HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT III (47C)
Kami masih berjalan. Setapak yang meretas jurang ini cukup panjang. Aku tidak berani banyak bertanya. Karismatik yang ditujukkan Puyang membuatku segan untuk banyak bertanya. Aku melihat kaki puyang seperti tidak menjejak tanah. Jangankan untuk bertanya banyak tentang tempat ini, bertanya untuk tahu puyang apa saja aku tidak punya keberanian. Pokoknya beliau mengaku Puyangku, leluhurku. Dan aku cucunya.
Sesekali aku melompat kecil ketika menuruni tebing yang curam. Sementara Puyang kulihat seperti berjalan di jalan yang datar saja. Tak sedikitpun aku melihat tubuhnya melonjak saat melompati beberapa bagian jalan curam. Selama perjalanan Puyang diam saja. Aku juga ikut diam. Aku hanya mendengar nafasku yang sesekali seperti mendengus, namun kembali mantul sesolah-olah memenuhi ruang alam yang luar biasa ini. Kami seperti berjalan di atas kayangan, karena tiba-tiba kabut berarak menuju lembah, menutupi sebagai bubungan istana. “Kita belok ke kanan Selasih.” Ujar Puyang membimbing tanganku. Kami kembali menuruni jalan setapak yang curam dan berbelok. Suara sungai yang mengalir seperti menggema dan terasa makin dekat. Aku tidak mendengar suara lain kecuali suara deru air.
Angin di lembah ini terasa lebih kencang dan lembab. Aku tidak melihat istana lagi, sebab terhalang dengan cadas serupa dinding. Cadas ini seperti sengaja melindungi istana dari pandangan bagian Barat. Di seberang, belantara terlihat gelap saking lebatnya. Akar-akarnya ada yang menonjol di sisi tebing dan menutupi bibir cadas. Bahkan akar-akar itu sudah seperti pohon, besar dan meliuk-liuk ikut menopang cadas agar tak terbis. Ada mata biru di antara daun dan semak di seberang. Kuawasi pelan-pelan. Ternyata beberapa nenek gunung tengah mengawasi aku bertsama puyang. “Akan ke mana kita, Puyang?” Tanyaku setelah sekian lama diam. Padahal aku berbicara pelan. Namun suaraku menjadi bergema seperti dalam ruangan tertutup.
Halimun sudah mulai turun, langit sudah berwarna gelap. Bukit ini pun sebenarnya sudah mulai gelap, namun tidak menghalangi pandangan kami berdua. Sukmaku masih saja santai menikmati alam perbukitan yang indah ini. “Kita menuju air terjun di ujung lembah, Cung. Sengaja Puyang bawa kamu berjalan kaki agar aroma tanah leluhurmu tetap tersimpan di benakmu. Meski engkau kelak jauh merantau, engkau tetap ingat leluhurmu dan sesekali pulanglah”. Aku mendengarkannya dengan seksama. Dalam hati tentu saja aku akan selalu ingat dan rindu pada tanah leluhurku. Bahkan bagiku tanah Besemah ini adalah bagian dari nafasku. Bagaimana tidak, konon leluhurku jauh masuk ke pedalaman ini bukan saja untuk mencari ilmu dan ikut berjuang mempertahankan tanah Besemah dari penjajah Belanda, namun mereka menyisir hutan ke hutan untuk mencari kehidupan, lalu pelan-pelan mengubah kehidupan setiap orang yang ditemuinya menjadi lebih bermartabat, paham dan memiliki agama.
Menurut penuturan Bapak, moyangnya pernah bercerita bahwa sebelum mereka mengenal agama, mereka animisme. Kehidupan di sini sangat kental dengan berbagai macam ritual, menyembah roh nenek moyang, pohon besar, dan lain sebagainya. Hukum rimba masih berlaku. Banyak sekali pantangan-pantangan yang tidak boleh dilanggar berkaitan dengan sumpah nenek moyang. Belum mengenal berbagai macam peradaban dari luar. Bahkan pakain yang mereka kenakan terbuat kulit kayu. Masih primitif sekali. Suatu kali, aku pernah ikut Bapak hendak ziarah ke makam kekek nenekku di Tebat langsat. Makan orang tua Bapak. Untuk sampai ke sana, kami melintas di sebuah tikungan menuju dusun Bangke. Kiri kanan ada paok (kolam) kecil milik penduduk. Jalan yang menghubungkan Singepure dan Bangke itu, akan turun dan terdapat hutan-hutan kecil bertanah merah.
Menurut Bapak, dulu hutan-hutan yang menghubungkan Singepure dan Bangke ini adalah belantara dan seringkali melihat nenek gunung melintas atau sekadar duduk-duduk di tengah jalan menikmati sinar matahari pagi. Waktu itu, yang manarik perhatianku bukan soal nenek gunung yang kerap melintas dan sering tidur-tiduran di tengah jalan, namun bagian leduk (rendah) dan menikung sebelum ke tanjakkan perlintasan nenek gunung itu. Tiap kali melintas di sini maka aku akan mendengar jeritan dan tangis yang menyayat dari makhluk-mahkluk gaib di sekitar sana. Saking tidak tahannya pernah kutanyakan pada Bapak, dulu ini tempat apa? Bapak menjelaskan jika di lembah ini tempat orang zaman dulu melemparkan mayat. Dulu, siapa yang mati tidak ada yang dikubur. Jadi sebelum mereka mengenal agama, dan masih dalam kehidupan yang serba minim, kematian dianggap pembawa sial. Jika ada yang mati, maka akan digulung dengan pelupuh (batang bambu yang dicacah) lalu diikat. Kemudian mayatnya diangkat dan dilemparkan di jurang itu tanpa tangis dan derai air mata, apa lagi iringan doa, tidak ada sama sekali itu. Kata Bapak. Yang lebih kasihan lagi adalah ketika ada yang meninggal karena melahirkan, maka jenazahnya tidak saja dibuang di jurang itu, namun sebelum dibuang setiap orang akan memukul gulungan jenazah dengan kayu atau dengan apa saja, melemparinya dengan batu sambil didawaikah, artinya berkata-kata berisi sumpah serapa, lalu dipukul-pukul. Setelah satu dusun sudah melakukan ndawai dan memukul, baru jenazah dilempar sambil tetap berkata-kata.
Bagiku lembah itu adalah lembah yang paling seram di dusunku. Aku melihat banyak sekali mayat-mayat bangkit dan minta tolong. Selanjutnya kata Bapak zaman Belanda dan Jepang, tentara mereka pernah sampai masuk ke wilayah ini mengejar para tentara pribumi sampai ke hutan-hutan pedalaman. Mereka yang mati ditembak Belanda atau Jepang, mayatnya pun di lempar ke jurang-jurang, Termasuk jurang dekat tanah leduk itu. Tutur Bapakku. Aku hanya dapat menahan nafas ketika itu. Dan yang mati di sana, sebagian besar pasti leluhurku. Sekarang aku tengah berjalan di samping seorang lelaki yang mengaku leluhurku, puyangku, berwajah ketimuran, berkulit kuning langsat, bertubuh besar tinggi, berhidung mancung, mata agak cekung, becabang, jenggotnya panjang berwarna putih keemasan, terlihat tegas, alim dan berwibawa. Pernah aku mendengar orang-orang tua mengatakan jika moyangku ini berasal dari negeri Timur Tengah. Merantau sampai ke tanah Sumatera ini menyebarkan agama sembari berdagang kain. Wallahu a’lamu bil Showab!
“Apa yang kamu pikirkan, Cung? Jauh sekali jangkauan pikiranmu?” Puyang tersenyum sembari menatapku. Jenggotnya yang melambai-lambai ketika ditiup angin mengingatkan aku dengan Puyang Ulu Bukit Selepah, Puyang yang karismatik juga, dan puyang Pekik Nyaring. Das! Jantungku seperti berhenti berdetak. Aku jadi ingat Puyang Pekik Nyaring. Konon karena aku keturunan dari kerajaan kecil di lereng gunung Dempu, di tanah Besemah ini pulalah mengantarkan aku hingga ke alam tak kasat mata. Sehingga jasad dan sukmaku terpisah. Oh! Aku melihat jasadku tergeletak lemah dijaga oleh ibu. Ibu nampak terkantuk-kantuk mengipasi aku yang berpeluh. Jasadku tengah tidur di tengah udara yang gerah. Beberapa alat kedokeran ada di samping kiri kanan. Kakiku masih di sarau dan diperban. Dua tulang betisku patah tebu. Hanya satu malam rawat inap di Rumah Sakit DKT Pagaralam, selanjutnya aku di bawa ke Rumah sakit DKT Lahat. Rumah Sakit yang dianggap lebih lengkap. Malam itu kakiku langsung dioperasi, konon untuk menyatukan tulang yang patah. “Puyang, kasihan Ibu.” Ujarku hendak menitikan air mata. “Tidak apa-apa. Yang ditungguinya adalah jasadmu yang masih memiliki nyawa. Bukan jasad yang mati. Kamu belum bisa pulang menyatu dengan jasadmu, Cung. Masih sangat berbahaya untukmu. Di luar sana pertarungan masih terus berlangsung. Pasukan Banyuwangi semakin ngamuk mengetahui kamu hilang kembali. Mereka mati-matian ingin membawamu ke kekerajaan mereka. Insya Allah mereka tidak akan bisa menemukanmu di sini. Banyak sekali yang memertahankanmu, Cung.” Lanjut Puyang lagi.
“Mengapa harus aku Puyang yang jadi pilihan mereka?” Tanyaku masih mengulang pertanyaan seperti pertanyaan yang pernah kuajukan dengan Macan Kumbang. “Menurut pemahaman dan keyakinan mereka, bukan soal pilihan, Cung. Tapi umumnya mereka adalah petapa-petapa hebat. Makanya mereka memiliki berbagai macam ilmu yang tinggi. Selanjutnya dalam tapa mereka, mereka dapatkan semacam wangsit agar kerajaan mereka kembali bangkit, yang memimpin mereka adalah Putri Selasih dari seberang. Gadis kecil yang dianggap memiliki kelebihan dan bisa bersenergi pada dua kehidupan yaitu alam gaib dan alam nyata. Dari sekian tahun tapa mereka, selalu saja yang disebut adalah Putri Selasih, dan mereka anggap kamu adalah titisan ratu Banyuwangi. Makanya mereka nekad mencarimu untuk mereka nobatkan jadi ratu mereka.
Mereka memang butuh orang sepertimu Selasih.” Lanjut Punyang kadang berhenti berjalan untuk meyakinkan penuturannya. Aku tidak tahu harus berbicara apa? Untung aku memiliki orang-orang yang menyintai aku, tanpa kuminta pun mereka melindungi dan menjagaku. Aku tidak tahu jika tidak ada yang membelaku. Mungkin Bapak dan Ibu telah lama kehilangan anak gadisnya. Bisa jadi Bapak ibu mengira aku sudah mati. Padahal, roh dan jasadku akan pindah ke alam lain dan tidak bisa kembali ke alam nyata seperti bujang Jarai tempo hari. “Nah, persis seperti yang kau pikirkan, Cung. Bedanya dirimu dengan yang disunting nenek gunung itu adalah, kamu bisa bolak-balik ke dua alam, alam gaib dan alam nyata, baik dengan fisikmu, maupun hanya sukmamu. Sedangkan bujang Jarai itu hanya satu arah saja. Ketika masuk ke dimensi nenek gunung maka selamanya dia ada di sana. Dia tidak bisa kembali ke alam hidup manusia. Sudah berbatas. Bahkan lewat mimpi pun tidak bisa”. Lanjut Puyang lagi. Aku hanya manggut-manggut memahami apa yang disampaikan Puyang padaku. Pemahaman yang hanya bisa dicerna dengan rasa. Sesuatu yang tidak masuk akal dan logika namun ada. Sesuatu yang gaib, bagian dari rahasia sang Maha Pencipta.
“Puyang, begitu besar pengorbanan puyang-puyang dalam mempertahankan aku agar tidak diambil oleh kerajaan Banyuwangi itu. Konon sudah berlangsung lama. Lalu yang membantu pertempuran tadi, benarkah nenek gunung dari ranah Minang, Puyang?” Tanyaku lagi. Aku jadi teringat bagaimana saluang yang ditiupnya meliuk-liuk menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Aku melihat Puyang mengangguk pelan sembari memandang ke air terjun yang semakin dekat di hadapan kami. “Benar, Cung. Mereka adalah para nenek gunung dari Bukit Dua Belas sampai ke Kerinci Jambi, lalu Nenek Gunung dari Sumatera Barat, dari Gunung Talang, Gunung Singgalang, dan Merapi. Bahkan ada dari bukit Medan dan Nagro Aceh Darussalam. Mereka ikut memertahankan dirimu.” Lanjut Puyang. Aku kaget bukan main. Banyak sekali ternyata melibatkan para nenek gunung hingga ujung Sumatera. Artinya ini benar-benar masalah besar bagi nenek gunung. “Jelas ini masalah besar. Bagaimana pun darahmu adalah darah tanah Besemah. Jika kamu berhasil mereka culik dan dinobatkan mejadi Ratu mereka, tidak mudah bagimu untuk kembali kemari, Cung. Kau akan hilang selamanya. Sementara dirimu sejak masih dalam kandungan telah ditempah oleh leluhurmu sebagai pewaris demi kelanjutan kehidupan di dua alam ini. Makanya, tidak hanya dari tanah Besemah ini saja yang cinta padamu, namun sepajang tanah Sumatera ini menganggapmu bagian keluarga mereka. Maka tentu saja tidak akam membiarkan dirimu diambil oleh makhluk dari seberang itu.” Lanjut Puyang lagi.
Aku serasa menjadi manusia paling bahagia demi mendengar penuturan Puyang. Dicintai oleh banyak orang. Tidak hanya oleh bangsa manusia saja tapi oleh bangsa manusia harimau. Tidak terasa, kami sudah sampai di bibir jurang sungai yang berair jernih. Di seberang air terjun jatuh dari ketinggian membentuk untaian perak yang memanjang. Indah sekali. Embun yang memencar sebelum jatuh seperti salju menyebar ke batu-batu, dan dedaunan. Hawa terasa sangat sejuk. Angin semilir ikut membantu menjadikan suasana petang ini berbeda. Sejenak aku menikmati alam disekitarku. Air terjun, sungai yang mengalirkan air yang bening, cadas yang berakar, hutan rimba dengan aneka tumbuhannya, batu-batuan yang berwarna hijau lumut, merah, putih, hitam, coklat dan lain-lain membuat sisi lembah ini seperti kepingan surga. Aku masih terpaku menikmatinya. Indah sekali. Di bibir sungai berjurang bagian Barat, ternyata ada jembatan yang menghubungkan sisi jurang ke air terjun. Anehnya air terjun yang jatuh pas pada bagian jembatan, seolah-olah berhenti. Jadi air yang jatuh seperti ada garis lurus yang menghalangi “Cung, tidak semua orang bisa sampai ke sini. Hanya orang-orang tertentu saja bisa menjajakan kaki di sini” Ujar Puyang lagi. Aku menatap wajahnya dengan tanda tanya. Mengapa demikian? Apa bedanya denganku? “Tempat ini adalah salah satu tempat yang sakral. Pintu masuk ke rumah suci. Jika seseorang yang memiliki hati dengki, jahat, tidak beriman, dia tidak akan bisa kemari. Jangankan menginjakkan kaki, untuk sekadar melihatnya saja dia tidak akan bisa.”
Selanjutnya Puyang menujuk ke arah jembatan. Setelah kuamati ternyata jembatan ini bukan dari kayu atau besi seperti di alam manusia. Tapi jembatan berupa akar-akar hidup yang melilit seperti sengaja di jalin oleh tangan-tangan ajaib. Sejenak kutelusuri asal akar, darimana bisa membentuk jembatan menghubungkan sisi sungai dengan air terjun itu. Padahal jarak antara bibir sungai yang berupa jurang ini ke air terjun tidak kurang lima puluh meter. Luar biasa! Rupanya akar dari sisi air terjun di sebarang sana, seperti dua tangan menjalar hingga ke seberang sini, lalu mencengkram tanah dan batu. Dari akar utama itu muncul lagi akar yang saling menyilang membentuk lilitan sehingga mirip sebuah jaring yang dijalin rapi. Meskipun dari akar yang terjalin secara alami, namun nampak kokoh dan kuat. Yang lebih membuatku terpukau, mengapa air terjun yang jatuh dari ketinggian ratusan meter itu tidak tumpah menimpa jembatan akar ini? Malah seperti berhenti lalu membelok ke sisi kiri dan kanan. Dan jembatan tidak basah meski embun air nampak berkabut.
Aku mengikuti langkah Puyang yang mulai menapakkan kaki ke jembatan. Sungguh kokoh! Aku seumpama semut yang berjalan di sulur daun ilalang. Tidak berpengaruh sama sekali. Jembatan tidak bergoyang sedikitpun. Dalam hati aku terus terkagun-kagum. Alangkah Agungnya sang Maha Besar menciptakan berbagai hal yang kadang tak terbaca oleh manusia. Siapa yang menyangka akar pohon menjalar hingga membentuk jembatan. Kalau bukan kehendak-Nya tidak mungkin ada jembatan ini. Jika jaraknya semeter atau dua meter mungkin saja bisa terjadi. Ini lima puluhan meter?
Aku mendengar puyang tertawa kecil. Mungkin beliau membaca pikiranku. Sekarang kami berada persis di ujung jembatan. Aku mendongak melihat air terjun yang jatuh. Ajaib! “Puyang, mengapa air terjun itu tidak tumpah menimpa jembatan? Tapi membelok ke sisi kanan kiri jembatan seakan dihalangi padahal tidak,” ujarku. Aku berdiri persis di bawahnya sembari mendongak. Puyang tersenyum melihat tingkahku. Kubentang-bentangkan tangan ke atas seakan-akan hendak menampung air namun tetap saja kering. Puyang meraih tanganku untuk mengajak masuk. Akhirnya aku ikut masuk. Mataku terbelalak! Di balik air terjun ini terbentang jalan yang lantainya terbuat dari batu pualam berwarna gading. Dinding-dindingnya pun pualam. Dalam hati aku bertanya-tanya, tempat apa ini? Alangkah indahnya? Beberapa meter masuk, kembali aku terbelalak. Aku melihat sebuah ruangan yang sangat luas tertata rapi degan lampu-lampu hias semuanya berwarna kuning seperti emas. Aku seperti bermimpi, seakan bukan hidup di bumi. Hampir sepanjang jalan sisi kiri dan kanannya berdiri lampu-lampu dengan tiang-tiang berukiran. Langit-langitnya seperti awan sangat sinkron dengn warna pualam lantai dan dinding. Tidak ada satu sudutpun yang tidak tertata. Semuanya terlihat rapi dan terawat.
“Puyang, ini tempat apa? Kita di mana?” Aku masih berusaha meyakinkan diri jika yang kualami ini bukan mimpi. “Kita berada di dalam perut bukit, Cung. Ini jalan menuju rumah ibadah. Itu di hadapan kita, ada masjid, Puyang akan antar kamu ke masjid itu untuk itikaf,” lanjut Puyang lagi. Itikaf? Berapa lama aku harus itikaf di masid ini? Aku membatin. Aku belum tahu apa tujuannya itikaf ini. Mengapa aku harus itikaf jauh di perut bukit Marcawang ini? Tapi ketika ingat cerita Puyang tentang pasukan dari Banyuwangi hingga saat ini masih melakukan perlawanan hendak mengambil aku, akhirnya aku patuh saja. Aku tidak ingin membuat masalah baru dalam urusan satu ini. Kurasa sudah sangat banyak pengorbanan yang dilakukan oleh para puyangku.
Semakin ke dalam masjid ini semakin indah. Sekarang di hadapanku ada dua pintu gerbang yang luas kiri kanan dan bagian atas pintu gerbang berhias kaligrafi yang ditata sedemikian rupa. Aku merasa sangat kecil sekali. Ini baru berhadapan dengan pintu gerbang masuk area masjid. Belum masuk ke pelatarannya apalagi ke dalamnya. Dari kejauhan aku melihat banyak sekali orang yang tengah melakukan salat, ada yang duduk sambil membaca al quran, ada yang hanya duduk seperti berzikir. “Cung, kamu masuk lewat pintu ini. Duduklah di dekat tiang yang ada les kuning itu. Silakan duduk dan bersadar di sana. Ketika tiba waktunya salat, salatlah. Tapi sebelumnya, kamu ambilah wudhu di samping sana.” Aku mengangguk paham. Aku segera mengambil wudhu sesuai dengan petunjuk Puyang. Lalu masuk menuju tiang yang dimaksud untuk duduk diam di sana sembari menunggu jadwal-jadwal salat.
Seorang perempuan tinggi semampai berwajah bening sambil tersenyum manis menghampiriku. “Assalamualikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Selamat datang Selasih, kenalkan saya Siti Aliyah. Ini mukena untukmu. Jika ada hal-hal yang ingin ditanyakan, temui aku. Aku ada di sudut itu.” Siti Aliyah menunjuk sudut ruang khusus tempat wanita ini. Aku menjawab salamnya dan mengambil mukena yang diulurkannya. Kupakai, ternyata ukurannya pas betul denganku. Aku tersenyum padanya sembari mengucapkan terimakasih. Siti Aliyah gadis dewasa, semakin lebar tersenyum. “Wajahmu cantik sekali Putri Selasih. Salatlah dua rakaat terlebih dahulu.” Ujarnya sembari mengelus pipiku. Aku menangkupkan kedua belah telapak tangan sambil tersenyum lalu mengatur posisi untuk melaksakan salat sunah dua rakaat.
Dalam keadaan berdiri, aku merasakan seolah-olah banyak sekali orang berada di sekitarku. Sempat juga terlintas dalam benak apakah mereka sama denganku di suruh itikaf di masjid ini. Usai salat aku mulai melakukan apa yang diperintahkan puyang. Aku duduk diam, khusuk berzikir. Terus berzikir hingga aku merasakan diriku terangkat dan ada daya yang menggerakkan tubuhku sendiri tanpa di bawah kendali otakku. Ketika aku kembali ke posisi semula kembali kulanjutkan zikir tanpa henti. Entah berapa lama hal ini kulakukan aku tidak bisa membedakan apakah sudah siang atau malam. Yang kutahu hanya ketika azan jadwal solat pertanda waktu terus bergeser. Aku tidak pergi-pergi dari tiang yang ditunjuk Puyang. Sebenarnya aku ingin bertanya dengan Siti Aliyah perihal puyang yang menyuruhku itikaf itu siapa? Dan berapa lama? Tapi niat itu berulang kali kuurungkan, sebab belum tentu dia tahu persoalanku. Yang jadi masalah apakah dia sukma manusia sepertiku atau bangsa jin? Entahlah. Banyak sekali rahasia Allah yang tidak bisa kubaca. Aku kembali hanyut dalam zikir.
Bersambung…