HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (64B)

Karya RD. Kedum

Di perjalanan aku bertanya pada Macan Kumbang, mengapa tidak jadi menjemput Putri Bulan? Katanya Putri Bulan sedang ada urusan, kalau sudah selesai beliau menyusul. Akhirnya aku diam saja. Eyang Kuda nampak sangat menikmati perjalanan ini. Ekspresinya sangat serius. Diam tanpa banyak bicara. Beberapa kali aku menoleh padanya. Beliau hanya melemparkan senyum kecil. Melihat punggung eyang Kuda yang kekar, muncul keinginanku untuk merasakan berada di punggungnya. Tidak terbanyangkan, betapa gagahnya Sentot Alibasya berada di punggung Eyang Kuda. Pahlawan Nasional kesayangan Pangeran Dipenogoro, tidak hanya muda dan cakap, namun juga berjiwa bersih dan gagah. Wajar kalau beliau memiliki kuda tunggangan yang hebat dan soleh seperti Eyang.

“Kita ke Seberang Endikat ya, Kumbang? Menemui kakek Njajau?” Tanyaku sekilas setelah melintas di atas anak sungai Musi Lintang. Kumbang menggeleng.
“Kita ke Kerajaan Pekik Nyaring. Menemui Puyang Pekik Nyaring.” Ujarnya. Aku jadi bertanya-tanya. Mengapa bukan Puyang Pekik Nyaring yang memanggilku pulang? Mengapa kakek Njajau? Ah siapapun yang memanggilku semoga nenek Kam, kakek Andun ada di sana. Aku sudah sangat rindu.
“Yang ada nenek Ceriwis, rindu ingin mencubitku,” kata Macan Kumbang menjawab pikiranku. Ingin rasanya mejitak kepalanya. Tapi ingat kalau beliau lebih dewasa dariku, akhirnya kuurungkan. Macan Kumbang tertawa kecil mendengar aku mencibir dan mendengus tidak suka.

“Eyang, ini tanah lahirku!” Ujarku pada Eyang Kuda ketika kami sudah dekat dengan gunung Dempu. Langit sedikit berawan. Hamparan kebun kopi dan aroma kembangnya tercium sangat menyegarkan. Sungai terlihat berkelok-kelok. Beberapa pondok terlihat menyelip di antara rimbun kebun. Sebagian lagi hamparan sawah yang masih hijau. Ladang kol dan tomat tumbuh subur di atas tanah berbukit yang semakin landai. Kami berjalan rendah. Terlihat beberapa satwa malam melintas di jalan bersemak. Aku bersyukur masih bisa melihat
gerombolan babi hutan mencari makan, burung hantu, dan gugu meringkuk di ujung kayu besar di tepi sungai.

Kota Pagaralam nampak kecil. Penduduknya memang belum terlalu ramai. Kerlap-kerlip lampu yang menghiasi jalan kota nampak seperti kunang-kunang. Aku mengira-ngira posisi rumah kami yang terbakar dulu. Selintas terbayang masa kecilku di kota ini hingga menamatkan SMP yang terhambat.

Tak lama hamparan kebun teh mulai terlihat. Di lembah, beberapa sosok nenek gunung baik yang asral maupun tidak, melintas riang di antara pohon teh yang menghampar. Rumah-rumah pekerja kebun dan pabrik teh nampak berjajar di tangsi satu maupun ke tangsi dua. Pencahayaannya seperti lampu buram karena berbalut kabut gunung yang turun. Aku yakin, udara pegunungan kampung lahirku ini masih sangat dingin.

Aku memperhatikan beberapa jalan pelintasan nenek gunung terlihat lengang. Ada tangga yang bertingkat-tingkat, lalu ada pula jalan lebar dan bersih dari lembah sampai ke puncak Dempu. Jalan-jalan ini merupakan jalan para nenek gunung jika hendak pergi ke lembah, di luar kawasan gunung Dempu. Pohon rindang berjajar di tepi jalan. Pohon mirip dedap itu sedang berbunga. Beberapa bunganya jatuh ke badan jalan. Di tengah remang, aku masih dapat melihat beberapa nenek gunung kecil berlari riang. Kadang di badan jalan, lalu bersembunyi lagi di balik pohon yang tinggi. Sejenak aku pusatkan perhatianku. Siapa tahu aku melihat ada A Fung di antara anak-anak lucu itu. Oh tidak ada. Yang bermain di sana anak-anak nenek gunung perempuan semua. Mereka sebaya kira-kira berusia sembilan dan sepuluh tahun.

Aku menoleh ke barat. Bagian puncak gunung Dempu ini terhampar tanah berbatu kuning dan putih diselingi kayu panjang umur seperti peta. Ada yang bertumpuk, ada yang kosong sama sekali. Di tengah-tengah ada telaga gunung Dempu terlihat tenang dan sedikit mengeluarkan asap. Hampir tiap sisi aku melihat rumah-rumah panggung yang kokoh. Aku mencari-cari kampung yang mana pernah kusinggahi bersama nenek Kam dulu. Ternyata dari atas, baru terlihat dusun para nenek gunung, manusia harimau sangat luas. Tiap dusun dihubungkan jalan yang lebar. Jalan-jalan yang sisi kiri dan kanan ditumbuhi pohon-pohon yang rindang. Hamparan sawah sebagian sudah ada yang kuning.

Di tengah-tengah bangunan rumah panggung yang berjajar ada istana berwarna kuning lebih mencolok daripada yang lain. Begitu juga masjid agungnya, tempat aktivitas keagamaan mereka. Ternyata di dalamnya sangat ramai. Mungkin ada kajian agama atau apa. Aku melihat para jamaah mengenakan pakaian berwarna putih. Beberapa warna hitam. Jika dilihat dari atas, pantulan cahaya lampu yang berwana emas, lalu sosok-sosok lalu lalang serasa melihat para jamaah yang ada si masjidil haram.

Di mata biasa, di puncak gunung Dempu ini manusia hanya akan melihat hamparan hutan kayu panjang umur, dan dataran puncak gunung Dempu menghampar bebatuan dan perdu kekucing. Padahal di situ ada sawah dan perkampungan dimensi para manusia harimau. Aku kagum melihatnya. Subur dan rapi. Dari atas aku seperti melihat lukisan alam yang ditata sedemikian rupa. Menakjubkan.

Macan Kumbang memperlambat langkah dan mulai turun rendah. Setelah mengijak tanah, dirinya dan Eyang Kuda mengubah diri seperti manusia. Kami berjalan bertiga. Aku di tengah, diapit Eyang Kuda dan Macan Kumbang. Di hadapan kami pintu gerbang berdiri kokoh, tinggi dan luas.
Masih seperti dulu. Rumah-rumah panggung seperti menempel di sisi tebing, tertata rapi. Puncak istana kecil di sisi gunung Dempu, kerajaan Pekik Nyaring terlihat dari jauh. Eyang Kuda menoleh ke sana kemari menikmati pemandangan yang berbeda dengan dusun-dusun yang pernah ditemuinya. Sesekali lidahnya berdecak-decak lagu.
“Eyang, jauh di balik gunung ini, Samudera Hindia Bengkulu Selatan bisa terlihat. Pulangnya aku ingin lewat sana.” Ujarku tanpa jelas ditujukan pada siapa. Pada Macan Kumbang apa pada Eyang Kuda. Keduanya diam saja.

Sampai di pintu gerbang, dua penjaga pintu gerbang menatap kami dengan pandangan curiga. Mungkin karena penampilan Eyang Kuda yang berbeda. Membuat mereka nampak aneh. Meski terlihat ramah, namun kedua penjaga itu nampak tegas. Aku berjalan lebih maju. Demi melihat aku, keduanya langsung menyambut ramah.
“Putri Selasih!” Ujar salah satu mereka menyalamiku dengan sangat sopan. Aku kenalkan Eyang Kuda pada keduanya. Sementara Macan Kumbang sudah sangat mereka kenal, dia bebas ke luar masuk perkampungan satu ini. Kami berdua diiringi oleh dua orang penjaga lagi.
“Masya Allah, indah sekali kampung ini Selasih. Jadi kamu berasal dari sini?” Tanya Eyang Kuda. Aku mengangguk. Kukatakan jika aku keturunan kerajaan kecil ini. Puyangku raja Pekik Nyaring. Eyang Kuda mengangguk-angguk kecil. Meski berkain wiron dan sandal ceper, tidak membuat Eyang Kuda susah berjalan. Hanya saja penampilan beliau memang agak mencolok dibandingkan yang lain. Dan sangat mudah membedakan beliau dengan tamu lain. Apalagi dengan manusia harimau dari sumatera.

“Beliau datang dari Jawa ya Putri Selasih?” Tanya salah satu yang mengiringi kami. Mungkin karena melihat pakaian Eyang Kuda. Kukatakan iya, beliau berasal dari Jawa Tengah. Tepatnya Daerah Istimewa Jogyakarta. Beliau ada hubungan kekerabatan dengan keraton Jogja.
“Saya mah cuma abdi dalem. Cuma pembantu. Bukan siapa-siapa,” Eyang Kuda merendah. “Bahkan sudah ratusan tahun saya tidak pulang-pulang ke seberang. Saya sudah jadi makhluk sumatera.” Sambungnya lagi. Eyang Kuda memang rendah hati. Beliau tidak pernah membanggakan diri atau memuja-muja junjungannya. Meski banyak orang yang tahu jika junjungannya yang pahlawan itu, sangat dikagumi hingga kini. Sama halnya dengan Pangeran Diponegoro, yang masih ada hubungan kekerabatan juga dengan Sentot Alibasya itu.
“Eyang, padahal Eyang Kuda dan Eyang Sentot orang hebat loh. Luar biasa. Memiliki ilmu tinggi, dan juga soleh. Tapi Eyang selalu merendah. Aku suka itu” Ujarku.
“Iya Eyang, untung yang hebat itu Eyang Kuda. Kalau Putri selasih yang hebat, bisa sombong dia Eyang. Bisa melalak dia Eyang.” Kata Macan Kumbang. Tinjuku langsung mendarat di bahunya. Aku tahu Macan Kumbang bercanda. Eyang Kuda tertawa mendengarnya. “Melalak..melalak.. Apa artinya Macan Kumbang” Suara Eyang Kuda sambil menggeser blangkonnya.
“Melalak itu identik dengan sombong, Eyang.” Ujar Macan Kumbang. Beliau kembali tertawa sambil menatapku. Aku hanya tersenyum sambil mencibir ke arah Macan Kumbang.

Kira-kira berjalan dua ratus meter, kami di suruh berhenti. Di hadapan kami ada anak gadis menghadang sambil membawa sesuatu. Aku bertanya-tanya, ada apa ini. Apa yang akan diberikan pada kami? Ternyata aku di beri selendang rembang untuk kupakai menjadi tengkuluk dan kain sarung batik.
Aku dibantunya memakai kain dan mengikat tengkuluk ke kepalaku. Dalam hati aku bertanya-tanya. Ada apa gerangan? Mengapa aku harus pakai busana adat? Macan Kumbang juga disiapkan kain tanjung yang dipakai di dalam baju kokonya di atur sedemikian rupa di atas dengkul. Selanjutnya aku berpisah dengan Macan Kumbang dan Eyang Kuda. Kami dikawal oleh pengantar khusus masing-masing. Eyang Kuda dan Macan Kumbang didampingi lelaki yang mengiring kami dari pintu gerbang, sedangkan aku bersama gadis yang membantuku memakai kain dan tengkuluk.
“Namamu siapa, adik, ayuk, kakang?” Tanyaku sembari mengawasi wajahnya untuk menakar usianya.
“Namaku Dahlia, Selasih. Aku lebih muda darimu.” Ujarnya tersenyum ramah. Sambil berjalan aku bertanya ada acara apa gerangan sehingga aku disuruh pulang? Kami berjalan di jalan setapak yang diapit rumah panggung. Sisi kiri halaman luas berumput rendah diselingi pohon-pohon rindang dan bunga mawar putih. Aroma bunga mawar tercium menyegarkan.

Aku dan Dahlia masih berjalan. Kali ini berjalan di alam terbuka. Pohon kemuning berderet di sisi jalan. Pun berbunga, harumnya menyebar hingga ke lembah. Rupanya bunga kemuning yang tercium menyegarkan sejak tadi selain bunga mawar. Dari kejauhan aku mendengar salawatan mengisi sebuah ruang yang menghubungkan dua rumah panggung. Aku diantar menuju rumah itu. Dari kejauhan Eyang Kuda dan Macan Kumbang juga menuju rumah yang sama, tapi pintu masuknya yang berbeda.
“Ada acara apa Dahlia, ada salawatan? Kita menuju rumah siapa?” Tanyaku penasaran. Sebab rasanya aneh betul aku pulang tapi tidak paham mengapa aku disuruh pulang. Tidak ada yang menjelaskan sebelumnya.
“Kita menuju taman belakang istana Pekik Nyaring, Selasih. Puyang dan beberapa kerabat lainnya sudah sejak tadi menunggumu. Sengaja kalian diajak melalui jalan ini agar mudah sampai ke taman belakang istana. Tidak melalui pintu gerbang istana yang kamu lihat mubungannya tadi. Sebentar lagi akan ada acara angkanan antara Paman Rimbe Calicah cucu Puyang Pekik Nyaring keturunan ke tiga, dengan Paman Rimbo Calicah dari Kerinci. Oh pahamlah aku. Rupanya akan ada upacara adat angkan-angkanan antara dua keluarga, Rimbe dan Rimbo karena namanya dianggap sama. satu bernama Rimbe artinya rimba bahasa Besemah. Dan Rimbo, artinya juga rimba bahasa Kerinci Sama-sama bernama rimba, satu Rimbe Calicah satu lagi Rimbo Calicah.

Aku baru tahu kalau aku punya kerabat dari kerjaaan pekik Pekik Nyaring bernama Rimbe Calicah. Dan bakal bertambah pula satu kerbat bernama Rimbo Calicah dari Gunung Kerinci. Karena nama mereka dianggap sama inilah maka dua keluarga mengakui dua-duanya sebagai anak, akan menjadi bagian keluarga masing-masing. Maka pertemuan hari ini akan diadakan upacara adat yang berkaian dengan mengangkat orang lain dari suku yang berbeda, menjadi anak yang disebut anak angkat. Peristiwa pengangkatan itu disebut angkan-angkanan. Mengapa dirayakan? Intinya supaya orang tahu kalau dua keluarga meski dari suku yang berbeda, namun menjadi satu keluarga. Nama yang sama telah mengikat dua keluarga menjadi keluarga besar. Sebuah tradisi adat yang indah menurutku. Cara menjaga silaturahmi dan kekerabatan dalam kehidupan bersosial yang patut dipertahankan.

Kali ini aku dan Dahlia menaiki anak tangga yang lebar. Beberapa perempuan menyambutku dengan ramah. Sebelum aku melangkahkan kaki ke pintu, aku dicegat terlebih dahulu. Ada beras kunyit dihamburkan ke dekat kakiku. Kembali aku bertanya, apa maksudnya? Mengapa aku disiram dengan beras kunyit? Rupanya cara ini adalah salah satu penghormatan pada tamu yang dianggap penting. Dalam hati aku berpikir begitu pentingnya aku sehingga mereka menyambutku demikian? Aku merasa kikuk diperlakukan berlebihan. Di kejauhan aku melihat beberapa perempuan yang pakaiannya sama persis dengan yang kupakai. Tengkuluk rebang dan kain sarung batik bermofif bunga kecubung. Bunga yang paling banyak tumbuh di lembah gunung ini. Selebihnya kulihat perempuan berpakain baju kurung dan kain batik pun memakai selendang rebang tapi dengan motif yang berbeda. Dahlia mengajakku terus berjalan menuju area paling depan ruangan yang luas. Kami telah sampai persisi di belakang istana rupanya. Di sebelah barat tamu lelaki duduk bersila. Sementara saat ini aku di posisi utara, para perempuan tua muda duduk rapi, pun di lantai. Di bagian ruang agak bawah, ada semacam panggung yang luas. Aku melihat ada beberapa perempuan duduk di sayap kiri dan kaum lelaki di sayap kanan. Di tengah panggung ada ambal tebal di tengahnya ada senampan makanan nasi lengkap dengan gulainya yang disebut dulang. Rupanya aku diantar ke atas panggung oleh Dahlia. Bergabung dengan para perempuan yang lebih dulu duduk di sana.
Baru saja aku naik tangga panggung, mataku tertuju pada lelaki berbaju gamis, bersorban, meski sudah sepuh namun tetap terlihat gagah. Beliau adalah Puyang Pekik Nyaring. Melihat aku datang beliau berdiri dan berjalan mendekati. Aku segera menuju beliau. Aku sujud padanya. Bukan main bening wajahnya. Puyang Pekik Nyaring memelukku erat sekali. Aku tahu semua mata tertuju padaku. Ada pula Puyang Ulu Bukit Selepah, kakek Andun, kakek Njajau, dan beberapa nenek gunung yang pernah kutemui di tanah Besemah. Aku sujud pada mereka satu-satu. Selanjutnya aku menuju tempat duduk para perempuan. Nenek Kam, nenek Ceriwis dan beberapa perempuan menyambutku dengan tangan terbuka. Aku memeluk nenek Kam erat-erat sembari menitikan air mata. Rasa rindu bertemu fisik sudah lama kuimpikan. Aku melihat kebahagian terpancar di wajah nenek Kam. Aku segera duduk di sampingnya setelah menyalami perempuan yang bekain sama dengan yang kupakai. Sudah bisa dipastikan mereka adalah kerabat dekatku meski tidak semuanya aku tahu.

Suasana panggung dan bagian belakang istana ini sebenarnya adalah taman terbuka. Lalu sengaja diberi atap dengan desain khas Besemah. Ukiran kayu dan dekor dari akar kayu panjang umur justru membuat suasana klasik tapi unik. Salawatan masih menggema mengisi suasana. Tak lama hening. Nampaknya cara angkan-angkanan akan segera dimulai. Pembawa acara menyampaikan tujuan jamuan malam ini sebelum dua Rimba Calicah berdiri berdampingan.

Puyang Pekik Nyaring maju ke depan podium. Setelah menyampaikan salam beliau menyampaikan ucapan terimakasih pada sanak keluarga telah hadir, selanjutnya beliau menyampaikan tujuan acara malam ini sekaligus cerita singkat bagaimana mulanya bisa dua rimba yaitu Rimbe dan Rimbo bertemu, akhirnya kedua orang tua mereka sepakat untuk menjadikan kedua anak ini menjadi anak mereka bagian keluarga mereka. Sehingga hubungan kekerabatan semakin kental. Selanjutnya dilanjutkan dengan acara suap-suapan. Kedua Rimba di suruh duduk bersebelahan. Orang tua Rimbe mengambil dulang yang sudah disediakan, lalu menyuapi Rimbo. Sebaliknya ke dua orang tua Rimbo menyuapi Rimbe. Selanjutnya. nasi dulang dalam nampan dibiar berada di hadapan keduanya. Tak lama doa berlangsung. Aku melihat kakek Andun yang bertugas memimpin doa. Usai berdoa, para tetamu disuruh makan di hidangan dalam ruang teras istana
Di sana telah disiapkan puluhan hidagan untuk para tamu. Aku melihat Eyang Kuda berpelukan dengan beberapa tamu. Mungkin kenalannya. Lalu bersama mereka menuju hidangan yang telah disediakan. Eyang Kuda agak kerepotan duduk bersila seperti yang lain karena kain wiron yang beliau pakai. Aku tersenyum melihatnya. Akhirnya Eyang duduk menyamping seperti pengantin.

Lagu-lagu kasidah berkumandang mengiringi para tamu santap malam. Dua rimba makan berdua. Nasi dulang yang disuapkan pada mereka berdua tadi mereka lanjutkan santap bersama. Aku masih asyik ngobrol dengan Nek Kam dan nenek Ceriwis. Kusampaikan jika sebentar lagi aku akan libur sekolah, maka aku akan pulang ke Seberang Endikat. Senyum nenek Kam mekar bahagia. Bagaimanapun keinginan untuk bersama, siang malam bersama, masuk hutan bersama, malam-malam petualang ke rimba-rimba adalah impian yang sempat terlontar berdua. Kami serupa anak kecil membangun angan-angan. Apalagi jika teringat Kakek Haji Majani dan Kakek Haji Yasir. Rinduku semakin buncah.
“Nenek, nanti pulang dengan siapa?” Tanyaku di sela-sela obrolan. Biasanya beliau bersama Macan Kumbang, tapi tadi Macan Kumbang bersamaku. Rupanya nenek Kam sudah tiga hari di sini. Dan akan pulang tiga hari lagi. Ketika kukatakan kalau begitu aku juga mau tingal tiga hari di sini, tidak mau pulang dulu, nek Kam melarang. Alasannya aku harus sekolah. Dan tidak baik untuk diriku kelamaan meninggalkan jasad di tanah orang. Berbeda dengan beliau, jasadnya bisa ikut hadir di sini tanpa was-was. Karena ini wilayah kelahirannya dan banyak yang menjaganya.

Malam makin larut. Para tetamu sudah banyak yang pulang. Dua Rimba ikut bincang-bincang padaku. Mereka adalah saudara sepupuku. Demikian kata Puyang Pekik Nyaring. Kakek Andun meraihku duduk di sampingnya. Aku bergelayut manja di bahunya yang wangi. Beliau bincang-bincang banyak hal dengan Eyang Kuda. Kukenalkan Eyang Kuda dengan Puyang Pekik Nyaring dan Puyang Ulu Bukit Selepah.
“Eyang Kuda, tidak bisa berbohong ya misalnya mengaku orang Cina, atau orang Kalimantan.” Kata Kakek Njajau.
“Kenapa Kek?” Tanya Eyang Kuda balik bertanya.
“Ya bagaimana mau mengaku orang Cina atau orang Kalimantan, orang penampilan Eyang dengan busana Jawa? Ditambah bahasa Eyang, dialek jawanya medok!” Sambung kakek Njajau. Semua yang duduk di sana yang mendengar ikut tertawa.
“Idak, sayo lah jadi orang Bengkulu. Bajunyo ajo pakaian orang Jawa.” Canda Eyang Kuda pakai bahasa Bengkulu tapi logat Jawa. Semua yang hadir semakin jadi tertawanya.

Secangkir kopi panas telah lama habis. Bajik gemuk manis, dan gunjing yang dihidangkan sebagai makanan selingan pun sudah habis kumakan beberapa biji. Tapi obrolan para sesepuh tak juga ada putusnya. Ada saja bahan cerita mereka. Termasuk membahas tentang kerajaan-kerajaan kecil di lembah yang menghadap ke Samudera Hindia, lalu pengikutnya banyak yang nakal dan sengaja menghasut manusia agar mereka yakin jika yang sering mencelakakan manusia adalah manusia harimau, nenek gunung. Nenek gunung selalu mereka fitnah. Tidak banyak yang tahu jika kita adalah mahluk beradat dan beradab. Mereka selalu menganggap negatif tentang kita. Ujar salah satu di antara nenek gunung. Tapi sekali lagi, puyang Pekik Nyaring mengatakan sabar, dan jangan pedulikan. Biar Allah saja yang balas semuanya. Kita makhluk hidup akan mati, pengadilan Allah akan menghakimi setiap makhluknya yang jahat.

Aku memanfaatkan waktu yang singkat mencari A Fung. Tak lama A Fung ke luar dari kerumuman orang yang masih berdiri. Aku dan A Fung berpelukan. Seperti pertemuan tempo hari, A Fung terlihat lebih dewasa dengan pakaian gamisnya. Rupanya dia sudah melihatku dari tadi. Namun karena dia bertugas melantunkan syalawat, dan al barjanji dia hanya bisa menatap aku dari jauh. Aku kembali memeluknya. Bangga dan bahagia.

Jelang subuh, Eyang Kuda mengajakku pulang. Aku mencari-cari Macan Kumbang. Selama sesepuhku ngobrol, Macan Kumbang tidak ada di antara mereka. Kemana dia?
“Nek, Macan Kumbang kemana tidak kelihatan batang hidungnya sejak tadi” Tanyaku pada nenek Kam dan nenek Ceriwis. Keduanya menyatakan tidak tahu. Aku coba membatin mencari keberadaannya. Oh! Rupanya Macan Kumbang dan beberapa gadis sedang asyik duduk di bangku taman. Di antara gadis itu ada Putri Bulan. Kapan dia datang? Nampaknya Putri Bulan sangat akrab ngobrol dengan gadis dusun ini. Mereka sudah saling kenal rupanya. Aku meminta Dahlia untuk memanggil Macan Kumbang dan Putri Bulan agar masuk menemui Puyang Pekik Nyaring untuk pamit pulang. Tak lama keduanya datang. Akhirnya aku, Eyang Kuda, dan Putri Bulan mohon izin pulang.

Seperti biasa perpisahan adalah hal terberat dalam hidup. Meski setiap waktu aku bisa mengontak semuanya, namun akan berbeda jika berkumpul dan tatap muka seperti ini. Tapi perpisahan tetap harus ada diakhir pertemuan. Malam itu aku bersama Eyang Kuda, Macan Kumbang dan Putri Bulan menembus kabut gunung kembali ke tanah Rafflesia.
Keinginanku untuk pulang menyisir pantai batal. Kami harus mengatarkan Putri Bulan terlebih dahulu. Aku memeluk leher Macan Kumbang dengan erat. Eyang Kuda dan Putri Bulan berada di sampingku. Sebenarnya aku hendak memakai selendangku, tapi dilarang Macan Kumbang. Alasannya kenapa tidak dari tadi. Akhirnya aku pasrah dan patuh menunggangnya, Membiarkan angin menerpa kami berempat, menikmati elusannya yang kencang.

Alam masih hening. Belum terlihat aktivitas bangsa manusia. Kecuali kesibukan di dimensi lain seakan bergegas karena sebentar lagi akan muncul fajar. Saatnya mereka pulang istirahat, lalu berganti pula giliran manusia yang beraktivitas. Aku menguap sesekali pertanda sudah mengantuk dan lelah. Aku jadi berpikir, kapan aku menikmati malam dengan wajar? Jika malam dan siangku nyaris sama? Hidup yang aneh. Aku heran pada diriku sendiri.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *