HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT V (77B)
Suasana dalam masjid tak kalah nyamannya dengan di dalam goa. Bedanya di sini ramai, semua sibuk dengan ibadah masing-masing. Aku bertasbi tanpa putus. Masya Allah, jika berzikir aku merasakan sang Khalik begitu dekat, ketika khusuk bertasbih ada nuansa kegembiraan memuji kebesaran sang Khalik bersama semesta alam. Aku bersama seisi alam seakan berlomba memuji kebesaran Sang Maha. Semakin lama, jiwaku semakin hanyut pada dengung tasbih.
Masjid yang luas ini pada hakikatnya tidaklah sunyi seperti semua kulihat. Meski semua nampak diam namun bibir mereka bergerak, dan suara itu semakin lama semakin ramai dan menyatu. Suara-suara itu seperti dikomando, serentak seirama tanpa ada yang saling mendahului. Semua tertata sedemikian rupa tanpa ada yang mengkomando. Aku ikut terhanyut pada satu kenikmatan yang sulit pula untuk kulukiskan.
Gelombang energi tasbih seperti cahaya keemasan menyebar ke seluruh ruang. Aku merasakan bukit ini dinaungi cahaya keemasan memantul hingga jauh. Setiap orang yang mampu melihatnya dengan mata batin, maka mereka akan melihat bukit ini seperti dianungi cahaya jingga yang lembut mirip seperti cahaya fajar yang menyingsing dari timur. Terang namun tidak menyilaukan.
Subhanallah Wabihamdihi, Subhanallah Wabihamdihi, Subhanallah Wabihamdihi. Aku merasuk dalam nikmat puja-puji itu. Tak ada yang paling suci kecuali yang pemberi hidup. Sadarlah aku, pada kekerdilan diri. Aku tak ada apa-apanya.
Aku sedikit tersentak ketika ada yang menyentuh bahu kananku. Pelan-pelan kubuka mata. Seorang wanita bermata biru tersenyum padaku lalu meunjuk ke arah ruang mirip jalan. Aku segera menoleh ke arah yang beliau tunjuk. Di sana ada Paman Adam dan Macan Kumbang berdiri sembari melambai. Aku segera berdiri dan menyalami perempuan bermata biru lalu pelan-pelan melangkah menghampiri Paman Adam dan Macan Kumbang.
“Mari Selasih,” Paman menyilahkan aku berjalan mendahuluinya. Macan Kumbang tersenyum lebar. Hasrat hati ingin langsung memeluk Macan Kumbang saking atusiasnya. Dua hari tak bersua tapi terasa sudah sangat lama. Akhirnya aku berjalan didepan Paman Adam dan Macan Kumbang.
“Ke arah mana lagi kita, Paman?” Tanyaku ketika berada di pelataran simpang empat.
“Lurus saja Selasih,” Jawab Paman Adam pelan. Aku melanjutkan lagi perjalanan. Di sisi kiri kana aku melihat beberapa sosok ada yang tengah mengadakan solat sunah ada juga yang duduk itikaf, membaca Al Qur’an di atas permadani berwarna coklat tua.
Rasanya aku pernah melihat aktivitas ini, aku membatin ketika melihat anak-anak sebaya berusia sekitar tujuh tahunan belajar agama dipimpin oleh seorang syech. Tempat belajar mereka satu ruangan dengan masjid yang nyaris seperti tak punya batas ini.
“A Fung” Aku teringat A Fung kala melihat anak-anak ini. Iya, mereka seusia A Fung. Dimana adikku satu itu. Aku ingin sekali mendengar cerita spiritualnya. Apakah dia ikut menungguku? Aku berkeinginan bisa segera sampai dan berkumpul dengan orang-orang tercinta.
“Belok kanan, Selasih.” Paman Adam mengingatkan. Aku pun berbelok. Jalanan sepi. Hanya beberapa sosok saja berpapasan dengan kami di jalan ini. Ini masih area dalam masjid. Jalan ini tidak ada cabangnya. Aku masih terus berjalan menunggu perintah akan berhenti atau terus berjalan ketika ujung jalan terbentur tangga. Akhirnya aku naik tanpa menunggu perintah.
Aku berpegangan pada sisi tangga. Terasa sejuk karena angin dari atas seperti kipas angin berhembus ke bawah. Cukup jauh juga tangga ini. Bagian tengah mulai menikung ke arah kanan. Di atas puncak seberkas cahaya membias. Apakah cahaya matahari atau lampu, aku tidak tahu. Tapi aku merasa bukan di area masjid lagi. Ini jalan ke luar.
Setelah sampai di puncak tangga, aku tidak merasakan angin mendesing seperti tadi. Cahaya yang membias rupanya bersumber dari cahaya bulan yang belum bulat sempurna. Berada di puncak bukit membuat bulan terasa sangat dekat. Seakan bisa dijangkau dengan mudah. Di hadapanku ada jalan kecil menghubungkan lorong tangga menuju sebuah rumah baghi, bubungannya terlihat seperti tanduk kerbau terlihat dari puncak jalan. Runcing kiri dan kanan lalu melengkung di tengah, mirip rumah adat Minang,. Aku merasa sedikit asing, karena memang belum pernah ke mari. Sebenarnya batin ingin bertanya, bukit apa ini. Lalu rumah bagi siapa? Tiba-tiba aku seperti diperkampungan biasa. Yang membedakan hanya rumah baghi saja.
Mataku segera menyapu sekitar. Di sisi kanan bukit ada jurang yang menghubungkan bukit di seberang. Cukup jauh untuk sampai ke bukit seberang itu. Tempatku berdiri saat ini adalah bukit tertinggi dibandingkan dengan bukit-bukit di sekeliling. Meski nampak tinggi masih saja aku melihat pondok-pondok petani. Artinya perkebunan sudah sampai di sini.
Auuuuum..gggrrrrraahh!! Suara auman harimau. Aku menatap Macan Kumbang dan Paman Adam dengan maksud ingin penjelasan. Tapi wajah keduanya biasa-biasa saja. Apakah mereka tidak mendengar auman itu? Sekali lagi aku mendengar harimau itu mengaum. Aku panik. Karena auman itu adalah auman minta tolong. Aku menoleh ke sumber suara. Jurang mengaga sangat dalam. Auman itu bukan dari alam gaib. Tapi dari alam nyata. Itu suara harimau benaran, bukan harimau jadi-jadian. Aku membatin. Melihat Paman Adam dan Macan Kumbang tidak respon aku segera diam sejenak. Kucari sumber suara sembari mencari lokasinya. Aku mencoba menelusurinya melalui batin. Suara auman minta tolong tidak terdengar lagi. Aku kembali menajamkan pancainderaku. Hening. Kemana harimau itu? Apa yang terjadi padanya? Tadi dia mengaum minta tolong. Batinku kembali risau. Ada kekhawatiran mendera batinku. Aku tidak ingin hewan itu mati tanpa sempat ditolong terlebih dahulu. Merasa berpikir sendiri, aku teringat kakek Njajau.
“Kek, bantu aku. Aku mendengar auman harimau di sekitar bukit ini. Tapi aku tidak menemukannya. Tolong Kek, mungkin dia terluka.” Suaraku sedikit bergetar. Aku benar-benar cemas. Kecemasanku semakin memuncak ketika kakek Njajau tak dapat kuhubungi. Aku tidak mendapat jawaban beliau.
Dalam keadaan cemas, aku teringat kakek Andun. Kupanggil-panggil beliau. Aku juga minta pertolongannya. Namun beberapa kali memanggil beliau pun tidak ada jawaban juga. Aku bertanya pada diri sendiri. Mengapa tidak tembus memanggil mereka? Aku kembali panik.
“Eyaaaang” Batinku menjerit. Padahal aku tahu beliau masih berzikir di dalam goa. Beliau pasti terganggu olehku.
“Tingkatkan dan asah kembali batinmu, Nduk,” jawab Eyang Kuda. Akhirnya aku diam saja.
Aku kembali memandang Paman Adam dan Macan Kumbang. Aku tak habis pikir mengapa Paman dan Macan Kumbang meski berada di dekatku tapi ekspresi mereka biasa-biasa saja. Mereka pura-pura tidak tahu atau memang tidak tahu sama sekali. Mestinya mereka bisa melihat ekspresiku jika aku risau? Mustahil mereka tidak tahu perasaanku? Dan tidak mungkin juga mereka tidak mendengar suara harimau itu. Melihat keduanya bersikap seperti itu akhirnya aku istighfar berulang-ulang.
“Ampunkan hamba Yaa Allah, jika hamba tak mampu menolong makhluk-Mu. Aku tidak menemukan di mana sosok yang minta tolong itu, Yaa Allah. Ampunkan hamba Yaa Allah.” Aku ingin menangis karena terbentur tidak bisa berbuat apa-apa. Aku merasa berdosa karena tidak melakukan apa-apa. Menghadapi makhluk yang minta tolong tidak cukup dengan doa. Aku ingin menolongnya langsung. Kecuali arwah yang minta tolong melalui jin korimnya, maka aku akan panjatkan doa untuk menolong mereka. Karena memang aku hanya bisa bantu sebatas itu. Ini makhluk hidup, tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Ah!
“Teruslah berjalan, Selasih. Kita ke rumah baghi itu.” Kata Paman Adam menunjuk rumah lurus di ujung jalan. Pintu dan jendelanya terbuka lebar meski suasananya malam. Aku tidak bisa menerka warnanya karena sedikit gelap.
“Paman dan Macan Kumbang tidak mendengar auman harimau di alam kasat mata? Di alamku?” Kataku sambil masih terus memasang pancaindera. Aku benar-benar penasaran dibuatnya. Paman dan Macan Kumbang menggeleng. Aku menatap keduanya dengan tatapan heran. Tidak mungkin mereka tidak mendengar auman yang keras itu. bahkan auman itu dua kali. Akhirnya aku berjalan dengan perasaan masih bersalah.
Sampai di pangkal tangga aku berhenti sejenak. Aku nyaris tidak ada gairah untuk melangkah naik. Auman harimau masih terngiang dengan jelas.
“Tidak usah terbawa suasana. Ada hal lebih penting dibandingkan suara itu.” Kata Paman Adam. Mendengar itu aku berhenti melangkah.
“Paman, bagaimana tidak terbawa suasana jika aku dua kali mendengar jelas auman harimau itu. Dia minta tolong. Diam-diam aku mencarinya, mencoba menyisir lembah itu tapi tidak bertemu. Apakah paman tega jika melihat ada yang butuh pertolongan kita, lalu kita tidak melakukan apa-apa? Kita pura-pura tidak tahu. Aku tidak bisa Paman. Auman harimau itu terus terngiang-ngiang. Kalau bukan karena aku harus mematuhi Paman untuk menuju rumah ini, aku akan sisir sepanjang bukit ini sampai makhluk itu dapat. Tapi paman dan Macan Kumbang ketika kutanya tidak mendengar apa-apa. Padahal suara itu sangat jelas.” Nadaku sedikit kecewa. Aku mulai dongkol ketika melihat ekspresi keduanya datar saja. Sementara aku sudah sampai pada puncak emosi. Aku sudah ingin menangis kembali. Perasaan dongkolku semakin menjadi ketika melihat Paman Adam dan Macan Kumbang tersenyum lebar. Dalam hati aku menggerutu, keduanya sudah tidak punya perasaan.
“Assalamualaikum…” Teriakku sambil melangkah. Pintu berdaun tebal kudorong sedikit bertenaga. Aku sedikit menganggkat kaki agar bisa melangkahi lawang pintu yang dihalangi papan berbalok besar. Di dalam ruangan kulihat ramai orang duduk melingkar. Aku mencoba menebar senyum menyapa semuanya. Di sudut aku melihat orang-orang yang kukenal. Nenek Kam mengangguk-angguk menumbuk sirih ditunggui A Fung. Aku segera menyongsong dua puyangku, Puyang Pekik Nyaring dan Puyang Bukit Selepah. Keduanya tersenyum lebar sehingga mata mereka yang keriput nyaris tenggelam. Selanjutnya aku sujud pada sosok di samping Puyang. Nampaknya baru kali ini aku bertemu beliau. Aku tidak tahu siapa beliau. Selanjutnya menyalami semua yang hadir. Aku mencium erat nenek Kam yang tersenyum manis padaku. A Fung langsung memeluk dan tidak mau lepas di lenganku.
“Silakan duduk di sini, Selasih. Itu tempat dudukmu. Sudah disediakan sejak dulu” Kata Puyang Bukit Selepah. Dalam hati aku tersanjung karena tempat duduk itu sudah disediakan sejak dulu. Mengapa bisa demikian? Tapi aku anggap Puyang sedang bercanda karena melihat ekspresiku sedikit bertekuk. Aku duduk di tempat yang telah disediakan. A Fung duduk di sampingku. Beberapa sosok kulihat asyik ngobrol antar mereka dengan suara pelan. Laki-laki perempuan duduk di tempat yang berbeda. Beberapa ada yang memegang andarun. Mereka mengaji? Nenek Ceriwis kulihat sedikit manggut-manggut menahan kantuk. Beberapa kali matanya terbuka lebar lalu terpejam lagi sambil duduk.
“Wajahmu nampak cemas, nampaknya tidak terlalu bergairah. Padahal Puyang hendak bertanya pengalamanmu selama kami tinggalkan di goa itu.” Nada Puyang Bukit Selepah lembut sekali tanpa beban. Aku buru-buru mengendalikan diri. Puyang tahu jika dalam batinku ada hal yang mengganjal.
“Maafkan aku, Puyang. Benar ada yang mengganjal batinku. Dalam perjalanan ke mari aku mendengar auman nenek gunung dua kali yang minta tolong dari lembah jurang bukit ini. Auman itu berasal dari alam nyata, Puyang. Mendengar itu aku kaget dan hendak menolong. Melihat wajah Paman Adam dan Macan Kumbang tanpa ekspresi, aku mencoba menelusurinya sendiri. Tapi tidak bertemu, Puyang. Karena waktu sangat singkat, untuk segera ke mari maka kami lanjutkan perjalanan. Tapi perasaanku tidak bisa dibohongi, Puyang. Aku belum puas jika belum bertemu, melihat langsung nenek gunung itu.” Ujarku masih terbawa perasaan cemas.
“Yakin kamu itu makhluk dari alam nyata?” Kata Puyang Pekik Nyaring.
“Yakin Puyang. Suara itu dari alam nyata.” Ujarku meyakinkan. Aku melihat ke dua puyangku tersenyum kembali. Demikian juga Paman Adam dan Macan Kumbang.
“Herannya, Puyang. Dua kali auman yang kencang itu, Paman Adam dan Macan Kumbang tidak mendengarnya. Makanya mereka berdua biasa-biasa saja. Tidak sepertiku” Lanjutku lagi. Kedua puyangku kembali tersenyum sambil mengangguk-angguk.
“Selasih, suara auman itu sebenarnya palsu. Tidak ada nenek gunung yang terluka atau sejenisnya. Suara itu sengaja untuk menguji kepekaan batinmu. Sebatas mana perhatianmu saat mendengar ada yang butuh pertolongan baik di dunia nyata mau pun di alam kasat mata. Apa yang kau lakukan. Apakah ikhlas atau tidak. Apakah panggilan jiwa atau unjuk kemampuan. Puyang telah melihat itu semua. Kau bukan berpura-pura. Tapi benar-benar serius menanggapi suara anuman itu. Puyang tengah membaca batinmu, Cung. Puyang bangga padamu.” Kata Puyang Bukit Selepah. Sementara Puyang Pekik Nyaring terkekek-kekek menatapku.
“Suara auman palsu? Maksudnya Puyang? Siapa yang melakukannya?” Ujarku tidak percaya. Aku kembali menatap Paman Adam membaca ekspresinya.
“Itu suaraku, Selasih. Sengaja untuk menguji kepekaanmu.” Lanjut Paman Adam sambil tersenyum. Aku masih merasa kurang yakin. Aku tidak melihat sama sekali gejala Paman Adam melakukan itu. Bagaimana aku bisa kecolongan padahal beliau berjalan bersamaku. Kami bertiga. Kapan beliau melakukannya? Dalam hati aku kagum dengan kemampuan Paman Adam. Beliau bisa mengirim suara tanpa diketahui oleh orang lain.
“Masya Allah, Paman. Paman hebat sekali. Aku sungguh tidak menyadarinya sama sekali” Ujarku menatapnya yang masih tersenyum. Mendengar itu baru aku bisa bernafas lega. Jika tidak, bisa dipastikan aku akan penasaran dan tidak bisa tidur.
Suasana hening ketika Puyang Bukit Selepah mulai berbicara. Beliau membicarakan perihal tirakat yang sudah kami lakukan. Mulai dari berbicara tujuan, manfaat, sampai berbicara perihal macam- macam bentuknya.
“Saya yakin, dari sekian orang yang melakukan tirakat pasti mengalami dan mendapatkan pengalaman religi yang berbeda-beda. Semua bergantung dengan hati kita. Dengan keikhlasan kita, dengan niat kita. Kalau niat kita ingin mendekatkan diri pada Sang Kekasih, maka itulah hakikat yang sebenarnya. Kita akan masuk pada wilayah nikmat yang paling indah. Untuk sampai pada level itu, kita harus sucikan batin kita dari segala macam niat kotor dan duniawi. Tirakat akan membuat orang tidak takut mati. Justru yang membuat seseorang takut itu apabila tidak dapat meraih cahaya Allah dalam batinnya. Jika Allah selalu ada dalam batin kita dan kita menjaganya, maka segala hal yang negatif tidak akan dekat. Wajah, tubuh, jiwa kalian akan selalu dijaga, akan selalu berbungkus aura kebaikan. Nur Allah akan ikut terpancar di wajah kalian.Tapi jangan jadikan itu tujuan. Tujuan kita sebagai hamba, ibadah dengan segenap keikhlan.” Ujar Puyang Bukit Selepah panjang lebar. Mendengar tutur kata yang bagus, sistematis, lembut bersahaja dalam menyampaikan hikma zikir dan tirakat sebagai upaya mendekatkan diri pada sang Khalik. Aku kagum pada Puyang Bukit Selepah. Mendengar beliau menguraikan hikma tirakat, saya seperti melihat sosok seorang Syech dari negara Arab.
“Tak ada yang patut disombongkan, dibanggakan pada setiap makhluk di muka bumi ini. Maka jagalah hati kalian untuk selalu bersikap dan berpikir jernih. Rendah hati, tidak akan mengurangi kemuliaanmu di hadapan Allah, justru sebaliknya. Jangan silau dengan pujian, karena pujian hanya akan membuatmu jatuh dan lupa pada kebesaran Sang Khalik. Hanya Dia yang patut dipuji. Maka takutlah kalian pada pujian, beristighfarlah” Mendengar nasihat terakhir ini aku serasa disentil. Kerap kali aku mendapatkan pujian dari Puyang dan Kakekku dengan sebutan “Bagus Cung, kau cerdas Cung,” dan lain sebagainya. Aku tidak munafik, aku bahagia ketika mereka memujiku dan itu kujadikan sebagai tolak ukur jika aku tidak mengecewakan mereka, aku telah memberikan yang terbaik sesuai keinginan mereka. Tapi ternyata, rasa syukur dan banggaku mestinya bukan kutujukan pada mereka. Tapi pada Sang Khalik yang telah membimbing kita melakukan yang terbaik untuk orang lain. Itulah yang dimaksud Puyang hakikat “amanah” yang sebenarnya.
Suasana di ruang tengah rumah baghi ini hening. Puyang Bukit Selepah masih terus memberikan nasihat yang menurutku sangat padat. Malam semakin larut. Hanya nenek Kam kulihat sudah mulai merem melek. Sementara nenek Ceriwis matanya terbuka lebar mendengarkan beberapa diskusi yang disampaikan oleh beberapa penduduk dusun.
“Ingat, cahaya tidak akan ditembus kegelapan. Maka luruskanlah hatimu pada Allah Subhanahu Wata’alah saja. Beribadah yang benar, lakukan yang terbaik. Jadikan setiap langkah hidup ini dengan kebaikan-kebaikan agar manfaat untuk orang lain. Manfaatkan kemampuan apa saja yang kita miliki, namun jangan pernah meminta imbalan dari kebaikan itu. Sebab apa yang kita miliki tanpa izin Sang Maha, kita tidak bisa dan tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Andai ranting di bumi ini dijadikan pena, dan air laut dijadikan tintanya, lalu daun-daun dijadikan kertasnya, tidak akan cukup untuk menjelaskan ilmu Allah. Maka keraplah intropeksi diri, setinggi apa pun ilmu kita, tidak ada bandingnya dengan ilmu Allah” Aku tercenung mendengarkan apa yang disampaikan Puyang. Inilah hakikat tirakat yang baru saja kulakukan. Aku tertunduk haru.
Dari balik jendela aku melihat bulan bersinar lembut namun belum bulat sempurna. Artinya beberapa malam lagi bulan itu akan bulat sempurna, aku akan pulang ke gunung Dempu bersama Puyang Pekik Nyaring.
“Bagaimana Selasih? Hikma apa yang kau dapatkan setelah dua hari dua malam dalam goa itu?”
“Aku mendapatkan kedamaian dan kenyamanan yang membawaku jauh ke alam lain setelah aku bercermin pada diri sendiri. Banyak sekali hal yang kukira benar, setelah berdiam diri dalam suasana yang paling senyap, yang tergambar adalah hawa nafsuku, Puyang. Hawa nafsu yang tidak patut dimiliki oleh hamba-Nya apa lagi seperti aku. Dalam kesendirian aku menyadari jika aku kerap zolim, Puyang. Zolim pada diri sendiri, maupun pada orang lain. Aku merasa diriku dan apa kulakukan selama ini manfaat pada orang lain, aku merasa sudah paling benar. Setelah sendiri ternyata semua yang kulakukan tidak ada apa-apanya. Sebenarnya, aku masih ingin berlama-lama di sana, Puyang. Tapi Paman Adam menyudahi zikirku mengajakku pulang.” Ujarku sungguh-sungguh.
“Cung, jika melakukan sesuatu sesuaikan dengan porsinya. Jangan sampai mubazir. Berzikir dua hari dua malam sudah cukup untuk membuka kesadaran jiwa seseorang untuk kembali. Selanjutnya, bisa kau lakukan kapan saja di mana saja. Yang penting tetap jaga kesadaran jiwa. Hidup ini adalah amanah, maka lakonilah sebaik mungkin; ibadah.” Ujar Puyang Bukit Selepah kembali.
“Kak, aku diajak Puyang solat subuh di masjid Nabawi.” A Fung bercerita. Kutatap wajahnya di remang cahaya bulan separuh.
“Masjid Nabawi? Kapan?” Tanyaku ingin tahu.
“Tadi, aku dijemput Puyang di dalam goa. Ternyata Paman Raksasa juga dijemput Puyang Bukit Selepah.” Ujarnya manja. Kuelus kepalanya. Adik gaibku satu ini beruntung sekali nasibnya. Aku sendiri belum pernah merasakan perjalanan spiritual yang luar biasa itu. Puyang belum pernah mengajakku ke sana. Mungkin aku belum pantas, masih perlu penyucian diri lebih jauh. Atau karena aku bangsa manusia setengah harimau? Aku membatin.
“Kita bukan termasuk makhluk pilihan.” Ujar Selasih seperasan padaku. Aku mengiyakannya dalam batin.
“Bahagia sekali dirimu, Dik. Apakah banyak bangsamu beribadah di sana?” Tanyakku.
“Wah banyak sekali kak. Bahkan lebih banyak bangsa jin daripada manusia. Setiap waktu solat. Aku tidak sanggup ke sana kalau tidak diajak Puyang, atau bersama Syech dari Saudi dan Turky itu.” Lanjut A Fung.
“Jika kau solat di sana lagi, apakah itu di masjid Nabawi, masjidil Haram, atau masjid-masjid lainnya di Main, di Makkah, doakan kakak agar disegerakan ke sana ya, Dik.” Kataku penuh harap. Ada kecemburuan terbersit di batinku.
“Bukan kecemburuan, tapi keinginan, Dek.” Selasih mengingatkan aku. Aku mengangguk pelan. Benar, keinginan. Ingin seperti A Fung bisa solat di tanah suci.
Tepat tengah malam, pertemuan kami selesai. Puyang Pekik Nyaring, Nenek Ceriwis, dan Paman Raksasa pulang ke gunung Dempu. Aku bersama A Fung dan Macan Kumbang pulang ke kebun bersama Nenek Kam. Semua rangkaian peristiwa selama dalam goa dan perjalanan ke masjid hingga ke puncak bukit Selepah masih membekas di benakku. Hingga saat ini, aku seperti berada di alam mimpi. Sungguh jauh berbeda aura alam sana dengan nuansa alam nyata.
Setelah sampai di pondok nenek Kam, A Fung langsung duduk menghadap kiblat lalu berzikir, terus berzikir. Macan Kumbang duduk agak jauh melakukan hal yang sama. Aku lebih memilih berbaring dekat kaki Nenek Kam sesekali tetap mengontrol kesadaran jiwa.
“Ingin makan apa, Dek? Kita manusia Dek, masih butuh makanan untuk mengisi perut kita.” Ujar Nenek tertawa. Aku ikut tertawa. Benar juga kata Nenek Kam. Kami manusia hidup di alam nyata.
“Tapi mau makan apa, Nek? Selain tengah malam, kita berada di tengah kebun, di atas bukit. Bukan di kota” Ujarku sambil bangkit. Kutawari Nenek Kam kopi hangat atau teh untuk mengusir rasa dingin. Tapi beliau menolak. Akhirnya aku batal menyalakan api di dapurnya.
Kabut sudah turun, bahkan terasa sangat pekat. Ketika menghirup udara rasanya berat sekali, bahkan sedang berbicara mulut nampak mengeluarkan asap.
“Ah, gampang kalau soal makanan. Yang penting kau mau makan apa?” Ujar Nenek Kam. Aku berpikir sembari menatap bayangan kami di dinding yang tertimpa cahaya lampu cubok. Mirip film animasi bergerak-gerak sambil membayangkan makanan yang enak-enak.
“Nenek mau makan serabi kuah.” Lanjut Nenek Kam. Mendengar serabi kuah malam-malam begini rasanya sedap juga. Akhirnya aku sepakat ingin makan serabi kuah juga.
Tak lama aku melihat nenek Kam berkomunikasi dengan seseorang menggunakan bahasa nenek gunung. Kadang mengganguk kadang menggeleng.
“Pesan di warung mana, Nek?” Tanyaku menggodanya.
“Pesan di warung Butan, di simpang Bandar.” Ujarnya sambil tertawa. Mendengar itu aku ikut tertawa. Butan itu perempuan yang punya warung manisan sekaligus warung kopi di simpang Bandar. Biasanya setiap orang baru tiba ke simpang Bandar, kelelahan habis naik tebing Sekip akan istirahat di warungnya minum kopi sambil makan gorengan. Setahuku Butan tidak menjual serabi kuah. Yang beliau jual pisang goreng, bakwan, tempe goreng, dan kecepol. Saat ini tengah malam, Butan belum berjualan.
“Pesankan kecepol hangat Butan juga kalau begitu, Nek. Udah lama aku tidak makan kecepol. Kecepol itu kesukaan kakek Haji Yasir dengan Kakek Haji Majani.” Ujarku bercanda. Tiba-tiba aku ingat ke dua kakekku.
“Mana ada malam-malam begini kecepol Butan. Besok pagi baru ada. Kita pesan saja sama Wariak.” Sambung Nenek Kam lagi. Aku berkerut. Siapa pula Wariak. Rupanya Wariak itu nama orang. Beliau menjual berbagai macam sayur-mayur dan makanan kecil ke arah dusun kami. Hebatnya, beliau membawa sayurnya dengan cara ditandu karena memang belum ada kendaraan hingga ke dusun Seberang Endikat. Setiap hari beliau berjalan kaki pulang pergi ke Seberang Endikat untuk berjualan. Kadang beliau pulang ke Pagaralam lagi lepas magrib dan besok pagi sudah ke Sebrang Endikat lagi. Demikian setiap hari. Nama beliau sangat dikenal di dusun-dusun, di talang, dan kebun Seberang Endikat ini. Setiap hari beliau selalu ditunggu oleh para emak dan anak-anak. Alat tukar membeli sayur dan makanan padanya pun bermacam-macam. Ada yang barteran dengan biji kopi. Maka Wariak akan menghitungnya seharga kopi hari itu. Demikian juga ada yang barteran dengan beras.
“Nenek kenal dekat dengan Wariak? Masih bujang atau sudah punya istri, dia Nek?” Tanyaku.
“Sudah punya cucu malah”
“Kok Nenek tahu?” Tanyaku.
“Iya, Nenek pernah nanya.” Jawab Nenek Kam sambil meletakkan bakul sirihnya ke dekat dinding.
“Ooooh”.
“Kenapa memangnya?” Tanya Nenek sambil menatapku.
“Kukira bujang lapuk buruk tegantung, kalau bujang lapuk kan bisa kita pelet untuk Nenek.” Ujarku menggodanya. Matanya terbelalak menatapku.
Plak!
Aku kaget. Pundakku terasa nyeri. Rupanya Macan Kumbang sudah selesai dari zikirnya. Mendengar aku menggoda Nenek Kam, dia tepuk pundakku.
“Tidak sopan!”
“Weeew…Nenek aja tidak marah. Atau dirimu yang tersinggung?”
“Kok aku yang tersinggung?”
“Iyalah, Macan Kumbang kan termasuk bujang lapuk.” Godaku. Mendengar itu Macan Kumbang langsung melompat hendak menerkamku. Dengan sigap aku menghindar. Melihat Macan Kumbang nekad hendak menyakiti, aku segera membuka pintu lalu kabur sambil tertawa. Macan Kumbang mengejarku sekuat tenaga. Aku menggunakan kemampuanku untuk menghindar dari kejarannya.
“Pulang, Dek. Serabi kuahnya sudah datang.” Suara Nenek Kam. Akhirnya aku menghentikan lariku. Kesempatan Macan Kumbang menangkap lalu mencoba membantingku. Sambil tetap tertawa aku bertahan agar tidak terbanting.
“Ini ya orangnya yang bilang aku bujang lapuk.” Macan Kumbang berusaha menutup mulutku. Aku menghindar sambil menangkis tangannya.
“Sudah…sudah…ampun..ampun maaf, aku menyerah. Nenek memanggilku. Serabi kuahnya sudah datang.” Ujarku sedikit ngos-ngosan. Macan Kumbang masih juga sempat menutup mulutku.
“Dasar cucu nenek Ceriwis!” Ujar Macan Kumbang yang kusambut dengan tawa. Aku langsung nempel di punggungnya minta gendong menuju pondok Nenek Kam.
“Siapa yang ngomongin aku ceriwis ha!” Suara Nenek Ceriwis lantang. Aku kaget bukan main. Kututup mulutku agar tak terdegar kalau aku menahan tawa.
“Sukurin kena Marah.” Bisikku ke telinga Macan Kumbang sambil memeluk penggungnya. Macan Kumbang diam seribu bahasa.
“Kalau bukan Putri Selasih kesayangan Nenek Kam, sudah kulempar ke lembak paku.” Ancam Macan Kumbang membuat tawaku kembali meledak. Sudah lama sekali aku tidak mendengar kata lembak paku. Lembak paku istilah yang kerap diucapkan orang Besemah jika marah, mengancam, atau bercanda. Artinya semak belukar yang ditumbuhi pakis. Entah mengapa harus pakai istilah ‘lembak paku’.
Dalam sekejap aku dan Macan Kumbang sudah di berada pondok Nenek Kam. Baru kusadari, jika kabut turun masih sangat tebal. Meninggalkan bintik air di ujung-ujung daun. Cahaya bulan yang separuh, lenyap di balik kabut dan daun petai cina. Kami bertiga duduk melingkar menikmati serabi kuah yang hangat tengah malam.
Bersambung…