HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT II (23)

Karya RD. Kedum

Setelah agak lama berpikir, akhirnya aku menemukan ide. Bagaimana pun aku tak ingin kawan-kawanku jadi bulanan anak-anak nakal itu.

Aku tidak berani bercerita dengan orang tua atau kakakku perihal anak Tebat Baru. Begitu juga dengan kawan-kawanku, mereka aku ingatkan untuk tidak  bercerita dengan orang tua mereka.  Aku  hanya khawatir orang tua-orang tua akan cemas, tidak hanya merepotkan mereka akan tetapi nanti akan melibatkan orang tua jauh  lebih runyam.

“Begini saja kawan-kawan, masing-masing kalian besok pakai sabuk pramuka atau sabuk yang berkepala besi dan yakinkan mudah untuk ditarik. Sabuk itu kita jadikan  senjata  untuk melawan musuh kita. Ketika lawan hendak menyerang kalian, ayunkan sabuk ini ke arah mereka. Jika tidak sempat menarik sabuk, siapkan di tangan kalian balsam panas. Pastikan kalian bisa mengusapkan balsam itu ke mata atau wajah  mereka. Kalian jangan takut. Biasanya anak-anak itu ketika berkelahi  kalau tidak menarik baju atau menarik rambut kalian. Kalian jangan ikut-ikutan berkelahi seperti itu. Kalian yang berambut panjang ikatlah rambut kalian. Kalian harus tunjukkan kalau kalian berani dan tidak bisa ditindas.” Ujarku menyemangati.

Ternyata sahabat-sahabatku paham semua dan kulihat keberanian mereka mulai tumbuh. Akhirnya kami batal bermain. Kami pindah ke tanah kosong di belakang ruko Bapakku untuk diskusi tentang strategi perlawanan besok. Menjelang petang, kami bubar, pulang dengan semangat kebersamaan.

Malam ini, aku yakin kawan-kawanku pasti sulit tidur. Sama sepertiku. Darah terasa berdebur,  menghantam dada setiap kali teringat besok kami akan   berkelahi.  Malam ini semestinya  adalah malam yang paling tenang. Tapi aku justru gelisah. Ketika berhadapan dengan nenek gunung aku tidak risau.  Tapi memikirkan kawan-kawanku yang tidak biasa  berkelahi, cukup membuatku khawatir.

Aku menatap wajah nenek Kam.  Nenek Kam tidur sangat tenang. Macan Kumbang juga tidak nampak. Aku tidak ingin melibatkan mereka. Termasuk juga Putri Selasih.  Aku ingin  kawan-kawanku belajar menyelesaikan masalah  sendiri.
“Iya, nenek tidak akan turut campur. Makanya tidurlah sekarang. Sudah malam. Istrirahat yang cukup biar besok punya tenaga untuk berkelahi”  Bibir nenek Kam bergerak dengan mata tetap terpejam.

Aku langsung berbalik badan memunggungi nenek Kam. Aku tidak ingin membicarakan perkelahian dengan nenek Kam. Nanti malah dihalaginya. Bisa buyar rencana besok kalau nenek Kam ikut campur. Aku tidak bisa memberi pelajaran pada anak Tebat Baru itu.

Akhirnya aku terlelap juga. Ketika terjaga waktu sudah pukul 06.00 WIB. Aku langsung mengambil handuk menuju kamar mandi.  Pagi ini aku tidak mau diatar kakak sulungku bersepeda. Aku ingin pergi sendiri.
Aku akan jemput kawan-kawanku lebih awal.  Untuk sampai ke sekolahku, ada dua jalan sebagai pilihan. Demi menghindari bentrokan lebih awal dengan anak Tebat Baru, akhirnya kami berjalan lewat jalan masjid Raya menuju Talang Cepit sekolah kami.

Acen salah satu temanku tidak sekolah hari ini. Rupanya dia sakit. Mungkin juga tidak berani menghadapi anak SD 10 yang berniat menantang kami hari ini.  Detik-detik pulang sekolah membuat jantungku berdegup semakin  kencang.   Wajah kawan-kawanku juga nampak tegang. Aku mencoba menghibur mereka dengan cerita-cerita lucu. Jumlah kami ada dua belas orang. Aku membagi delapan orang yang akan  berhadapan dengan penantang, selebihnya kusuruh mengawasi dari jauh dan jangan serentak mendekat. Aku berpesan jika ada teman kami yang kira-kira butuh bantuan merekalah yang wajib turun tangan. Mereka pun kami wajibkan membawa balsam. Kesiapan kawan-kawan  kuperiksa.  Kami sengaja keluar gerbang  agak terakhir menunggu  sekolah mulai sepi.

Kira-kira seratus meter dari pintu gerbang, benar saja. Anak SD 10 keluar dari balik pagar dan lorong di pinggir jalan. Mereka sudah menunggu kami sambil bersembunyi rupanya.  Aku melihat mereka anak-anak yang kemarin membokongku dari belakang. Aku hanya menatap mereka satu-satu tanpa suara. Kawan-kawannku berdiri di belakangku. Sama sepertiku, tidak bersuara. Sekilas aku berpikir serasa main film laga. Tapi ini kejadian di dunia nyata. Kami bukan main film. Yang akan kuhadapi adalah anak-anak yang gagal dalam pendidikan akhlak dan budi pekertinya. Dan aku ingin memberikan pelajaran pada mereka.

“Kami belum merasa kalah. Hari ini kita duel satu lawan satu. Tapi ingat dengan syarat kalau kalian kalah, kalian harus menyetor sejumlah uang setiap hari pada kami. Kedua, apapun milik kalian yang kami inginkan jangan pernah menolak jika kami minta. Tapi jika kami kalah maka kami tidak akan mengganggu kalian. Bahkan kalau ada yang berani mengganggu kalian, kamilah yang akan membela kalian.” Aku tersenyum mendengar syarat yang ditawarkan. Pikirnya dengan ancaman itu dia bisa membuat kami tunduk.

“Hei, Anjing! Kalian kira kami akan begitu saja patuh dengan kalian. Tidak seujung kuku pun kami akan menerima ancaman kalian.  Sombong!” Aku meludah ke tanah. Aku sengaja melakukan itu untuk memancing emosinya. Apalagi kemarin mereka mengeroyokku, ada rasa dendam di hatiku untuk membalasnya. Hari ini aku harus buat perhitungan  pada mereka dan mereka harus tunduk padaku.  Benar saja, melihat aku meludah ketua kelompok mereka langsung emosi. Dia merasa terhina. Aku kembali meludah persis di depannya nyaris kena kakinya.   Kembali dia mendekat  dan hendak menarik baju dan rambutku.

Biasa cara perempuan kalau berkelahi jurus yang dipakai adalah tarik baju dan jambak rambut. Aku menangkis tangannya sembari  merunduk. Dengan cepat kusapu kakinya. Ketua geng terjerengkang seketika. Kepala dan punggungnya terhempas di tanah berbatu. Wajahnya merah padam. Dia nampak malu sekali.  Ternyata jadi ketua geng cuma modal sok garang. Menghindari sabetan kakiku saja  tidak bisa.

Tiba-tiba salah satu kawannya maju dan hendak memukulku.  Akupun membuat gerakan tipuan, secepatnya aku menyapu kakinya dan dia pun ikut  terjerengkang. Melihat perkelahian sudah dimulai, pihak lawan semakin maju.

Kawan-kawanku pun nampaknya sudah tidak sabar. Perkelahian masal tak dapat dihindari. Aku melihat kawan-kawanku melakukan perlawanan. Suasana menjadi riuh redam. Kulihat Merry paling lincah bergerak di bandingkan yang lainnya. Jika yang lainnya masih seperti bergulat, berbeda dengan Merry, dia memainkan sabuknya dengan cara di putar. Akibatnya lawan tidak berani mendekat padanya.  Putaran sabuknya mengenai wajah, tubuh bahkan ada yang kena kepala.

Aku mendengar pihak lawan banyak yang menjerit kesakitan. Rata-rata mereka memegang mata dan sibuk mengelapnya dengan ujung baju. Ternyata senjata afitson benar-benar digunakan kawan-kawanku. Lalu dengan leluasa sabuk mereka sebatkan ke tubuh  lawan hingga mereka lari tunggang-langgang menghidar sembetan menahan sakit.  

Pertikaian hanya berlangsung beberapa menit saja rupanya.  Semula jalan depan bedeng Hamza ramai suara kawan-kawanku yang menjerit histeris, memberi komando dan ancaman, tiba-tiba sepi.  Ketua kelompok lawan ditinggal kawan-kawannya sendiri. Dia tidak sempat melarikan diri karena tangannya kupelintir. Aku yakin, sekali  bergerak, maka akan lepas engsel bahunya. Kawan-kawanku yang hendak memukulnya aku larang. Akhirnya mereka hanya  menahan geram dalam hati .

“Ampun-ampun, iya… aku  mengaku kalah, ampun kami kalah” Wajahnya nampak meringis menahan sakit. Peluh mengucur di keningnya. Tapi aku tidak mau  melepaskannya begitu saja. Dengkulku kukencangkan  menekan punggungnya. Sementara tangan kirinya hanya bisa bergerak-gerak ke atas tanda menyerah.
“Makanya jadi orang jangan sombong. Kamu kira Pagaralam ini milik nenek moyangmu sehingga seenak perutmu mengatur orang lain? Anak lain mungkin bisa kamu ancam tapi pantang untuk kami. Kamu jangan coba-coba mengancam dan menyakiti siapapun. Kemarin kamu sudah tidak mampu melawan kami.  Kemarin juga kamu sudah berani mengeroyokku. Apa masih kurang hantamanku yang sudah membuat pecah bibirmu?” Ujarku.

Akhirnya kulepaskan tangannya. Dengan gemas secepat kilat kutampar pipinya. Aku yakin dia tidak hanya merasakan  sakit namun perih dan berdenging. Terakhir  kudorong  dan dia  terjerengkang.  Kali ini dia benar-benar tak berdaya. Aku masih ingin memberikan pelajaran padanya. Beberapa kawanku yang terpancing emosinya, tak segan menarik rambutnya hingga tercabut beberapa lembar. Ketua kelompok lawan makin takut. Dia tahu tidak apakah akan bisa kabur. Akhirnya hanya mengucapkan kata aduh dan ampun.

“Ampun…Ampunkan aku. Kami mengaku  kalah dan tidak akan menggangu kalian lagi.” Dia menangkupkan kedua tangannya. Ternyata hanya sebatas ini nyalihnya.  Tanganku pura-pura siap memukulnya kembali. Kulihat dia tertunduk sembari melindungi kepalanya. Padahal aku hanya pura-pura saja. Kalau aku mau, bisa saja  kupecahkan kepalanya. Tapi tidak, aku yakin dia benar-benar  takut. Apalagi jumlah kami banyak dan masih dalam keadaan emosi. Sementara dia sendiri dan belum sempat melakukan perlawanan apa-apa.

Melihat ketua kelompok lawan sudah ketakutan, kawan-kawanku berteriak gembira. Serentak mereka meneriakan kata menang sambil berpelukan dan melompat-lompat membuat sebagian masyarakat yang tinggal di bedeng Hamzah ke luar rumah. Sang ketua kelompok kusuruh minta maaf dan menyalami kawan-kawanku.  Lalu kami membiarkannya pergi begitu saja. Kawan-kawanku masih meluapkan kegembiraan sambil berteriak-teriak sepanjang jalan.

Aku bahagia sekali melihat ekspresi  mereka. Beberapa di antara mereka yang kukenal penakut, hari ini seperti pendekar yang gagah perkasa. Mereka pulang dengan bangga meski ada beberapa orang yang pipi dan tangannya merah-merah terkena balsam,  senjata makan tuan.  Pasti besok mereka akan bercerita seru dengan kawan-kawan lainnya karena mereka hebat telah mampu membuat lawan terbirit-birit.

Dalam hati aku berterimakasih karena Putri Selasih tidak ikut campur urusanku. Termasuk Nenek Kam dan  Macan Kumbang tidak menampakan diri seperti kemarin. Aku merasa sangat merdeka dan merasa paling dewasa.  
“Preeet!” Tiba-tiba suara Putri Selasih mengejekku. “Sombong” Ujarnya kembali.
“Kok sombong?” Tanyaku.
“Lah iyalah, merasa paling dewasa, merasa paling mandiri, apa itu tidak sombong namanya?” sambungnya lagi. Aku menarik nafas panjang sembari istighfar. Apa yang disampaikan Putri Selasih ada benarnya. Dalam hati aku memujinya. Ternyata dia cerdas juga meski tidak sekolah.
“Weww” Putri Selasih kembali mengejekku. Aku tahu pasti yang ditanggapinya masalah tidak sekolah. Aku senyum-senyum sendiri.

Sampai di rumah aku kaget melihat di depan ruko Bapakku ramai orang berkerumun tidak seperti biasanya. Rupanya  ada satu orang anak didampingi beberapa kawannya tengah  mencari bapaknya sambil menangis. Setelah kuamati rupanya  anak Tebat Baru lagi. Dia adalah salah satu yang  dihajar Merry. Rupanya dia mencari bapaknya hendak mengadu, minta pembelaan.

Melihat anaknya menangis dengan mata merah dan bengkak di bagian pipi,  si Bapak mencak-mencak. Bekas sabetan sabuk di pipinya dapat kurasakan pasti perih dan  sakit sekali.  Belum lagi bekas balsam, sebagian kulit wajahnya memerah.  “Siapa yang membuat kamu babak belur seperti ini? Kita cari! Jangan dikira kita akan diam, Bak bunuh dia. Masuk penjara Bak nggak takut!” Ujar mang Ali. Aku kaget ternyata dia anak Mang Ali. Mang Ali membetulkan pisau di pinggangnya. Di raihnya  tangan anaknya. Beliau  berniat mencari tahu siapa yang mencelakai anaknya.  

Mang Ali, adalah salah satu kuli yang bekerja di gudang Bapakku. Ketika mataku beradu dengan anak Tebat Baru itu, dia kaget.  Tangisnya tiba-tiba terhenti.  “Ayo siapa yang mengganggumu? Dimana rumahnya. Kita datangi! Memang Bak penakut?  Kita buyarkan isi perutnya” Ujar Bapaknya seperti preman terminal. Mulutya seperti jalan tol, los tanpa hambatan.  Gampangnya  berbicara. Seolah-olah nyawa manusia tidak ada gunanya.

Aku melihat mata Nek Kam berkedip. Macam Kumbang menganggukan kepalanya. Mereka menyuruhku berbicara.
“Mang Ali, dia ini anak Mamang?” Tanyaku
“Iya, anakku ini paling pendiam. Dia ini kesayangangan gurunya. Paling rajin sekolah.  Dia  tidak pernah mengganggu orang.  Kalau melihatnya seperti ini, aku tidak terima. Mari Nak, dimana  rumah orang yang membuatmu seperti ini. Kita cari!” Ujarnya dengan nada masih  tinggi.
“Nanti dulu Mang, anak Mamang ini kemarin bersama sepuluh orang kawannya menghadang aku dengan teman-temanku sepulang sekolah. Tas dan baju kawanku ditarik-tarik. Mereka hendak minta uang dan mengambil alat-alat tulis kawanku. Tapi berhasil aku gagalkan. Sesudah itu, ketika aku melintas jalan pasar proyek, dia bersama sepuluh kawannya menghadang aku sediri. Mereka mencoba mengeroyoku. Bahkan dia ini  salah satu yang  menyerangku pakai kayu. Hari ini,  bersama rombongannya kembali menghadang kami,  mereka mengirim surat menantang kami untuk ngajak duel siang ini.  Kalau wajah anak Mamang babak belur seperti ini karena salahnya sendiri. Meski kemarin sore sudah dihajar tapi rupanya belum kapok juga.” Ujarku bersemangat.

Tiba-tiba Bik Sumi mengeluarkan baju dan tasku yang kotor dan koyak.
“Ini mang Ali buktinya kalau kemarin mereka mengeroyok Dedek. Lihat ini baju dan tas Dedek tidak saja kotor, tapi juga koyak” Ujar Bik Sumi membelaku. Entah dari siapa beliau tahu perihal baju sekolahku kotor dan koyak.  Mang Ali diam seribu bahasa.  Ekspresinya yang garang dan berapi-api berubah kalem dan merah.  “Lain kali, tanya dulu baik-baik  anakmu. Jangan biasakan menerima laporan  sepihak.  Belum tentu laporannya benar. Tanpa kamu sadari kamu sudah mendidik  anakmu menjadi pribadi yang kasar dan malas berpikir. Membela anak, ada waktu dan tempatnya. Pahami dulu semua persoalan anak dengan baik.” Bapak menegur Mang Ali setelah melihat tingkahnya mirip babi mabuk asam. Tidak jelas mau ngamuk dengan siapa dan tidak tahu duduk persoalannya.  

“Itu wajahnya kenapa Dek, kalian apakan?” Tanya Bapakku.
“Dihantam pakai sabuk dan balsam kawanku, Pak.” Ujarku sedikit ragu. Bagaimana pun aku takut juga karena menyabet pakai sabuk dan balsam itu murni ideku.
“Kawan-kawanku kan tidak pandai berkelahi, jadi kuajarkan pakai senjata untuk melawan mereka ini.” Sambungku lagi.
“Kamu kok tidak cerita kalau kemarin kamu dikeroyok? Sebelas orang? Untung kamu tidak mati” Ujar Bapakku. Nada bicaranya sudah mulai emosi. Aku sudah dapat menduga, Bapak paling tidak suka  mendengar pengeroyokan. Berbeda jika bekelahi satu lawan satu, mau sampai berdarah pun tidak apa. Beliau tidak marah.  Itu sportif kata beliau, asal jangan pakai sejata tajam. Demikian beliau mengingatkan. Aku bersyukur Bapakku tidak memperlakukan aku seperti anak perempuan pada umumnya. Aku dibiarkan tumbuh dan disuruh perbanyak belajar pada alam dan lingkungan. Malah disuruh belajar kung fu. Padahal beladiri itu tidak ada feminim-feminimnya.
“ Ali, sekarang ajak anakmu mengumpulkan kawan-kawannya yang mengeroyok Dedek kemarin. Bawa mereka kemari. Saya tunggu sampai pukul 15.00 Wib. Kalau tidak akan ku obrak-abrik Tebat Baru dan kuseret anak-anak itu sampai dapat. Jangan sampai aku turun tangan” Perintah Bapakku tegas.

Mang Ali menciut takut. Beliau hanya bisa menganguk-angguk tanpa bersuara. Lalu minta izin pulang dan berjanji pukul 15.00 Wib dia akan datang bersama anak-anak yang mengeroyokku. Benar saja, tepat pukul 15.00  Wib. Mang Ali bersama sebelas anak Tebat Baru sudah berkumpul di gudang Bapakku. Beberapa orang didampingi oleh orang tuanya.  Sungguh sangat kebetulan  ketika mereka kumpul kak Yudikat datang. Hanya saja beliau tidak menggunakan pakaian loreng tentara. Kak Yudikat mengambil alih peran Bapak setelah mendapat laporan kalau anak-anak ini mengeroyok dan berusaha memalak aku dan kawanku.

“Saya mau tanya, siapa di atara kalian yang siap dimasukan ke  penjara? Sebab apa yang telah kalian lakukan adalah tindakan kriminal, kejahatan murni. Penjahat harus di hukum. Kalian kecil-kecil sudah berbakat menjadi penjahat. Jadi patut dihukum” Ujar kak Yudikat.  

Anak-anak itu terlihat menggigil. Hanya yang lelaki saja masih cengar-cengir mendengar kata-kata kak Yudikat.
“Hei! Banci! Kamu banci kan?” Ujar kak Yudikat menyentuh bahunya. Dijawabknya dengan gelengan kepala sembari masih senyum-senyum.
“Kalau bukan banci, tak mungkin kamu berani ikutan  mengeroyok anak perempuan sekecil ini.” Ujar Kak Yudikat lebih keras lagi.  Kak Yudikat sangat marah ketika kuberi tahu kalau dia menginjak perutku.
“Tapi kakiku sudah keseleo dipelintir sama dia” Ujarnya membela diri. Mungkin maksudnya imbas perbuatannya dengan balasanku.
“Ini belum setimpal dengan kelakuanmu! Mestinya kakimu dipatahkan sekalian. Berhenti cengar-cengir. ” ujar Kak Yudikat dengan nada tinggi.

Mendengar kata  penjara, sepuluh orang  lainnya menangis sesegukan sembari berkata minta ampun, dan tidak akan mengulangi perbuatannya kembali. Lama kak Yudikat menasehati mereka. Terakhir mereka disuruh membuat surat perjanjian. Dan wajib lapor selama seminggu.

Aku mengedipkan mata dengan Macan Kumbang yang tersenyum lebar sembari mengacungkan ke dua jempolnya. Seketika dirinya berubah menjadi macan dan melompat girang dari karung satu ke karung lainnya. Tiba-tiba, brak! Aku tertawa terpingkal-pingkal. Ternyata macan kumbang bisa tergelincir juga. Kakinya salah menumpu pada tumpukan  karung yang kosong.  Tubuh besarnya  terjerembab. Mendengar aku tertawa terpingkal-pingkal semua menoleh. Aku segera menutup mulut dan berlari ke dalam meninggalkan orang yang masih menatap heran.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *