halaman luas rumah Gundak. Rumah panggung bersusun rapi terlihat berdiri kokoh di balik pohon-pohon yang rindang.

Tiba-tiba aku mendengar suara mengaji dari bubungan masjid. Sejenak aku dengar dengan saksama. Bukan menggunakan tape recorder seperti di masjid-masjid dunia nyata pada umumnya. Tapi aku mendengar suara lelaki mengaji dengan suara merdu dan nafasnya panjang seperti qori intenasional. Lagi-lagi aku terpukau. Aku jadi ingat kakek Haji Majani dan Kakek Haji Yasir. Bagaimana ekspresi keduanya jika kuajak ke masjid di alam gaib ini. Tidak terbayang olehku. Pasti keduanya akan berdecak-decak kagum. Di samping kiri kanan masjid berderet kendi yang menyucurkan air. Air yang mengalir tidak berhenti. Entah dari mana sumbernya aku tidak tahu. Sebab aku tidak melihat pipa atau selang untuk mengalirkan air tersebut. Lantai masjid meski dari papan nampak mengkilap dan licin. Sajadahnya dari jauh kulihat berwarna merah marun. Lalu bagian depan berwarna hijau lumut. Mimbarnya nampak anggun dari kayu diukir dan bercat emas. Belum lagi lampu hias dan kaligrafi di tiang-tiang. Aku serasa hidup di sebuah peradaban abad keberapa yang memiliki nilai seni dan budaya yang tinggi.

Gundak mengamati kami berdua berjalan di sekitar rumahnya yang luas. Beberapa orang kulihat sudah bergegas ke masjid. Sementara nenek Kam dan rombongan nampaknya masih berada dalam rumah panggung milik Rie Selepah orang tua Gundak. Kami masih terus berjalan menikmati keindahan kampung yang asri ini. Sesekali aku menunduk memerhatikan batu kerikil yang ditata sepanjang jalan setapak. Bersih dan halus, ada yang berwarna kuning, hitam, hijau, merah. Bentuknya yang bulat sama besar. Di tiap sisi kira-kira jarak sepuluh meter ada kendi berisi air. Aku tidak tahu apa fungsinya. Jika untuk cuci tangan mengapa tidak ada bagian untuk menuangnya atau disediakan gayung.

“Air ini bisa diminum, Selasih” kata Gali. Wow hebat sekali. Air apakah ini sehingga bisa langsung diminum. Tapi aku tidak melihat gelas di dekatnya. Bagaimana kalau haus dan hendak meminumnya? Aku membatin. Dalam hati aku ingin menyicip air ini. “Gali, aku ingin menyicip airnya. Bagaimana caranya?” Ujarku. Gali berjalan di balik kendi. Rupanya di balik kendi ada cangkir-cangkir tanah dan gayung panjang terbuat dari kayu mirip batok kelapa yang berwarna coklat. Gali mengambil satu cangkir, lalu mengambil gayung dan menuang air kendi ke dalamnya. Baru saja aku hendak meminumnya tiba-tiba. “Selasih! Jangan minum!” Aku dan Gali kaget. Kami serentak menoleh. Ternyata Gundak membentak dengan suara tinggi. Cangkir hampir saja mendekati bibirku kutarik segera. Bahkan airnya nyaris tumpah. “Air itu milik kami. Bukan milik Gali. Jadi kalau mau minum, minta dulu denganku!” Suara Gundak kembali dengan nada tinggi. Mendengar itu aku langsung menuangkan air ke dalam kendi. Meletakan cangkirnya ke tempat semua. Lalu aku berjalan cepat menuju Gundak. “Tidak pantas kamu bersuara keras dan menapakkan kebencian baik padaku apalagi dengan Gali saudara sepupumu, Gundak! Hanya sekadar air, kau berani berbicara kasar seperti ini. Kau harus banyak belajar etika, belajar mengendalikan emosi, dan belajar bagaimana menghargai orang lain. Aku tahu ini rumahmu. Aku tahu kamu anak tunggal, pewaris utama jurai Rie Selepah. Sikap sombong dan angkuhmu, membuat aku muak melihatmu. Aku benci dengan sikapmu. Kau jangan temui aku jika kamu tidak bisa mengubah sikap kasarmu itu.” Tanpa menunggu jawaban Gundak, aku melompat mendekati Gali. “Gali, aku mau pulang. Aku tidak betah di sini. Kamu temuilah orang tuamu. Sampaikan salam hormat saya pada keduanya. In sya Allah suatu saat kami pasti akan jumpa. Akan kukunjungi Ranau kampungmu suatu saat.”

Aku langsung meminta angin membawaku pulang. Dalam sekejap aku sudah berada di pondok kakek Haji Yasir kembali. Aku masih menyembunyikan diri. Kubiarkan bayangkanku tetap bercengkrama dengan kakek dan ibuku. Dadaku masih terasa sesak. Darahku seakan mendidih. Aku bersandar di tiang. Rasa kesal tak dapat kusembunyikan. Kelakuan Gundak membuatku sangat tersinggung. “Selasih…kamu di mana?” Suara Gundak. Aku segera membaca mantra agar dia tidak tahu keberadanku. Kututup semua akses Gundak untuk tahu keberadaan jejakku. Anak satu ini perlu diberi pelajaran. Aku tidak ingin berjumpa lagi dengan anak Rie yang sombong ini. Aku tidak paham mengapa benci dengan Gali diperlihatkannya padaku? Lagi pula mengapa harus benci dengan Gali. Ini yang membuatku heran. Mulai ketika baru kenal Gali, Gundak sudah menampakan ketidaksukaannya. Sebenarnya tidak ada alasan untuk benci. Padahal sudah tahu orang tua mereka bersaudara, masih juga Gundak menampakan ketidaksimapatikannya. Bahkan sekadar minum air putih saja harus pamit padanya. Lantas mengapa disediakan sepanjang jalan dekat masjid itu. Apa sih maunya anak nenek gunung satu itu?

Akhirnya aku ke luar pondok. Rasa tersinggung dan amarahku masih di ubun-ubun aku membentengi diriku ketika kulihat Gundak datang sembari menoleh ke sana-ke mari. “Selasih…dimana kau Selasih..” Suaranya bernada cemas. Aku ingin muntah melihatnya. Cukuplah! Aku tidak mau bersahabat dengannya. Masih banyak tempatku belajar tentang kemanusiaan. Kubiarkan Gundak mencari-cari hingga masuk ke pondok kakek. Lama dia mengawasi duplikatku yang sedang asyik duduk dengan Ibu dan dua kakekku.

Karena tidak ada respon, Gundak meninggalkannya dan kembali mencari aku sebenarnya. “Selasiiiiih…Selasih…” Gundak kembali memanggil. Kali ini dia gunakan kekuatan batinnya. Panggilan berenergi. Aku tetap diam. Bahkan saking gemasnya melihat Gundak kuhantam-hantam dinding gaibku hingga aku lelah sendiri. Aku duduk sambil berpikir. Apa yang harus kulakukan dan apa yang harus kujawab jika kakek Andun dan nenek Kam bertanya perihal kepulanganku. Aku tidak menguhubungi mereka jika aku telah pulang duluan. Belum tuntas aku berpikir tentang alasan, suara kakek Njajau memanggilku. “Kenapa kamu pulang Selasih? Bukankah kamu belum bertemu dengan orang tua Gundak?” “Tidak kakek, aku tidak mau bertemu dengan orang tua Gundak. Lain kali saja.” Jawabku membatin. Kakek Njajau tertawa kecil. “Kamu sedang marah? Nampaknya marah sekali? Marah dengan siapa? Tidak baik marah-marah, Cung. Nanti kamu cepat tua kayak Kam” Ujar Kakek Njajau setengah bercanda. “Maafkan Kek, aku memang sedang marah dengan Gundak. Anak kecil yang manja itu bikin sebel!” Ujarku masih dengan nada dongkol. “Sssttt…jangan buang energi sia-sia. Kembalilah ke sini. Ayooo..segera sebelum magrib tiba” bujuk kakek Njajau. Aku diam saja. Apa yang disampaikan kakek Njajau membuatku ragu antara ke sana lagi atau tidak. Tapi ketika teringat kelakuan Gundak aku menjadi malas kembali. “Maafkan Kek, kali ini aku tidak patuh. Gundak harus diberi pelajaran dulu. Izinkan aku tetap di sini.” Ujarku akhirnya. Segala hal yang menarik dan berkesan di bukit Selepah menjadi hambar. Padahal tadi aku begitu antusias melihatnya. Menyusuri tiap sisi rumah dan jalan, pemandangannya yang asri membuatku benar-benar sangat menikmatinya. Sayang Gundak si kolot pengacau!!

“Braak!!!” Tangan kananku amblas ke dalam tanah sampai pergelangan tangan. Belum juga puas kuhantamkan juga tangan kiriku. Sama, amblas hingga pergelangan tangan. Aku berteriak sekuat-kuatnya. Lalu kulampiaskan kembali meninju tanah berkali-kali sekuat tenaga normalku sebagai manusia. Hal ini sengaja kulakukan. Jika aku menggunakan tenaga dalam, khawatir bumi akan gegar dikira gempa. Setelah puas meninju tanah sepuasnya, aku merasakan tinjuku terasa nyeri. Setelah kuamati, ada darah bercampur tanah. Punggung tangan kiri dan kananku terluka. Aku menarik nafas panjang. Peluh membasahi seluruh wajah, leher dan punggungku. Bajuku basah kuyup. Terakhir aku tidak tahan, aku menangis sepuasnya sambil tetap duduk di tanah. Kukira aku akan aman menangis dan melampiaskan emosiku jelang magrib ini di dalam pagar yang kubuat sendiri. Telah kuantisipasi agar tidak ada yang tahu tempat persembunyianku. Tapi ternyata tidak! mendengar jeritan, tinju, dan tangisku mengundang beberapa makhluk di sekitar kebun kakek Haji Yasir berkumpul dan mencari-cariku. Pukulan dan jeritanku membuat mereka kaget. Aku tidak peduli. Kututup pandangan makhluk halus ini. Biarlah mereka sibuk dengan berbagai macam dugaan mereka sendiri. Yang penting mereka tidak tahu jika aku ada di antara mereka. Aku bingung ketika waktu magrib tiba. Aku ingin salat. Tapi aku belum wudu.

“Wudulah, Selasih. Aku berkumpul di sini.” Suara datar terdengar olehku. Aku mencari-cari suara siapa gerangan? “Aku selasih..mata air” ujarnya kembali. Aku kaget! Ternyata sekumpulan air seperti keluar dari tanah tetap berkumpul ditempatnya tanpa mengalir kemana-mana. Masih di dalam pagar gaibku, aku segera wudu, lalu salat maghrib. Mataku terasa berat dan panas. Usai menangis membuatku mengantuk. Akhirnya aku memutuskan untuk tidur sejenak. Aku tidur telentang beralas selendangku. Di luar sudah gelap. Kulepaskan semua penat. Malam ini aku memutuskan tidur di sini, sendiri.

Samar-samar aku mendengar ada yang menyebut-nyebut namaku. Ramai sekali. Lagi-lagi kuabaikan. Aku kembali terlelap. Aku terjaga ketika ada tangan halus mengelus pipiku. Dan tempatku tidur terasa empuk dan hangat. Aku mencoba membuka mata yang masih ingin terpejam. Masih teras perih ketika dibuka. Sejenak aku mengingat-ingat kejadian petang tadi. Mengapa sekarang aku berada di sini? Tempat apa ini? Bukankah aku tidur di alam terbuka lalu kupagar dengan pagar gaibku? Aku bingung dan langsung duduk. “Wow!” Aku langsung terbelalak demi melihat ruang tidur yang luas, dan aku di atas dipan bersprei kuning muda, berkelambu sepadan dengan warna seprei. Si sudut dekat jendela ada sepasang kursi dan satu meja bulat. Di atasnya ada makanan kecil dan air minum. Kamar siapa ini? Mengapa tiba-tiba aku ada di sini? Aku mencoba menduga-duga. Di dinding kamar ada lukisan pemandangan alam yang indah. Sangat asri. Aku bingung, ini malam atau siang? Dau jendela tertutup tapi di luar nampak terang. Dalam keadaan setengah mengantuk aku mencoba memulihkan kesadaranku. Setelah benar-benar sadar, baru aku tahu kalau aku berada di dalam kamar. Tapi aku tidak mendengar suara orang. Hening. Lalu tadi yang terasa dingin menyentuh pipiku apa? Atau hanya mimpi belaka? Yang jadi pertanyaan mengapa aku bisa ke luar dari pagar gaibku tanpa aku sadari? Bukankah ini bahaya? Bagaimana jika yang membawaku kemari jahat? Aku jadi terkesima.

Tak berapa lama aku segera duduk bersedekap. Aku kembali ke tempatku semula. Kususuri apa yang terjadi padaku. Tiba-tiba aku melihat ada makhluk yang ke luar dari tanah. “Adara!!!” aku kaget. Dia bisa masuk dari bawah tanah. Lalu dia melingkari tubuhku. Entah bagaimana, tiba-tiba aku sudah dia bawa ke kamar ini. Jadi ini kamar Adara? Tapi di mana? Apakah aku berada di ulu mata air tebat Betelogh? Belum sempat aku menyimpan kekagetanku, tiba-tiba pintu terbuka. Seorang gadis belia, berkulit kuning langsat, rambutnya lurus dan panjang, tinggi semampai, tersenyum menyongsongku. “Adara?” Tanyaku kagum. “Iya, Selasih. Maafkan jika aku tidak minta izin lagi membawamu ke mari. Ini rumah kami. Sebab aku bingung mau membawamu ke mana. Kulihat kamu lelah sekali tidur beralas selendang di tanah. Sebelumnya aku tidak bisa masuk. Kamu sudah pagar semuanya. Makanya lewat pori-pori bawah tanah aku masuk dan membawamu ke mari. Maafkan kelancanganku.” Ujarnya. Aku tersenyum.

Kuceritakan, memang aku sangat lelah dan berinisiatif tidur di alam terbuka. Aku memujinya karena dia bisa menembus pagar gaibku meski lewat pori-pori tanah. Aku baru sadar jika pagarku tidak sampai ke bawah tanah. Aku hanya memagari sampai batas kaki saja. Akhirnya ini jadi pelajaran bagiku. Aku ceritakan mengapa aku sampai tidur di sana. Aku kabur dari dusun ulu Selepah. Karena marah dengan Gundak yang kasar. Aku ceritakan juga bagaimana sikap Gundak yang tidak menunjukan sikap dewasa sama sekali. Termasuk juga aku ceritakan bagaimana bisa jumpa dengan Gundak dan Gali. Semua tidak jauh berbeda dengan Adara. Aku kenal mereka lewat cara mengobati ketika mereka terluka. Adara mengangguk-angguk. “Ternyata banyak cara Tuhan mempertemukan kita ya Selasih. Kalau bukan karena aku tergilas roda gerobak sapi, lalu kamu lewat di situ, mungkin aku akan mati, dan tidak kenal gadis kecil yang baik hati sepertimu.” Ujarnya memujiku.

Akhirnya aku dan Adara terlibat obrolan yang panjang. Ternyata Adara adalah teman ngobrol yang asyik. Tidak membosankan. Aku tidak tahu saat ini masih malam atau sudah siang? Yang jelas kami berdua sudah mengantuk, akhirnya tidur pulas berdua. Ketika terjaga, aku minta izin untuk segera pulang dengan Adara. Adara mengantarku memasuki lorong yang hanya bisa dilalui dua orang saja. Lorong itu cukup panjang. Penerangan lorong hanya lampu-lampu kecil yang terpasang di dinding. Selanjutnya sampailah kami di ujung lorong. “Aku hanya bisa mengantarmu sampai sini, Selasih..” Ujar Adara di batas pintu lorong. Aku berterima kasih karena sudah menginap dan di antar olehnya. Kami bersalaman dan berpelukan. Aku menyapu alam terbuka di hadapanku dengan mataku. Tebat Betelogh! Jadi aku berada di sini.

Di seberang tempat aku dan kakek Haji Majani duduk. Rupanya masih pagi. Matahari baru hendak muncul. Aku berjalan menyisir jalan setapak di antara pohon kopi, menuju pondok kakek Haji Yasir sembari berpikir apa yang akan terjadi jika jumpa nenek Kam setelah beliau tahu jika aku kabur dari rumah Rie Selepah? Uf!! Aku hampir lupa, jika di pondok itu ada duplikatku. Aku segera membaca mantra meraibkan jasad kasarku. Aku mulai naik dan masuk ke pondok. Rupanya semua sedang menikmati sarapan pagi. Tak terkecuali bayanganku. Kutarik ia lalu kujadikan satu kembali dengan jasadku. Selanjutnya aku duduk menghadapi hidangan sarapan pagi. Mata nenek Kam mengerling padaku. Aku tahu maksudnya. Beliau ingin tahu kemana saja aku semalam, mengapa baru pulang pagi ini. Aku sekilas melempar senyum padanya sambil mengangkat alis pertanda paham maksudnya. Benar saja, saat ada kesempatan, nenek Kam langsung bertanya mengapa aku kabur dari dusun Selepah itu tanpa pamit. Aku ceritakan seadanya. Nenek Kam hanya manggut-manggut. “Kalau Gundak kemari, akan aku usir dia. Biar dia tahu betapa sakitnya dihardik” Ujarku masih dengan nada marah.

Aku setengah tidak mendengar ketika nek Kam menceritakan bagaimana paniknya Gundak karena gagal memenuhi keinginan orang tuanya untuk bertemu denganmu. Aku dan dan kakek Ansun tahu sebenarnya. Tapi ya tak apalah, anggap saja ini pelajaran buat Gundak. Anak itu memang tidak dewasa sama sekali. Ingin rasanya aku memeluk nek Kam. Ternyata tidak serumit yang kurisaukan. Padahal sebelumnya aku takut dibilang tidak dewasa dengan tindakan kabur dari sana dan nek Kam marah. Besok aku akan pulang ke Pagaralam. Hari ini terakhir aku bersama kakek Haji Yasir dan nenek Kam bersama. Selebihnya aku pasti akan rindu keduanya.

Ketika matahari sudah mulai naik, aku membantu kakek Haji Yasir membuka terpal tumpukan kopi yang hendak dijemur. Uap panas dari tumpukan kopi membuat tumpukan kopi seperti gunung merapi. Aroma khasnya memenuhi udara. Aku meraih papan yang dibentuk demikian rupa mirip cangkul bertangkai panjang biasa digunakan untuk meratakan tumpukan kopi. Berharap matahari ramah hari ini. Sehingga kopi kakek Haji Yasir bisa berangsur kering. Di dahan-dahan dedap yang sedang berbunga, burung-burung kecil bercengkrama sembari memakan ulat. Aku mencoba memahami maknanya. “Masya Allah! Ternyata mereka bukan bercengkrama. Tapi tak henti mengucapkan ‘Alhamdulilah’ sebagai ungkapan syukur. Mungkin juga rasa syukur karena masih diberi nikmat kehidupan, masih bisa bernafas, masih bisa melihat matahari, masih diberi rezeki. Sementara aku? Aku jadi malu pada makhluk kecil itu. Dia telah mengingatkan kealpaanku dengan caranya.

Bersambung…


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *