HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (64B)

Karya RD. Kedum

Aku membuka sepatu dan kaos kaki setelah ke luar dari hutan lembab. Celana panjang kusingkap sampai betis. Beberapa ekor pacat masih menempel di betis, tumit, dan sela jari kaki. Darah mengalir deras. Beberapa teman menjerit-jerit geli tidak berani melepaskan pacet yang nempel. Sebagian lagi sibuk mengusap pacet dengan tembakau, ada juga menyongkel-nyongkelnya menggunakan trekking pole. Pacet mengeliat-liat ketika dipaksa lepas lalu bersembuyi kembali di bawah daun-daun yang lembab.

Sejak pagi, aku bersama teman-teman yang tergabung di Ratu Samban Heaking Club menyisir rimba Gunung. Gunung itu nama bukit di Liku Sembilan Bengkulu, jajaran bukit yang menghubungkan Kepahyang, Kabupaten Rejang Rebong dengan kota Bengkulu. Mengecek sisi bukit cagar alam yang biasa ditumbuhi bunga rafflesia arnoldii yang akan mekar. Cagar alam idealnya tetap rimbun, ternyata hanya terlihat dari sisi jalan lintas saja. Ketika masuk ke dalam, sebagian besar rimbanya sudah berubah menjadi kebun rakyat. Kebun kopi. Baik yang sudah besar, maupun yang baru ditanam. Beberapa titik kami lihat asap membumbung tinggi. Hutan di bakar. Pantas jarang sekali terdengar siamang berteriak menyambut matahari. Kemana mereka? Lalu beberapa bulan ini tidak terdengar lagi cerita orang melihat harimau tidur di jalan ketika kendaraan hendak melintas. Lari kemana makhluk-makhluk itu?

Hasil ekspedisi hari ini, kami menemukan empat titik bakal bunga rafflesia mekar. Kami memberi tanda dan pagar seadanya agar tidak dirusak oleh hewan atau tangan manusia yang iseng. Medan yang kami lalui cukup sulit, bakal bunga rafflesia kali ini tumbuh di bibir-bibir tebing. Tempat yang agak sulit dijangkau, dan jaraknya terpisah-pisah agak jauh ke dalam.

“Alhamdulilah…meski kaki berdarah-darah, akhirnya terobati juga. Ekspedisi kita hari ini tidak sia-sia. Menemukan empat titik tumbuh rafflesia meski jaraknya agak berjauhan sungguh memuaskan.” Ujar bang Adi yang berperan pemandu ekspedisi kali ini. Aku ikut manggut-manggut menyatakan setuju. Padahal, kalau tidak dibantu oleh penghuni hutan ini mustahil kami menemukan titik tumbuh rafflesia arnoldii. Aku mencoba berinteraksi dengan beberapa nenek gunung penghuni rimba, ketika hampir setengah hari menjelajah namun belum menemukan titik tumbuh flora langka ini. Si kembar Gandi dan Ganda salah satu kerabat kepala suku di lembah Munuk Liku Sembilan sempat berkenalan denganku. Mereka manusia harimau, dua saudara kembar kira-kira berusia enam belas tahun. Wajah mereka sangat ganteng. Berhidung mancung, tinggi, bertubuh atletis sangat ideal, rambutnya ikal kemerah-merahan. Mereka berdualah yang mengarahkan aku menuju tiap titik diikuti oleh kawan-kawanku. Tidak ada yang tahu jika kedua kembar ini yang mengarahkan aku. Aku beruntung sekali berjumpa dengan dua saudara kembar yang ramah ini.
“Kapan kemari lagi, Dang? Kalau kemari, temui kami ya Dang. Dang Selasih harus singgah ke dusun kami,” ujar Ganda memanggilku dengan sebutan Dang penuh keakraban. Panggilan kekerabatan untuk saudara yang paling tua. Keduanya langsung menganggap aku kakak tertua mereka. Kami berpisah di perbatasan hutan. Mereka kembali ke dusunnya. Beberapa kali Susi sahabatku bertanya aku berbicara dengan siapa ketika sesekali dia mendengar aku berbicara sendiri. Aku hanya menjawabnya dengan tawa. Susah juga mau menjelaskan padanya. Khawatirnya ketika aku jelaskan dia atau kawan yang lainnya merasa takut.

Sebenarnya aku nyaris tidak ikut ekspedisi hari ini. Pasalnya kemarin sore Guntoro menemuiku dan berniat mengajak aku jalan-jalan petang ini ke pantai Panjang. Entah mengapa tiba-tiba aku menolaknya. Muncul rasa enggan berjalan ke pantai dengannya. Aku lebih memilih menjelajah hutan bersama club-ku. Maka berangkatlah aku pagi ini menyingkirkan mimpi yang pernah kubangun dalam angan-angan berdua saja dengan Guntoro sejak dulu. Aku tahu, Guntoro agak kecewa ketika mendengar aku sudah ada janji bersama club pencinta alamku.
“Aku tidak akan sering ke Bengkulu ini, Dek. Lusa aku akan pulang ke Pagaralam. Entah kapan kita akan bertemu lagi.” Ujarnya. Apa yang dikatakannya benar. Entah kapan kami akan bertemu. Meski aku pulang ke Pagaralam, belum tentu aku bisa bertemu dengannya. Aku hanya menjawab, bila Allah berkehendak suatu saat kita akan bertemu. Jika tidak, maka maafkanlah semua kesalahanku. Aku menyalaminya. Entahlah, egoisku muncul tiba-tiba. Jiwaku tiba-tiba protes. Sejak aku jatuh dari motor, lalu kakiku patah, sampai akhirnya aku pindah kota ke Bengkulu, Guntoro tidak pernah mengabariku. Apalagi menemuiku. Alasan itulah membuat aku menolak ajakannya jalan-jalan bersamanya petang ini. Sebenarnya aku berusaha agar tidak ada rasa benci tumbuh di hatiku. Jika hendak berkata jujur, aku masih menyintainya. Hingga kini, mungkin juga sampai nanti. Guntoro tetaplah cinta pertamaku. Orang yang pertama kali menyentuh hatiku. Tak akan tertukarkan. Biarlah dia selalu baik di mataku.

“Hei! Jangan melamun! Mikirin apa? Pandangnya jauh sekali..” Ujar Bang Arief menepuk pundakku. Aku sedikit terperanjat. Aku tidak bisa membohongi hatiku. Meski hari ini aku berhasil menolak kebersamaan dengan Guntoro, tapi jauh di lubuk hati, rasa rindu dan ingin bersamanya masih juga menghentak-hentak dada.
Ah! Begini rupanya cinta. Kayak bola bekel. Sedikit saja terhentak maka akan melambung ke sana kemari.

Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Sebelum pulang, bang Adi brefing terlebih dahulu, menyampaikan beberapa hal berkaitan dengan ekspedisi hari ini. Termasuk rencana beberapa minggu ke depan kami akan datang ke mari untuk melihat perkembangan bunga langka itu. Usai berdoa bersama, menyebutkan yel-yel salam lestari, kami segera menuju jalan lintas tempat kendaraan yang sudah menunggu untuk membawa kami pulang ke kota.

Aku selonjoran meluruskan kakiku yang terasa penat. Bersandar di ransel dan terguncang-guncang. Angin kencang menerpa karena mobil pick up terbuka yang kami kendarai justru membuat mata lepas memandang. Aku memilih duduk di sudut. Meski terguncang-guncang memudahkan aku melihat kiri kanan jalan. Dari kejauhan gunung Bungkuk terlihat berdiri kokoh di antara lembah yang hijau. Beberapa kali Susi membidikkan kameranya. Aku hanya menatap gunung Bungkuk dengan perasaan rindu. Aku masih merasa kesal karena beberapa waktu lalu gagal mendaki untuk menemui Putri Bulan. Hmm…Putri Bulan. Mungkin saat ini dia sedang bersama Macan Kumbang. Aku membatin. Rasa curigaku membayangkan mereka selalu berdua membuatku tidak terlalu antusias untuk menemuinya. Mereka sudah lupa padaku. Aku tekan perasan sedihku.

Ah! Aku kembali ingat Guntoro. Harusnya petang ini aku duduk di pantai bersama Guntoro, menatap laut, menikmati ombak, memainkan pasir, sambil bercerita, atau saling mengungkapkan perasaan yang selama ini hanya kami pendam di dada. Halah! Kalau masih membayangkan hal yang indah-indah, mengapa kemarin aku menolak ketika dia mengajakku? Aku kembali menggurui batinku. Akhirnya aku mengalihkan perhatianku mendengarkan Ari bernyanyi sambil memetik okulele, menyanyikan lagu-lagu tentang alam. Sesekali aku juga ikut bernyanyi dengan suara dua, mengimbangi suara Ari yang merdu.

“Selasih, malam nanti Kumbang akan menjemputmu. Kau harus pulang sebentar ke Besemah.” Suara kakek Njajau halus sekali. Pulang? Ada apa ya? Adakah sesuatu yang sangat penting sehingga aku harus pulang? Tanyaku membatin. Kakek Njajau menjawab, kalau disuruh pulang artinya ada sesuatu yang penting. Aku kembali bertanya kira-kira hal apa yang sangat penting tersebut? “Jangan cerewet!” Jawab Kakekk Njajau. Mendengar itu kembali aku bertanya. “Kapan kek aku diberi kesempatan untuk pacaran kalau harus pulang melulu. Aku ingin punya pacar kek!” Ujarku iseng.
“Apa?” Nada kakek Njajau tinggi. “Sejak kapan kamu pandai menyangkal kakek? Tidak boleh pacar-pacaran! Nanti kakek akan carikan untukmu. Yang paling cucok, dan paling segalanya. Tunggu kamu dewasa.” Ujar kakek Njajau. Mendengar itu tawaku meledak sampai lupa kalau aku tidak sendiri dan tidak berhadapan dengan kakek Njajau. Semua kawanku kaget dan mata mereka tertuju padaku.
“Ada apa si Dek? Kamu dari tadi bicara sendiri, sekarang tertawa sendiri. Kesambet ya?” Ujar Susi serius. Mendengar kata kesambet aku tertawa. Wajar saja kawan-kawanku bingung. Mereka tidak ada yang tahu kalau aku dapat berinteraksi dengan makhluk-makhluk tak kasat mata. Kalau aku juga punya leluhur tak kasat mata. Hanya Bang Adi dari sekian kawanku yang kulihat memiliki kepekaan batin. Tapi dia tidak bisa menembus dan berinteraksi dengan makhluk dimensi lain. Akhirnya aku diam membatin mengiyakan perintah kakek Njajau tanpa tahu masalahnya. Ah! Apa ada orang seperti aku selalu sibuk siang malam, dan semua harus ditangani? Aku mendongak ke hutan sepanjang jalan. Pohon-pohon seperti berkejaran. Aku melambaikan tangan ketika melihat nenek gunung nenek gunung duduk-duduk di hutan pinggir jalan. Ada terselip bahagia ketika melihat tak hanya nenek gunung dalam bentuk makhluk asral, tapi juga harimau liar berdiam di hutan-hutan meski semakin terdesak karena penebangan hutan.

“Selasih, di mana?” Suara halus sekali. Aku masih diam, kembali memerhatikan warna suara yang menyebut namaku. Angin kencang dan suara mobil pick up yang tengah berjalan menyulitkan aku untuk segera mengenali suara itu.
“Selasih…kamu di mana?” Kembali suara itu. Eyang Kuda!
“Aku masih di Gunung, Liku sembilan, Eyang. Masih di atas kendaraan menuju pulang.” Kataku buru-buru. Aku kembali bertanya ada apa? Tidak biasanya Eyang Kuda mengajakku berinteraksi kalau tidak ada hal yang penting atau ketika beliau melihat ada sesuatu hal yang akan terjadi padaku. Baru saja aku berpikir demikian, aku melihat bus yang sarat penumpang berjalan oleng di tikungan tajam, persis berhadapan dengan pick up yang kutumpangi. Aku segera menahan bus dan pick up, menghentikannya mendadak. Jeritan kaget penumpang dari dua kendaraan nyaris bertabrakan itu mengisi ruang hutan yang mulai sepi. Wajah-wajah cemas kawan-kawanku nyaris tak mampu membuat mereka bersuara. Sejenak semua panik. Setelah agak reda kembali kulepas kunci ke dua kendaraan, bus dan pick up dengan batinku. Akhirnya kami kembali melanjutkan perjalanan. Sementara bus masih berhenti di tengah jalan. Rupanya ban depan dan belakangnya pecah mendadak. Itulah penyebab bus oleng sementara jalan menikung tajam dan sulit untuk dikendalikan. Untung jalanan sepi. Jika tidak, bisa saja terjadi tabrakan beruntun. Kawan-kawanku sibuk mengekspresikan kejadian barusan. Kejadian mendadak nyaris mencelakakan dua kendaraan yang sama-sama sarat penumpang memang mengerikan. Mungkin karena kejadian inilah Eyang Kuda bertanya tentang keberadaanku. Secara tidak langsung beliau mengingatkanku. Beberapa makhluk asral melintas dan melihat. Beruntung mereka tidak sejahat makhluk asral yang pernah kutemui di tebing Lematang Pagaralam. Makhluk -makhluk di sana menunggu tebing dan tingkungan, siap untuk mencelakakan manusia. Mereka makhluk-makhluk haus darah. Aku berulang-ulang mengucapkan rasa syukur.

Jelang magrib aku sudah sampai di rumah. Usai mandi dan salat aku menunggu Macan Kumbang dengan perasaan harap-harap cemas. Mungkinkah Macan Kumbang datang bersama Putri Bulan? Atau nanti ketika melintas di gunung Bungkuk, Macan Kumbang mengajak singgah ke tempat Putri Bulan? Berbagai pertanyaan muncul. Aku sengaja tidak berinteraksi dengan Macam Kumbang dan juga kakek Njajau. Biarlah, saat aku dijemput baru aku pergi.

Menjelang salat isya Madi kawanku yang rumahnya dekat gang masuk ke arah rumahku datang bersama adiknya. Kukira ada keperluan apa. Ternyata hanya sekadar main dan meminjam buku pelajaran.

Aku heran menatap kawanku satu ini. Mengapa dia terlihat sedikit berbeda? Atau selama ini aku tidak terlalu memperhatikannya? Madi tidak satu sekolah denganku. Aku kenal dengannya karena dia satu kampung dengan Khairul teman sekelasku. Kebetulan “tun jang” (sebutan suku Rejang) ini sering datang ke rumahku. Kadang dia datang untuk sekadar bertanya tentang pelajaran-pelajaran tertentu. Sambil ngobrol aku memperhatikannya mencoba mengetahui lebih dalam apa yang membuat aku aneh melihatnya. Ternyata memang ada sesuatu yang berbeda padanya. Aku melihat setitik benda aneh yang menempel di wajahnya. Ada mantra-mantra yang ditanamkan lalu mantra tersebut mampu mengubah pandangan orang padanya. Untuk apa? Batinku. Oh! Rupanya semacam pengasihan agar dia terlihat ganteng, sehingga semua orang simpati padanya. Pantas jika dia tersenyum terlihat begitu manis dan tidak bosan-bosan menatapnya. Tapi sebelumnya aku sudah bertanya-tanya dalam hati, wajahnya mulus. Bahkan sangat mulus untuk ukuran seorang laki-laki. Tapi jika melihat tangannya, penuh dengan kurap, semacam biang keringat brutul-brutul dan sangat rapat memenuhi lengan hingga punggung telapak tangannya.

Muncul isengku. Aku yakin Madi tidak menyadarinya jika mantra yang ditanamkan itu kubuang. Sambil ngobrol aku konsentrasi sejenak, kucabut mantra pengasihan itu dari wajahnya. Tak lama aku melihat sosok nenek tua marah padaku. Dengan bahasa Rejang, si nenek mengatakan jika mantra yang ditanamkan ke wajah Madi adalah warisan leluhurnya, turun temurun. Lalu mengapa aku berani membuangnya? Kukatakan, Madi tidak perlu diberi pengasihan segala, dan mantra itu tidak memberikan kebaikan padanya. Madi tidak menyadari jika mantranya kubuang. Sebab aku melihat pengasihan yang diberikan kadang membuat Madi seperti perempuan. Dan salah satu efek pengasihan leluhurnya ini, kurap halus yang memenuhi tangannya. Si nenek tidak terima. Dia berusaha menyerangku. Terpaksa aku melayaninya. Kusuruh dia pergi dan meninggalkan tubuh Madi. Ketika hendak pulang, Madi terlihat lemas. Meskipun dia tidak berbicara, aku tahu tubuhnya gering. Kucoba mentransfer energi jarak jauh padanya. Berharap besok Madi tidak lagi manis seperti perempuan. Tapi Madi yang berperawakan jantan. Selanjutnya Sang nenek tua berurusan denganku. Dia tidak bisa lagi masuk ke tubuh Madi. Aku berharap kurap halus yang tumbuh di tangannya lambat laun hilang.

Baru saja Madi melangkah pulang, angin berdesir pelan. Sosok Macan Kumbang sudah berdiri di hadapanku.
“Pacaran ya…” Macan Kumbang menggodaku. Kujawab dengan cibiran mencium tangannya, lalu kutinggalkan masuk ke dalam. Rupanya dia sendiri.
“Mana Putri Bulan? Biasanya berdua” Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Ada, nanti kita jemput atau panggil sekarang?” Ujar Macan Kumbang. Ada nada bahagia pada suaranya. Perasaan Macan Kumbang benar-benar tengah berbunga-bunga. Mendengar itu kujawab terserah mau dijemput atau suruh datang kemari. Yang lebih penting bagiku adalah mengapa kakek Njajau menyuruhku pulang malam ini?

“Selasih, Eyang ikut boleh?” Suara Eyang Kuda.
“Eyang tahu kalau aku mau ke tanah Besemah?” Ujarku tidak percaya. Sejenak aku ragu, tujuan aku disuruh pulang untuk apa? Urusan apa? Apakah pantas datang bersama Putri Bulan dan Eyang? Apakah tidak ada hal yang berkaitan dengan adat, tradisi, dan lain sebagainya mungkin tidak ingin diketahui oleh orang banyak apalagi berbeda adat dan tradisinya. Aku sudah bertanya dengan kakek Njajau, tapi belum juga terhubung dengan beliau. Entah mengapa. Akhirnya kujawab saja iya. Instingku mengatakan ada sesuatu yang cukup besar, berkaitan dengan kehidupan manusia jika Eyang Kuda hendak ikut. Beliau paham betul dengan hal-hal yang akan terjadi dan menghadangku. Secara tidak langsung, beliau mengawasi dan mejagaku seperti puyang dan kakek nenekku.

Aku salat sunat, lalu berzikir sejenak. Macan Kumbang lebih dulu salat dan zikir. Belum bangkit dari sajadah. Cahaya kuning kadang ungu dan biru seperti fatamorgana membalut tubuh Macan Kumbang. Usai salat aku berusaha fokus memusatkan diri pasrah pada Sang Khalik, menghilangkan segala ego. Aku menarik nafas pelan lalu melepasnya dengan penuh pasrah. Kuikuti sesuai dengan hentakan dan aliran darah tanpa mendorong daya dalam diri. Entah berapa lama aku hanyut dalam suasana yang indah itu. Aku merasakan tubuhku makin ringan ketika suara halus Eyang Kuda memanggilku.
“Sudah Selasih…mari kita ikut Macan Kumbang” katanya.
Ternyata setelah aku membuka mata, Macan Kumbang sudah duduk dekat Eyang Kuda. Aku tidak menyadarinya.

Macan Kumbang melemparkan pakaianku. Aku disuruh ganti baju. Akhirnya aku ganti dan mata Eyang Kuda terbelalak.
“Asli yang ada di hadapanku ini gadis Besemah tanah Sumatera. Luar biasa. Kau nampak cantik, gagah, Selasih. Pikir Eyang, kamu akan pakai kemben.” Eyang Kuda menggodaku. Tuk!! Aku mencoba menyerangnya dengan ujung jari.
“Hup!!” Eyang Kuda menangkis seranganku dengam cepat, lalu balik menyerangku. Aku menghindar dengan memutar serangannya kembali.
Tas!! Tas!! Eyang Kuda seperti memutuskan seranganku dengan mudah. Kuakui, orang tua ini luar biasa. Padahal beliau baru memainkan jari-jari tangannya saja.

“Sudah, berhenti main-mainnya. Ayo berangkat!” Ujar Macan Kumbang bangkit dari duduknya. Akhirnya aku baring lalu memisahkan diri dengan jasadku. Kupecahkan diriku meninggalkan satu sosok untuk menjaga rumah. Aku memeluk leher Macan Kumbang. Sementara Eyang mengubah dirinya menjadi kuda putih yang gagah, berbulu lebat, besar dan tinggi. Dalam waktu singkat kami bertiga telah melesat meninggalkan kota Rafflesia, menyusur angin di atas hutan dan bukit Barisan.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *