HARIMAU SUMATERA HEWAT BERADAT (13)

Karya RD. Kedum

Berita ada yang hilang dan kejadian di pasar Proyek Pagaralam akhirnya sampai juga ke telinga adik kakekku, Haji Majani yang tinggal jauh di pedalaman. Kampung yang letaknya di atas bukit yaitu dusun Pengaringan.

Beliau datang jauh-jauh ke kota Pagaralam hanya untuk memastikan apa benar Erus anak Hasan hilang ditangkap maksumai? Hingga saat ini belum ditemukan. Mendengar itu adik kakekku yang satu ini panik. Bagaimana pun, meski cucu saudaranya sama saja dengan cucunya. Darah dagingnya. Beliau langsung turun bukit untuk memastikan berita yang mengejutkan itu. Pagi buta usai salat subuh beliau sudah jalan kaki hendak ke Pagaralam menyisir jalan kuning yang licin. Kakek tidak sendiri. Banyak juga orang-orang yang ke luar dari jalan-jalan setapak dari kebun-kebun sepanjang jalan. Mereka berjalan beriringan pagi buta. Belum terlihat wajah, karena suasana memang masih remang. Sesekali terdengar gemerisik rumput pertanda ada makhluk lain yang merasa terusik. Terkadang babi hutan melintas bersama rombongannya. Orang-orang desa itu menembus kabut, maksudnya agar sampai ke kota Pagaralam tidak kesiangan. Sebab sesampainya di simpang Kerte Diwe, mereka harus menunggu lagi kendaraan yang melintas sejenis angdes khusus membawa penumpang ke Pagaralam. Syukur-syukur kalau angdes itu sudah ada.

Alamat tidak akan menunggu lama berjalan menuju Pagaralam. Kadang kalau sedang banyak penumpang, sulit mendapatkan angdes dari simpang itu. Kalau pun ada pasti berdesak-desakan bahkan ada yang bergelantungan di belakang mobil. Rata-rata penduduk dusun melakukan perjalalanan usai salat subuh. Mereka sudah sangat akrab bercumbu dengan kabut pebukitan. Dingin yang menggigit sudah biasa mereka rasakan sejak lahir. Contohnya kakek Haji Majani. Meski beliau tidak memakai mantel tebal namun tidak membuat Kakek Haji Majani menggigil. Mereka santai berjalan sambil bercerita meski mulut mereka seperti berasap tiap kali terbuka dan berbicara.

Medan yang harus mereka lalui sebenarnya cukup sulit, berjalan kaki lebih kurang dua jam, itu pun baru sebatas pinggiran jalan lintas beraspal kasar, Simpang Kerte Diwe namun mereka tetap semangat. Buktinya jarang sekali mereka berhenti di jalan sekadar mengasoh atau memeriksa kaki mereka yang telanjang dari gigitan pacat. Sejak dulu, dari jaman nenek moyang, perputaran hidup seperti ini mereka lakoni dengan senang hati. Justru mereka bersyukur karena pemerintah telah membantu melebarkan jalan menuju dusun mereka beberapa waktu yang lalu.

Dulu jalan ini hanya jalan setapak yang bersemak. Sekarang sudah bisa dilalui oleh kendaraan walaupun tidak terlalu sering. Karena pemilik mobil di arah dusun Pengaringan dan sekitarnya hanya beberapa orang saja. Walau pun jalan mereka masih tanah kuning, licin dan becek namun karena badan jalan sudah luas, terasa terbuka juga dunia. Mereka tidak merasa terisolir lagi. Apalagi jika mendengar kendaraan melintas. Memang hanya satu dua kendaraan yang biasa lewat. Itupun mobil sejenis Jeeb Willis. Orang Besemah menyebutnya mobil tureng. Karena jalan tanah kuning berlumpur kerap kali mobil kecil namun kokoh itu terbenam di lumpur yang dalam. Terutama di hulu dusun Jukoh. Kalau sudah terbenam maka pemandangan yang ada persis trek off-road. Jelas pengemudinya tidak hanya harus terampil menyetir mobil namum juga adrenalin yang cukup untuk bisa menakhlukan medan yang super berat itu.

Tureng yang melintas sesakali itu bukan membawa penumpang tapi berfungsi untuk mengangkut hasil bumi terutama kopi dan beras dari desa-desa yang berada di lereng-lereng bukit untuk dijual ke Pagaralam. Suara tureng yang meraung, menjadi hiburan yang mengasyikan bagi warga yang berkebun di sekitar itu. Jika tureng itu terdengar seperti meraung minta tolong maka masyarakat yang berkebun atau melintas di sekitar itu akan bergotong-royong mengangkat mobil ke darat. Pemandangan seperti ini sudah sangat biasa. Menolong sesama tanpa pamri, rela berlumpur-lumpur, meninggalkan pekerjaan pokok mereka, sudah sangat biasa. Meski kadang usai membantu mengangkat tureng mereka persis seperti keluar dari kubangan kerbau. Yang punya kendaraan atau yang punya kopi atau beras yang diangkut, cukup mengucapkan terimakasih. Warga sudah sangat senang.

Pagi sekali adik kakekku sudah sampai di rumah membawa perasaan lega. Pasalnya ketika beliau naik angdes, para penumpang seperti konser bercerita tak henti termasuk menyebut-nyebut Erus anak Hasan tokeh kopi. Dari merekalah Kakek Haji Majani tahu jika aku tidak hilang. Tapi yang lenyap tiba-tiba adalah keturunan Cina yang diduga diambil nenek gunung. Biasa meski di angdes yang isinya terbatas, namun penumpangnya mirip seperti di pasar sayur, ramai sekali. Semua ingin berbicara dan bercerita dengan suara kencang. Berbagai macam cerita selama berada di angdes membuat Kakek manggut-manggut. Dalam hati beliau berkata, alangkah pandainya orang-otang Besemah ketika bertutur. Bukan suatu hal baru jika berbicara maka segala macam ibarat, pepatah akan lahir dari benak-benak mereka. Sehingga cerita yang sederhana sekalipun akan menjadi sangat seru dan mengundang decak kagum pendengarnya.

Ketika berjumpa demganku, Kakek Haji Majani langsung melempar karung pupuk dari pundaknya. Beliau langsung memeluk dan menggendongku. Aku merasakan seperti anak emas yang paling dimanja. Kakek Haji Majani menciumku berulang kali dengan mata sedikit basah. Kurasakan degup ikhlas dan kasih sayang yang sempurna dari jantungnya. Sebelumnya aku tidak paham mengapa Kakek Haji Majani sampai hampir menangis ketika melihat aku. Rupanya beliau membayangkan jika aku benar-benar hilang, beliau merasa kasihan dengan ibuku. Ibuku anak tunggal. Jika hidup semua, ibuku sebelas saudara namun sepuluh orang saudaranya meninggal. Sebagian besar meninggal ketika masih bayi. Hanya kakak Ibu saja yang berpulang pada usia enam belas tahun, lelaki. Begitu juga dengan kakek Haji Majani, enam anaknya hanya dua orang saja yang hidup. Jadi kematian serupa momok mengerikan yang membawa duka baginya. Di dapur ibu nampak sibuk sekali dibantu bibi Sum dan kawan-kawannya. Karena banyak sekali orang yang datang dan pergi bertamu ke rumahku Bik Sum dan kawan-kawannya menyiapkan kopi hitam. Aku melihat mereka membuat kopi hitam bercerek-cerek. Ada yang memasak gunjing, juadah basah untuk makanan kecil para tetamu. Ada juga yang hilir mudik membawa gedah dengan nampan lalu mencucinya.

Di sudut sana beberapa orang tengah memasak nasi dan lauk. Banyak sekali. Sebagian lagi mengeluarkan piring, sendok, panci, dan alat dapur lainnya di lemari simpanan ibu. Melihat situasi seperti ini aku senang-senang saja. Ini pertanda rumah Bapak Ibuku akan ramai. Semakin siang, rumahku samakin ramai. Bapak duduk bersilah dikelilingi sanak saudara dan kenalannya yang datang. Semuanya nampak tertib. Duduk rapi di atas tikar purun yang digelar anak buah Bapakku. Ada yang bersandar sambil mengahadapi kopi dan merokok santai. Ada yang duduk selonjor menikmati cerita Bapak dan ditimpali beberapa orang. Kadang terdengar mulut mereka berdecak-decak sembari menggeleng-gelengkan kepala, kadang ada yang mengaguk-anggung, kadang ada juga yang bengong matanya mengikuti setiap orang bercerita. Kadang berderai tertawa serentak sampai ada yang terbatuk-batuk. Suara mereka pada umumnya lantang dan tegas. “Kita mau sedekah ya Kek?” Tanyaku pada Kakek Haji Majani. “Tidak, orang ramai ini bukan datang karena ada sedekahan. Tapi mereka semua sama seperti kakek, kaget mendengar berita yang terjadi di pasar pagi tadi” Ujar Kakek Haji Majani menjelaskan. “Kakek datang kemari karena mendengar kabar bahwa kamu hilang. Alhamdulilah ternyata berita yang sampai ke kakek itu tidak benar. Buktinya Kekek masih bisa memangku cucu kakek yang lucu ini” Lanjut Kakek Haji Majani mengurai-ngurai rambutku yang kusut. Hidungku sedikit mengembang dipuji kakek. Bahagia sekali rasanya. Ternyata banyak yang sayang dan perhatian padaku.

Semakin lama obrolan Bapak dan para tamu semakin seru. Obrolan bukan lagi membicarakan tentang kejadian di pasar pagi hingga siang tadi. Tapi berkembang pula pada cerita-cerita horor lainnya. Tentang orang hilang hingga tidak ditemukan sampai saat ini. Tentang orang yang hilang beberapa bulan tiba-tiba setelah pulang pandai mengobati, punya kemampuan supranatural. Ada juga tentang orang hilang tetapi yang datang ternyata hantunya, orang mati yang tidak dikenal dan lain sebagainya. Banyak sekali cerita-cerita mistis dan mengerikan. Dan semuanya terjadi di kampung lahirku ini. Sampai pada cerita orang gunung berubah menjadi manusia, ramai-ramai pergi ke pasar membeli baju untuk lebaran.

“Dulu, entah sudah berapa tahun yang lalu, ditemukan mayat perempuan tanpa kepala di pangkal jeramba Endikat lembak Tanjung Baii. Mayat itu sepertinya sengaja dibuang oleh seseorang di sana. Sampai sekarang, tidak tahu dimana kepalanya. Mungkin dilempar orang ke dalam sungai Endikat yang curam. Di dasarnya sungai Endikat mengalir deras. Atau benar seperti issue yang berkembang bahwa kepalanya diambil untuk tumbal membuat jembatan” ujar salah satu tamu. Mendengar itu muncul rasa ngeri di batinku. Tubuh tanpa kepala? Kepalanya diambil untuk tumbal jembatan? Alangkah kejamnya manusia. Apakah memang demikian kalau membangun jembatan? Siapa yang minta tumbal tersebut? Lalu sampai sekarang tidak ada yang tahu siapa nama pemilik tubuh itu. Makamnya hanya ada identitas perempuan tanpa nama dan tanggal pemakaman.

Perempuan yang malang. Ada rasa nyilu dalam dadaku. Kasihan sekali jenazah itu. Batinku sedih sekali. Terbayang ibunya. Pasti beliau selalu menunggu dengan perasaan cemas dan rasa sedih tak terhingga menunggu kabar anak gadisnya pulang.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *