HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT II (28)
Sudah dua hari ini aku menunggu kedatangan Kakek Haji Majani. Beliau berjanji akan mengajakku pulang ke dusun selama liburan. Padahal aku sangat berharap, usai pulang dari kemah pramuka langsung pulang ke dusun.
Bagaimana pun aku sudah sangat rindu dan ingin pulang ke seberang Endikat. Apalagi membanyangkan buah sali masak, ghukam dan bacang. Membayangkan keseruan ketika panen bersama sepupu-sepupuku yang kemungkinan sudah menunggu-nunggu kedatanganku.
“Pak, Kakek kok belum juga ke sini? Nanti masa liburanku habis, nggak jadi pulang dusun” Tanyaku sedikit merajuk. Bapak menatapku sedikit berkerut. Sebenarnya Bapak tidak pernah melarang jika aku hendak pulang ke dusun. Tapi karena jauh, harus berjalan kaki berjam-jam melintasi hutan, maka harus bersama dengan orang yang tepat. Orang dewasa.
“Apa kamu tidak capek? Kan baru pulang dari kemah. Itu, kulitmu saja masih kelihatan keling” Ujar Bapak. Kujawab dengan cepat bahwa aku tidak capek, aku sudah sangat rindu ingin bertemu Kakek Haji Yasir, Nenek Kam, Mang Arsun, Ilen dan Juli sepupuku. Soal kulitku yang keling, aku tidak peduli. Bahkan kulit wajah dan tanganku sebagian ada yang mengelupas karena terik matahari. Hingga kini belum pulih.
Kerinduan bermain di sungai kecil dekat kebun kopi kakek, memancing ikan di paok betelugh, naik pohon sali di pinggir kebun, mandi di pancuran, menikmati lemang dan bajik buatan makwo dan bibiku seperti gendang menabuh dadaku. Apalagi jika sawah di seberang kebun kopi Bapakku akan ngetam, menyiuhkan pipit, membuat empew-an dari batang padi. Berlari di pematang sawah, naik ke atas irikan padi yang menggunung, lalu berguling hingga ke bawah, bermain layang-layang, menangkap ikan di siring-siring kecil, atau mencari telur burung pipit yang bersarang di pohon-pohon kopi.
“Ya sudah, kalau Kakek Haji Majani tidak datang sore ini, besok kamu pulang sama Ibu. Kebetulan ada sanak keluarga kita yang akan bagok’an . Jadi sekalian merapi. “ Ujar Bapak yang kusambut dengan melompat gembira. “Bapak memang baik sedunia” ujarku sembari memeluknya.
Aku bagai mendapatkan hadiah tumpukan emas mendengar itu. Jalan curam, berliku menyisir pungung dan pinggir bukit, mengijak tanah berpasir dan berair dingin, bila haus minum langsung dari mata air yang ke luar dari cela-cela cadas. Sudah terbayang di depan mata. Aku berlari ke dalam mencari ibuku. Menyampaikan kabar gembira ini. “Lusa saja kita pulang, biar Ibu tidak kelamaan” Kata Ibuku. Wajahku langsung berubah kecut. Diulur lagi? Rasanya sehari itu sangat manfaat bagiku. Aduh ibu, kalau saja dusun kita itu tidak jauh, atau aku diizinkan pergi sendiri. Aku akan pulang dusun sendiri. Akhirnya aku hanya menunduk tanpa mampu menjawab. Aku sembunyikan mataku yang berair. Sementara kawan-kawanku sudah pergi liburan semua. Evi sudah berangkat ke Jakarta seminggu yang lalu bersama mama papanya, Merry pulang kampung bersama neneknya, Endang, pulang kampung juga, Nita ke Palembang dan beberapa orang tidak pergi sibuk membantu orang tua mereka.
Ketika aku hendak berpaling menyembunyikan tangis, tiba-tiba aku mendengar salam dari luar. Suara kakek Haji Majani! Aku langsung berlari membuka pintu. Dan benar! Kakek Haji Majani memenuhi janjinya. Aku langsung memeluknya tanpa menyalaminya lagi. Kakek langsung mengangkat tubuhku dan memelukku erat.
“Kek, besok kita jadi pulang dusun kan?” Tanyaku. Kutatap matanya lekat-lekat. Aku takut sekali jika kakek manjawab tidak jadi. Seperti biasa kakek akan tersenyum lebih dulu sebelum menjawab pertanyaanku. Rupanya kakek mengangguk.
“Besok pagi kita berangkat memilih angdes paling pagi. Agar sampai ke dusun tidak kemalaman. Dan di jalan tidak kepanasan” lanjutnya lagi. Aku kembali memeluk kakek erat-erat. Melihat aku masih digendong, Ibu menegur agar aku turun.
“Dedek sudah besar! Ngg boleh minta gendong lagi. Kasihan Kakek keberatan gitu. Suruh duduk dulu, kasih minum, atau suruh makan.”. Ibu menarik tanganku. Aku semakin erat memeluk kakek Haji Majani yang tertawa sambil berjalan menuju kursi. Akhirnya aku turun juga.
Kening kakek Haji Majani nampak berpeluh. Ibu segera membuatkan beliau minum. Sementara aku memijit-mijit kaki Kakek.
“Hmmm…ngolok! Ngolok itu Kek. Jangan mau!” Ibu menggoda.
“Wew, ngolok apa. Kakek kan memang capek, perjalanan jauh, bawaan berat, habis nggendong dedek juga” Jawabku masih terus memijat-mijat kakinya.
Tak lama kulihat kakek merogok kantong celanaya. Lalu keluar lagi dengan uang sepuluh ribu rupiah.
“Ini untukmu beli permen” Kakek memberikan selembar uang sepuluh ribu. Aku menerimanya sambil berteriak gembira. Kakekku satu ini memang sangat baik. Selain tidak pelit, selalu menepati janji.
“Kek, aku juga ada lima lembar uang puluhan ribu baru. Dikasih Macan Kumbang kemarin” Bisikku pelan.
“Banyak sekali, untuk apa? Ditabung ya. Masukan celengan” Ujar kakek. Kubalas dengan menggeleng lalu kudekati telinganya.
“Sebenarnya bukan uang, Kek. Tapi daun nangka layu yang masih segar. Daun nangka itu dipakai oleh nenek gunung belanja di pasar proyek. Sama Macan Kumbang, diambil kembali. Lalu digantinya dengan uang asli” Ujarku berbisik.
“Memang nenek gunung membeli apa?” Tanya Kakek lagi.
“Membeli ayam, Kek” Jawabku singkat.
“Ayam hidup?” Kakek makin tak percaya.
“Iyalah Kek, masak ayam mati” Ujarku.
Aku berlari menuju kamar lalu mengambil daun nagka yang dimaksud. Kusodorkan dengan kakek. Kakek manggut-manggut sembari membolak-balik daun nangka berulang-ulang.
“Benar, ini daun nangka layu. Jadi waktu Macan Kumbang memberikannya padamu, daun ini dalam bentuk uang?” Ulang Kakek lagi. Kujawab dengan anggukan.
Kakek memandangku dengan tatapan tetap heran. Kopi hangat buatan ibu langsung diraihnya lalu diseruputnya pelan-pelan. “Kapan daun ini berubah jadi daun kembali, Dek?” Tanya kakek penasaran. Akhirnya aku jelaskan, daun nangka ini terlihat seperti lembaran uang baru hanya beberapa saat saja. Dia mirip seperti hipnotis. Setiap orang yang melihatnya, tidak ada yang mengatakan jika itu daun nangka. Pasti mengatakan itu uang pecahan sepuluh ribuan yang masih baru. Tapi ketika kira-kira yang memberikan sudah menjauh, maka uang ini akan berubah ke asalnya. Menjadi daun kembali. Makanya Macan Kumbang langsung menggantinya dengan uang yang asli sebab seringkali terjadi di pasar tradisional itu para pedagang menemukan daun nagka dalam dompet mereka. Macan Kumbang merasa kasihan dengan para pedagang.
Kakek masih manggut-manggut sembari berpikir. Entah apa yang dipikirkannya. Mungkin daun bisa berubah menjadi uang sungguh tidak masuk akal baginya.
“Kenapa Kek? Kalau daun nangka bisa kita sulap jadi uang, kakek tidak usah pelihara kebun kopi lagi. Tapi tanam saja pohon nangka semua. Nanti kalau daunnya layu kita panen lalu kita ubah jadi uang” Godaku. Kakek terpingkal-pingkal mendengar guyonanku.
“Iya juga ya, bisa berkipas-kipas dengan uang kita setiap hari” Ujar kakek seperti tidak bisa menghentikan tertawanya.
Jelang petang itu aku lalui dengan gembira. Entahlah, hanya untuk sekadar pulang ke dusun saja, telah membuat jantungku berdebar-debar. Aku merasa tidak sabar untuk tiba di sana.
“Hmm..ke dusun saja sampai segitunya. Kayak kamu aja yang punya dusun” Suara Putri Selasih setengah mengejekku. Kujawab iyah, siapa yang tidak senang?
“Iya, aku tahu, dalam benakmu itu ingin main ini, main itu, manjat ini, manjat itu kan? Kayak tidak ada mainan lain saja” Kembali Putri Selasih mengejek. Aku diam saja, malas berdebat dengannya. Dia memang sengaja mencari-cari sebab agar aku marah. Dia tahu betul aku sedang berbahagia. Melihat aku diam akhirnya dia pun diam. Aku tersenyum sendiri. Putri Selasih tidak berhasil memancingku kali ini. Kudengar suaranya mendengus tidak suka.
“Aku mau pulang!” Ujarnya ketus.
“Silakan harimau putih yang cantik. Berapa lama? Mau nyusul ke dusun juga kan? Potong telingaku kalau kamu ngga ikut ke sana” Aku balik menantangnya. Aku kembali tersenyum kala Putri Selasih mengangguk.
Tak lama berselang aku melihat dia melambaikan tangan izin ke gunung Dempu sejenak. Putri Selasih lenyap di antara bubungan rumah-umah panggung sepanjang jalan menuju gunung . Sayang aku tidak sempat bertanya apa tujuannya pulang ke gunung Dempu. Apakah dia dipanggil Panglima Kumbang? Aku khawatir, bagaimana kalau dia tidak dibolehkan kembali padaku lagi oleh Panglima Kumbang? Namun akhirnya perasaan itu kubuang jauh-jauh. Aku yakin Putri Selasih pasti akan pulang. bersamaku lagi. Aku membatin.
Malam ini, menjelang tidur aku ke kamar Kakek Majani. Seperti biasa Kakek Majani mengajari aku menghafal doa-doa pendek dengan irama lagu. Aku pun dengan semangat menghafalnya. Beberapa kali Kakek membetulkan tajwid dan mahrojku. Aku mengulang-ngulangnya agar segera hafal sambil menahan kantuk. Tak lama berselang aku terlelap. Rasa kantukku benar-benar tak bisa kulawan. Setengah sadar aku dipindahkan kakek ke atas dipan. Aku langsung lelap dan bermimpi sudah di dusun bersua nenek Kam dan kakek Haji Yasir.
Aku terjaga, waktu sudah menujukan pukul 05.00 Wib. Kakek baru saja melipat sejadahnya habis salat dan berzikir. Setengah mengantuk aku mengeliat panjang. Kala ingat pagi ini akan pulang ke dusun aku langsung bangkit. Aku langsung turun dari tempat tidur. Ternyata ibu sudah siap-siap. Kukira aku akan berangkat berdua kakek saja. Ternyata ibu juga. Ibu menyiapkan kinjagh untuk tempat bawaan. Sebab perjalan jauh, tidak mungkin bawaan berat ini hanya ditenteng. Kulihat ibu juga menyiapkan beberapa bungkus bekal. Aku makin antusias, pasti kakek atau ibu akan mengajak istirahat makan siang di atas batu sungai Endikat.
Usai sarapan, aku, kakek dan Ibu pamit dengan Bapak. Bapak sudah memesankan angdes. Tiga puluh menit, kami sudah sampai di Bandar, simpang ke seberang Endikat. Ternyata di simpang sudah banyak orang yang berkumpul hendak ke seberang berbarengan.
Udara masih lembab meski waktu sudah menujukkan pukul tujuh pagi. Aku sengaja memakai sepatu apek sebagai alas kaki. Selain bentuknya elastis juga ringan. Apalagi jarak lima ratus meter dari simpang maka kami akan melalui Tebing Sekip yang terkenal curam itu. Aku berusaha mendahului rombongan berjalan paling depan. Semak ilalang sisi kiri kanan nampak basah bercampur aroma pakis resam yang membukit, tumbuh di tanah berwarna merah membuat padang sabana seperti hamparan perdu, menebing hingga seperti menjuntai di bibir tebing.
Berapa burung kecil terbang rendah. Hinggap di dahan-dahan kemunting yang baru berbuah. Burung puyuh nampak lalu lalang melintas di jalan setapak dengan cepat. Lalu bersembunyi di rumpun ilalang yang rimbun.
Beberapa kali aku mendengar suara Ibu mengingatkan agar aku jangan terlalu jauh dengan rombongan. Entah apa yang dikhawatirkan ibuku.
Sejenak aku berhenti di bibir tebing. Aku menatap ke bawah. Tebing Sekip serupa lereng yang menunggu untuk dicumbu. Beberapa batu dan akar yang menonjol seakan sengaja berjaga-jaga untuk membantu siapapun yang melintas di sini.
Di seberang, dua bukit yang sama menjulang nampak hijau tua. Di sisi kiri, batu cadas nampak menonjol di atara ilalang yang tinggi. Membelok ke arah belantara yang masih perawan. Sebentar lagi aku akan berada di sana. Melintas di punggung bukit itu. Aku tidak sabar.
Di lemba, sebagian sungai Endikat terlihat meliuk menyisir lemba seperti ular yang panjang. Desau angin pelan menggoyang pohon kerinyu dan lengguang yang menjuntai hingga ke jalan. Beberapa buah kemunting nampak sudah masak di tengah semak. Suara siamang mulai terdengar dari hutan belantara di bukit seberang. Suaranya jelas sekali. Di hilir, sungai Endikat nampak kecil. Meski belum tertimpa matahari airnya nampak keperakan. Di sisi sungai berdinding cadas, menjuntai perdu yang tumbuh rapat. Beruntung sekali aku dapat menikmati pemandangan pagi ini. Angin semilir sangat lembut. Biasanya sebentar lagi berbarengan dengan munculnya matahari, sabana akan berubah seperti ombak mengikuti irama angin sembari mendesau mengisi ruang alam hingga ke lembah.
Suara burung bubut entah dari mana asalnya, mendekur-dekur seakan mengisyarakan hari telah siang, mengajak alam semesta untuk membuka mata dan bersyukur. Jadi ingat kata Mualim, guru ngajiku, beliau mengatakan daun, batu, tanah, angin dan semesta alam setiap waktu bertasbih. Bahkan daun-daun kering yang gugur pun senantiasa bertasbih. Lalu bagaimana dengan kita yang diberi kesempurnaan? Adakah kita menyukuri apa yang telah sang Khalik berikan pada kita? Sungguh tak terhitung apa yang telah kita terima. Namun kita kerap kali lalai untuk bersyukur. Buru-buru aku bertasbih dalam hati, berharap meski aku tak dapat mendengarnya langsung semesta bertasbih. Tapi aku yakin tasbihku turut mengiring angin bersama semesta alam.
“Dek, hati-hati, ada yang mengintai di balik bukit itu!” Ujar Selasih setengah berbisik. Aku segera melempar pandang ke arah yang ditujuk Putri Selasih. Aku menatap rumpun ilalang yang berdiri tegak. Tanpa ada angin namun daunnya bergoyang-goyang, bahkan bergetar-getar cepat sekali. Sementara yang lainnya hanya diam. Kalau pun bergoyang sangat lembut.
Kupusatkan batin sejenak untuk menatap ada apa di sana. Wow! Aku kaget. Ternyata di sana ada seekor nenek gunung tengah mengawasi kami. Tepatnya mengawasi aku! Aku menangkupkan tangan lalu mengucapkan salam padanya. Yang disambutnya dengan salam pula.
“Lalulah Cung, hari-hati menuruni Tebing Sekip. Aku mengawasimu bukan apa-apa. Aku mencium betapa banyak yang mengitarimu. Semuanya adalah saudara-saudaraku dari uluan. Rupanya engkau pun manusia damai ” Nenek gunung mendekati aku.
Aku tersenyum menyambutnya. Dalam hati aku tidak terlalu paham apa maksud perkataannya. Banyak yang mengitari dan manusia damai pula?
“Kenalkan namaku Bujang Kuning, di sinilah tempatku sejak dulu. Aku ditugaskan menjaga gerbang untuk menuju lembah Endikat itu” Aku menyambut uluran tangannya. Kucium punggung tangannya. Meski namanya Bujang Kuning namun aku melihat nenek gunung satu ini sudah sepuh. Kalau boleh kuperkirakan, usianya tidak jauh beda dengan Kekek Andun.
Tiba-tiba aku teringat Kakek Andun yang luar biasa itu.
“Beliau saudara sepupuku. Kamu sudah berkenalan dengan beliau rupanya. Pantas dari tadi aku mencium aromanya. Ternyata kamu adalah salah satu muridnya, itu bisa kurasakan dari telapak tanganmu. Jaga diri baik-baik ya, Cung. Tetap rendah hati meski kau memiliki kemampuan lebih, yang tidak dimiliki oleh orang yang ada di sekitarmu.“ Ujarnya lembut. Selanjutnya beliau mengangkat tangannya sembari mengucapkan salam. “Assalamulaikum” Ujar nenek gunung Bujang Kuning melambaikan tangan. Aku membalas salamnya sembari melambaikan tangan pula.
Untung rombongan di belakangku belum tiba. Jadi mereka tidak melihat keanehan tingkahku. Mereka semua berjalan santai sambil bercerita. Suara mereka seperti orkestra memenuhi ruang lembah Endikat lalu memantul ke puncak tebing Sekip.
“Melambai dengan siapa?” Rupanya kakek Majani lebih dulu dari rombongan sengaja mendahului untuk mengejar aku. Aku menatap wajah kakek sejenak. Khawatir beliau takut atau kaget ketika aku ceritakan sebenarnya. Tapi di satu sisi aku tidak mau berbohong. Kakek juga harus tahu apa yang kualami.
“Barusan aku ngobrol dengan kakek Bujang Kuning, nenek gunung penjaga Sekip ini, Kek” Ujarku. Wajah kakek nampak terkejut. Beliau menoleh ke kiri dan ke kanan seakan-akan mencari sesuatu. Aku tersenyum melihat tingkah kakek. “Beliau sudah pergi, Kek” Ujarku sambil meraih tangannya untuk memulai menuruni Sekip.
“Dulu orang tua kakek, pernah bercerita. Tiap kali beliau melalui Sekip ini dari lembah beliau melihat nenek gunung berdiri di puncak Sekip. Tempat kita berdiri sekarang ini. Nenek gunung itu tidak pernah mengganggu orang yang melintas di sini. Jika ada orang yang melintas di Sekip, maka dia akan menghilang. Tidak tahu ke mana. Apakah bersembunyi di semak-semak itu, walahu alam.” Ujar Kakek Haji Majani membuka cerita.
Aku manggut-manggut. Bapaknya Kakek? Berarti Kekek Puyangku? Sambil tetap berpegangan pada tangannya, aku terus mendengarkan ceritanya.
“Pernah suatu kali, kakekmu Haji Yasir dan kawannya bergerilya melintas di sini menghindari serangan Belanda. Kebetulan Kakekmu menjabat riye . Beliau sangat dicari Belanda. Ketatnya Belanda mengawasi kawasan ini, membuat kakek dan kawan-kawannya tidak bisa ke luar dari hutan. Dan pribumi yang berkebun di sekitar sini pun tak bisa untuk sekadar memberikan makanan pada para pejuang.
Tiga hari tiga malam Kakekmu terjebak di sini. Sementara setiap saat hellykopter Belanda berputar-putar di kawasan ini sembari menjatuhkan bekal makanan dan senjata untuk pasukan tentara mereka yang menyisir sepanjang sungai Endikat. Tidak sedikit pejuang-pejuang kita mati di tembak Belanda baik dari jarak dekat maupun jauh.
Mendengar cerita Kakek membuat aku berhenti sejenak.
Rombongan pejalan kaki yang lain masih agak jauh jaraknya denganku dan kakek Haji Majani. Kutahan tangan Kakek. Kami baru beberapa meter menuruni tebing Sekip yang terjal. Sejenak aku berpegangan di pohon kerinyu yang tumbuh di sisi tebing. Aku memilih berlindung di bawahnya dan duduk di atas tanah berwarna merah.
“Lalu, bagaimana kakek Haji Yasir bisa bertahan hidup tidak makan tiga hari tiga malam Kek?” Tanyaku penasaran.
“Dalam keadaan genting itu, kakekmu salat hajat. Salatnyapun sambil tengkurap di parit kecil di semak-semak. Karena keadaan saat itu tidak memungkinkan sama sekali untuk bangun, meski sekadar duduk. Beliau berdoa memohon pada yang kuasa kekuatan untuknya dan pasukannya bertahan hidup meski tidak makan dan minum sama sekali. Sebab beberapa pasukan kakekmu sudah tak berdaya, antara mati dan hidup. Usai salat dan berdoa sembari menitikan air mata, tiba-tiba ada lelaki beperawakan besar tinggi, mendekati kakekmu. Tidak tahu dari mana datangnya. Jenggotnya panjang terpelihara hingga dada, berpakaian layaknya seorang habib, gamis dan bersorban. Di tangannya menggenggam tasbih yang selalu menari di ujung jari-jarinya.” Tutur kakek sambil mengatur nafas.
“Siapa beliau Kek, siapa lelaki seperti habib itu?” Tanyaku antusias.
“Sampai sekarang tidak terjawab siapa beliau. Lelaki itu menyuruh kakekmu bangkit. Disambutnya tangan kakekmu. Lalu beliau mengajak kakek dan pasukannya untuk ikut ke pondoknya. Kakekmu dan pasukannya patuh saja tidak mampu berbicara lagi. Beberapa orang pasukan kakek yang sudah tak berdaya diangkat dengan sisa tenaga yang lain. Tanpa ragu akhirnya mereka ikuti langkah pelan lelaki soleh itu. Mereka seolah melalui jalan kecil yang bersih dan rapi. Tak berselang lama, kakek dan pasukannya sampai di kediaman orang soleh itu. Kekekmu tidak bisa mengira-ngira persisnya mereka berada di mana. Namun mereka hanya melihat satu rumah panggung bari berdiri di tengah kebun yang rindang dan asri. Halamannya luas ditumbuhi rumput yang sama tinggi.
Ketika semua sudah sampai, orang soleh itu mengambil air minum dari kendi. Lalu tanpa cangkir dituangkannya ke mulut kakekmu dan pasukannya satu-satu. Dan luar biasa, kakekmu dan pasukannya segar kembali. Air itu seperti asupan energi, memulihkan tenaga mereka,. Bahkan yang sudah sekaratpun kembali bangkit. Apa yang mereka alami seperti mimpi.” Ujar kakek Haji Majani kembali.
Aku hanya dapat mendengarkan cerita kakek dengan perasaan haru dan kagum. Kedua-duanya bercampur aduk di benakku. Siapakah orang soleh itu? Pertanyaan inilah tiba-tiba mendorongku untuk mengetahuinya lebih dalam. Aku ingin ucapkan terimakasih karena sudah menyelamatkan kakekku dan pasukannya.
“Lalu kek, bagaimana lagi setelah kakek Haji Yasir dan pasukannya mendapatkan minum dari orang soleh itu?” Tanyaku lagi.
“Mereka disuruh bermalam di rumah itu. Semua dilayani baik oleh orang soleh itu. Kekek dan pasukannya diberikan makan yang enak-enak. Mereka makan sepuasnya. Dua hari dua malam mereka menginap di situ. Setelah itu mereka baru dibolehkan oleh orang saleh itu pulang. Beliau memberikan petujuk pada kakekmu dan pasukannya harus melalui jalan yang beliau beritahu agar tidak terlihat oleh pasukan Belanda. Dan anehnya, menurut kakakmu, dalam waktu singkat kakek dan pasukannya sudah sampai di pinggir dusun. Padahal logikanya mereka harus melalui lembah dan dua bukit. Namun itu tidak terjadi, mereka seperti dibimbing melalui jalan kecil yang kerap dilalui oleh manusia” Sambung kakek lagi. Rasa kagumku semakin membuncah. Luar biasa orang soleh itu.
Aku menarik nafas sejenak. Batinku fokus pada orang soleh yang dikatakan kakek Haji Majani. Manusiakah atau nenek gunung yang dikenal orang sebagai harimau jadian? Atau malaikat yang sengaja diturunkan sang Khlaik untuk membantu kakek dan pasukannya?
Tiba-tiba aku merasakan angin mendesir lembut, lama-lama terasa sangat dingin menerpa wajahku. Di hadapanku berdiri lelaki persis seperti yang diceritakan kakek Haji Majani. Senyum ramahnya sungguh medamaikan hati siapapun yang menatapnya. Aroma minyak wangi meyebar di sekelilingku. Aku menghirupnya dalam-dalam. Segar sekali.
“Dedek Putri Selasih, akulah yang engkau cari, Cung. Akulah yang diceritakan oleh kakekmu. Akulah yang telah menolong kakek dan pasukannya ketika mereka kelaparan di lereng bukit Tebing Sekip ini. Mereka adalah pejuang yang tak pernah tercatat di buku, bahkan dibenak petinggi manapun. Tapi mereka turut berjuang demi kemerdekaan negeri ini. Kakek hanya menjalankan amanah sebagai makhluk hidup. Ketika ada yang butuh pertolongan, ketika kita bisa membantu, maka bantulah.” Ujarnya lembut.
Aku hanya mampu menatapnya dengan perasaan kagum. Pembawaannya sangat kharismatik. Selintas aku membatin, mengapa beliau tahu namaku?
“Lanjutkan perjalananmu, Cung. Di lembah itu ada yang menunggumu. Jumpailah dia” lanjutnya lagi.
“Tunggu…mendengar suara kakek, kok bisa sama persis dengan suara kakek Bujang Kuning. Apakah dihadapanku ini kakek Bujang Kuning yang sebenarnya?” Tanyaku penasaran. Beliau hanya mengangguk sambil tersenyum. Lalu beliau menghampiriku. Tangannya yang harum mengusap kepalaku lalu mencium ubun-ubunku dengan lembut. Gamisnya yang harum sempat tercium ketika menutupi wajahku.
“Benar, Cung” Jawabnya. Lalu pelan-pelan beliau menghilang. Aku seperti terkibas ketika melihat kakek Haji Majani menepuk-nepuk pipiku. Aku belum sempat mengucapkan terimakasih padanya.
“Dedek, Dedek…bangun. Kita masih di bibir tebing Sekip. Mengapa tidur? Ngantuk? Lihat ke bawah curam sekali bukan? Bagaimana kalau kita terguling karena tidak tahan menahan kantuk” Ujar Kakek Haji Majani. Ah, kakek tidak tahu kalau aku bertemu dengan lelaki soleh yang diceritakannya itu.
“Kek, kakek mencium bau wangi yang menyegarkan tidak?” Ujarku sembari mengendus-ngendus angin ke sana kemari.
“Iya, harum sekali.” Ujar kakek Haji Majani ikut menghirup udara dalam-dalam.
“Harum darimana ini?” Ujar kakek lagi sambil membantuku bangkit.
“Ini aroma kakek soleh yang telah membantu kakek Haji Yasir. Beliau penjaga tebing ini, Kek. Benar kata kakek beliau orang soleh. Selain soleh, beliau juga berilmu tinggi Kek” Ujarku menjelaskan.
Kakek hanya manggut-manggut. Entah menerima penjelasanku sebagai suatu kebenaran atau hanya menganggapnya alisunasi, seperti angin lalu saja. Yang jelas aku bersama Kakek dan rombongan kembali melanjutkan perjalanan, menuruni tebing Sekip dengan hati-hati.
Bersambung…