HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT III (48A)

Karya RD. Kedum

Sejak beberapa waktu lalu, kerap kali aku merasakan sesuatu yang berbeda pada diriku. Terkadang aku berada dalam ruang yang sangat luas, damai dan sunyi. Aku merasakan sesuatu yang sulit untuk kuungkapkan dengan kata. Terkadang aku melihat diriku berada di antara orang-orang yang berpakaian serba putih, duduk bersimpuh dalam hening. Wajah-wajah bening dan teduh membuat batinku tenang. Belum pernah aku merasakan kenyamanan dan keindahan seperti saat itu. Kerap kali air mataku meleleh dengan suasana haru itu.

Suatu kali di sela lelah sambil bersandar di tiang, aku mencoba menatap jauh ke jasadku yang terbaring. Jasadku terlihat pucat dan agak kurus. Kulihat hanya bisa duduk itu pun harus dibantu agar bisa bangun. Sudah dua minggu ini jasadku dibawa ke rumah Sakit Umum Palembang di bangsal ortopedi. Rupanya, perawatan di Rumah Sakit DKT Lahat tidak maksimal, pasca operasi yang dilakukan asal-asalan menurut Dokter Bugman, spesialis ortopedi yang menanganiku di RSU Palembang. Beliau marah melihat tindakan yang dilakukan padaku, menurut beliau tidak perlu operasi. Akhirnya dilakukan lagi operasi ke dua. Daging betisku dikeruk karena infeksi. Lalu diberi obat perangsang agar pertumbuhan daging kembali normal menutupi bagian tulang yang patah.

Kulihat ibu sedang ngobrol dengan seorang perawat. Akrab dan serius sekali. Namanya Fattah. Lelaki dewasa yang sudah cukup lama mengabdikan diri sebagai perawat di sal ortopesi ini. Hampir setiap ada waktu luang kak Fattah ke kamar jasadku. Kalau tidak memeriksa kakiku, atau mengantarkan obat, atau sekadar mengingatkan supaya aku makan. Seperti siang ini, kak Fattah membawa satu cup pudding. Padahal ada ibu di sampingku, tapi dia memaksa untuk menyuapiku. Aku melihat ekspersi jasadku agak terpaksa menerima suapan Kak Fattah. Tapi lelaki itu terus memaksa sampai habis. Melihat perhatiannya yang agak berlebihan, sepertinya lelaki ini jatuh cinta padaku. Uff! Apa tidak terlalu cepat menyatakan beliau jatuh cinta?

Tiba-tiba aku teringat Guntoro. Apa kabar lelaki yang telah membuat gemuruh di hatiku itu? Ingin aku mengunjunginya, tapi ingat dengan pesan Macan Kumbang, akhirnya aku kembali mengubur rindu. Saat itu, ingin rasanya aku memeluk dan sujud pada ibu. Tapi ibu tidak bisa merasakan kehadiranku. Ibu tidak tahu kalau jasad yang dijaganya dengan sabar, berwajah murung, sukmanya tidak ada di sini. Beliau kira wajah pucat dan murung, pandangan kosong itu karena frustasi hanya bisa duduk dan tidur. Bahkan untuk buang air kecil harus pakai pispot. Itu juga sering di bantu kak Fattah untuk mendudukan aku jika harus buang air kecil atau besar. Akhirnya aku pelan-pelan mencium pipi ibu. Biarlah walau tanpa rasa. Ibu hanya merasakan elusan angin saja, namun aku sudah cukup bahagia meski sentuhan itu tidak terasa sama sekali. Dari obrolan kak Fattah dan Ibu, besok aku akan di bawa ke kamar operasi, kaki kiriku harus di kasih bandul agar tidak cacat sampai tulangnya menyatu. Tumitku akan dibor agar bisa memenarik tulang kakiku pelan-pelan. Dokter tidak menyarankan pasang pen, katanya nanti aku pincang. Bapak dan Ibu sepertinya tidak ada pilihan. Sementara aku belum bisa membantu diriku sendiri. Nenek Kam mungkin tidak tahu banyak perihal aku. Tahunya beliau sukmaku diculik dan beliau tengah berjuang mati-matian bersama leluhurku di dimensi itu.

Usai melihat jasadku, aku menuju medan pertempuran. Dadaku berdegup kencang kala melihat pasukan dari Banyuwangi seperti gelombang datang menyerang pasukan dari tanah Sumatera. Penyerang-penyerang itu kebanyakan dari laut. Aku melihat Puyang Pekik Nyaring tidak bergeser sedikitpun dari duduknya, hanya satu kali gerakan saja gelombang penyerang dihalaunya. Mereka tumbang. Namun semakin banyak yang tumbang, semakin banyak pula yang menyerang. Dalam hati aku betanya-tanya, mengapa bisa seperti ini? Mengapa mereka seperti tidak berkurang? Bahkan bertambah? Ingin sekali aku ikut berada di medan pertempuran turut menggempur pasukan lawan. Namun khawatir mengganggu konsentrasi para sesepuhku yang menyambut para penyerang dengan sangat tenang. Padahal kebanyakan balatentara itu berwajah sangar dan berilmu tinggi.

Langit kadang berwarna suram, kadang gelap, kadang menyebar cahaya seperti bintang, seperti kembang api, dan lain-lain. Semuanya karena tingginya ilmu yang dimiliki para penempur. Tubuh yang berkelebat, kadang mirip seperti kibasan kain. Nyaris tak terlihat. Gerakan-gerakan mereka sama cepatnya. Benturan senjata, jeritan kesakitan, suara erangan, dan lain sebagainya nyaris tidak ada jeda. Aku terpukau ketika melihat seorang lelaki kecil, agak bongkok, berbaju hitam. Gerakannya yang aneh, berbeda dengan yang lainnya menjadikan beliau lebih menonjol. Kadang tubuhnya bulat melesat seperti bola ke udara. Lalu melakukan penyerangan-penyerangan dengan senjata andalannya. Aku tersenyum simpul ketika melihat celana pas bagian selangkangnya koyak. Apakah beliau menyadarinya atau tidak aku tidak tahu. Aku kaget ketika tubuhnya berguling-guling di tanah lalu beputar seperti gasing. Tak lama beberapa lawan seperti diikatnya lalu diremuknya. Wow! Tenyata tangannya yang kecil memiliki kekuatan raksasa. Beliau datuk dari gunung Kerinci. Raksasa?

Oh! Tiba-tiba aku ingat paman Raksasa. Aku sangat rindu. Apa kabar beliau? Apakah beliau ikut dalam pertempuran ini? Tapi dari tadi aku belum melihat raksasa ikut di medan pertempuran, kecuali dari pihak lawan yang bisa mengubah dirinya seperti raksasa. Kadang seperti ular naga, burung gagak, elang dan sebagainya. Yang membedakan hanyalah jika ilmu yang dipihak puyangku, murni kekuatan batin yang bersih, sementara pihak lawan bergabung dengan ilmu sihirnya. Hampir setiap sudut sejauh mata memandang aku melihat pertempuran. Aku mencari-cari dimana posisi Kakek Njajau, kakek Andun, kakek Ulu Bukit Selepah, Macan Kumbang, Nenek Ceriwis, nenek Kam dan nenek-nenek gunung Dempu lainnya. Apakah mereka juga turun ke medan perang?

“Ciiiat! Hap..hap.hap!” Suara perempuan berdehap-dehap. Aku segera menoleh. Oh! Bukankah dua perempun itu yang kulihat menyapu kelasku tempo hari? Menggantikan aku piket. Siapa dia? Ternyata ilmunya pun tak bisa dianggap enteng. Berbagai kekuatan dia keluarkan untuk membalas serangan dan melumpuhkan lawan. Ilmu kuntau dan jurus harimaunya mirip dengan yang kumiliki. Siapa dia? Tidak mungkin ilmu kami sama dari guru berbeda. Meski beberapa kekuatan ilmunya belum sempurna, melihat keberanian dan nyalihnya aku salut dibuatnya. Masih muda dan berani. Tangan dan kakiku terasa gatal hendak ikut turun ke medan laga. Beberapa kali aku hampir melakukan gerakan penyerangan. Akhirnya aku hanya bisa menggenggamnya di telapak tangan. Di beberapa sudut aku melihat pasukan berpakaian hitam seperti pendekar. Oh, mereka adalah para inyiak dari Sumatera Barat. Lama aku mengamatinya. Tiap kali mereka bergerak maka akan mengeluarkan suara yang melengking. Setiap tepukan telapak tangannya akan memunculkan getaran. Kulihat beberapa kali pihak lawan terdesak. Dorongan angin yang ke luar dari tubuhnya sangat mengagumkan. Dingin dan kuat. Lalu ada yang dari gunung Kerinci, terlihat dari ikat kepalanya. Posisi tangannya seperti tangan harimau mencakar. Matanya yang tajam, dan seringainya yang memgerikan, seakan-akan hendak menelan lawan. Aku tahu gerakannya adalah gerakan mematikan. Tubuhnya yang meluncur seperti harimau melompat memperlihatkan kedalaman ilmu kanuragan yang dimilikinya. Semburan senjata api yang dikirim pihak lawan tidak berpengaruh sama sekali. Dia seperti tahan dengan api. Kemudian aku juga melihat sebagian pendekar bersenjata ulos. Sudah bisa dipastikan mereka nenek gunung yang kerap di panggil Datuk dari Sumatera Utara, ada sebagian dari bukit Riau. Pasukan yang memakai seragaman ulos ini banyak sekali. Melihat gerakan mereka, nampaknya mereka adalah orang-orang pilihan. Ulos tidak saja mereka pakai seperti gerakan menari, terbentang di pundak, kadang ke depan. Tapi kadang mereka anyunkan. Sekali bergerak suaranya menggelegar seperti halilintar. Mataku silau ketika menatap ke arah Selatan. Di sana ada sekelompok pasukan berpakain putih bersih, seperti memakai gamis. Dari senjata yang mereka gunakan, rencong. Pasti mereka pasukan dari Aceh. Begitu bahaya dan mengancamnya kedatangan pasukan dari Banyuwangi tersebut sehingga nyaris setiap daerah di Sumatera ini ikut bergabung dengan pasukan Besemah. Atau mereka memang sepakat bekerjasama, saling bantu. Entahlah, aku tidak tahu. Yang jelas mereka bekerjasama dan aku merasakan kekompakan mereka meski nyawa taruhannya.

Aku terbelalak ketika persis di hadapanku puluhan mungkin juga ratusan pihak lawan seperti mata tombak tubuh mereka mengerucut meluncur ke arahku. Lalu entah siapa tiba-tiba menghalangi dan membuyarkan pasukan itu. Kulihat mereka cerai berai bahkan sebagian lagi tubuh mereka hancur. Aku hanya bisa menoleh ke kiri dan ke kanan. Seketika aku merasakan bumi gelap. Entah kemampun siapa yang olah-olah sengaja membuat bumi gelap seperti ini. Sekilas mataku tak bisa menembusnya. Gelap! Sangat gelap. “Hiat! Hiat! Hiaaat!” Aku terlonjak! Aku bergeser ke utara. Aku mendengar suara Gundak. Oh Tuhan! Benar saja. Aku melihat Gundak sudah tumbuh seperti lelaki dewasa. Tubuhnya meliuk-liuk melakukan penyerangan. Terakhir kulihat dia berdiri sembari mengembangkan telapak tangannya. Lalu ke luar kabut putih membuat lawan berlari tungganglanggang. Namun kabut itu seperti tahu akan lari kemana lawan. Dengan cepat lawan dicekiknya lalu lebur. Hampir saja aku menjerit hendak memanggilnya. Untung aku bisa menahan diri. Kalau tidak, Gundak pasti akan kehilangan fokus. Aku berdoa semoga Gundak selamat tidak saja mampu bertahan, tapi juga mampu melumpuhkan lawan.

Aku kaget ketika merasakan gelombang angin di sampingku sangat kencang, rupanya pasukan dari Gunung Bungkuk Bengkulu. Beberapa pemuda dan lelaki sepuh memimpin pertempuran yang luar biasa itu. Mereka seperti tidak kehabisan tenaga. Berbagai ilmu kanuragan dan tenaga dalam menimbulkan benturan-benturan yang tak dapat dielakan. Kadang ada kabut, api, air, angin, dan berbagai macam hal bisa membumbung ke angkasa. Sesekali berpusar seperti menusuk ke perut bumi. Aku terkagum-kagum melihat kemampuan mereka. Dari kejauhan kulihat seorang lelaki dengan tombak di tangan menunggang seekor kuda besar dan gagah berwarna putih. Gerakannya lincah sekali. Sambil menunggang kuda, sabetan senjatanya mampu melukai puluhan orang. Aku terkagum-kagum melihatnya. Siapakah dia? Dari mulutmu tak lepas suara takbir. Aku jadi ingat gambar Pangeran Di Ponegoro di buku-buku pelajaran dan dinding sekolahku. Terlihat gagah di atas kuda. Menampakkan jika beliau seorang ksatria. Pejuang sejati. Aku berdecak kagum melihatnya. Pelan-pelan, aku mendengarkan suara halus sekali bersama desing angin. Suara zikir! Oh..sungguh syahdu. Siapa mereka? Aku mencari-cari namun gagal mencari sumbernya. Energinya justru menjadi energi bagi pasukan puyang-puyangku. Aku melihat tak sedikit pasukan lawan mengeliat kepanasan bahkan hangus terbakar. Ketika melihat gelombang pasukan lawan kembali seperti angin menyerang, aku mulai siap dengan angin badai dan sambaran halilintar.

Tiba-tiba ada tangan menyambar tubuhku.“Mengapa kau berada di sini Selasih. Ini berbahaya untukmu. Tetaplah diam di masjid, bantu kami dengan zikir.” Seorang perempuan berbaju kurung, dengan rambut disanggul kencang. Di tangannya menggenggam semacam tongkat kecil seperti suling. Aku tidak mengenalnya. Namun dia tahu namaku. Dia seperti berusaha melindungi tubuhku. Aku mencium aroma harum ke luar dari tubuhnya. Dia adalah sebagian perempuan yang kulihat ikut berada di medan petempuran. Dalam sekejab aku kembali berada di dalam masjid. “Tetaplah diam di sini. Jangan ke luar sebelum semuanya aman. Pihak lawan bukan pasukan biasa. Mereka tidak main-main hendak mengambil dirimu. Tidak mungkin semua kekuatan dari Sabang, hingga Lampung kita himpun kalau bukan masalah kecil. Tidak sedikit pihak kita yang terluka. Mereka rata-rata berilmu tinggi. Ahli sihir!” Ujarnya tegas. Aku terhenyak. Meski hanya pikiranku saja yang ke sana pun tidak boleh. Tidak ada alasan walau sekadar melihat jalannya petempuran? Aku membatin. “Jika kamu ke luar, maka aroma tubuhmu akan tercium oleh mereka!” Tegasnya lagi. “Siapa kamu?” Tanyaku ragu. “Aku Putri Bulan dari Gunung Bungkuk” Lanjutnya memegang bahuku. Tak lama aku mendengar suara gemuruh. Sepertinya berasal dari luar pintu gerbang. Oh, bukan dari seberang jembatan air terjun. Aku terkesima. Darahku langsung berdesir kecang. Aku menyesal telah berani melihat medan pertempuran. Ternyata pihak lawan mengetahui keberadaanku. Dan saat ini mereka mengejar ke mari. Aku menatap Putri Bulan dengan tatapan bingung. Apa yang harus kulakukan. “Izinkan aku menghalau mereka, Putri Bulan.” Aku berdiri. Putri Bulan segera menahan pundakku.“Kamu tidak perlu turun tangan. Ingat sekali lagi berbahaya. Jika sekali lagi sukmamu berhasil mereka culik, maka akan sia-sialah perjuangan berat kita selama ini. Biarkan mereka menjadi urusanku. Ingat, berzikirlah. Hanya itu yang dapat menguatkan kita semua,” ujarnya sembari pamit pergi. Dalam sekejap Putri Bulan menghilang. Melihat gerakkannya yang gesit yakinlah aku jika putri Bulan seorang yang berilmu tinggi. Tidak mungkin Datuk Ratu Agung penguasa bukit dan lembah Bengkulu itu akan mengirimkan orang-orang yang biasa-biasa saja untuk membantu Puyang Pekik Nyaring. Akhirnya aku kembali duduk timpuh, dan melajutkan zikir. Aku kembali hanyut. Entah sampai kapan perang ini akan berakhir. Maka selama itu juga aku akan terus berada di dalam rumah suci ini. Aku kembali berusaha membujuk batinku untuk kembali bersabar menikmati keteduhan dalam cahaya pemberi kehidupan. Huu Allah…Huu Allah..Huu Allah.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *