HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT II (26)

Karya RD. Kedum

Lagu Dirut berulang-ulang kuputar  lewat tape recorder di sampingnya. Beberapa kaset rejung Wayah dan Asrin berserak di  atas  tempat tidur. Entah apa yang menarik dari  lagu Dirut itu sehingga  kuputar berulang-ulang, sampai suara tape recorder seperti mesin buruk. Mungkin kalau dia pandai berbicara pasti tipe recorder itu minta ampun. Bunyinya berat sekali.  

Sebenarnya lagu Dirut   tidak  sinkron dengan perasaan sepiku. Sebab  lagu itu berkisah tentang seorang ayah yang membujuk  anaknya agar jangan bersedih karena dia  hendak mencari istri muda. Melihat anaknya menangis, akhirnya sang ayah mengurungkan niatnya, ia kembali pada ibu si anak. Sementara aku, merasa sangat sepi karena malam ini tidak ada nenek Kam di sampingku. Benarlah kata puisi yang pernah kubaca, jika sepi adalah sembilu. Memang rasanya perih sekali.

Aku enggan memperhatikan jam dinding. Sebab tiap kali jam berdentang maka bunyinya serupa  hardikan yang menyeramkan. Entah sudah berapa puluh kali lagu Dirut kuulang sembari membaca buku berharap  mataku lelah tapi  tetap saja melek. Membaca hanya membuatku lengah sejenak tentang sepi. Selanjutnya kembali terasa dan itu sakit.

Mendengar tape recorderku masih berbunyi, Bapak naik ke lantai dua menuju kamarku. Kebetulan pintu kamarku tidak dikunci, beliau menongolkan kepala dari balik pintu.

“Mengapa belum tidur, Dek? Bukankah besok harus sekolah?” Tanya Bapak. Kujawab besok tanggal merah jadi sekolah libur. Melihat aku menjawab lesu, Bapak masuk dan duduk di sampingku.

“Kenapa, sedih ya karena nenek Kam pulang?” Ujar Bapak memegang kakiku. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kecil. Air mata mengambang tak mampu kutahan. Padahal aku sudah berusaha agar tangisku tidak tumpa.

“Anak hebat kok nangis? Kan sudah diajarkan nenek Kam kalau mau jumpa beliau? Mengapa tidak kamu gunakan kemampuan itu?” Ujar Bapak. Dalam hati aku mengiyakan. Aku langsung bangkit dan memegang tangan Bapak. Aku ceritakan bagaimana ketika aku main ke rumah Bik Sumi melihat berbagai makhluk aneh. Waktu aku mau fokus jumpa dengan nenek Kam dilarang Putri Selasih. Alasannya nanti aku diserang oleh makhluk-makhluk yang ada  di dekat rumah Bik Sumi.

Terus kuceritakan pula ketika aku tertidur aku serasa bermimpi bertemu dengan nenek Relingin di perkampungan gunung Dempu. Aku hanya melihat nenek Kam bercengrakama dengan para kebai menuai padi.

Mendengar ceritaku Bapak terbengong. Wajahnya menampakan ketidakyakinan jika aku telah melancong sampai ke salah satu dusun kerajaan alam bunian di gunung Dempu.

“Sudah berapa kali kamu diajak kesana?” Suara Bapak bergetar.
“Tempohari waktu nenek Kam  di sini, pagi-pagi aku sama nenek Kam main ke gunung. Aku diajak nenek Kam ke rumah orang tuanya di gunung. Kemarin aku bersama Putri Selasih diajak nenek Relingin, beliau memperlihatkan tujuh rumah saudara-saudara nenek Kam di sana. Tempat itu indah sekali, Pak. Sama halnya dengan perkampungan Nenek Kam, rumah panggung tertata rapi. Asri sekali” Ujarku sembari mengenang kembali perjalanan bersama nenek Kam.

Bapak bengong menatapku. Aku menatap Bapak dalam-dalam mencoba membaca apa yang beliau pikirkan.  Apakah beliau merasa khawatir atau tidak menyangka kalau aku sudah melakukan perjalanan yang tidak masuk akal itu? Entahlah. Bapak diam. Aku turut  diam.

“Kamu tidak merasa takut kan Dek?” Pertanyaan Bapak setelah menarik nafas. Aku hanya mengangguk. “Malah aku ingin kembali ke sana, Pak” Ujarku kembali. “Kalau tidak bersama nenek Kam jangan lagi ya Dek. Kalau kamu nggak pulang, Bapak tidak mengerti bagaimana cara menjemputmu. Kalau kemarin ada nenek Kam, Bapak tidak khawatir.” Ujar Bapak lagi.  

Selanjutnya aku dibaringkan Bapak Bapak kembali membujukku agar aku tidur saja meski besok libur. Kali ini Bapak yang memutar kembali lagu Dirut memenuhi ruang kamarku berharap aku terlelap diantar lagu yang melankolis itu.

Bapak menutup pintu kamar pelan-pelan setelah menganti lampu kamar dengan nyala lampu tidur. Belum sempat aku memejamkan mata, tiba-tiba aku mendengar dengus nafas dekat sekali dengan telingaku. Instingku langsung menangkap Macan Kumbang yang datang. Aku melonjak gembira, bangkit dari tempat tidur.

Benar saja di hadapanku ada Macam Kumbang! Di mulutnya setangkai buah ghukam yang sudah matang sengaja dibawanya untukku.

Aku menyalahkan  lampu dengan  maksud agar nampak terang. Tapi tiba-tiba lampu berubah menjadi lima watt. Kucoba menyalakan lagi, kembali berubah jadi lima watt. Aku menatap heran. Macam kumbang menggeleng-geleng pertanda dia melarang aku menyalakan lampu yang lebih terang. Akhirnya aku patuh. Aku mengambil setangkai ghukam dari mulutnya lalu merangkulnya penuh rindu.

Tanpa kusadari aku tersedu. Macan Kumbang  menjilat-jilat wajahku dengan penuh kasih. Aku merasa sangat bahagia. Meski Macan Kumbang tidak bersama Nenek Kam namun cukup membuatku senang. Rasanya keduanya sudah berada di sini.

“Darimana mendapatkan buah ghukam mateng? Mana nenek Kam?” Ujarku berbisik. Aku takut suaraku terdengar Bapak. Setangkai ghukam masih basah. Artinya baru saja dipetik. Aku mengambilnya  satu dan menggigitnya. Rasa asam dan manis membuat liurku mengalir deras.

“Buah dapat metik di kebun Bapakmu dekat tebat Betelogh.  Nenek Kam sedang di Gunung Dempu bersama saudara-saudara yang lain. Beberapa hari ke depan akan ada bagok’an ” Ujarnya. Dalam hati aku bertanya, rupanya di kampung hening itu ada bagok’an juga? Bagaimana bentuk bagok’annya? Apakah mirip dengan bagok’an bangsa manusia? Aku bertanya dalam hati.

“Nanti suatu saat kamu akan dibawa nenek Kam pulang ke dusun hulu saat ada bagok’an berlangsung” Ujar Macan Kumbang.   Aku hanya mengangguk mengiyakan meski tidak jelas kapan.

Kami  berbincang-bincang sejenak. Kusampaikan aku rindu dan kesepian. Aku ingin pulang ke dusun untuk jumpa dengan nenek Kam, Kakek Haji Yasir. Macan Kumbang hanya tersenyum kecil.

“Baru ditinggal sehari saja udah kayak ditinggal setahun. Bagaimana kalau bertahun-tahun. Misi nenek Kam ke sini kan sudah selesai.  Orang-orang yang telah berbuat jahat pada nenek gunung sudah diselesaikan. Sekarang giliran aku yang mendapatkan tugas.“ Ujar Macan kumbang sembari menggoyang-goyangkan kepala.

“Tugas apa?” Tanyaku cepat.
“Aku disuruh Panglima Kumbang untuk menjemput salah satu warga dusun Ulu yang jabal.  Dia melarikan diri.  Dia telah memakan manusia petang kemarin.” lanjur Macan Kumbang.

Aku terperangah. Apa sebabnya? Apakah mungkin terjadi kesalahan di pihak manusia lagi? Hatiku bergetar kembali.

“Lalu mau diapakan nenek gunung yang jabalan itu?” Tanyaku.
“Jika dia tidak mau pulang menyerahkan diri ke Ulu maka kepalanya pun wajib dibawa pulang. Artinya dia harus dibunuh” Ujar macan kumbang.

Kembali aku merinding. Begitukah hukum di alam uluan itu? Akhirnya Macan Kumbang mohon diri, dia akan pergi mencari jejak  nenek gunung yang telah memakan manusia itu. Menurut Macan Kumbang Orang yang dimakan oleh nenek gunung itu kabarnya dari rimba seberang sungai Musi di kabupaten Musirawas.

Mendengar itu aku minta ikut macan Kumbang. Dan aku tidak menyangka ternyata aku diizinkannya. Kupeluk macan Kumbang dengan suka cita. Aku segera mengunci pintu kamar, mematikan tipe recorder, duduk bersedekap di atas tempat tidur. Dalam waktu singkat aku merasakan tubuhku sangat ringan.

“Huf! Aku naik ke atas  punggung Kumbang. Kupeluk lehernya. Dalam sekejap aku seperti terbang sudah berada di rimba yang tidak kukenal. Meski malam hari namun aku tidak melihat wilayah ini gelap.

Aku minta turun dari punggung Macan Kumbang. Aku lupa kalau aku tidak menggunakan  alas kaki sama sekali. Macan kumbang nampaknya sangat paham dengan apa yang aku pikirkan. Aku menatap kakiku. Oh, tanpa kusadari, ternyata kakiku tidak mirip seperti kaki manusia. Tapi mirip kaki kucing. Meski menginjak rumput dan semak berduri, aku tidak merasakan sakit. Kami berdua berjalan beriringan. Aku ikuti langkah ringan Macan Kumbang.

Kami berdua memasuki  perkebunan karet bangsa manusia. Di antara pohon karet yang masih kecil itu ada tanaman lain, cabai, kunyit, serai, terong bahkan jagung. Setelah beberapa  langkah Macan Kumbang berhenti. Aku berdiri di sampingnya ikut mengamati sekitar. Mata Macan Kumbang tertuju pada satu buah pondok yang terbuat dari bambu, berdiding kayu yang disusun sirip. Atap pondok terbuat dari kayu juga. Bagian depan pondok ada beranda.

Di beranda inilah kami melihat seorang lelaki paruh baya, tanpa baju, merokok, menjuntaikan kaki sambil diayun-ayun. Aku mengedip-ngedipkan mata. Mengapa kaki yang menjuntai itu dalam pandanganku berubah seperti tanduk rusa? Di belakang pondok seekor harimau berbadan sedang mengintai pelan. Gerakannya sangat hati-hati takut mangsanya menyadari kalau dia tengah diintai.  

Sekali lompat, mangsa patah lehernya. Lalu diseretnya beberapa puluh meter menjauh dari pondok. Nenek gunung  memakan mangsanya dengan lahap. Yang pertama kali dimakannya adalah jantung dan hati. Aku melihat semua isi perutnya mangsanya keluar.  Isi perut itu diacak-acak hingga terburai ke tanah. Lalu bagian paha diangkutnya ke atas pohon. Diletakannya di dahan yang paling tinggi. Nenek gunung kembali turun, melanjutkan santapannya lagi.  

Sejenak kulihat dia mengasoh sembari menunggui mangsanya. Nenek gunung nampak kekenyangan. Usai menunggui mangsanya, nenek gunung tersebut naik ke atas pohon. Paha yang diletakannya di atas pohon diboyongnya pergi. Tak berselang lama aku melihat beberapa orang menjerit-jerit memanggil nama seseorang. Aku bagai terjaga, yang dimakan oleh nenek gunung itu bukan rusa seperti penglihatanku tadi. Tapi manusia!

Kakiku gemetar “Kumbang! Yang dimakan oleh Nenek Gunung itu  bukan rusa tapi manusia!!” Ujarku merapatkan badan ke tubuh Kumbang. Untuk itulah mengapa dirimu kuajak kemari Selasih. Agar kamu tahu beginilah kenyataannya. Kita sering kali salah dalam melihat mangsa dihadapan kita. Kamu pun melihat kaki bangsa manusia yang menjuntai di garang dan digoyang-goyang itu seperti tanduk rusa bukan? Makanya bangsa manusia dilarang duduk seperti itu jelang petang. Sebab petang hari bangsa nenek gunung waktunya mencari nafkah. Sesekali mereka juga pergi berburu”

Aku hanya terdiam mendengar penjelasan Macan Kumbang.  Angin terasa lebih dingin dari biasanya. Aku melihat beberapa orang panik melihat jenazah yang sudah tak utuh lagi itu. Aku dan Macan Kumbang agak mundur ke belakang ketika melihat penduduk membawa obor di tangan. Api itu menyilaukan pandanganku.  

Orang  makin banyak berkumpul dengan senjata lengkap. Ada yang membawa senampan angin, parang, tombak, jaring dan lainnya. Tubuh yang terpotong-potong itu akhirnya mereka angkat dan diletakkan di atas selembar kain. Suara berdengung tidak jelas keluar dari mulut-mulut mereka. Mereka tengah bersalawat atau membaca doa, aku tidak tahu. Tubuh yang sudah tak utuh itu akhirnya mereka tandu ke arah dusun.

Aku hanya memandang Macan Kumbang dengan perasaan tidak menentu. Melihat kejadian  mengerikan ini, aku sedikit paham tentang kehidupan nenek gunung di alam. Aku masih bergumul dengan pikiran-pikiranku. Aku bingung apa yang harus aku lakukan? Dan siapa yang patut disalahkan dalam perkara ini? Patutkah nenek gunung itu disalahkan? Sementara aku  sendiri mengalami  ketika melihat manusia menjuntaikan kaki di garang itu tiba-tiba dalam pandanganku seperti melihat tanduk rusa? Mengapa ketika nenek gunung itu memangsanya tidak menyadari  sama sekali kalau itu adalah tubuh manusia? Bukankah nenek gunung sangat tajam penciumannya? Dari jarak jauh dia bisa mencium apakah bau  manusia atau bukan? Berbagai pertanyaan berjubel di benakku. Siapa yang bisa menjelaskannya?

“Selasih, apa yang kita lihat adalah pemandangan petang tadi. Kejadian yang tidak bisa kita hambati.” Aku mengangguk paham. Apa yang kulihat memang mirip seperti film.
“Selanjutnya mari kita sisir jejak nenek gunung yang telah memangsa manusia itu. Mari” Ajak Macan Kumbang. Kami kembali berjalan pelan. Kebun penduduk yang masih terbilang baru ini memang sangat sepi. Aku melihat hanya beberapa pondok terpencil di kebun-kebun dengan jarak yang cukup jauh.

Setelah melintas kebun dan ladang penduduk yang cukup luas, aku dan Macam Kumbang memasuki semak belukar. Semakin ke dalam semakin lebat. Pohon-pohon besar, aroma lembab tanah, menyengat. Kami berdua sudah memasuki hutan balantara. Pohon tembesu sebesar lingkaran tangan tiga tangan orang dewasa tampak berdiri kokoh. Di dahannya ada enggang,  elang, bubut dan jenis hewan lainnya.

Beberapa hewan melintas dengan riangnya. Ada kancil menempelkan tubuhnya sembari merem di pohon yang besar, sekelompok rusa tidur-tiduran. Kera siamang, saling berdekapan menahan dingin. Semakin ke dalam semakin banyak  bertemu dengan hewan. Sekelompok babi asyik menyungkur-nyungkur tanah mencari cacing. Sebagian lagi berguling-guling di air sisa hujan yang tergenang.

Macan Kumbang berhenti sejenak. Aku juga ikut berhenti. Kuperhatikan macan kumbang seperti fokus pada penciumannya. Macan Kumbang mengendus-endus.  Sebenarnya aku ingin ikut mengendus juga. Tapi mengendus apa? Aku hanya mencium aroma lembab hutan, bau lumut, dan daun yang membusuk.

Embun terasa sangat tebal. Namum mataku masih  awas melihat isi hutan. Mata burung hantu seperti corong meyalak tajam di sampingku. Sesekali terdengar mendekur seperti bernyanyi mengisi suasana tengah malam. Kunang-kunang kerlap-kerlip terbang  ke sana ke mari seperti membawa lampu. Hinggap di balik-balik daun.  

Aku dan Macam Kumbang kembali  berjalan.  Entah berapa jauh perjalanan yang sudah kami lakukan. Namun aku  tidak merasa lelah sedikitpun. Aku masih mengikuti  Macan Kumbang dari belakang. Sesekali ikutan mengendus-ngendus mencoba merasakan apa yang Macan Kumbang rasakan. Tiba-tiba di hadapan kami ada sungai yang terbentang cukup luas, berair deras. Aku tidak bisa memperkirakan kedalamannya. Melihat airnya tenang, mengalir tanpa riak dapat dikusimpulkan sungai ini dalam. Beberapa ekor labi-labi bercengkrama di pinggir sungai yang berpasir.  Entah apa yang mereka lakukan. Ikan-ikan kecil berenang ke sana kemari. Semua seperti menepi. Air sungai terlihat keruh. Beberapa kali aku melihat potongan kayu dan pohon hanyut di bawa arus.

“Di hulu sedang turun  hujan nampaknya” Ujar Macan Kumbang. Aku  menganggu-angguk. Mungkin karena melihat arus sungai yang deras dan keruh menjadi ciri jika ada hujan di huluan.
“Aroma nenek gunung pemangsa itu hanya sampai di sini. Ke arah mana lagi dia berjalan” Gumam Macam Kumbang. Rupanya nenek gunung yang memangsa manusia itu berhenti persis di tempat kami berdiri, di tepi sungai.

Kemungkinan besar nenek gunung itu menyeberangi sungai. Aliran sungai yang deras tidak memungkinkan kami lalui malam ini.
“Kita akan menyeberang ya” Tanyaku. Aku juga berpikir bagaimana caranya untuk bisa ke seberang. Sayangnya aku tidak punya kemampuan membaca jejak langkah nenek gunung jabalan itu. Lain halnya ketika aku fokus mencari nenek Kam atau Macam Kumbang. Belum sempat aku berpikir panjang, tiba-tiba aku mendengar suara nenek Kam di belakang kami. Aku tersentak dan langsung menoleh.
“Nenek!” Jeritku.
“Nenek Kam jauh, Selasih. Entah berapa ratus kilo meter dari sini. Beliau tidak ada di sekitar kita. Dia tahu kamu bersamaku. Makanya  beliau memberi tahu, kalau nenek gunung jabalan itu menyeberang sembari berenang. Itu petang tadi, sebelum air sungai naik tinggi.” Ujar Macan Kumbang. Padahal aku serasa mendapatkan kehidupan baru mendengar suara  nenek Kam. Suara itu sangat dekat, serasa  nenek Kam berada persis di belakangku.

Akhirnya aku hanya menelan ludah menekan perasaan sedihku.
“Ayo naik” Macam kumbang memerintahkan aku supaya naik ke punggungnya. Akhirnya aku melompat dan langsung memeluk leher Macan Kumbang.  Ajaib! Kakiku yang sebelumnya berbulu, tiba-tiba berubah. Ternyata Macan Kumbang tahu apa yang kupikirkan. Sambil berjalan beliau menjelaskan kalau aku  saat-saat tertentu bisa berubah sesuai dengan kehendak batinku.
“Sekarang aku jadi apa, Kumbang?” Tanyaku. Aku melihat tanganku  kembali menjadi tangan manusia. Lain halnya tadi ketika aku turun dari punggung Macan Kumbang, ketika mengijak tanah aku berubah menjadi harimau putih dengan bulu kaki yang halus mulus.
“Sekarang kamu adalah anak kecil yang nakal, cerewet, tapi cengeng” Goda Macam Kumbang. Aku mencubit lehernya. Benci sekali rasanya mendengar kata cengeng. Apa benar aku cengeng? Semoga hanya sekedar candaan. Rasanya aku sudah lama tidak bercanda dengannya. Aku jadi teringat dengan buah ghukam yang di bawa Macan Kumbang. Lalu muncul ide bagaimana kalau Macan Kumbang membawaku pulang ke dusun sebentar saja, mengambil ghukam dan ketemu nenek Kam.

“Nah, tu kan nakal! Minta pulang ke dusun. Kamu tahu jarak antara tempat kita sekarang dengan dusun sangat jauh. Bisa saja kita melakukannya dalam waktu sekejap berada di dusun. Tapi kan semua punya aturan. Kemampuan itu tidak boleh dipakai sesukanya. Gunakan pada waktu-waktu tertentu saat  terdesak” Ujar Macan Kumbang menjelaskan.
‘Tapi mengapa nenek Kam bisa kemana-mana sesukanya. Bahkan jasadnya terkadang ada dua. Satu ada di dusun, satu lagi ada di kebun atau di sawah” Lanjutku. Selanjutnya Macan Kumbang mengatakan itulah keistimewaan yang dimiliki oleh Nenek Kam. Kemampuan itu tidak  dimiliki oleh semua  makhluk. Nenek Kam adalah orang pilihan. Bukan sembarangan. Kemampuan itu diwariskan oleh Bapak kami kepada nenek Kam. Untuk sampai pada tahap itu perlu pengorbanan panjang. Ada beberapa tahap ujian yang harus beliau lalui. Bukan serta-merta. Berat ujiannya. Karena bangsa manusia dengan bangsa nenek gunung berbeda. Untuk bisa sinergi maka dibutuhkan kemampuan-kemampuan tertentu, tujuannya agar interaksi antar dua bangsa makhluk yang berbeda dimensi ini bisa sinkron.

Aku hanya menganguk-angguk di punggung Macan Kumbang mendengarkan penjelasannya yang panjang. Sebenarnya aku ingin bertanya lebih banyak tentang diriku. Tiba-tiba Macan Kumbang menyuruhku memegangnya erat-erat. Aku segera melaksanakannya. Kupeluk leher Macan Kumbang yang berbulu tebal. Dalam sekejab aku seperti  dibawa terbang olehnya. Aku tidak bisa memandang sisi kanan dan kiri dengan jelas. Tubuh Macan Kumbang seperi  busur panah, meluncur deras. Ototnya keras dan  padat. Aku merasakan lompatannya bukan lompatan  biasa. Ada kekuatan lain yang  dimilki Macan Kumbang.

Dalam sekejap aku sudah berada di kamarku. Ah! Aku diajak pulang rupanya. “Mengapa kita tidak mencari Nenek Gunung Jabalan lagi, Kumbang?” Tanyaku agak kecewa. Padahal aku ingin melanjutkan petulangan bersamanya kembali.

“Suatu saat kamu akan saya ajak kembali. Untuk malam ini cukup sampai di sini pelajaran kita. Saya harus pulang dulu ke gunung  sebelum melanjutkan pencarian jejak Jabalan itu. Istirahatlah, tidak baik anak kecil gentayangan tengah malam terus-menerus. Jangan sampai Bapak dan Ibumu khawatir karena  gadis kecilnya suka jalan-jalan ke alam lain”  Ujar Macan Kumbang. Aku hanya mengangguk kecil.

Dalam hati sudah diajak malam ini menyisir hutan belantara  Musi Rawas yang dialiri anak sugai Musi hatiku sudah sangat bahagia. Aku berharap suatu saat aku diajak kembali. Selanjutnya Macan Kumbang mohon diri untuk pulang setelah meniup ubun-ubunku. Aku mengangguk setuju dan mengucapkan terimakasih.  Aku melihat  awan putih seperti asap membalut tubuh Macan Kumbang, selanjutnya makin pudar dan hilang. Tinggallah aku sendiri.  Aku segera membuka kunci pintu kamar. Lalu kembali baring berusaha untuk lelap.

Pagi hari aku terjaga dari tidur ketika merasakan tangan sangat dingin menyentuh pipiku. Rupanya Bapak membangunkanku.
“Bangun sudah siang Dek. Ayo anak gadis tidak boleh bangun siang. Pagi-pagi kalau tidak sekolah belajar bantu ibu memberes-bereskan rumah. Ayo, paling tidak kamu rapikan kamarmu yang berantakan ini” Perintah Bapak. Aku segera bangun.

Sebenarnya mataku masih sangat berat. Namun demi  menghindarkan kemarahan Bapak, aku coba membuka mataku lebar-lebar.
“Buah ghukam darimana ini?” Ujar  Bapak sembari menatapku heran. Bapak memegang tangkai ghukam yang tergeletak di  meja kecil samping tempat tidur.  Aku makin terjaga. Apa yang harus aku sampaikan dengan Bapak? Apa harus kuceritakan kalau macan Kumbang yang membawanya kemari. Lalu apakah harus aku ceritakan pula jika aku tadi malam ikut Macan Kumbang mencari nenek gunung yang telah memangsa manusia?

“Tadi malam, ketika Bapak ke luar kamarku, Macan Kumbang datang mengantarkan ini. Ghukam ini dia petik di kebun kita dekat Tebat Betelugh.” Aku menatap Bapak. Aku tahu beliau juga heran dan takjub. Lama beliau memegang dan memandangi buah ghukam. Mungkin perasaanya apakah berada di  dunia nyata atau hanya bermimpi. Sesekali matanya menatapku lalu kembali lagi menatap ghukam.

Terakhir beliau menggeleng-geleng. Aku tersenyum dalam hati. Melihat buah ghukam saja Bapak sudah terbengong begini. Apalagi kalau aku menceritakan melihat nenek gunung memangsa manusia. Aku berusaha merahasiakannya meski di dalam diri mendorong untuk bercerita dengan Bapak. Akhirnya aku tinggalkan Bapak yang masih melongok. Aku segera turun menyongsong Ibuku. Beliau pasti sedang masak menyiapkan sarapan.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *