HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (65B)

Karya RD. Kedum

Malam ini aku baru saja selesai mengerjakan tugas kimia, dan fisika. Rencananya besok pagi aku latihan teater di pantai Jakat. Semoga tidak hujan. Soalnya dua hari yang lalu kami batal latihan di pantai karena gerimis. Beberapa hari ini Bengkulu sering kali hujan mendadak. Langit selalu terlihat mendung.

Sambil bersenandung aku merapikan buku menyiapkannya untuk sekolah besok. Aku mencari-cari naskah teater yang harus kuhafal. Sudah bolak-balik tetap tidak kutemukan. Aku garuk-garuk kepala, bingung. Perasaan buku itu selalu kuletakkan di atas rak buku selain mudah mengambilnya, setiap waktu aku bisa baca sambil menghafal dialog-dialognya. Tapi ini tidak ada. Aku jadi ingat ketika aku kehilangan buku puisiku, ternyata A Fung, bocah keturunana Tionghoa mengambilnya, membawanya ke alam gaib, lalu teriak-teriak membaca puisi-puisi di dalamnya. Buku itulah menjadi media terjalinnya rasa sayang dan rindu padanya A Fung. A Fung bocah kelahiran 1955 itu minta diakui sebagai adikku. Apakah mungkin naskah teaterku ada yang iseng membawanya ke alam gaib? Lalu aku memfokuskan diri mencoba mencarinya. Siapa tahu dugaanku benar. Baru saja aku hendak memejamkan mata, tiba-tiba ada suara memanggilku. Suara itu terdengar sedikit tergesah-gesah.
“Selasih…Selasih…kamu di mana?” Suara lembut Putri Bulan. Aku menajamkan telinga. Aku heran mendengar desah nafasnya tidak seperti biasanya. Ada apa dengan Putri Bulan?
“Bulan….Bulan. Kemari, aku ada di rumah” Panggilku. Aku menunggu dengan perasaan sedikit cemas. Ada apa dengan Putri Bulan. Tidak lama aku merasakan angin berhembus lembut dan membawa harum bunga. Sosok Putri Bulan sudah berdiri di hadapanku. Aku kaget melihat wajahnya. Tidak seperti biasanya. Kemana wajah cantik dan lembutnya selama ini? Aku melihat awan buram menyelubungi wajahnya. Rambutnya dibiarkannya tergerai dan sedikit acak-acakkan, bahkan dibiarkan menutupi sebagian pipinya. Dan mata itu, merah, sedikit sembab. Melihat kondisinya Aku tidak berani bertanya. Usai menyalami dan memeluknya aku hanya menatapnya. Kubiarkan dia tidur di atas kasurku menghadap ke dinding. Lama kutatap punggungnya. Di dalam hati muncul berbagai pertanyaan. Ada apa gerangan? Mengapa Putri Bulan nampaknya sangat sedih? Apakah ada masalah dengan Macan Kumbang? Atau masalah lain? Kembali aku membatin. Aku tidak berani untuk mengetahui masalah apa yang tengah melanda Putri Bulan yang kukenal hebat ini. Tak lama aku mendengar suara tangis pelan sekali. Putri Bulan sesegukan. Akhirnya aku memilih duduk diam. Masih menatap punggungnya, membiarkannya menangis. Mendengar suara tangisnya yang sangat pilu, muncul pula rasa sedihku. Terasa jika batin Putri Bulan tengah menghadapi masalah berat. Aku tertunduk mendengarkan tangis pilunya.

“Ada apa Putri Bulan, tangismu begitu pilu. Ada masalah apa?” Tanyaku pelan setelah tangisnya agak reda. Putri Bulan membalikkan badan menghadapku. Masya Allah, wajahnya basah. Matanya semakin merah dan sembab. Aku menatapnya penuh tanya. Muncul rasa kasihan. Aku bingung harus bicara dan menolong apa. Jika Putri Bulan diserang orang karena pertempuran, aku bisa membalasannya. Tapi kalau sudah urusan perasaan apa yang bisa aku lakukan? Aku salah tingkah harus berbicara apa dan mulai dari mana tidak tahu.

Kupegang tangan Putri Bulan. Kuelus dengan lembut. Kutatap matanya dalam-dalam.
“Ada masalah apa, Bulan? Ada yang bisa kubantu?” Suaraku pelan. Lama aku menunggu, tidak ada jawaban yang kulihat air mata mengalir dari mata indah Putri Bulan. Pelan-pelan Putri Bulan bangkit, aku membantunya sambil menahan pundaknya. Tubuhnya sangat layu. Aku mencoba menambahkan energi padanya.
“Tidak usah kau transfer energimu Selasih. Energimu tidak akan bisa membantu menyelesaikan masalah.” Ujar Putri Bulan pelan. Dia raih tanganku. Kami bertatapan.
“Aku hendak dijodohkan oleh Bakku dengan Darang Kuning, Selasih. Lelaki yang tidak kukenal. Anak salah satu Temenggung dari Bukit Putri Hijau, Muko-Muko. Orang tuanya saudara jauh Bak,” air mata Bulan kembali merebes.
“Dijodohkan?”Tanyaku kaget. Aku langsung terbayang Macan Kumbang. Bagaimana dengan Macan Kumbang jika kehilangan Putri Bulan? Hatiku tiba-tiba ikut perih. Aku tidak ingin Macan Kumbang kembali sedih. Jika Macan Kumbang dan Putri Bulan benar memiliki perasaan yang sama, artinya untuk ke dua kalinya Macan Kumbang menyintai wanita. Sekarang wanita itu hendak dijodohkan dengan orang lain. Duh! Aku pun tak sanggup membayangkan perasaan Macan Kumbang.

Sejenak hati dan pikiranku ikut kacau. Rasanya aku tidak rela melihat Macan Kumbang kecewa.
“Kapan kalian akan menikah?” Tiba-tiba pertanyaan itu meluncur saja dari bibirku. Putri Bulan menggeleng. Dia sampaikan jika permintaan orang tuanya belum dia jawab. Dia masih minta waktu.
“Bakku bukan orang yang gampang diajak berbicara rasional, Selasih. Dia pasti terus ngotot dengan dalih demi menjaga hubungan keluarga, adat istiadat dan lain sebagainya. Aku yakin, beliau pasti masih hendak menjodohkan aku” Ujar Putri Bulan lagi.
“Lalu apa yang bisa kita lakukan? Putri Bulan tidak mau dijodohkan, bukan?” Aku sekan-akan mendukung penolakannya.
“Aku tidak mau dijodohkan, Selasih. Aku ingin memilih sendiri pendamping hidupku. Aku sudah punya pilihan sendiri. Bagaimana mungkin kita bisa hidup bersama orang asing yang tidak kita kenal sama sekali sebelumnya. Berumah tangga bukan sementara, tapi untuk selamanya. Aku mungkin sama dengan perempuan lainnya, ingin hidup bersama dengan orang yang kita cintai tanpa paksaan dari siapa pun.” Lanjut Putri Bulan.

Akhirnya aku juga ikut berpikir mencari solusi dan berbagai macam kemungkinan agar perjodohan itu batal.
“Sudah, jangan menangis terus. Aku jadi ikut sedih melihatmu menangis. Mari kita pikirkan bersama-sama jalan keluarnya. Jika aku bisa menolong, maka akan aku lakukan. Kan masih ada waktu untuk berbuat. Lamaran itu belum diiyakan oleh Bakmu. Artinya kita masih ada waktu” Ujarku memberi semangat. Wajah Putri Bulan agak berubah. Aku mulai berpikir langkah apa yang harus aku atau Putri Bulan lakukan. Aku harus ikut berjuang demi Macan Kumbang, bagaimana pun Macan Kumbang tidak boleh frustasi ke dua kalinya. Tapi ketika aku sadar, apakah Putri Bulan dan Macan Kumbang saling menyintai? Aku belum tahu keseriusan mereka. Bagaimana kalau pilihan Putri Bulan yang sebenarnya bukan Macan Kumbang?

“Putri Bulan, Tolong jawab dengan jujur, agar aku bisa menentukan langkah. Apakah pilihan hidup yang engkau maksud adalah hidup bersama Macan Kumbang?” Aku mencari jawaban di sinar mata Putri Bulan. Putri Bulan menatapku lembut sekali. Meski matanya masih merah, tapi aku bisa membaca lembab matanya. Sebelum Putri Bulan mengangguk, aku tahu sinar matanya tidak bisa berbohong. Dia menyintai Macan Kumbang.
“Demi kalian berdua, aku akan lakukan apa yang bisa kulakukan. Tolong beri tahu aku di mana tempat tinggal Darang Kuning.” Ujarku bersemangat. Rencananya, aku akan menemui Darang Kuning dengan segera. Semula Putri Bulan melarang. Dia tidak ingin aku ikut campur dan terlibat dalam urusannya. Namun aku berusaha meyakinkan Putri Bulan, siapa tahu karena campur tanganku perjodohan itu bisa dibatalkan. Aku berusaha menyakinkan Putri Bulan, aku akan lakukan dengan caraku.

Akhirnya kuketahui, Darang Kuning tinggal di Bukit Putri Hijau Muko-Muko. Daerah perbatasan provinsi Bengkulu dengan Sumatera Barat. Tak sulit bagiku untuk mencarinya. Yang penting aku tahu suku dan namanya. Akhirnya aku berjanji pada Putri Bulan, tidak perlu lama aku akan sampaikan hasilnya padanya. Putri Bulan nampak kembali optimis. Wajahnya yang buram sedikit berseri. Kembali dia bertanya apa yang akan aku lakukan. Aku hanya mejawabnya dengan senyum.
“Rahasia perusahaan, tidak ada yang boleh tahu. Termasuk paduka Tuan Putri, tidak boleh tahu” Aku mencoba menggodanya. Dadaku lega ketika sekilas melihat senyumnya.

Suasana hening sejenak. Aku berpikir langkah-langkah yang akan aku lakukan. Sebenarnya aku belum pernah ke Bukit Putri Hijau. Mendengarnya juga baru sekarang. Misiku bertemu dengan Darang Kuning. Aku merancang-rancang pertanyaan apa yang akan kulontarkan ketika bersua dengannya. Semuanya kusimpan dalam hati. Sementara Putri Bulan kembali merebahkan badan, sembari memandang langit-langit kamar.
“Aku pulang dulu, Selasih. Nanti Mak khawatir karena aku pergi tidak pamit dengan beliau. Aku tunggu kabarmu.” Ujar Putri Bulan bangkit. Secara tersirat pahamlah aku, jika Putri Bulan pada dasarnya mengharapkan bantuanku.

“Bukit Putri Hijau, Darang Kuning” Aku membatin menyebut nama daerah dan nama lelaki yang hendak dijodohkan dengan Putri Bulan. Putri Bulan baru saja pulang. Paling tidak dia pulang membawa harapan baru. Ah! Semoga Putri Bulan tak sepelik bayangannya menghadapi Baiknya yang tegas itu. Aku berdoa dalam hati.

Usai salat isya aku mencoba membaca dengan batin arah mana Bukit Putri Hijau. Seperti apa daerah itu? Indah sekali namanya? Oh, ternyata masih jajaran bukit barisan yang berbukit-bukit, berhutan, dan bersungai. Aku melihat banyak sekali sungai meliuk-liuk dan sambung-menyambung, baik sungai besar mau pun kecil. Aku kembali membuka mata. Bangkit dari sajadah, merapikan kamar lalu bergegas mengganti baju.
“Selasih, pakailah baju yang diberikan nenek Putri Kuning, pakaian itu ciri sukumu,” Kakek Andun mengingatkan. Oh! Rupanya aku tidak boleh sembarangan pakai baju? Batinku. Kembali kakek Andun mengatakan, dalam misi yang berbeda maka berbeda pula pakaian yang harus kekenakan. Akhirnya aku mengenakan pakaian yang pernah kupakai ketika melawan tiga dukun dari pulau Jawa, di perbatasan Lampung dulu. Aku heran, pakaian ini kukenakan ketika aku masih kecil ternyata masih muat hingga kini? Apakah tubuhku yang tidak besar-besar, atau pakaian ini yang bisa menyesuaikan diri? Yang jelas aku sangat nyaman memakainya. Aku segera memecah diriku mejadi dua sebelum pergi.

Kueratkan pengikat kepalaku. Rambutku yang panjang kujalin dua. Aku segera membaca mantra angin. Secepat kilat aku meluncur ke arah utara. Sengaja aku berangkat sendiri. Malam ini aku harus bertemu dengan Darang Kuning. Akan kucari dia. Bila perlu akan kuculik dia agar aku bisa berbicara empat mata padanya.

Aku melintas di atas bukit yang berjajar. Tenggorokanku terasa kering ketika melihat sejauh mata memandang, yang ada hanya hamparan tanah tandus ditumbuhi pohon kelapa sawit yang masih remaja. Aku memperkirakan luasnya ratusan bahkan mungkin ribuan hektar. Lagi-lagi batinku kecewa melihat kulit bumi yang rusak.
“Sisi mana Ya Allah kulit bumi ini tidak ditumbuhi oleh pohon-pohon serakah ini?” Batinku. Aku terus meluncur dengan perasaan sedih. Di beberapa titik hutan yang baru ditebang kayu besar dan kecil melintang pukang. Beberapa alat berat berjajar di tengah hutan. Timbul isengku. Aku turun sejenak. Rupanya di dekat alat-alat berat itu berdiri tenda para pekerja. Lalu sebagian lagi mereka ada yang tidur di atas pohon, membuat semacam rumah pohon. Ada sekitar dua belas orang pekerja. Aku benci sekali melihat alat-alat mereka. Mesin pemotong kayu dengan mata gergaji dari yang berukuran kecil sampai yang besar. Belum lagi mesin pengeruk tanah, dan lain sebagainya. Aku mencari di antara mereka siapa yang mengendalikan alat-alat berat ini. Kubuat separuh tubuhnya kaku, tidak bisa digerakkan. Lalu yang bertugas menebang kayu pun tak ketinggalan, ada tiga orang, kubuat tangan mereka tidak bisa bergerak, ada yang tangan kiri, ada yang tangan kanan. Selanjutnya kusapukan kabut di mata mereka. Biar semuanya menjadi rabun, lama kelamaan aku berharap mereka akan buta ayam. Kudekati alat-alat berat itu. Semua kuncinya kulebur agar tidak berfungsi lagi.
“Mampus kalian!” Ujarku geram. Lalu aku meluncur ke atas kembali, sebenarnya aku ingin menaburkan racun agar mati sawit-sawit yang telah ditanam ini. Tapi seketika aku ingat jika yang hidup di sana bukan hanya pohon sawit, ada semut, serangga, ular, dan hewan lainnya akhirnya kuurungkan. Aku turun kembali.
“Mengapa tidak jadi anak gadis? Kami bersyukur jika sawit-sawit ini mati.” Tiba-tiba dua sosok nenek gunung berdiri di hadapanku. Aku menatap keduanya.
“Maafkan saya Paman, siapa kalian?” Tanyaku sedikit curiga.
“Kenalkan namaku Muning Kriya dan ini Udai Satra. Sejak tadi kami memperhatikanmu Gadis. Nampaknya engkau datang dari jauh. Kami melihat engkau marah dengan pekerja-pekerja itu. Kalau boleh tahu, siapa namamu Gadis, dan apa hubunganmu dengan bangsa manusia itu?” Tanya Muning Kriya dengan logat bahasa daerah yang sangat kental. Aku segera mengenalkan diri. Lalu kusampaikan jika aku sedih melihat ribuan hektar hutan telah rata menjadi kebun sawit. Aku marah melihat pohon-pohon tinggi melintang pukang di mana-mana. Makanya ketika melihat alat berat berada di hutan ini, dan melihat para pekerja ada di sini, kurusak dan kubuat mereka semua lumpuh tangan, lumpuh kaki, lumpuh separuh badan dan rabun. Lalu kusampaikan juga sebelumnya aku hendak meracuni sawit-sawit ini, tapi ketika ingat ada makhluk hidup di sekitarnya, niat itu kubatalkan.

Aku menyalami keduanya. Dua lelaki kira-kira berusia tiga puluhan ini bertubuh tidak terlalu tinggi. Rambut keduanya lurus. Rahang keduanya agak menonjol sehingga wajah keduanya nampak tegas. Keduanya bercerita, mereka tinggal tidak jauh dari sini. Kampung mereka dekat telaga alam yang berliku di lereng bukit. Aku menatap ke arah yang mereka tunjuk. Bagian bukit yang melandai. Jadi perkampungan mereka ada di sana? Di kelilingi kebun sawit ini? Aduh! Aku membayangkan pasti pemukiman mereka ikut hancur, lalu apa mata pencaharian mereka? Sebagian lagi bangsa nenek gunung ini hijrah ke pedalaman, ke bukit-bukit lindung membuat dusun baru di sana. Kehidupan mereka makin terdesak? Wajar saja jika beberapa satwa, ada nenek gunung, gajah, ngamuk hingga masuk ke dalam pemukiman manusia, mereka telah kehilangan hutan hunian tempat mereka berlindung dan mencari makan. Belum lagi rusa, kijang, kambing hutan, dan lain sebagainya, mereka juga kehilangan tempat berlindung, lalu diburu.

Selanjutnya Muning Kriya dan Udai Satra bertanya aku hendak ke mana. Akhirnya aku ceritakan jika aku hendak ke bukit Putri Hijau hendak menemui seseorang.
“Bukit Putri Hijau? Di mananya itu? Lalu siapa yang hendak kamu temui Putri Selasih?” Tanya Udai Satra. Dari beliau aku tahu, jika di sana ada beberapa suku hidup berdampingan. Ada nenek gunung bersuku Serawai, Suku Minang, Suku Kerinci dan pedalaman Jambi, ada juga suku Rejang. Aku terperangah. Banyak sekali suku di sana. Sementara aku tidak tahu pasti Darang Kuning dari suku mana? Benarkah suku Rejang seperti kata Putri Bulan yang menduga-duga.
“Banyak sekali suku di sana, Paman. Aku kira hanya suku dari Bengkulu saja, Serawai dan Rejang. Aku tidak tahu pasti orang yang kucari dari suku mana. Namanya Darang Kuning.” Ujarku sedikit berpikir. Aku juga belum tahu seperti apa wajah Darang Kuning. Bagaimana jika ada dua Darang Kuning? Kemungkinan yang tidak terpikir olehku sebelumnya.
“Darang Kuning? Apa tidak salah Selasih? Apa tidak salah hendak bertemu dengan Darang Kuning?” Kata Udai Satra seperti tidak percaya. Aku membaca nada bicaranya.
“Paman Udai kenal dengan Darang Kuning?” Tanyaku.
“Siapa yang tidak kenal dengan Darang Kuning. Ayahnya Temenggung salah satu suku di sana. Hampir semua daratan Utara ini tahu siapa Darang Kuning.” Sambungnya lagi. Aku sedikit lega. Artinya tidak sulit mencari Darang Kuning. Banyak orang yang kenal dirinya. Dalam hati aku mengira-ngira, pasti Darang Kuning ini orang yang hebat. Anak seorang Temenggung. Artinya dia dari keluarga orang terhormat. Ah! Tidak penting bagiku anak siapa Darang Kuning. Mau anak Temenggung, anak rakyat jelata, anak raja, anak antu belau pun terserah. Yang penting aku ingin bertemu. Lalu menyampaikan sesuatu padanya.

“Pikirkan sekali lagi jika hendak bertemu Darang Kuning, Selasih” Ujar Muning Kriya. Aku kaget. Apa maksudnya pikirkan sekali lagi? Memangnya ada apa dengan Darang Kuning? Aku menatap wajah Muning Kriya penuh tanda tanya. Batinku mengatakan kedua nenek gunung ini jujur dan baik. Mereka polos. Pernyataan mereka membuatku ingin tahu siapa Darang Kuning sebenarnya.
“Ada apa dengan Darang Kuning, Paman?” Tanyaku penasaran.
“Setahu kami, Darang Kuning selain terkenal anak seorang Temenggung yang berilmu tinggi. Tapi sikapnya agak sombong. Selanjutnya hal yang yang tidak baik padanya ialah gemar kawin, entah berapa orang janda Darang Kuning di kampung itu. Darang juga suka berjudi” Sambung Muning Kriya. Aku baru tahu jika di alam manusia harimau ada juga yang suka kawin cerai dan berjudi. Sungguh baru kali ini aku mendegarnya. Selama ini yang kuketahui permasalahan nenek gunung umumnya berkaitan dengan kehidupan mereka diganggu bangsa manusia. Jarang sekali aku menemukan persoalan sesama mereka. Dan jika mereka bergesekan dengan manusia, pasti ada sebabnya. Mereka tidak bisa hidup sesuka mereka, jika menggigit atau makan manusia saja maka mereka akan dikejar sampai dapat dan akan dihukum adat. Hukuman mati! Di tanah Besemah belum pernah aku mendegar nenek gunung yang jabalan gemar berjudi dan kawin cerai. Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya. Kiranya inilah makna pepatah itu.

“Ada perlu apa dirimu hendak menemuinya Putri Selasih? Jika tidak terlalu penting, batalkan saja. Apalagi untuk menemui beliau konon tidak akan bisa ditemui di rumahnya, dia pasti ada di gelanggang. Sementara di sana orangnya kasar-kasar semua. Paman khawatir ketika mereka melihatmu. Seorang gadis belia, bisa jadi mereka melecehkanmu. Mereka itu jahat dan bengis. Selama ini tidak ada yang mau berurusan dengan Darang Kuning dan kawan-kawannya. Sebab pasti akan berbuntut panjang… ” Ujar Muning Kriya agak khawatir. Aku memahami kekhawatiran mereka. Artinya jika ke sana, sama saja seperti masuk ke sarang serigala. Tapi aku tidak takut. Justru aku ingin tahu seperti apa gelanggang itu?
“Ada hal sangat penting untuk kubicarakan langsung pada Darang Kuning, Paman. Makanya walau bagaimana pun aku harus bertemu dengannya. Karena ini berkaitan dengan masa depan seseorang.” Ujarku.

Ketika kami masih asyik berbicara, para pekerja perusahan sawit itu ada yang terbangun dan berteriak histeris membuat yang lain terbangun. Tak lama semuanya Berteriak panik dengan kondisi masing-masing. Suasana menjadi gaduh. Kuning Kriya dan Ubai Satra memandangku heran.
“Mereka telah kubuat lumpuh, Paman. Ada yang tidak bisa bergerak sama sekali, ada yang tangannya saja, ada kaki, ada juga separuh badan. Sesuai dengan berat dan ringan tugas mereka. Mata mereka juga telah kubuat rabun,” ujarku sambil tersenyum puas. Muning Kriya dan Udai Satra ikut tersenyum bahagia. Itu terlihat dari air Muka keduanya. Selama ini mungkin mereka enggan untuk melakukan protes seperti aku. Mereka masih sangat menjaga etika atau lebih memilih mengalah.
“Biarkan mereka, Paman. Mari kita pergi dari sini. Aku minta izin untuk melanjutkan perjalanan.” Ujarku bergerak hendak pergi.
“Tunggu Putri Selasih. Kamu mau berangkat sendiri? Bahaya, Selasih” Ujar Ubai Satra. Begitu juga Kuning Kriya. Matanya menatap khawatir padaku. Akhirnya kusampaikan aku tetap harus bertemu apapun resikonya. Akhirnya Muning Kriya dan Ubai Satra berembuk sejenak. Lalu keduanya sepakat menemaniku. Akhirnya kami bertiga melaju menuju bukit Putri Hijau.

Tak perlu waktu lama, sampailah kami bertiga ke wilayah bukit Putri Hijau. Aku melihat perumahan bangsa manusia di mana-mana. Aku mengerutkan kening, ternyata bukit Putri Hijau ini sebuah perkampungan manusia. Lalu dimana letak pemukiman suku-suku nenek gunung itu? Aku berjalan beriringan sembari mengamati perumahan-perumahan transmigrasi yang menyebar di jalan beraspal kasar. Lampu-lampu pijar menyala di halaman depan beberapa rumah. Tak lama Ubai Satra dan Kuning Kriya mempercepat langkahnya. Aku berusaha mengimbangi keduanya. Beberapa sungai kulihat berair keruh. Sungai-sungai ini adalah huluan sungai yang mengalir di bukit barisan. Sebagian mengalir ke sungai-sungai kecil dan besar hingga bermuara ke sungai Musi. Sebagian lagi bermuara ke laut Bengkulu, ke Samudera Hindia. Tak lama kami sampai pada puncak bukit yang berlembah landai. Benar kata Ubai Satra, di sini banyak sekali perkampungan nenek gunung dengan rumah panggung yang memiliki khas masing-masing, sesuai dengan sukunya. Aku tidak banyak bertanya tentang perkampungan yang tersebar di beberapa titik itu. Aku hanya mengamati rumah-rumah tiap kampung dengan bubungan yang berbeda. Beberapa mata mengawasi kami bertiga. Aku sapa mereka dengan melempar senyum.
“Inilah kampung Darang Kuning, Selasih. Arah utara belok ke kiri rumah Tamanggung.” Ujar Kuning Kriya padaku. Aku mengangguk sembari memerhatikan beberapa pohon tinggi, mirip dengan pohon kenari. Di selatan, bentangan sawah yang baru di garap hampir mirip dengan di kampungku. Pauknya lebar dan berair tenang, bukit-bukit mengalirkan air yang mereka alirkan dengan bambu-bambu menjadi pancuran. Berderet tapi di pinggir pauk yang tenang tempat mereka mandi dan mencuci. Di hilir, ada bilik-bilik kamar kecil tempat membuang hajat. Kampung nampak sepi. Hanya beberapa orang saja terlihat berjalan di gang antara rumah. Ubai Satra nampak berbincang-bincang dengan beberapa orang masyarakat di sana. Sesekali tangannya menunjuk ke arah bukit.
“Mari kita naik ke atas bukit. Di sanalah gelanggang tempat perjudian itu. Mereka bilang Darang Kuning ada di sana” kata Ubai Satra. Baru saja kami hendak naik, ada dua orang lelaki berwajah beringas dengan parang terselip di pinggang. Rambut kusut tak terurus, wajah berkerut, mata menyala seperti ada api, menghadang kami.
“Mau kemana sanak?” tanyanya sambil menatap padaku dengan pandangan penuh nafsu. Aku jijik melihatnya. Ingin sekali menghantam wajahnya.
“Maafkan kami, sanak. Kami dari dusun seberang. Kebetulan mengantarkan tamu kita ini dari jauh, beliau hendak menemui Darang Kuning.” Kata Muning Kriya lembut dan sopan menggunakan bahasa daerah.
“Hmm…apakah sudah ada janji?” Ujar kawannya sinis. Yang satu ini lebih menjijikan lagi wajahnya. Tak hanya memiliki mata mesum, tapi air mukanya meremehkan sekali. Apakah memang orang kampung ini tidak ada yang paham sopan santun? Aku membatin. Mengapa wajah mereka serem semua?

Muning Kriya dan Ubai Satra masih memperlihatkan sikap sopannya. Sementara tanganku sudah terkepal ingin sekali menghantamnya. Entahlah mengapa emosiku serasa mendidih sejak melihat dua makhluk sombong ini. Baru anak buahnya sudah membuatku sebel, apalagi jika berhadapan dengan Darang Kuning. Aku mencoba tersenyum pada mereka ketika keduanya menatapku seperti hewan lapar. Lewat tatapan yang kusipitkan kuserang mereka diam-diam.
“Aduh!” Keduanya kaget. Aku pura-pura tidak tahu. Keduanya mencari-cari siapa yang menyerang. Saat mereka berdua menoleh ke sana ke mari, kupelorotkan celana keduanya. Tali celana mereka sengaja kuputuskan. Mereka berdua saling pandang. Aku melihat wajah mereka seperti udang panggang. Aku masih pura-pura tidak tahu. Dalam hati aku ingin tertawa. Apalagi celana keduanya melorot sampai mata kaki. Saat mereka nungging buru-buru hendak menaikan celana, kutahan sejenak. Keduanya panik. Kulihat Muning Kriya dan Ubai Satra sama sepertiku memegang perut menahan tawa. Aku membuang muka saat melihat bagian terlarang keduanya yang gelap.
Busyet!!!

Bersambung…

2 tanggapan untuk “HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (65B)

  • 18 Juli 2020 pada 9 h 39 min
    Permalink

    HSHB jilid 65a nya blm terkategori, jd ngga masuk sastra budaya maupun cerita.

    Harus search manual.

    Balas
    • 18 Juli 2020 pada 19 h 26 min
      Permalink

      Salam perantauan.
      Terima kasih atas infonya.

      Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *