HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (50A)

Karya RD. Kedum

Aku berdiri di atas batu cadas yang menghadap ke lembah. Ini malam ke tiga aku bersama kakek Njajau menggiring para nenek gunung ke rimba lebih dalam. Bersyukur tidak ada hambatan yang terlalu berat. Kucing-kucing raksasa itu paham jika mereka dipindahkan ke tempat yang baru, membentuk habitat baru.

Darahku berdesir ketika dari semak-semak muncul dua ekor anak nenek gunung berjalan dengan santainya. Melihat itu aku langsung melompat menghampiri.
“Aduh anak manis, kalian mau kemana? Mana induk kalian? Megapa kalian terpisah?” Aku menggelus keduanya. Bayi nenek gunung ini justru keenakan mengelus-ngeluskan tubuhnya ke tanganku. Aku memandang kakek Njajau, kemana harus mencari induk makhluk kecil ini? Tiba-tiba Kekek Njajau bersiul panjang. Tidak berapa lama bunyi krasak-krusuk dan derak ranting yang patah semakin dekat ke arahku berdiri. Dari arah selatan, muncul dua ekor nenek gunung mendengus-dengus. Jantan dan betina.
“Gggrrrrhh…grggrrrhhh…” Induk nenek gunung menjilat-jilat anaknya. Tak lama kemudian keduanya duduk sambil menunduk di hadapanku serupa manusia yang tengah sujud.
“Terimakasih Selasih..” Sang Induk merunduk. Aku menghampiri keduanya, kuelus-elus leher mereka. Bahagia sekali rasanya bisa berdekatan dengan makhluk rimba ini.
“Bawalah anakmu, jaga mereka, jangan sampai terpisah lagi.” Ujarku. Keduanya mengangguk. Sementara si bayi asyik melompat ke sana-ke mari bahkan seperti sengaja berguling-guling dekat kakiku. Kuangkat, kugendong, lalu kucium gemes. Tak lama keluarga kecil nenek gunung ini masuk ke dalam semak-semak. Aku hanya melihat beberapa pohon bergoyang-goyang kena senggol mereka. Aku menarik nafas lega.
“Kakek, untuk sementara pekerjaan kita selesai. Kita sudah pagari semua sisi perbatasan ini agar para nenek gunung tidak berkeliaran sampai ke pemukiman manusia. Selanjutnya apalagi yang kita kerjakan, kek?” Ujarku. Kakek Njajau tersenyum puas.
“Kalian hebat! Cucung dan kakek sama hebatnya! Para nenek gunung dengan sopan memenuhi kemauan Selasih dan kakek Njajau.” Ujar Macan Kumbang setelah melihat akhir pekerjaan kami berdua.
“Ini karena kakek Njajau,Macan Kumbang. Tanpa kakek Njajau tak mungkin pekerjaan berat ini bisa berjalan mulus ” Ujarku senang.
“Kamu juga sudah bekerja keras untuk menyelamatkan nenek gunung, Cung. Tapi ingat, kerja keras bukan pada apa yang sudah kau hasilkan, melainkan bagaimana kamu berproses dan berkembang karenanya. Maka jangan pernah merasa puas terhadap apa yang sudah kita kerjakan, tapi sikapi dengan syukur karena pada dasarnya kita sedang belajar” Kakek Njajau menepuk-nepuk bahuku. Aku mengangguk pelan, menelaah makna yang disampaikan Kakek Njajau.
“Hap….hap…hap!!” Tiba-tiba kakek menotok punggungku. Secepat kilat aku merunduk sehingga totokan ke dua dan ke tiganya hanya mendapatkan angin. Melihat beliau gagal aku tertawa. Rupanya kakek mengajakku bermain-main lagi. Entah pembelajaran apa yang akan beliau berikan. Atau sekadar menguji kepekaanku. Namun aku ikut serius melihat gerakkan beliau yang sungguh-sungguh.
“Iih…cucu sama kakek sama kayak anak kecil. Senangnya main-main melulu” Macan Kumbang melompat ke atas pohon dan duduk santai di ujung ranting.
“Lanjutkan! Aku jadi penonton sekaligus jadi juri pertarungan yang tak seimbang ini.” Lanjutnya. Padahal kulihat Macan Kumbang malah tidur telentang di atas ranting yang bercabang. Belum sempat aku berpikir akan melakukan sesuatu untuk melawan Kakek Njajau, tiba-tiba telingaku kena sentil. Siapa lagi kalau bukan pekerjaan kakek Njajau. Aku berpikir keras apa yang harus aku lakukan untuk melawan jurus yang tak terlihat ini meski kata kakek aku juga punya kemampuan seperti ini. Tapi aku sendiri tidak menyadari dan bagaimana memfungsikannya. Aku tidak tahu.
Aku pernah diajarkan membaca pikiran dan gerakan lawan, tapi mengapa tidak bisa kulakukan pada kakek Njajau. Aku tidak bisa membaca pikiran dan gerakan kakek Njajau. Kali ke dua telingaku kena sentil, lalu hidungku. Aku kaget. Ini bahaya jika lawan bisa memukul dari jauh sementara aku tidak menyadarinya. Aku menggerutu sendiri mengapa aku tidak mampu membacanya. Apakah aku sudah tidak punya kemampuan itu lagi? Ketika aku sedang berpikir. Plak!!! Plak!! Aku kaget. Kali ini pipi kiri dan kananku kena tempeleng. Rasanya perih sekali. Jangankan melihat gerakan tangan Kekek, kibasan anginnya saja tidak terasa.
“Kek, sakit!” Jeritku. Tapi kakek nampaknya tidak peduli. Meski sudah sepuh kakek tetap lincah seperti tupai. Melompat ke sana kemari. Kali ini beliau memegang ranting kering yang diambilnya di tanah. Hanya sekitar dua puluh centimeter tapi ranting itu diubahnya menjadi sejata yang hebat. Aku diserangnya dengan menggunakan ranting bertubi-tubi. Ketika beradu terasa tanganku bergetar. Kesemutan.

Hap…hap! Aku mengayunkan kedua tanganku ke depan dada. Aku mengubah jurus dengan segera. Kutingkatkan kewaspadaan ke segala penjuru. Termasuk juga mencermati jika ada gerakan atau serangan bayangan kakek Njajau. Langkah pertama kupagari diri secepatnya. Hasilnya ketika senjata kakek Njajau menyerang terjadi benturan yang meghasilkan bunyi berdebum-debum.
“Haaaiii…jangan serius amat! Nanti ada yang celaka. Kalian berdua kenapa si? Main-main tetapi terlalu. Ini pertarungan beneran. Kakek, hentikan, Kek. Aku tidak suka melihat permainan seperti ini” Macan Kumbang teriak-teriak cemas. Aku tidak peduli. Aku tetap fokus pada jurus-jurus Kakek Njajau. Bisa saja lengah sedikit pagarku dibuyarkannya, dan aku bisa jadi kena tempeleng lagi. Sebaliknya mendengar Macan Kumbang seperti khawatir, Kakek Njajau tertawa-tawa masih terus melompat-lompat lincah. Bahkan lompatannya terkesan mengejekku.

Cukup lama aku melayani permainan Kakek Njajau. Nampaknya belum akan berakhir hingga subuh. Ini terlihat ketika beliau mengubah jurusnya. Jika tadi beliau seperti bajing loncat, sekarang mirip siamang. Kakek berjalan persis seperti siamang ketika berada di daratan. Tangannya lebih panjang dari tubuh dan melangkah terbata-bata. Jurus yang baru kulihat seumur hidup. Sebenarnya aku hendak tertawa melihat kakek berjalan seperti itu. Kakek Njajau nampak lucu. Tapi sekali lagi aku tidak berani terlena, aku masih tetap waspada sambil mengamati gerak-geriknya.
Gila!! Dari jarak jauh, dua jarinya seperti memetik, namun ternyata itu adalah serangan. DASS!!! Aku terpental. Punggungku menabrak kayu besar. Terasa dorongannya sangat cepat dan kuat meski hanya gerakan memetik. Kurasakan tulang igaku nyeri. Aku segera bangkit dan menghindar sembari tetap menahan rasa nyeri ketika serangan ke dua bertubi-tubi tidak memberi kesempatan untukku me njejakan kaki di darat. Bahkan ketika aku hendak bertumpu pada ranting, tiba-tiba rantingnya dipatahkan kakek, terpaksa aku salto sambil membaca mantra angin. Kali ini akan kupanggil angin badai. Belum selesai aku membaca mantra tiba-tiba;
“Stop! Stop! Stop! Hentikan Cung. Kamu mau merusak hutan ini? Bisa tumbang semua pohon jika kamu pakai ilmu badaimu. Dasar anak nakal. Ngga mikir!” Ujar kakek Njajau. Aku segera menghentikan mantraku. Apa yang dikatakan kakek benar juga, meski semula aku hanya bermaksud hendak mempermainkan beliau dengan angin yang meggasing. Sedikit banyak pasti akan membuat hutan ini rusak.
“Tuuuuu apa kubilang. Makanya sudah, hentikan!” Macan Kumbang turun dari dahan. Aku masih menahan nyeri. Tenaga dalam kakek luar biasa. Apakah karena aku tidak maksimal ada rasa ragu-ragu, atau karena memang tenaga dalamku tidak seimbang dibandingkan tenaga dalam Kekek, entahlah. Aku tak bisa mengangkat tangan. Jika diangkat serasa ototku kejang dan sakit.
“Sini!” Ujar kakek meraih tanganku lalu kurasakan telunjuknya menotok bagian-bagian tertentu punggung, pinggang, bahu, dan tulang igaku. Tak berselang lama, rasa nyeri itu hilang sama sekali. Aku bisa bernafas lega .
“Kakek cuma ingin mempraktikan beberapa jurus kuno kakek apakah masih ampuh atau tidak. Ternyata masih. Suatu saat ini akan jadi milikmu setelah usiamu empat puluh tahun, Cung” Ujar kakek Njajau seperti tak bersalah. Dalam hati aku menggerutu karena tega menjadikan aku kelinci percobaan. Empat puluh tahun. Lama amat! Sekarang masih usia belasan tahun. Ah! kakek menghibur saja. Batinku. Aku yakin dua ilmu yang dimainkan kakek tadi belum maksimal. Tapi sudah terasa luar biasa. Apalagi jika dimainkan maksimal, tidak terbayang dasyatnya.

“Ya sudah, kalian berdua pulanglah. Nanti keburu subuh” Ujar kakek Njajau memandang Macan Kumbang.
“Belum mau ah, kan belum duel sama aku?” Kata Macan Kumbang sambil tertawa. Kakek Njajau tersenyum lebar. Dua manusia harimau ini perbedaannya tidak terlalu mencolok perbedaannya. Satu muda dan ganteng, satu lagi sudah tua ganteng dan masih terlihat gagah. Aku dan Macan Kumbang pamit setelah mencium tangannya. Sekali lagi kakek mengelus bahu dan mencium keningku.
“Eii…Selasih, bagaimana kakimu yang patah? Sudah membaik kan?” Tanya Kakek sedikit berteriak. Aku hanya menjawab iya sambil naik ke punggung Kumbang. Diperjalanan aku berdialog batin dengan nek Kam. Rupanya beliau sedang berada di hutan utara bersama nenek gunung kawan-kawannya mencari buah tupak dan ghukam. Aku juga pamit izin pulang.

Angin terasa lebih dingin. Kemarau akan tiba. Aku dan Macan Kumbang melintasi kabut tebal. Kabut itu tak bergerak seperti tidak ada angin. Seperti biasa aku sudah menyatu dengan jasadku sebelum Macan Kumbang pulang.

Dokter memutuskan aku sudah diizinkan pulang besok. Siang ini aku selesai mengikuti rangkaian check up setelah bandul besi di lepas dan kakiku digips. Wajah ibu dan bapak nampak cerah. Demikian juga kakak sepupuku Samsudin beserta kawan-kawannya yang saban hari datang ke rumah sakit ikut menjaga aku ikut bahagia.

Dokter Bugman mengajari aku berjalan menggunakan tongkat penyanggah kruk, pelan-pelan. Mulai dari tempat tidur disuruhnya aku berjalan ke ruang perawat jaga. Rasanya ingin menangis ketika beliau, perawat, dan keluarga pasien berteriak sama-sama menyemangaiku. Sepanjang lorong rawat inap jadi gaduh. Semua mata tertuju padaku. Setelah empat bulan lebih aku hanya di tempat tidur baru kali ini belajar menurunkan kaki dan berdiri meski masih bertumpu dengan satu kaki.

Pelan-pelan aku mulai mengayunkan kaki kananku yang gemetar. Kak Fattah menjagaku dari belakang. Ada juga perawat yang siap-siap membawa kursi. Demi melihat mereka begitu semangat menyuruhku berjalan, aku bersiteguh untuk bisa sampai ke ruang perawat jaga. Akhirnya sampai juga. Lalu aku duduk sebentar, kemudian balik lagi menuju kamarku. Peluhku mengucur deras. Aku mendapat bisikan Puyang Pekik Nyaring dan Kakek Andun.
“Terus Cung, nikmati semuanya sebagai manusia ya. Bawalah hati penuh gembira dan rasa syukur. Lakoni skenario Allah dengan perasaan nikmat.” Bisik Puyang pelan. Kubalas bisikan itu dengan kata ‘iya’. Suara Puyang Pekik Nyaring terus terngiang. Nikmati semuanya sebagai manusia biasa. Iya, aku tengah menjadi manusia biasa. Menikmati ketidakmampuan dengan satu kaki patah, terkujur kaku karena di gips. Menahan nyeri, panas, gatal, dan berat ketika darah mengumpul di ujung jari. Terlihat kakiku yang tersembab bengkak seperti balon berisi air.
“Ayo Cung, iya terus. Isi dadamu dengan zikir. Jangan lepas. Iya..Huu Allah…” Kakek Andun ikut menyemangatiku. Beliau seakan-akan ada di sampingku. Suaranya sangat dekat. Aku tersenyum lebar. Ada energi yang tak kuduga sebelumnya. Orang-orang baik di sekitarku serupa malaikat yang menyebarkan aura positif semua.

Kecintaan banyak orang padaku ternyata membuat Mega si kuntilanak bergaun merah yang sering duduk di tangga ruang rawat menuju lantai dua cemburu. Dia mencoba menarik tongkat penyanggahku berkali-kali agar aku terjatuh. Entah siapa yang menjetik tangannya sehingga membuatnya menjerit kesakitan sambil menatapku dengan mata menyala.

Kak Fattah dan kawan-kawannya membantuku kembali naik ke tempat tidur. Tidak kusangka ternyata perawat kekar ini dengan mudah mengangkat tubuhku ke atas ranjang. Aku sedikit tersipu malu karena digendong kak Fattah di depan ibu dan kawan-kawannya. Selebihnya bersama ibu petugas cleaning service yang rajin sekali mengepel kamarku, ikut duduk dan ngobrol berlama-lama. Aktivitas seperti ini hampir setiap hari mereka lakukan. Sehingga sedikit banyak aku sungguh terhibur dengan mereka. Belum lagi dengan sesama pasien yang silih berganti. Tidak sedikit yang balik berkunjung melepas kangen padaku. Saking lamanya menjadi pasien, sampai-sampai para dokter dan perawat menyebut kamarku sebagai kantor lurah. Dan aku dipanggil Ibu lurah.

Malam ini kamarku tidak layak disebut ruang inap rumah sakit. Sebab puluhan orang berkumpul di karena mengetahui besok aku akan pulang. Mereka ada yang masih saudaraku, keluarga pasien, perawat, dokter jaga, bahkan sesama pasien dari ujung ruang ortopedi ikut datang ke kamarku. Kami sesama pasien memang sesekali berjumpa ketika sama-sama di ruang radiologi untuk rontgen, atau di ruang check up penyakit dalam. Sering kali ketika antri menunggu giliran kami isi dengan ngobrol tentang sakit masing-masing, berapa lama dirawat, bagaimana perkembangan pemulihan dan sebagainya. Sehingga meski baru sekali atau dua kali berjumpa terasa begitu dekat. Saling mendoakan dan saling menyemangati.

Kamarku memang kerap dikunjungi para pasien ketika mereka sudah mulai pulih untuk sekadar membuang penat, atau ketika mereka diizinkan dokter untuk belajar bangun dan belajar-jalan atau duduk di kursi roda sekadar menghirup udara di luar kamar.

Banyak sekali pengalaman yang kuperoleh selama menjadi pasien terlama di ruang ortopedi ini. Aku melihat sesama keluarga pasien sangat akrab, bahkan seperti saudara saling tolong-menolong dengan ibuku. Misalkan saja ketika mereka hendak membeli makanan maka akan saling ajak atau menitipkan keluarga mereka yang sedang dirawat. Nyaris seperti itu semua. Suasana persaudaraan terbangun dengan baik. Mungkin karena merasa senasib maka mudah sekali terjalin keakraban baik keluarga pasien maupun perawat dan dokter.

Wajah-wajah gembira namun dirudung nuansa sedih nampak jelas dari wajah-wajah mereka. Aku dikelilingi banyak orang. Berhadapan dengan kata berpisah selalu tidak mengenakkan. Ya demikianlah, perpisahan akan selalu meyisahkan rasa perih. Bahkan rasa rindu sudah muncul lebih dulu sebelum perpisahan itu terjadi.

Menjelang subuh, aku terjaga. Aku memandang langit-langit kamar yang berwarna putih. Dinding berwarna kelabu menjadi lebih buram. Sebentar lagi kamar rawat ini akan kutinggalkan. Ada rasa perih menggores di dinding-dinding yang bergorden abu-abu ini. Kamar ini telah banyak merangkai kisah perjalanan hidupku. Sedih gembira ada di sini. Tiba-tiba aku merasakan angin berhembus pelan. Siapakah yang akan datang? Aku mencoba memfokuskan diri untuk mengetahui dari mana datangnya angin. Oh! Angin dari Barat. Aku melihat sosok Gundak menunggang nenek gunung datang ke arahku. Gerakan dan lompatan nenek gunung yang gagah mengingatkan aku pada waktu kecil ketika pertama kali aku melihat nenek gunung yang paling besar melompat di hadapanku. Gagah! Dan aku kagum melihatnya. Dalam waktu sekejap, Gundak sudah sampai. Dia turun dari punggung nenek gunung dengan wajah ceria.
“Selasih!” Gundak sedikit berlari. Kami bersalaman erat sekali. Tak dapat dipungkiri, rasa rindu membuat beberapa kali aku menepuk lengannya. Gundak menggenggam tanganku erat sekali. Tangannya yang dingin berubah menjadi hangat. “Sudah lama sekali kita tidak jumpa, Gundak. Kau sekarang makin gagah.” Ujarku jujur. Ya, Gundak telah tumbuh menjadi pemuda gagah dan tampan. Rambutnya yang panjang dan tergerai justru membuatnya makin ganteng dan dewasa. Mendengar pujianku Gundak tersenyum lebar. Senyum yang paling manis kujumpai setelah puluhan purnama tidak bertemu. Kumis tipis sudah bertengger di atas bibirnya. Terakhir aku melihatnya ketika dia ada di medan pertempuran beberapa waktu lalu. Namun dia tidak melihat aku sebelum aku di sambar oleh Putri Bulan lalu membawaku ke dalam masjid di perut bukit itu.
“Kamu juga sudah menjadi gadis cantik, Selasih. Maafkan aku baru bisa menjumpaimu. Sejak kita berpisah dulu, terakhir kita pulang dari Ranau, lalu kuketahui rumah Bapakmu terbakar, dan kamu tidak mau ditemui siapapun, membuat aku serius mendalami ilmu kanuragan. Aku memaksa Puyang untuk mengajariku. Akhirnya beliau menyerah. Aku pun digembleng beliau. Pertempuran melawan pasukan Banyuwangi tempo hari aku sudah diizinkan Puyang ikut bertempur di medan laga.” Ujar Gundak bersemangat. Aku tersenyum simpul mendengar penuturannya. Ini menandakan jika Gundak tidak menyadari kehadiranku waktu itu.

“Mengapa kakimu dibalut dengan semen tembok ini Selasih?” Ujarnya sambil mengelus-ngelus gips. Aku tertawa lepas. “Ini bukan semen tembok Gundak. Tapi gips. Gunanya supaya tulang kakiku tidak bergeser, sehingga pertumbuhan tulang yang patah sempurna.” Ujarku menjelaskan. Mendengar aku terbahak, Bapak bangun dan bertanya, aku menertawakan apa? Aku segera menutup mulut pura-pura tidur kembali.
Akhirnya aku hanya cekikikan setengah kutahan. Gundak banyak bercerita tentang pengalamannya selama tidak berjumpa denganku. Termasuk tentang keinginannya mengajakku kembali menemui Gali, dan ingin menjajal kemampuan melawan ular naga dan ratu ular di danau Ranau. Aku mengingatkan agar jangan takabur. Makhluk asral itu pasti berusaha menyempurnakan kembali ilmunya.
“Aku hampir lupa, ini titipan Puyang untukmu. Puyang titip salam padamu.” Gundak mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Aku penasaran apa yang dibawanya. Rupanya sebuah bingkisan kecil yang dibalut dengan kain berwarna kuning. Aku menerimanya dan membukanya. Sebuah permata berwarna kuning memancarkan cahaya sehingga kamar ini pun berubah menjadi kuning juga. Aku terpukau menatapnya.
“Sampaikan terimakasih pada Puyang. Akan kusimpan permata ini” Ujarku gembira.
“Kata puyang, pakailah permata ini. Karena parmata ini adalah pertanda kamu putri Besemah. Jadi jika kamu merantau kelak, siapapun dapat mengenal asalmu. Dari tanah Besemah,” sambung Gundak lagi. Akhirnya aku tempelkan permata itu di leher dekat dadaku. Kubaca mantra, dan jadilah dia liontin kalung batinku. Hanya mata-mata tertentu saja yang dapat melihatnya.

Dari bubungan menara masjid, suara mengaji sudah berkumandang. Pertanda waktu subuh sudah dekat. Gundak mohon diri dan berjanji akan datang kembali. Palan-pelan aku menatap punggung Gundak yang menjauh. Nenek gunung tunggangannya menunggu di luar. Tak lama Gundak melambaikan tangan di atas punggung nenek Gunung yang meluncur makin jauh.

Belum sempat aku menarik nafas menikmati pertemuan singkat dengan Gundak kembali angin bertiup pelan. Siapa lagi yang akan datang? Tiba-tiba sosok kuntilanak bergaun merah yang biasa di tangga muncul persis di hadapanku.
“Mengapa kamu datang kemari, Mega? Mau apa lagi?” Sapaku. Aku tidak simpati dengan makhluk satu ini. Dia gampang sekali marah. Mendengar orang cekikikan saja dia marah. Katanya tidak boleh siapapun menyaingi suara tawanya yang merdu. Maka tidak sedikit orang yang dicelakakannya. Misalnya saja ada seorang perawat yang periang, perawat itu suka menghibur pasien. Mega tidak suka. Di jewernya pipi perawat tersebut hingga mulutnya menceng. Dan nyaris lehernya berputar ke belakang.

“Kalau kamu berani iseng padaku lagi, kutenggelamkan kamu di sungai Musi.” Ancamku.
“Tidak, aku hanya ingin nanya yang datang tadi siapa? Ganteng sekali. Tapi sombong. Kusapa diam saja” Ujarnya sambil memainkan bola matanya yang hitam.
“Apa urusanmu dengan nama dan sikapnya yang sombong. Itu tandanya dia tidak suka padamu. Jadi jangan merasa paling cakep. Wajahmu itu jelek tahu. Persis dengan karaktermu. Suka mencelakakan orang. Kamu kunti jahat.” Ujarku lagi. Mendengar perkataanku dia marah. Matanya kembali seperti menyala.
“Iiih dasar harimau kecil, cerewet. Kamu itu harimau jelek yang tidak percaya diri. Tahunya numpang di jasad manusia. Parasit!” Ujarnya sewot. Aku serasa ingin tertawa mendengarnya. Tahu juga kuntilanak dengan parasit? Sekolah di mana dia? Akhirnya aku melihat tubuhnya melayang, menjauh meninggalkan aku.
“Heii Kunti! Kamu turun saja terus ke depan rumah sakit. Di sana bayak pohon dihuni oleh bangsa gundorowo. Kamu kan bisa tinggal pilih. Ingat! Jangan coba-coba mendekati manusia harimau ya!” Teriakku. Kunti menoleh sejenak lalu membuang muka.

Usai sarapan, aku dijemput perawat dengan kursi roda. Sejak tadi malam Ibu sudah berkemas-kemas. Mobil jemputan sudah menunggu di parkiran. Seperti tadi malam, yang mengantarku banyak sekali. Dokter, perawat, yang biasa merawatku berlari-lari kecil menghampiri. Dokter Bugman spesialis ortopedi menghadiahi aku diary (buku jurnal intim) yang ada kuncinya. Ada juga yang memberi buku. Tak sedikit mereka menitikkan air mata. Demikian juga aku. Aku tak mampu menahan haru ketika satu persatu mereka menyalami, memeluk dan menciumiku.

Kuhirup udara sebanyak-banyaknya. Aku seperti burung yang baru ke luar dari sangkar. Merasakan terik matahari langsung, menatap lalu lalang manusia di jalanan, kendaraan yang berjubel, suara klakson, tukang parkir, dan anak-anak pedangang asongan yang menjajakan makanan. Kak Fattah mengambil alih mendorong kursi roda. Beliau pula yang menggedongku masuk ke dalam mobil. Ada mutiara mengambang di kelopak matanya ketika pelan-pelan mobil merangkak meninggalkan halaman parkir Rumah Sakit Umum Palembang. Aku menikmati perjalanan hari ini serupa mimpi. Suara kendaraan yang menderu serupa jerit meniti jalan yang berlubang sepanjang Palembang dan Pagaralam. Tanah Besemah aku pulang.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *