HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT III (42B)

Karya RD. Kedum

Wajah mereka hampir mirip semua. Aku mencium bau anyir dari tubuh mereka. Mereka siluman buaya. “Siapa mereka Selasih” Gundak terkejut.
“Hati-hati Gundak, mereka sengaja menghadang kita. Mereka adalah buaya-buaya danau.” Ujarku berbisik.
“Ada anak manusia lewat sini. Sangat kebetulan. Nyai pasti senang jika kita persembahkan anak manusia satu ini.” Salah satu mereka tertawa.

Tawanya berenergi. Sehingga kedengarannya cukup seram menghantam dada. Dalam hati aku Bertanya, siapakah yang disebutnya Nyai itu? Apakah ratu buaya yang kulihat tadi? Apa urusannya dengan anak manusia? Hmmm..atau mungkin maksudnya mau mempersembahkan aku sebagai tumbal pada ratu mereka untuk memperkuat kerajaan atau menjadi budaknya? Dalam hati aku menyumpah mereka. Mereka golongan yang jahat. Aku mulai berpikir bagaimana melawan mereka. Sementara di sini adalah sarang mereka. Lalu yang jadi masalah lagi adalah Gundak. Aku khawatir dia tidak mampu melawan bangsa siluman buaya putih ini. Jika kulihat mereka berilmu tinggi semua. Dari suara dan tawanya bisa diukur.

“Gundak, kalau mereka menyerang kita, aku harap kamu bisa bertahan” Ujarku. Gundak mengangguk setuju.
“Maaf ayuk-ayuk. Kami mohon izin lewat sini.” Ujarku sesopan mungkin.
“Hmmm..dak bisa. Kamu harus minta izin Nyai kami dulu,” jawab seorang dari mereka.
“Bagaimana kalau saya tidak mau?” Jawabku.
“Maka kami paksa,” jawab yang baju kuning maju terlebih dahulu. Aku menyuruh Gundak mundur dan jangan terlibat perkelahian jika tidak terpaksa dan tetap waspada. Gundak sudah menyingkir. Aku merasa lega dan leluasa.  

“Ayo..ikut kami!” Si baju Kuning mau menarik tanganku. Secepat kilat kusambar tangannya dan Des! Des! Des! Totokanku pas benar mengenai punggung, tengkuk dan tulang belakangnya. Alhasil dia tidak bisa bergerak. Tangannya yang merangkak menjadi kaku. Si baju kuning mirip patung. Melihat kawannya berdiri kaku, yang lain kaget lalu serentak menyerang. Aku tak mau berlama-lama. Khawatir kawan-kawannya yang lain datang dan aku akan kerepotan. Aku mulai meningkatkan tenaga dalam. Lima orang perempuan cantik mulai melakukan penyerangan. Ternyata meski memakai  kain sarung, mereka lincah-lincah. Ilmu meringankan tubuh mereka  sempurna. Aku balik menyerang mereka dengan tangan kosong. Kucoba menarik energi mereka tiap kali tanganku berbeturan dengan tangan atau tubuh mereka. Ternyata meski perempuan, tubuh mereka seperti besi. Ketika mereka menangkis pukulanku, aku seperti berhadapan dengan besi keras yang kaku.
Angin serangan mereka rata-rata sangat kuat. Aku kagum pada  mereka. Perempuan perkasa!

“Maafkan aku Yuk!” Ujarku setelah berkali-kali aku mengelak dan melakukan penyerangan namun seperti tak membuahkan hasil. Aku menyapukan selendang pemberian kakek Andun. Kelima perempuan itu terjerengkang serentak.  Lalu dengan memutar tubuh ujung selendang aku berusaha melilit tubuh mereka. Empat berhasil kulilit jadi satu. Mereka tidak bisa bergerak sama sekali. Aku menyedot energi keempatnya. Mereka lemas seketika. Tinggal perempuan berserindak berkebaya kembang yang masih bertahan. Secepat kilat dia layangkan serindaknya padaku. Ternyata serindak itu adalah senjatanya. Aku mengelak sembari tetap memegang empat kawannya yang terlilit. Beberapa kali terjadi benturan antara selendangku dengan serindaknya. Benturan mengeluarkan percikan api. Alam yang gelap sesekali menjadi terang. Tangan kiriku menarik selindang, kutotok keempat perempuan cantik itu lalu melepaskan lilitannya. Seketika ketiganya berubah menjadi buaya putih. Ternyata yang baju kuning juga sudah berubah menjadi buaya putih. Mereka hanya mampu mengedipkan mata tanpa mampu bergerak sedikitpun.
Aku  semakin gencar melawan satu orang lagi. Aku ingin semua cepat selesai agar cepat pergi dari empat ini.

“Selasiiiiih!” Aku kaget Gundak menjerit. Sekilas aku melihat ada yang membokongnya dari belakang tiba-tiba. Gundak tidak tahu dibawa kemana.  Aku gusar. Antara ingin menyelamatkam Gundak dengan menghadapi perempuan satu ini. Akhirnya aku fokus menakhlukan perempuan satu ini. Dan kubaca mantra pemecah diri. Kusuruh mencari keberaan Gundak. Aku berhasil mendesak perempuan berserindak. Aku sengaja mempercepat gerakan agar perempuan berserindak itu segera lumpuh. Dest!!! Hantamanku tepat mengenai dadanya. Darah segar menyembur dari mulutnya. Dia sempoyongan. Secepat kilat kuhantam punggungnya. Akibatnya dia tersungkur tak berdaya. Pingsan  atau mati, terserah!

Aku segera memfokuskan diri pada jejak Gundak.  Ternyata Gundak mereka bawa ke kerajaan mereka di dasar danau. Aku segera menotok Gundak dari jauh agar bisa bertahan di bawah air. Aku bersyukur kakek Andun telah mewariskan kemampuan seperti ini. Pecahan diriku tengah bertarung menghadapi beberapa pengawal yang bersejata. Pertarungan mereka luar biasa serunnya. Aku melihat Gundak dalam  keadaan terikat. Dia tidak berdaya sama sekali. Aku  berusaha mendekati Gundak.  

Baru saja aku hendak  bergerak beberapa serangan mengarah padaku. Aku mengelit sesuai dengan arah angin. Senjata-senjata rahasia itu hanya lewat saja. Lalu entah darimana asalnya keluarlah beberapa orang dengan senjata lengkap menyerangku. Kali ini aku tidak bisa main-main. Aku mulai serius menghadapi lawan. Aku kerahkan kemampuan angin badaiku. Dasyat! Tenyata seisi danau menjadi gegar. Melihat itu kembali kukerahkan kekuatan badaiku. Seisi danau kuaduk.
“Lepaskan kawanku kalau tidak akan kuhancurkan dasar danau ini. Termasuk istana dan ratu kalian!” Ujarku mengancam. Beberapa prajurit buaya putih sempoyongan. Mereka tidak kuat mendapat guncangan. Danau yang semula tenang berubah seperti laut yang berombak. Airnya memercik kemana-mana. Aku masih terus mengguncang dasar danau. Bahkan semakin kuputar dan kuaduk sesukaku membuat prajurit buaya terbanting-banting.

Tiba-tiba aku melihat air seperti terbelah. Seberkas cahaya mengarah padaku. Kuhantam cahaya itu dengan selendangku. Benturan tidak bisa dihindarkan. Kekuatan badai dan selendangku berbenturan dengan cahaya seperti pedang itu. Hasilnya dasar danau kembali berguncang. Bahkan lebih dasyat dari semula.

Tiba-tiba guncangan sedikit tenang. Sejenak aku hentikan gerakan. Aku menatap sosok yang datang. Perempuan cantik bermata bengis. Matanya berkilat-kilat. Kulihat dadang turun naik menahan emosi.
“Siapa kau anak manusia! Berani sekali kau masuk dan mengacak-acak istanaku.” Ujarnya.
“Dengar ratu buaya. Kami hanya lewat di pinggiran danau. Enam anak buahmu menghadang kami. Lalu menawan sahabatku. Lepaskan dia. Kami akan pergi dari sini. Tapi kalau kalian tidak melepaskan dia, maka aku akan hancurkan kalian tanpa sisa. Lihat ini!” Aku mengarahkan jariku, kusedot beberapa prajuritnya, lalu kuhancurkan di ujung jariku. Aku tahu, sang ratu terperanjat. Namun bukan ratu namanya jika  tidak bisa mengendalikan diri. Beliau menutupi kekagetannya.
“Anak kecil, kamu sudah mengobrak-abrik kediamanku. Kau harus jadi gantinya!” Teriaknya marah. Tangannya bergerak memerintahkan dua naga yang mendampinginya. Aku segera membagi diriku. Empat bayangan diriku keluar serentak. Sementara yang satu lagi masih gencar bertarung. Jumlah yang mengeroyoknya empat orang. Yang empat orang kuperintahkan untuk menyelamatkan Gundak. Selebihnya biar aku yang lawan.

Kini aku berhadapan dengan dua naga yang meliuk-liuk garang. Setiap gerakannya mengeluarkan ombak. Mata dan lidahnya berkilat. Yang lebih dasyat lagi hawa yang dikeluarkannya terasa panas. Aku kembali membaca mantra. Gabungan badai dan bola api kukumpulkan  bersamaan. Dua naga ini harus mati agar ratu buaya kehabisan nyali. Nyaris aku terkena sabetan salah satu ekor naga kalau tidak  disentak angin untuk menghindar.

“Hiaaaaaat!!!” aku mengerahkan dua kekuatan sekaligus. Kekuatan langsung berhadapan dengan dua naga yang menyerangku. Api berkobar. Air danau berubah menjadi panas. Segera aku menetralisir  diri dan mengirimnya pula pada Gundak agar tubuhnya tidak mateng. Dua naga hanya terpental tak seberapa. Melihat mereka tidak ada pengaruh sama sekali, kuputar angin badaiku menjadi gasing dan mengejar keduanya. Dua naga tidak dapat menghindar. Kuangkat ke atas dengan terus memutarnya. Sekarang dua naga seperti di dalam blender. Pelan-pelan aku menyedot energi mereka. Hanya dengan cara  ini yang dapat kulakukan untuk mengurangi kekuatan lawan.

Melihat aku menyedot energi dua pengawalnya, Nyai si Ratu buaya meradang. Aku langsung diserangnya dengan senjata cahayanya yang mematikan. Aku segera  menolaknya dengan telapak tangan. Cahaya biru dari telapak tanganku seperti berkumpul lalu  menyedot senjata cahaya Nyai Ratu buaya. Terjadi tarik menarik. Semakin kencang sang Ratu menarik sejatanya, energinya semakin cepat tersedot. Break!!! Tangan kiriku menghentamkan dua naga ke dasar danau. Keduanya tergeletak tak berdaya. Sementara tangan kiriku masih terus menyedot energi sang Ratu. Tiba-tiba dia melepaskan senjatanya. Aku terdorong kencang ke belakang. Punggungku menabrak dinding istana yang keras sampai remuk. Aku segera bangkit. Aku tertawa, senjata Nyai Ratu yang kutarik rupanya sebilah pedang. Kumantrai lalu menyimpannya  di tangan kanan bergabung dengan pedang pemberian kakek Andun. Ah! Terasa panas! Aku mencoba menyalurkan energi dingin.
“Tambahin mantra tapa” Suara kakek Andun. Aku kaget! Segera kulakukan itu. Dalam sekejap teras dingin kembali.

Mataku seakan tak percaya. Dua naga yang tergeletak di dasar danau ternyata tidak lama. Mereka nyaris serentak bangkit dan siap melakukan penyerangan kembali. Sekarang aku menghadapi tiga penyerang. Ratu buaya dan dua pengawalnya. Padahal tenaga mereka sudah kusedot. Mengapa mereka bisa bangkit sepertinya tidak ada pengaruh sama sekali. Aku kembali mengayunkan selendangku dengan jurus badai mengamuk. Selendangku  berayun lalu membuat gelobang dengan angin badainya yang menderu. Air danau seperti terdorong sehingga membentuk ruang kosong seperti di daratan. Kulihat Nyai Ratu sempat terdorong jauh bersama naganya. Lalu maju kembali. Sekarang aku berhadapan dengan  Nyai Ratu di ruang kosong. Ternyata ruang kosong seperti ini membuat Ratu tidak bisa bergerak bebas. Dia hanya bisa bertahan dan melakukan  serangan dalam posisi tertelungkup.

Kulihat Gundak sudah di angkat daratan oleh empat bayanganku. Mereka masih tetap bertahan dan sesekali melakukan penyerangan pada prajurit buaya yang sudah mulai lelah.

Badai yang kudorong di dasar danau ternyata berefek pada para prajurit. Tidak sedikit mereka yang tewas maupun terluka. Melihat Ratu buaya hanya bisa menyerang sambil nelungkup, aku makin memperluas area tanpa air. Seledangku berubah jadi jaring, lalu kulemparkan menjaring tubuh Nyai Ratu. Sekarang Nyai Ratu masuk dalam jaring selendangku. Namun ternyata Nyai tidak diam dia melakukan perlawanan. Jaring selendangku seperti hendak dibakarnya. Aku ubah menjadi dingin. Namun benturan energi bersama Ratu buaya ini sungguh menghabiskan energi. Aku menarik sabuk di pinggang, lalu aku ubah menjadi tali, melilit tubuh Nyai Ratu. Belum selesai melilit tubuh Nyai Ratu, tiba-tiba ada yang memukulku dari belakang. Aku tersungkur. Punggungku terasa remuk. Sakit sekali. Kucoba meraba dadaku yang sesak. Aku mencoba mengobati diriku sendiri. Akhirnya aku muntah. Darah menyembur tak dapat ditahan. Aku merasakan desingan serangan baru lagi dari belakang. Aku  berusaha berguling menghindar. Benar saja. Seorang lelaki besar tinggi siap menghantamkan tongkatnya ke arahku.

Masih sambil menahan sakit, aku berusaha menghindar kembali. Aku kembali membaca mantra angin. Hanya angin yang dapat membantuku   menghindari serangan bertubi-tubi lawan tanpa aku harus mengeluarkan tenaga. Area kosong berubah menjadi area berair lagi. Nyai Ratu seperti mendapatkan kekutan baru setelah tubuhnya di sentuh air. Aku masih berusaha menyembuhkan diri sendiri. Aku pejamkan mata sambil  terus meliuk menghindari serangan lelaki bertubuh besar itu. Aku mencoba mengembalikan kekuatanku yang terkuras. Belum sempurna pemulihan tenagaku, anginku dibuyarkan lelaki besar itu. Aku terlempar cukup jauh.

Aku berusaha bangkit. Mataku agak kunang-kunang.  Kali ini aku keluarkan parang pemberian kakek Andun. Senjata  yang jarang kugunakan. Kutarik dari lengan kiriku secepatnya, setelah kucium sekilas, kukibaskan ke arah lawan. Pertarungan menjadi seimbang. Akhirnya aku dapat mendesak lelaki besar itu. Melihat lelaki itu terdesak Nyai ikut turun tangan. Dia membantu menyerang. Sambil masih menahan nyeri di dada dan punggung, aku mencoba melakukan perlawanan. Tangan kiriku telah kuangkat ke atas, akan kulempar keduanya dengan bola es-ku. Bagaimana jika berhadapan dengan hawa dingin, apakah mereka mampu?  
Duaaar!!! Bola es-ku menghantam dua serangan sekaligus. Dalam waktu singkat, seperti bola raksasa yang bocor, bola es-ku mengeluarkan  hawa dingin. Air danau menjadi beku.
Lelaki besar tinggi dan Nyai Ratu dibalut es. Mereka seperti ikan dalam kulkas. Ular naga berusaha mengeluarkan hawa panas dan berapi dari mulutnya. Aku berusaha ke luar dari dasar danau, mencuat ke permukaan.

Sesampai di atas, aku kembali muntah dan mengeluarkan darah. Aku mendekati Gundak yang masih pingsan. Rupanya mereka di darat masih melanjutkan pertarungan. Gundak terluka. Aku membentangkan selendangku. Gundak langsung diangkat ramai-ramai. Aku meminta angin membawa kami pergi secepatnya. Belahan tubuhku menyatu kembali. Sambil menahan sakit dan kepala menyut-menyut aku mencoba menyalurkan energi pada Gundak berharap dia segera siuman.

Semakin lama aku semakin lemas. Aku kehilangan tenaga. Pukulan di punggungku ternyata bukan pukulan biasa. Tapi sepertinya ada racun yang sengaja dimasukan dalam tubuhku. Aku berusaha mempercepat laju angin agar segera sampai di rumahku. Sampai di rumah, aku sudah tak sadar. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Ketika terbangun hari sudah siang. Itupun karena ibuku.
“Dedek, kamu pasti masuk angin gara-gara kehujanan kemarin. Badanmu panas tinggi. Nanti ibu kerok ya. Hari ini tidak usah sekolah dulu. Nanti Bapak buatkan surat izin untuk sekolah.” Ibu meraba-raba kepala dan tubuhku. Aku tak bisa menjawab. Memang aku tidak ada tenaga. Tubuhku terasa remuk semua. Mataku terasa panas. Dadaku sesak dan sakit. Ibu ke luar kamar berlari menemui Bapak.

“Selasih…selasih…” Suara halus sekali. Aku membuka mata. Ternyata di sekelilingku ada Gundak, kakek Andun, dan nek Kam.
“Minum ini, Cung…” Nek Kam meminumkan ramuan rempa padaku. Aku merasakan hawa hangat mengalir pelan. Kakek Andun menarik racun dari tubuhku. Aku merasakan tangan kakek bergerak mengumpulkan racun di perutku. Lalu beliau menotoknya menyuruhku duduk. Aku merasakan perutku diaduk-aduk. Pandangku kembali berkunang-kunang. Peluh mengalir sebesar biji jagung. Aku merasakan tubuhku basah semua. Aku kembali muntah. Darah beku berwarna hitam bergumpal-gumpal keluar dari mulutku. Nek Kam kembali memaksa ku minum. Selanjutnya kakek Andun mengusap tulang belakangku hingga ke punggung. Aku kembali muntah. Aku sudah tak kuat. Aku tak sadar kembali.

Entah berapa  lama aku tidak sadarkan diri. Ketika mataku terbuka, jam di dinding menunjukkan pukul 12.00 Wib. Sekali lagi aku tidak tahu siang apa malam. Aku mencari-cari adakah orang di sampingku? Di meja aku melihat air satu gelas dan semangkuk bubur. Mungkin buatan ibu. Namun ketika aku melihat dengan mata batin, nenek Kam, kakek Andun, Gundak, Macan Kumbang, dan kakek Njajau. Macan Kumbang memijit-mijit keningku. Aku berusaha tersenyum pada mereka.

“Selasih, bagaimana, sudah enak? Kamu hebat!! Tanpa kami, dirimu berhasil mengacak-ngacak kerajaan buaya putih danau Ranau. Lihat ini. “Ujar kakek Njajau sambil memperlihatkan telapak tangannya padaku. Aku melihat kerajaan Buaya Putih memang porak-poranda. Banyak sekali buaya kecil dan besar mengapung di permukaan. Mati. Bayi sang Ratu tergeletak lemah di tempat tidur. Aku sendiri heran. Perasaan aku hanya bertanggung dengan pengawal, Ratu, naga, dan lelaki besar tinggi itu. Mengapa menjadi porak-poranda dan banyak yang mati?
“Angin badaimu itu sangat dasyat mengaduk seisi dasar danau, Selasih” Sambung kakek Njajau lagi.
“Tapi aku kalah, Kek. Aku kabur dari situ karena aku sudah tak sanggup menerima pukulan di punggungku” Ujarku sedikit  kesal.
“Siapa bilang kamu kalah, yang memukulmu dari belakang itu namanya Raden Palung. Beliau kakak Nyai Ratu, punya kerajaan di Muara Musi Kecik. Justru dengan membokong orang dari belakang itulah pertanda dia tidak mampu. Dia pun saat ini dalam keadaan terluka. Lihatlah..” Kembali kakek Njajau memperlihatkan keadaan lelaki besar tinggi yang kuketahui namanya Raden Palung.  

“Sudah bangun, Dek? Ngobrol dengan siapa lagi kamu? Dengan nenek gunung ya..?” Ujar Ibu dengan mata curiga. Aku tersenyum. Demikian juga Nek Kam, Kakek Njajau, kakek Andun, dan Gundak. Ibu hendak menyuapi aku takut-takut.
“Biar Dedek makan sendiri ya Bu, Dedek mau ngobrol dengan para nenek gunung.”  Ujarku tersenyum.
“Iihhh…” Nyaris mangkok bubur terlepas dari tangannya. Ibu buru-buru ke luar kamar, berlari  menuruni anak tangga sampai bunyinya berdebum-debum. Nenek Kam, Kakek Andun, kakek Njajau, Macan Kumbang, dan Gundak tertawa tertawa terpingkal-pingkal.
“Luhai..luhai, kebile make kaba dek penakut. Kalah ngah dakecik. (Ruhai..Ruhai, kapan kamu tidak penakut, kalah dengan anak kecil)” kata nenek Kam disambut kembali dengan tawa semuanya. Hari ini kamarku jadi tempat pertemuan para nenek gunung yang hebat.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *