HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (55)

Karya RD. Kedum

Bus Damri yang kutumpangi sudah meniti jalan lintas Pagaralam-Bengkulu. Jalan lintas yang sempit, penuh lubang. Jika hujan akan tergenang air dan licin, jika panas melambungkan debu. Seperti saat ini, dua hari tidak hujan membuat debu jalan naik.

Sudah jadi lagu lama, daerah perbatasan Sumatera Selatan dengan provinsi Bengkulu ini nyaris tidak dapat perhatian. Tidak tersentuh pembangunan. Belum lagi rumah-rumah di sepanjang dusun Lintang, banyak sekali teras dan pagar mepet ke jalan. Jadi jalan lintas mirip gang sempit karena diapit rumah-rumah yang rapat langsung ke bibir jalan. Belum lagi berbicara soal keamanan. Bajing loncat, penodongan, pemalakan, sering terjadi di sepanjang jalan ini.

Aku duduk di tengah. Tidak bisa bergerak sama sekali. Bus yang sudah padat masih juga dijejal ketika bertemu penumpang di jalan. Akibatnya mirip bus kota yang kulihat di televisi, banyak yang bergelantungan dengan aroma macam-macam. Terlintas pikiran, bagaimana jika terjadi kecelakaan? Bisa dipastikan tidak akan banyak penumpang yang selamat. Antara kursi duduk, dipasang pula kursi serap. Bahkan ada yang duduk di lantai karena tidak tahan berdiri lama.

Bus yang sudah tua ini terseok-seok dengan suara meraung seperti orang kesakitan. Keringat mengucur deras. Pengap dan panas. Kulihat beberapa orang sudah tertunduk-tunduk menampung muntah di kantong kresek. Perutku juga sudah mual. Lima jam perjalanan sungguh terasa sangat lama. Di belakang ada anak kecil menangis tidak henti. Ibunya sibuk ingin netek’i. Banyak penumpang lain yang merasa terganggu. Sampai ada yang nyeletuk “Pir…suruh pindah mobil aja ibu dan anak itu. Pusing naik bus dah berjejal kayak gini, bergerak saja tidak bisa, ditambah anak nangis tidak henti-henti.” Si supir seperti orang tuli. Tidak menanggapi keluhan penumpang sama sekali. Aku mencoba konsentrasi menenangkan anak yang menangis. Kasihan, si kecil tidak nyaman. Kusuruh dia tidur. Tak lama suasana senyap. Hanya suara deru mobil saja yang memekakkan.

Sampai di Pendopo, adikku bertanya, apakah perjalanan masih jauh? Aku sendiri tidak tahu. Mau tanya dengan Bapak, beliau jauh duduk di belakang. Akhirnya kujawab, tidak jauh lagi dek, sabar ya. Aku hanya tahu, konon kalau sudah di perbatasan maka kita akan bertemu dengan jalan yang bagus mulus. Karena provinsi Bengkulu sangat memperhatikan infrastrukturnya. Wajah adikku terlihat sedikit pucat. Kusuruh dia makan roti atau minum selalu ditolak. Ini masih jalan berlubang. Bagaimana ketika melintas di jalan Bengkulu yang terkenal dengan liku sembilannya? Konon liku sembilan adalah momok bagi penumpang bus atau kendaraan lainnya. Sebab jalannya berkelok-kelok tajam menanjak dan menurun. Akhirnya aku membujuk adikku untuk tidur saja. Kepalanya kubiarkan dipangkuanku. Kucoba memberikan perasaan nyaman padanya.

Benar saja, ketika sampai di perbatasan beberapa penumpang menyebut ‘Alhamdulilah’. Kami tidak lagi serasa di aduk-aduk dalam botol. Bus meraung mulus sedikit laju. Aku hanya dapat mengintip sisi jalan lewat jendela bus yang sempit. Rumah-rumah seperti berkejaran. Satu persatu penumpang ada yang turun di Kepahiyang. Ketika ada penumpang turun, terasa lega. Tapi tak lama kemudian, lagi-lagi bus berhenti menaikan penumpang. Dalam hati aku menggerutu. Alangkah serakahnya supir ini. Sungguh tidak diukurnya kenyamanan penumpang. Penumpang dianggapnya benda mati. Timbul ide isengku. Nanti kalau ada tempat yang nyaman, akan kubuat mobil ini berhenti. Aku sudah mencari-cari di mana pantasnya memberhentikan mobil ini. Biar sopirnya bingung, dan penumpangnya minta pindah bus lain.

Ketika bus baru turun dari Kepahiyang, hendak menaiki jalan menuju gunung yang terkenal liku sembilannya itu, bus kuhentikan. Sisi kiri kanan jalan hutan belantara. Udaranya terasa dingin. Beberapa kali sang supir berusaha menyalakan mobil, namun selalu gagal. Mulutnya sudah nyumpah-nyumpah. Bahkan memukul-mukul setir dengan gemas. Penumpang dimintanya turun terlebih dahulu karena Sang supir hendak mengecek kerusakan. Akhirnya kami semua turun. Aku menarik nafas lega. Kuhirup udara sebanyak-banyaknya. Aku menikmati belantara yang lebat. Suara satwa hutan terdengar jelas. Semua penumpang nampaknya berusaha merenggangkan otot setelah berjam-jam terpasung. Bahkan ada yang langsung telentang di pinggir jalan tanpa alas demi menghilangkan rasa penat. Adik dan Bapak memilih duduk di atas batu yang menonjol di pinggir jalan. Teduh dan terasa dingin.

Uf! Empat nenek gunung mengarah kemari dari hutan belantara gunung ini. Aku harus segera menghadangnya agar orang-orang ini tidak ketakutan. Akhirnya aku mencari tempat yang agak nyaman dengan alasan berteduh. Aku segera duduk dan menemui empat nenek gunung yang sudah dekat.
“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…kenalkan saya Putri Selasih. Mau kemana nenek gunung?” Ujarku pelan di hadapan mereka.
“Waalaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh Putri Selasih. Selamat datang di tanah betuah Bengkulu. Kami memang hendak memastikan siapa yang lewat karena kami mencium aroma yang sangat kami kenal, bau bangsa kami. Ternyata dirimu, manusia damai yang menitis dari kerajaan kecil lereng gunung Dempu.” Ujar salah satu mereka.
“Benar Nek, saya sedang dalam perjalanan menuju kota Bengkulu. Dan sengaja saya hentikan kendaraan yang kami tumpangi. Karena penumpangnya sangat padat, sesak Nek. Kami hanya ingin menghirup udara segar. Beruntung sekali saya bertemu nenek gunung di sini.” Ujarku lagi. Selanjutnya mereka menawarkan diri hendak mengantarkan aku sampai ke kota. Tentu saja aku menolak. Bagaimana dengan Bapak dan adikku? Akhirnya mereka mohon diri untuk masuk kembali ke dalam rimba. Aku mengatupkan kedua belah tangan ke dada dan kembali duduk di tempat semula.

Aku menatap wajah-wajah kuyuh penumpang. Semuanya nampak kelelahan. Bagaimana tidak, meski jendela bus bisa dibuka namun karena penumpangnya padat melebihi kapasitas, tetap kekurangan oksigen. Kubiarkan para penumpang mencari kenyamanan masing-masing. Sementara kernet dan sopir masih sibuk mencari kerusakan bus. Sang supir sampai masuk ke bawah mobil untuk mengecek kerusakan.

Perjalanan masih dua jam lagi. Aku berusaha melonjorkan kaki. Adikku tidur-tiduran di pangkuan Bapak. Sebagian penumpang yang ingin cepat sampai ke Bengkulu, pindah naik angdes. Mereka rela estafet. Sebagian lagi masih tetap bertahan mungkin juga karena uang di kantong jumlahnya terbatas. Si supir ngomel-ngomel tidak jelas pada kernet. Sang kernet hanya diam saja. Di sinilah aku melihat betapa tidak berartinya seorang kernet di mata sopir yang arogan, egois seperti ini. Kernet diperintah sambil disumpah-sumpah. Akhirnya habislah kesabaranku. Sang supir akan kukerjai. Kunci 24 yang dipegangnya kusuruh jatuh menimpa kakinya.
Pletak!! Seketika aku mendengar jerit yang tertahan dari mulut sopir. Dia langsung tertunduk menahan sakit dan terduduk di tanah.
“Hai Babi! Ambilkan obat merah di bawah tempat duduk. Cepat!” Ujarnya memerintah kernetnya yang buru-buru mengambil tempat obat yang dimaksud. Tak lama disodorkannya pada supir. Sang sopir buru-buru membuka penutup obat merah masih sambil berdesit menahan sakit. Ketika dia baru membuka penutup botol, kupencet.
Crot!!! Obat merah menyembur persis kena wajahnya. Sang sopir kembali kelabakan. Tangannya menggapai-gapai minta air untuk mencuci wajahnya. Untung ada penumpang yang berbaik hati menyodorkan air dalam botol minuman. Si sopir buru-buru mencuci mukanya. Jadi sekarang tampangnya mirip badut atau mirip pemain film horor korban pembunuhan karena dari wajah hingga baju bercak-becak merah darah. Banyak penumpang yang senyum-senyum melihatnya. Tapi dasar mulut banci, masih saja marah-marah tak jelas dengan kernet.

Aku kembali mencari-cari apa yang bisa kulakukan untuk ngerjain sopir ini kembali. Mulut nyinyirnya tidak sesuai dengan tampang sangarnya. Kali ini kubuat dia kebelet pipis. Benar saja, tak lama kemudian dia mencari-cari semak tempat untuk membuang hajat kecilnya. Aku segera mengubah diri menjadi nenek gunung. Berdiri seperti hendak menerkam persis di hadapannya. Sang sopir lari sampai terjatuh -jatuh sambil memegang celana dan tidak sempat mengancingkan retsletingnya. Saking kaget dan takut, Sang sopir terkencing-kencing di celana. Untung tidak pingsan di tempat.
“Ada nenek gunung, lari!!.” Teriaknya. Oh! Ternyata aku salah. Para penumpang jadi ikut kalap lari menyelematkan diri. Sebagian besar masuk ke dalam mobil menutup pintu rapat-rapat. Bapak tetap berjalan-jalan melihat ke semak tempat sopir berdiri tadi. Aku juga masih duduk sambil tertawa dalam hati. Lalu aku berjalan menghampiri sopir.
“Kenapa Mang, takut ya lihat nenek gunung? Makanya hati-hati kalau bicara. Mulut Mamang kasar sekali. Marah sih boleh kalau jelas persoalannya. Ini mulut Mamang marah tidak jelas. Semua yang kotor disebut. Bahkan tega memanggil kernet sendiri pakai sapaan babi segala. Dia itu manusia Mang. Pakailah sopan santun sedikit. Sekarang mobil rusak, kalau kami minta kembalikan ongkos kami Mamang mau bilang apa?” Ujarku. Si Mamang supir tidak peduli. Tubuhnya gemetar. Wajahnya masih pucat pasi. Nampaknya masih syok karena mendadak bersua dengan nenek gunung.
“Apa iya ada nenek gunung, Dek?” Tanya Bapak padaku setengah berbisik. Kujawab saja iya. Tapi sudah pergi masuk ke rimba lagi. Bapak hanya mengangguk kecil sambil menatap ulang pada supir.

Sudah satu jam lebih mobil berhenti di sini. Penumpang sudah mulai gelisah dan marah.
“Ayo Pir..harus ada solusi untuk kami. Kalau bus ini tidak bisa jalan kami akan di oper ke bus yang mana. Masak harus menunggu sampai besok? Siapa yang mau jamin perut kami yang sudah lapar ini? Ini di hutan tidak ada yang bisa dimakan” Salah satu penumpang berbicara keras. Sang supir tidak bisa menjawab apa-apa. Diam seribu bahasa.

Aku menggamit kernet bus. Kusuruh dia sampaikan ke supir agar menyalakan mobilnya. Si kernet takut-takut. Berat sekali nampaknya. Apalagi si supir sudah ngompol di celana.
“Aku harus ganti celana dulu.” Kata supir rada lugu. Hilang garangnya. Satu bus mau tertawa tapi juga kesel karena bus tidak jalan. Aku masih senyum-senyum dalam hati.
“Ayo turun biar saya yang jaga kamu ganti celana, ” Bapak menawarkan diri. Setelah Bapak menjamin tidak ada lagi nenek gunung, baru si sopir berani turun. Akhirnya Sang sopir ganti celana di samping mobil. Aku bisikan sama Bapak, bus ini tidak rusak tapi sengaja kumatikan. Bapak memandang padaku setengah tidak percaya.
“Pak, suruh nyalakan mobilnya, Insya Allah kita lanjutkan perjalanan.” Bisikku. Akhirnya Bapak menyuruh sopir nyalakan mobilnya. Dan benar. Sekali putar kontak, busnya hidup. Dan bisa berjalan kembali.
“Coba Pak dari tadi Bapak suruh saya nyalakan mobil, saya tidak akan sampai kencing di celana gegera bertemu nenek gunung, ” ujar supir tidak menutupi rasa malunya lagi.
“Makanya Mang, mulut Mamang harus dijaga. Jangan suka nyumpah-nyumpahi orang. Sekali lagi Mamang kasar sama kernet, saya jamin tidak akan bisa jalan lagi mobil ini. Selamanya! ” Ujarku. Sekilas sopir itu memandang padaku.

Sekarang baru terasa agak nyaman duduk di bus karena banyak penumpang yang pindah ke mobil lain. Udara pegunungan terasa segar masuk lewat jendela sisi kiri kanan bus. Aku bisa menikmati belantara yang masih perawan. Pohon-pohon besar, suara siamang ramai seakan sangat dekat di atas bukit sisi jalan. Di tempat lantang dan tikungan-tikungan tajam sesekali terlihat bukit mirip seperti orang menunduk. Inilah yang disebut Gunung bungkuk. Gunung yang berukuran kecil. Aku jadi ingat Putri Bulan laskar Datuk Ratu Agung penguasa kerjaan daratan di Bengkulu. Apa kabar mereka? Aku mencoba berinteraksi dengan Putri Bulan.

“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Putri Bulan.” Sapaku. Tak lama berselang Putri Bulan menjawab salamku. Aku melihat sosok putri yang cantik, anggun berbaju kurung. Sangat berbeda dengan Putri Bulan yang kulihat pertama dulu. Mana mungkin orang percaya melihat penampilan anggunnya jika perempuan ini memiliki ilmu kanuragan yang tinggi.
“Putri Selasih, ” wajahnya sedikit terkejut setelah menyadari aku yang memberikan salam padanya. Selanjutnya Putri Bulan memelukku erat sekali. Aroma harum tubuhnya melekat di otakku. Perempuan cantik ini tak hanya lembut dalam pembawaannya, namun hatinya pun lembut. Aku merasakan degup jantungnya. Sebuah ketenangan jiwa terpatri di sana.
“Aku akan tinggal di Bengkulu kota, Putri Bulan. Aku pindah ke sana.” Ujarku setelah pelukannya agak renggang.
“O ya? Alhamdulilah…kita semakin dekat kalau begitu. Sering-seringlah ke mari.” Ujarnya gembira. Dalam batinku tentu sangat mau. Tentu saja aku ingin banyak belajar padanya untuk banyak tahu tentang Bengkulu.

Tak lama aku pamit, kukatakan aku hanya ingin singgah sejenak saja karena aku dalam perjalanan. Putri Bulan kembali memelukku erat. Dan berjanji akan menemuinya lagi. Putri Bulan melambaikan tangan. Angin perbukitan meniup wajah anggunnya pelan. Aku membalas lambaiannya. Bus bejalan pelan menuruni jalan berliku. Gunung Bungkuk antara terlihat dan tidak.

Menjelang salat asyar kami sudah sampai di Bengkulu kota. Ibu kota provinsi yang masih terlihat sepi. Jalannya lebar dan teduh. Pohon mahoni tumbuh subur dan rata-rata berukuran besar dan tinggi di sepanjang jalan. Jalan raya masih lengang karena penduduk memang masih sedikit. Aku berusaha menikmati kota yang akan mejadi kota ke dua setelah Pagaralam. Apakah aku akan melakukan petualangan seperti ketika tinggal di Pagaralam. Wallahu alam. Aku tidak tahu.

Ketika baru masuk kota, berbagai macam bentuk aura kurasakan begitu kencang. Kota kecil ini banyak sekali menyimpan nilai-nilai sejarah yang tidak lepas dari nilai-nilai mistis. Hampir setiap wilayah berdiri kerajaan-kerajaan kecil sesuai dengan etnisnya. Bahkan beberapa kerajaan tetap berdiri hingga kini. Namun kerajaan-kerajaan itu tak kasat mata. Bahkan ada satu kampung disilamkan dari pandangan manusia. Konon mereka minta disilamkan karena tidak suka dengan kehadiran para penjajah Belanda, Inggris, Portugal yang mereka sebut kaum tak beradat, jauh dari nilai-nilai islami. Mereka adalah kerajaan kecil Sungai Serut yang hingga kini masih ada beberapa keturunannya di alam nyata.

Silamnya kerajaan kecil ini erat kaitannya dengan penguasa dataran Bengkulu, yaitu Datuk Ratu Agung. Pada masanya beliau adalah manusia yang memiliki kemampuan untuk ke luar masuk ke alam gaib. Di alam gaib beliau menikah lalu memiliki tujuh orang anak; Raden Cili, Monik Muncul, Memang Batu, Tajuk Rumpun, Rindang Papan, Anak Dalam Muara Bengkulu, dan Putri Gading Cempaka.

Ke tujuh anaknya ini semula hidup di alam gaib. Selanjutnya beliau bawa ke alam nyata melalui bagian tubuhnya. Ada yang di lengan, bahu, betis. Selanjutnya di alam nyata mereka menyebar mendirikan sekaligus memimpin kerajaan-kerajaan kecil di bawah kekuasaan Datuk Ratu Agung. Sementara Datuk Ratu Agung berdomisili di gunung Bungkuk, mendirikan istana di Ketinggian. Alasannya agar mudah mengawasi kerajaan-kerajaan kecil yang dipimpin oleh anak-anaknya.

Kota yang terletak di bagian barat daya pulau Sumatera ini membentang pantai berombak besar langsung ke Samudera Hindia, berpasir putih, karang yang berpalung, karena panjangnya maka disebut Pantai Panjang. Panjang pantai kira-kira tujuh kilometer dengan garis surut sekitar lima ratus meter. Indah dan luas.

Melihat kota Bengkulu terlihat tenang, rasa lelahku terobati. Meski banyak sekali energi yang menarik-narikku mengajak berinteraksi. Tapi semua kuabaikan. Belum waktunya. Aku masih ingin menyesuaikan diri terlebih dahulu dengan suhu panasnya. Tidak mudah, aku biasa tinggal di pegunungan, udaranya sejuk, sekarang di tepi laut, panas terik seperti di panggang. Dari angkot yang membawa kami pulang, terdengar lagu berbahasa Bengkulu yang belum kupahami maknanya.

“Yo botoy botoy
Yo tarik tali
Mengelok pukek
Pasar Bengkulu

Yo botoy-botoy
Yo tarik tali
Mendapek ikan
Bekerang-kerang
……..

Bersambung…

Satu tanggapan untuk “HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (55)

  • 16 Juni 2020 pada 6 h 47 min
    Permalink

    Semoga buku nya cepat di terbitkan

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *