HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (67A)

Karya RD. Kedum

Ibu baru saja sampai dari Seberang Endikat bersama Bapak. Seperti biasa aku akan bertanya detil tentang Kakek Haji Yasir, lalu lanjut ke kakek Haji Majani, nenek Kam, kebun kopinya, dan sebagainya. Termasuk apakah masih utuh pancuran bambu tempatku bermain air bersama kakek Haji Majani dan kakek Haji Yasir. Seperti biasa sambil kular-kilir beres ini beres itu, kerja ini kerja itu, ibu terus nyerocos bercerita panjang lebar tentang apa saja yang kutanyakan. Termasuk buah ghukam di kebun kakek belum sempat dipetik tapi sudah habis dicuri anak-anak kampung.

Suatu hari kata Ibu, ketika anak-anak kampung itu pelan-pelan masuk kebun membawa karung hendak mencuri ghukam, diam-diam Bapak sembunyi di rimbun pohon kopi. Ketika anak-anak itu sudah naik semua, pelan-pelan Bapak ke luar sambil menyapa mereka dengan ramah berusaha agar anak-anak itu tidak merasa takut. Bapak malah menyuruh mereka mengambil sebanyak-banyaknya sembari menunjuk-nunjuk buah ghukam yang sudah matang. Anak-anak polos itu tidak menyadari kalau sebenarnya mereka dijebak Bapak. Setelah karung mereka penuh, Bapak malah membantu mereka menurunkannya. Setelah mereka turun Bapak pegang tangan mereka lalu Bapak ikat di pohon ghukam. Ketiga anak itu minta ampun bahkan menangis dalam keadaan terikat. Terus Bapak biarkan mereka berjam-jam di pohon sambil menjerit-jerit minta tolong. Bahkan ditakut-tajuti Bapak kalau di hutan kecil seberang kebun kita ada beruang madu. Kalau dia datang, pasti kalian bertiga dicabik-cabiknya. Ke tiga anak itu makin menjerit. Lalu Bapak tinggalkan membersihkan rumput di sekitar itu. Setelah bosan baru bapak hampiri, lalu ditanya apakah masih akan mencuri? Ketiganya berjanji tidak akan mencuri lagi dan meminta ampun.

Maksud Bapak, ketika mereka dilepas, buah ghukam yang mereka ambil disuruh bawa pulang, tidak tahunya pas lepas mereka berlari ketakutan. Dipanggil-panggil Bapak malah lari makin kencang. Mendengar cerita itu aku tertawa terpingkal-pingkal. Tidak terbayang bagaimana perasaan mereka. Pasti mereka merasa sangat cemas dalam keadaan terikat itu. Ketika kutanya, siapa saja mereka. Ibu menjelaskan anak si anu, anak sianu. Ternyata mereka masih tergolong cucu-cucu Bapak, karena orang tua mereka umumnya keponakan Bapak. Aku makin terpingkal-pingkal.
“Kalau aku di sana, Bu, akan kuplorotkan celana mereka ketika mereka mau naik” Ujarku. Giliran ibu yang tertawa.

“Itu tuuu, Bu. Ceritakan Ibung Idi ketika dia pulang dari bukit.” Ujar Bapak. Aku penasaran. Memangnya cerita apa? Ibung itu sapaan lain untuk bibi. Sementara Idi nama anaknya yang tentua. Beliau saudara sepupu kakek Haji Yasir dan Haji Majani.
“Oo…ceritanya bengini. Waktu ibung Idi pulang dari kebun kopinya di bukit hulu makam puyang Kedum Tengah Laman, seperti biasa kinjagh beliau penuh berisi kopi yang baru dipetik dan jamur gerigit yang beliau dapatkan di kebunnya. Terus di jalan beliau kebelet pipis. Hari sudah petang. Sementara jalan yang harus di lalui curam. Tidak ada tempat untuk meletakkan bawaannya yang berat atau mencari tempat untuk buang air kecil. Sementara desakan pipis sudah tidak bisa ditahan.

Akhirnya, merasa di jalan itu dia sendiri, tidak ada orang lain dari atas tebing sambil duduk meleprok di tanah, bukannya jongkok, beliau angkat kain sarungnya, terus dikucurkannya. Baru separuh pipis, tiba-tiba dari bawah mendongak Wak Bedus hendak naik tebing. Beliau melihat air mengalir kencang dari atas, kencing Ibung Idi. Bayangkan! Ibung Idi bukan main malu dan kagetnya. Mau dihentikan tidak bisa, buang air kecilnya belum selesai. Sambil menarik kain sarung untuk menutup-tutupi kemaluannya, ibung Idi bicara, ‘Aiii Bedus kenapa kamu lewat, aku belum selesai kencing. Akhirnya kamu ketiban sial kan melihat barang nenek-nenek,” cerita Ibu sambil terpingkal. Mendengar cerita ibu, belum selesai ibu bercerita aku sudah guling-guling membayangkan nenekku yang kocak itu. Setahuku Wak Bedus juga sudah berumur, bukan anak muda. Dan beliau bukan orang asing, tapi masih tergolong saudara nenek Idi.
“Lalu mengetahui nenek Idi pipis dari atas tebing, apa kata Wak Bedus, Bu?” Tanyaku. Kata ibu wak Bedus menegur sambil menahan tawa dan malu juga.
“Adak ngape sangka dengah tekemeh di tengah jalani, Bindu (Kenapa sampai pipis di tengah jalan, Bindu).” Kata Wak Bedus sambil menahan senyum. Nenek Idi terpingkal-pingkal sendiri sampai Wak Bedus lewat. Mungkin lepas dari tempat nenek Idi, Wak Bedus juga tertawa sendiri. Bapak yang mendengar cerita ibu ikut tertawa tidak bisa berkata-kata. Ada-ada saja cerita dari kampung. Aku jadi ingat, dulu aku juga pernah kencing di celana gara-gara kebelet, nek Kam lambat membuka pintu pondoknya, terus Macan Kumbang terus mengajak becanda. Ya sudah deh, akhirnya kukucurkan beneran meleber di lantai beranda pondok nek Kam.

Malam ini aku makan lahap sekali. Ibu masak daun ubi kayu, dicampur dengan jengkol. Pakai santan kental. Lalu ada sambel goreng, dan ikan asin kecil-kecil tipis digoreng garing. Ibu memang jago kalau soal masakan kampung. Kata ibu, agar daun ubi lunak dan enak rasanya, kalau digulai santan, maka gilinglah beras barang sejumput untuk ditambahkan ke bumbu dapurnya. Ada kunyit, lengkuas, cabe ala kadarnya supaya warnanya terlihat cantik, serei, daun salam, ketumbar, bawang putih dan bawang merah. Semuanya dihaluskan. Supaya kuahnya kental dan aromanya khas maka ikan teri sebaiknya digiling halus juga. Untuk asamnya pakailah tomat anggur atau asam kandis. Kata ibu.

Meski berulang kali ibu mengajariku, tapi tetap saja bumbu-bumbu itu tidak lengket dalam ingatanku. Kalau aku yang masak pasti kelupaan salah satu bumbu tidak masuk, atau keenceran, atau banyaknya sayur tidak seimbang dengan bumbu. Kadang rasanya pahit, mungkin kebanyakan lengkuas atau serai. Sudah capek masak ternyata tidak laku. Akhirnya, sejak itu kalau tidak beli lauk, aku cukup ceplok telur. Resep yang tidak perlu dihafal.

Usai makan, terasa sangat kenyang. Sampai bega gara-gara dua kali nambah, terus nambah sayurnya paket jumbo.
“Nafsu banget si, mentang-mentang ada jengkol.” Suara Selasih lirih. Aku tersenyum sinis padanya. Malas menanggapinya. Sudah lama kami tidak berantem. Aku lupa kapan terakhir saling ejek dengan Selasih.
“Dek, besok Wak Lidin mau pulang ke Selatan. Katanya mau ziarah. Kamu mau ikut tidak. Beliau ngajak Ibu dengan Bapak.” Kata Bapak menawarkan aku untuk ikut Wak Lidin tetangga belakang rumah. Beliau berasal dari Bengkulu Selatan. Katanya, Lidin mau merantau ke Bogor, jadi sebelum berangkat mereka punya tradisi ziarah ke makan leluhurnya. Makam yang dikeramatkan oleh keturunannya.
“Kok rame-rame, si Pak? Pakai ngajak tetangga segala?” Tanyaku.
“Iya, katanya mau potong kambing di sana” Ujar Ibu. Aku sejenak berpikir. Mau ziarah apa mau makan-makan? Kok potong kambing di makam? Usut punya usut ternyata tradisi di kapung Wak Lidin, kalau punya nazar, punya hajat, dan lain-lain ziarah ke makam keramat terlebih dahulu, lalu di sana dipimpin oleh sesepuh atau orang yang disepuhkan dari jurai tua. Sesepuh inilah nanti yang memimpin ritual, pertama menghamburkan beras kunyit, baru dilanjutkan membakar kemenyan kemudian memanggil, menyebut-nyebut nama leluhur yang dikeramatkan itu. Tidak lupa menyiapkan punjung. Punjung ini semacam sajen berisi bubur putih, bubur abang, kopi pahit, air putih, sirih lengkap dengan pinang dan kapur sirihnya, rokok kretek dan rokok nipah beberapa batang, telur ayam rebus, diletakkan dalam nampan. Lalu sebagai pelengkap di dalam bakul disediakan juga lemang pulut putih dan pulut hitam beberapa ruas kecil dan harus utuh, tidak boleh diiris atau dikeluarkan dari ruas bambu.

Punjung ini disebut sedekahan. Lalu sesepuhnya akan membaca mantra, terus bicara-bicara menyampaikan hajat dan tujuan, misalnya minta supaya yang punya hajat merantau selamat dan sukses, minta dijaga dan didampingi. Selanjutnya bisa juga bernazar, jika tercapai cita-cita dan keinginan mereka maka akan kembali memotong kerbau atau sapi, bisa juga kambing sesuai janjinya. Usai sedekahan, dilanjutkan dengan menyembelih hewan di sekitar makam, lalu dimasak untuk dimakan bersama.

Aku duduk sejenak, tercenung. Baru beberapa hari yang lalu aku bertempur dengan bangsa jin yang sengaja menyesatkan manusia di kaki gunung Bungkuk. Bahkan orang yang mencari wangsit di situ kutendang hingga masuk rawa di lembah. Sesembahan mereka kusapu bersih. Bahkan sarang jinnya kuhancurkan. Sekarang Wak Lidin mengajak Ibu dan Bapak. Kukira ritualnya kurang lebih sama. Aku berpikir bagaimana cara menghalangi agar Bapak dan Ibu tidak ikut. Meski alasan Bapak dan Ibu katanya belum pernah pergi ke Bengkulu Selatan, lalu ingin melihat adat istiadat di sana.

Keesokan harinya, aku pura-pura demam. Badanku kubuat panas tinggi. Sambil sedikit menggigil agar Ibu cemas. Lalu kaki Bapak kubuat kram tidak bisa berjalan. Akhirnya sandiwaraku berhasil. Bapak dan Ibu batal ikut Wak Lidin pulang ke kampungnya. Ketika Wak Lidin dan rombongan sudah pergi, kusembuhkan kaki Bapak. Beliau kaget kok bisa sembuh secepat itu. Aku pun tidak demam lagi. Ibu terbengong-bengong. Padahal beliau hendak memanggil mantri dekat rumah untuk memeriksa aku dan Bapak.
“Dosa tahu, ngerjain orang tua.” Selasih protes. Kujawab, bukan ngerjain tapi menghalangi demi kebaikan.
“Demi kebaikan apa, pas Wak Lidin pulang sore nanti, dilihatnya Bapak sehat, kamu juga sehat. Apa kata Wak, Bapak Ibu dibilang pembohong!” kata Selasih lagi. Aku kaget. Iya juga ya. Mengapa tidak terpikir olehku?
“Nah…nah..tuuu mau nyari akal lagi untuk berbohong. Nanti kalau Wak pulang, seisi rumah mau dibuat sakit? Jahat kamu, Dek!” Sambung Selasih. Waduh! Akhirnya aku tepuk jidat. Tumben Selasih kali ini cerewet dan cerdas juga. Dia balas bisikan batinku dengan mencibir dan preeet!!

“Benar, Ibu. Bahkan sampai sekarang masih terserakan beras kunyit dan tanah di dekat pintu rumahnya. Sengaja tidak disapunya dengan maksud mau nyari orang pintar dulu. Nyari dukun.” Aku mendengar suara Yuk Beso di pinggir jalan. Dalam hati aku bertanya, beliau sedang bercerita dengan siapa? Oh! Rupanya bercerita dengan ibu. Aku pasang telinga untuk mencari tahu rumah siapa yang beliau maksud. Beras kuning dan tanah? Dihambur depan pintu? Apa maksudnya?
“Sekarang Karnak sekeluarga masih di rumah itu apa pergi? “Tanya Ibu. Terus dijawab Yuk Beso, masih di rumah itu. Tidak ngaruh. Cuma tidak disapunya saja. Ibu manggut-manggut tidak bisa memberikan solusi. Hanya saja, mendengar beras kunyit dihambur depan pintu, kejadiannya malam-malam, menurut Ibu mistik juga itu. Kalau bukan ada tujuan dan unsur sengaja mengapa ada beras kunyit berserakan? Akhirnya keduanya terlibat obrolan-obrolan berkaitan ke alam gaib. Ibu yang semula pegang sapu lidi menyapu halaman, sapu lidi diletakkannya di tanah, beliau pindah berdiri di pinggir pagar melanjutkan obrolan. Melihat keduanya asyik, datang pula Ayuk Nur, orang Rejang yang rumahnya persis di seberang rumahku. Cerita pun makin seru. Hampir sepanjang gang mendengar suara dan tawa ketiganya. Matahari sudah sepenggalah, tapi obrolan tetap asyik tak ada sudahnya.
Buk!! Buk!!
Kujatuhkan dua mangga tua di halaman. Ketiganya kaget lalu berlari mencari mangga yang jatuh. Akhirnya ibu suruh bawa satu untuk Yuk Nur satu lagi untuk Yuk Beso. Obrolan tamat, ibu melanjutkan menyapu halaman lagi.

Aku masuk kamar, lalu mencoba melihat rumah kak Karnak yang menurut Yuk Beso ada beras kunyit dan tanah. Sesampai di sana aku melihat sosok pocong dan makhluk-makhluk aneh yang berkeliaran di depan rumah dan bengkel kecil usahanya. Melihat aku, Pocong lelaki ini rada-rada ketakutan tapi masih nyengir sambil mengeluarkan suara tertawa. Kutanya apa keperluan mereka kemari? Melihat mereka seperti hendak menyerangku, kusapu mereka dengan selendangku
Sekali gerak saja mereka terikat dan tak bisa lepas. Lalu kembali kutanya. Setengah berlomba mereka berteriak jika mereka disuruh. Pengakuan salah satu makhluk asral ini mereka sengaja disuruh dukun untuk menutupi usaha kak Karnak. Agar tidak ada orang yang datang servis mobil ke bengkelnya. Oh! Aku baru paham. Sebelumnya aku hanya tahu jika beberapa tokoh dan warung yang kutemui di pasar-pasar pakai penglaris, dengan macam-macam media. Bahkan pernah ketika aku hendak makan, melihat nenek-nenek tua berjalan-jalan di antara tamu yang datang. Pas dekat denganku, matanya terbelalak tidak suka. Ujung tongkat jeleknya yang dia pakai nutul setiap makanan kutangkap dan kupatahkan. Si nenek pun kuikat. Lalu kulempar ke dasar sungai. Yang lebih menjijikan lagi, ketika aku hendak makan di sebuah warung, tercium bau jin. Kucari dimana jinnya. Ternyata, sumbernya dari garam yang berasal dari air liur jin. Jadi garam itulah dicampurkan ke tiap makanan. Akhirnya garamnya kunetralisir. Dan kekuatan gaibnya kuobrak-abrik. Nah sekarang giliran bengkel sederhana kak Karna, sengaja ditutupi seseorang agar usah bengkel kak Karna tidak didatangi orang. Hmmm.. jahat.
“Katakan siapa yang menyuruh kalian?” Ujarku.

“Kami tidak boleh memberitahu siapa yang menyuruh kami.” Ujar makhluk asral bertubuh kecil tapi wajahnya tua. Dari penuturannya, jika mereka memberitahu siapa yang menyuruh mereka akan disiksa dukunnya.” Mendengar itu, kasihan juga pikirku. Ya udah kalian masuk ke sini aja, kuarahkan telunjukku mereka lebur jadi satu.

Aku berdiri di depan rumah semi permanen. Rumahnya bagus menurutku. Meskipun rumah ini letaknya strategis, namun nampak suram. Tidak ada cahaya. Aku langsung masuk. Kulihat si dukun tengah komat-kamit di depan dupa dan kembang rupa warna. Di sisinya benda-benda pusaka berjejer di balut kain hitam. Kuamati, ternyata dukunnya masih muda. Dalam pikiranku sebelumnya, yang namanya dukun pasti aki-aki atau nenek tua. Ketika dia membaca mantra memanggil semua makhluk laut, langit, bumi, kuhalang-halangi. Mantranya tidak sampai-sampai. Tiba-tiba beliau mengetahui jika aku menghalanginya. Dia hantamkan pukulannya padaku. Aku menghindar. Sekali ayun, kuhancurkan sesembahan dan beberapa benda ritual di kamarnya. Si dukun muda makin ngamuk. Beberapa kerisnya ikut terbang menyerang. Dalam hati aku salut juga dengan dukun muda ini. Senjata pusakanya serentak membantu. Kuayunkan selendangku, keris-kering itu terbang ke sana kemari menghindar sambil mengirimkan energi mematikan.

Aku mencoba menarik energinya. Beberapa keris bisa kutangkap. Wow! Luar biasa! Energi panasnya seakan membakar seluruh tubuhku. Kusalurkan energi dingin untuk melawan energi panas tersebut. Permata biru di telapak tanganku sontak mengeluarkan cahaya, seperti ikut menghisap hawa panas dari keris-keris yang telah kugenggam. Selanjutnya aku salurkan energi matahari. Keris-keris itu kuremuk. Dalam sekejap, lebur seperti abu.

Huf!!!! Brak!!!
Satu hantaman ke bumi, kukunci tubuh si dukun hingga beliau terjerengkang dan tak bisa bergerak lagi. Anak buahnya langsung kutarik dengan selendangkku pun kulakukan hal yang sama, meleburnya menjadi abu. Sang dukun mengerang seperti naga kehilangan gigi. Suara dengusnya mirip kuda yang berlari jauh. Kubiarkan beberapa saat dia setengah mampus. Aku melihat beberapa bayangan kabur meninggalkan ruang ritual. Keris yang semula bergoyang, serentak berhenti.

“Matilah kau iblis…mati kuuuu” Sang dukun masih sempat menyumpah-nyumpahiku kuarahkan telunjukku dengan geram. Kuambil semua energi dan kekuatannya. Beberapa makhluk asral yang semula patuh dengan si dukun kuperintahkan menyiksanya.
“Ayoooo sini para iblis. Lihat tuan kalian, dia tidak bisa lagi memberi makan kalian. Malah dia menyumpah-nyumpahi dan menyebut kalian supaya mati.” Ujarku. Kali ini aku pandai mengadu domba. Jin peliharaan sang dukun ramai-ramai menyerang tuannya. Aku tertawa sambil melenggang pergi. Kubawa satu sosok pocong, akan kuletakkan dihadapan orang yang sudah berniat jahat dengan Kak Karnak. Biar dia juga merasakan bagaimana diteror makhluk asral. Aku ingin lihat. Lalu dia akan berobat ke dukun juga tentunya. Akan kuhajar lagi dukunnya sampai setengah mati.

Bersambung….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *