HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT V (79B)

Karya RD. Kedum

Aku sempat berpikir, jika bukan karena bimbingan Sang Maha Agung, tak mungkin aku dibimbing untuk menentukan pilihan yang tepat. Apalagi dari pandangan sekilas, semuanya indah dan meneduhkan.

Sambil berjalan, Puyang Pekik Nyaring tetap membekali aku dengan nasihat-nasihat yang membuatku semakin pekat meyakini sebuah kebenaran.
“Jika ingin belajar menuju Allah, maka jangan pakai jalan umum. Yakinlah, seseorang yang ikhlas akan diberi petunjuk langsung oleh Allah,” ujar Puyang Pekik Nyaring sambil menatapku. Aku mengangguk menerimanya.
“Cung, jalan menuju Allah tentu berpedoman kepada Allah. Petunjuk dari Allah tentu tidak akan bertentangan dengan yang tertulis di Al Quran dan Hadist. Mengapa jalan menuju Allah tidak mungkin menggunakan jalan umum? Sebab jalan menuju Allah itu personal, Cung. Antara hamba dengan Allah. Seseorang yang mendekatkan diri ke pada Allah, maka dirinya tidak akan peduli dengan orang yang tidak bisa menerimanya. Karena memang apa yang sedang dilakukannya adalah perintah Allah.” Ujar Puyang Pekik Nyaring lagi. Ini kesempatan selanjutnya aku memperoleh nasihat dari beliau. Mendengarkan penyampaian beliau bagiku sungguh damai. Suaranya yang lembut dan lunak, benar-benar menentramkan.

“Benar, Cung. Kadang ada yang bertanya apakah benar orang yang mendekatkan diri pada Allah itu mendapat bimbingan? Atau karena hawa nafsunya? Jika muncul perasaan itu, artinya kita sudah suudzan,” sambar Puyang Jalak.
“Iya, mereka yang berkata demikian karena tidak mendapatkan petunjuk Allah sehingga mereka menafikan, tidak mempercayai bahwa orang yang mendekatkan diri pada Allah itu mendapatkan bimbingan langsung dari Sang Maha.” Puyang Sambar Langit menimpali. Sebelumnya beliau hanya diam mengangguk tiap kali mendengar Puyang lainnya berbicara. Sementara lima Puyang lainnya turut mengiyakan.

Mendengarkan obrolan sambil berjalan seperti ini, benar-benar meresap di hati. Aku sangat bahagia mengulik pemahaman tentang berserah dan pasrah.
“Jangan pula berpikiran bahwa orang yang mendekatkan diri pada Allah harus pakai jubah, gamis, tongkat, sorban, kerudung, jilbab syar’i, bercadar, dan lain sebagainya. Itu hanya atribut duniawi saja. Petunjuk Allah itu tidak memandang itu semua. Tapi orang yang dekat pada Allah akan terlihat di dalam dadanya, di dalam hatinya dan tercermin dalam kehidupannya sehari-hari,” sambung Puyang Naga Merah. Aku berusaha menafsirkan apa yang disampaikan Puyang Naga Merah. Allah tidak memandang atribut itu maksudnya, mendekatkan diri pada Allah tidak perlu diperlihatkan, dipamerkan dengan tampilan. Tapi akan tercermin dalam sikapnya. Masya Allah, dalam sekali apa yang disampaikan para puyangku ini. Aku seperti mendapatkan kucuran air yang menyejukkan.

“Betul. Ciri utama orang yang mendekatkan diri pada Allah itu adalah orang yang memegang perintah Allah. Selalu menjalankan perintah Allah. Peka dengan perintah Allah melalui ayat atau tanda, terutama tanda yang ada di alam semesta, tanda yang ada disekeliling kita, atau tanda yang ada dalam diri kita sendiri” Tambah Puyang Jalak pula. Aku makin terhanyut dengan obrolan ini. Meski berjalan pelan, terasa terlalu cepat. Aku terus menyimak perkataan para Puyang mirip sebuah diskusi namun, semuanya mengemukakan pandangan dan pikiran masing-masing, dan semuanya ditujukan padaku.
“Untuk itu Cung, selalu tingkatkan kesadaran bukan pikiran. Kalau kita masih menggunakan pikiran maka isinya akan selalu suudzan dan menyalahkan. Tapi jika menggunakan kesadaran maka apa yang kita lakukan ada hikma di baliknya” Tegas Puyang Naga Merah lagi.

Kaki kami terus melangkah, tangan Puyang Pekik Nyaring kulihat kadang bergerak seperti menghitung biji tasbih. Luar biasa betul Puyangku ini. Dalam suasana ngobrol seperti ini saja beliau masih berzikir.
“Untuk mendapat bimbingan Allah ada beberapa syarat, Cung. Pertama mengikuti syariat dengan benar, terutama solat, yang kedua perhatikan tanda-tanda yang Allah berikan melalui ayat Al Quran atau alam semesta. Maka suatu hal mustahil jika ada seseorang mengatakan dirinya dekat pada Allah namun dia tidak bersyariat , tidak solat dan lain sebagainya.” Tambah Puyang Pekik Nyaring lagi. Dalam hati aku membenarkan apa yang disampaikan beliau. Bagaimana dikatakan dekat pada Allah jika tidak menjalankan ibadah? Solat sehari semalam? Semua yang disampaikan para Puyangku terasa meresap. Jiwaku terasa dibangun, dan ditata sedemikian rupa.
Ibarat keranjang, aku adalah keranjang kokoh yang sarat dengan muatan. Semua dimasukkan dan dijejalkan. Tapi aku senang. Aku bahagia mendapatkan guru-guru spiritual seperti mereka. Banyak hal yang kuperoleh, dan tidak pernah kudapat di bangku sekolah sebelumnya.

“Cung, silakan masuk. Jangan lupa berdoa dan ucapkan salam. Pasrahkan diri sepenuh nya,” lanjut Puyang Pekik Nyaring setelah sampai dimulut sebuah liang. Sebelum masuk, aku berpaling terlebih dahulu, mengucapkan terimakasih pada semua Puyang, sujud sedalam-dalamnya pada mereka.
“Kami akan menjemputmu, ketika kira-kira kami anggap sudah cukup,” lanjut Puyang Pekik Nyaring lagi. Aku membungkukkan badan pertanda paham. Rasanya terlalu singkat perjalanan ke mari. Aku masih ingin mendengarkan kedalaman jiwa mereka tentang pasrah dan kewajiban kita sebagai hamba. Aku merasakan begitu damai dekat dengan mereka.

Aku mulai melangkahkan kaki. Aroma wewangian tercium sangat jelas. Kira-kira dua puluh depa, (ukuran sepanjang kedua belah tangan mendepang dari ujung jari tengah tangan kiri sampai ke ujung jari tengah tangan kanan). Akhirnya aku sampai pada ruangan yang bentuknya bulat atau lonjong aku tidak tahu. Di tengah-tengahnya ada batu mirip meja, ceper dan bulat. Ruangan ini terasa sejuk, nyaman. Aku berdehem, suaraku memantul memunculkan gema yang pendek. Langit-langit goa bergerat-gerat mirip lipatan kain tebal. Demikian juga dindingnya tidak mulus seperti dinding lorong jalan ke mari. Aku mengucapkan salam dan berdoa sesuai petunjuk puyang Pekik Nyaring. Lama kuawasi ruangan yang tidak seberapa luas ini. Aku duduk-duduk sejenak mencari posisi yang enak apakah menghadap ke arah pintu masuk, membelakangi, atau menyamping saja. Semua kucoba. Akhirnya aku memutuskan memilih arah kiblat. Ke arah Barat. Tapi di ruangan ini aku tidak tahu kemana menentukan arah kiblat? Kembali aku memperhatikan ruang goa. Tiba-tiba aku melihat ada cela goa ke atas. Sekilas memang tidak terlihat karena cahaya yang masuk mirip pantulan cahaya dinding goa. Aku mengamatinya. Jika ke atas, harusnya aku melihat langit. Ini aku tidak melihat langit. Tapi melihat pohon dengan dahan yang rindang. Aku memperhatikan dahan pohon lurus ke arah kiri semua seperti di atur sedemikian rupa. Jika pohon mengarah ke kiri, bisa dipastikan matahari dari arah kiri. Berarti timur ke arah kiri, barat ke kanan. Akhirnya aku duduk mengarah ke sebelah kanan bagian yang kuyakini arah kiblat.

Aku salat hajat dua rakaat baru kulanjutkan dengan rangakian witir dan doa. Baru saja aku mengatur posisi duduk, lalu khusuk membaca syahadat dan umul kitab, tiba-tiba aku merasakan energi yang tidak biasa. Energi sekeliling goa ini kurasakan kuat sekali. Aku berusaha untuk tetap menjaga keseimbangan agar tidak tertarik energi dari belakang, depan, dan samping. Sejenak aku bingung tidak bisa menerka energi apa yang saling tarik ini. Dalam posisi tetap fokus pada niat, aku berusaha mencari tahu, energi apa yang kurasakan saling tarik. Apakah mungkin dinding goa ini memiliki magnit sehingga saling tarik dan berefeks padaku. Bahkan kadang aku merasakan ada benturan-benturan yang membuat energi ini tidak bisa menyatu. Energi apa ini? Aku bertanya dalam hati.

Aku mencoba menelusuri dinding goa dengan batin. Masya Allah, alangkah terkejutnya aku ketika mengetahui jika aku sebenarnya dikelilingi oleh tujuh puyang. Mereka sudah duduk semedi di dinding goa tempatku saat ini. Secara kasat mata tidak akan terlihat karena para Puyang ada di dalam batu yang menjadi dinding goa. Energi merekalah rupanya seperti saling tarik. Satu-satu kutatap mereka. Mereka seperti tidur nyenyak dengan mata terpejam. Hanya mulut mereka saja terlihat bergerak halus sangat pelan. Selebihnya gerakan dada ketika menarik nafas terlihat pelan. Gelombang cahaya yang ke luar dari tubuh mereka berwarna-warna menjadi sumber energi. Sejenak aku menikmati keajaiban itu. Inilah pertanda kedekatan mereka pada Sang Maha. Interaksi batin mereka benar-benar telah sampai pada level yang serasa tak mungkin dicapai oleh bangsa manusia biasa. Pencipta yang hanya dimiliki oleh para waliluyah.

Aku kembali membaca umul kitab, istighfar, memohon ampun, bermunajat pada sang Maha. Pelan-pelan aku bertasbih. Selanjutnya kulepas jiwaku untuk berzikir.

Aku kembali hanyut pada nikmat yang sulit untuk kulukiskan. Kenyamanan yang paling hakiki dalam hening. Goa ini sangat hening, gelombang energi para puyang mulai bersinergi dengan batinku. Aku seperti pendapatkan asupan gizi, semakin mudah untukku melepaskan jiwa mendekatkan diri pada Sang Maha Akbar.

Aku merasa seperti hidup sendiri di muka bumi. Kuisi sepi dengan desah nafas berisi lafas Huu Allah. Gelombang yang berasal dari energi zikir itu membawaku jauh melambung ke alam lain. Aku pasrahkan semuanya hingga kurasakan diriku melayang.
Tubuhku terasa ringan.
Huu Allah…
Huu Allah…
Ada cahaya keemasan menghampiriku. Aku tidak peduli, aku terus berzikir hingga aku melihat diriku di ruang yang sarat cahaya berwarna putih. Aku semakin mengembangkan zikir, menepis perasaan-perasaan yang mungkin dapat menggoyakan batin atau muncul perasaan mirip sensasi. Sekali lagi aku pasrah.

Entah sudah berapa lama aku di sini. Tiba-tiba aku dikejutkan suara guncangan dan gemuruh. Goa ini terasa akan runtuh. Aku tetap dalam posisi pasrah. Tiba-tiba kurasakan tubuhku tumbang, jatuh dari batu ceper tempatku duduk timpuh. Tapi aku tidak mengubah posisiku meski terasa aku terguling. Biarlah jiwa dan ragaku tetap timpuh dan tetap menyatu dalam Huu Allah. Aku hanya fokus pada zikir saja. Tiba-tiba tubuhku terangkat sendiri dan kembali duduk di batu ceper.

Aku kembali larut dalam hening yang sangat, dan merasakan kenyamanan luar biasa. Semua terasa senergi. Tapi kembali alam berguncang. Jika tadi hanya getar, lalu aku merasakan tubuhku jatuh di lantai goa dan kembali duduk, kali ini tubuhku terombang-ambing. Jika tadi aku seperti melayang jauh ke luar angkasa, sekarang aku seperti di lempar ke bumi. Tubuhku terombang ambing seperti daun dihempas angin. Kadang terbanting ke kiri, kadang ke kanan, kadang rasanya aku diputar. Aku merasa diriku tanpa daya.

Kadang terlintas mungkin ini gerakan patrap. Daya zikir membuat tubuh seperti tidak ada daya. Yang jelas gemuruh yang tiba-tiba datang seperti hendak menabrak dan menghimpit tubuhku kadang membuat darahku berdesir. Aku tetap tidak membuka mata. Nafasku tetap berhembus dengan pelan. Tidak ada kekhawatiran sama sekali jika malaikat maut menjemputku sekarang juga. Tidak ada kekhawatiran jika aku mati dipanggang larva dari telaga Merapi yang menggelegak. Semuanya kuserahkan pada-Nya.

Blap!Blas! Tiba-tiba aku merasakan goa ini menyempit, makin sempit. Hingga akhirnya kurasakan antar dinding menyatu mengejar tubuhku. Akhirnya dinding-dinding goa memang menyatu. Tapi aku tidak merasakan jika aku terhimpit. Ajaib! Aku seperti di dalam air. Bisa bergerak, tidak terpasung oleh batu ini. Ini tidak aneh jika Sang Maha berkehendak apa pun bisa terjadi. Aku membatin. Aku tak peduli berada di mana dan apa yang akan terjadi. Termasuk apakah aku masih hidup atau telah mati. Aku terus berzikir dan berzikir. Hanyut dalam kenikmatan bersama Nur-Nya.

“Bangkitlah, Selasih. Kau hebat! Apa yang kau cari telah sampai pada puncaknya” Seperti suara Puyang Pekik Nyaring. Aku menyimak suara itu. Tapi aku masih enggan bangkit.
“Bangkitlah, apa lagi yang kau cari” Lagi-lagi suara Puyang Pekik Nyaring. Sekali lagi aku diam sembari tetap bermunajat pada Allah.
“Yaa Allah, hamba ikhlaskan hidup mati hamba pada-Mu. Jika suara itu akan memberi kebaikan pada hamba, tolong bukakan mata hamba. Namun jika tidak ada manfaatnya pada hamba, jauhkanlah Yaa Rabb.” Aku memohon sedalam-dalamnya. Beberapa saat aku menunggu apakah ada reaksi mataku akan terbuka. Ternyata tidak. Mataku masih nyaman terpejam. Sementara suara itu lenyap.

Aku tidak yakin yang berucap tadi Puyang Pekik Nyaring. Oleh sebab itulah aku enggan membuka mata. Bukankah Kakek Pekik Nyaring menasehatiku agar aku total medekatkan diri pada Sang Maha, membersihkan batinku dari segala hawa nafsu. Lalu mengapa dikatakan aku telah sampai pada puncaknya. Puncak apa? Puncak keikhlasan dan kedekatanan pada Sang Mahakah? Itu bukan urusanku untuk menilai diri apakah sudah mencapai itu apa belum. Tidak ada target bagiku harus mencapai itu semua. Aku membiarkan diriku seperti mata air terus mengalir menuju sungai lalu bermuara ke laut. Aku tidak mau bangkit. Akhirnya suasana kembali hening.

Dalam keadaan masih terpejam, aku merasakan banyak sekali yang datang menuju padaku. Salah satu dari mereka langsung berdiri di hadapanku. Seorang perempuan cantik, anggun. Senyumnya sangat meneduhkan. Matanya indah. Kerudung abu-abu yang dikenakannya sangat serasi dengan warna kulitnya.

Aroma wangi segera memenuhi rongga dadaku. Beliau membawa sepasang pedang berwarna emas. Pedang itu hendak beliau serahkan padaku.
“Ini hasil tapamu, Putri Selasih. Ambillah, untuk kau pergunakan demi kepentinganmu,” Ujarnya lembut. Aku menatap wajahnya. Kecantikannya menghipnotis. Aku saja perempuan sangat mengagumi kecantikannya. Menyadari hal itu aku segera istighfar. Mengapa harus kukagumi kecantikan makhluk ini. Patutnya aku mengagumi yang telah menciptakan makhluk ini, yaitu Allah.
“Allah Akbar” Aku menyadarkan diri. Akhirnya aku hanya mengangkat tangan dan menggeleng menolak pemberiannya. Kembali beliau mendesakku agar aku menerimanya. Katanya ini adalah senjata yang memiliki energi langit dan bumi. Dibalut dengan emas murni. Sekali lagi aku menggelengkan kepala menolaknya.
“Maafkan aku, aku tidak bisa menerimanya. Aku kemari bukan mencari ini meski benda ini memiliki energi langit dan bumi dan dibalut emas murni, maafkan aku. Aku tidak tertarik. Sekali lagi maaf.” Ujarku. Aku kembali khusuk dengan zikirku. Perempuan dan pasukannya menghilang. Sebelum lenyap, perempuan itu sempat berkata bahwa aku akan menyesal. Tidak! Aku tidak akan menyesal, batinku. Aku akan sangat menyesal jika aku tergoda mengotori batinku dengan berbagai kepentingan.

“Assalamualikum..sudah waktunya kita ke luar dari sini, Putri Selasih.” Aku kaget ketika tangan Puyang Pekik Nyaring menyentuh bahuku. Hampir saja aku membuka mata. Tapi segera kukendalikan diri. Aku tidak peduli. Kembali aku khusuk menutup semua pancainderaku. Aku tidak percaya yang menyentuhku Puyang Pekik Nyaring. Jarang sekali Puyang Pekik Nyaring menyebut namaku. Beliau selalu menyebutku dengan sapaan ‘Cung”, artinya ‘cucu’. Kali ini belau tidak hanya menyentuh bahuku. Tapi menguncang-guncang.
“Selasih, Putri Selasih. Kau dengar suaraku bukan?” Suara itu semakin membuatku tidak percaya. Apalagi menyebut namaku lengkap dengan Putri Selasih lalu menyebut dirinya aku. Aku tetap diam tak bergeming. Terserah apa pun yang hendak dilakukannya, aku tidak peduli. Dia bukan Puyangku. Kata hatiku berkata demikian. Akhirnya suara dan sosok itu kembali lenyap dari pandanganku.

Tiba-tiba aku melihat banyak sekali pasukan yang mendatangiku. Pasukan-pasukan ini berbentuk hewan yang dipimpin oleh seekor naga. Hewan dalam berbagai bentuk ini nampak ganas hendak menerjangku. Aku tidak lari dari posisiku. Kubiarkan mereka, jika hendak menerjangku kupasrahkan saja. Benar sekali. Mereka tidak saja menerjangku bahkan menginjak-nginjakku. Aku seperti daun kering yang diinjak hingga remuk. Aku pasrahkan semuanya. Aku tidak menolak apalagi memberontak. Tidak ada pilihan selain menjaga jiwaku tetap pasrah. Aku melihat tubuhku remuk berkeping-keping. Rasa sakit dan takutku hilang sama sekali. Justru aku mendapatkan keindahan luar biasa aku remuk karena mempertahankan keyakinan untuk dekat pada Sang Maha.

Tidak hanya itu, aku melihat telapak hewan aneh besar sekali. Dikatakan burung dia bukan burung tapi seperti memiliki sayap. Mau dikatakan badak juga bukan, karena mulutnya seperti burung. Telapaknya yang lebar menginjak tubuhku yang sudah berkeping-keping. Aku masih dalam posisi pasrahku!

Suasana hening kembali. Tidak ada lagi gemuruh dan ledakan seperti hendak kiamat. Apakah alisunasi atau bukan kejadian barusan seakan nyata. Tiba-tiba kepingan tubuhku menyatu kembali dan aku duduk di batu ceper dalam goa dalam posisi duduk timpuh seperti semua.

Entah sudah berapa lama aku di dalam goa. Sekali lagi aku tidak bisa menentukan waktu siang apa malam. Suasana hening kembali menghanyutkan aku dalam nikmat yang tiada duanya.
“Assalamualaikum, Cung. Bukalah matamu,” suara Puyang Pekik Nyaring. Bau wangi Puyang aku paham betul. Tapi aku hanya menjawab salamnya, belum membuka mata.
“Bukalah matamu, Puyang menjemputmu, Selasih. Sudah cukup tirakatmu. Kau lapar dan haus bukan?” Suara Puyang Naga Merah. Aku menjawab salamnya namun belum juga membuka mata. Tak lama aku merasakan kibasan kain seperti lengan baju merangkul tubuhku lalu aku merasa diletakkan di atas tanah berbatu.

Angin terasa berhembus sangat pelan. Desingan angin menandakan aku berada di alam terbuka. Pelan-pelan aku membuka mata.
Masya Allah!
Aku terkejut bukan main. Ternyata aku duduk di atas tanah kuning berbatu dikelilingi kayu panjang umur. Mengapa tiba-tiba aku ada di sini? Di puncak gunung Dempu, menghadap ke gunung Merapi.

Tujuh puyang duduk bersila mengelilingiku.
Aku menghirup udara pelan-pelan. Aku meyakinkan diri jika aku tidak bermimpi. Langit gelap. Tidak ada cahaya bulan. Hanya kerlip bintang nampak bersinar cerlang.
“Alhamdulilah..kukira aku bermimpi puyang,” ujarku mencium tangan Puyang Pekik Nyaring. Beliau tersenyum manis hingga matanya nampak kecil.
“Mana makanannya Puyang Naga?” Ujarku bercanda ketika melihat beliau mengelus-ngelus tongkatnya.
“Makan kalimah Allah lebih nikmat dan bergizi,” Jawab beliau sambil mengayunkan tongkatnya. Kukira beliau akan mengambil sesuatu. Rupanya beliau tengah berkomunikasi entah dengan siapa. Dalam waktu sekejap seorang lelaki muda mengantarkan delapan cangkir air putih dan setangkai kurma. Aku ikut menyambar cangkir dan kurma yang disodorkan.
“Air zam-zam, Puyang?” Tanyaku setelah meneguk air yang terasa dingin tersebut. Perutku terasa kenyang. Tidak ada rasa lapar sedikit pun. Puyang Naga Merah mengangguk sambil mengubah sebutir kurma terasa padat, kenyal, segar dan manis.

Kami minum dan makan secukupnya. Selanjutnya aku disuruh Puyang Pekik Nyaring duduk menghadap kiblat membelakangi mereka. Aku disuruh memejamkan mata dan pasrah seperti saat berzikir di dalam goa. Aku melakukannya sambil menyerahkan diri pada Sang Maha.
Tak lama, aku merasakan tubuhku seperti di dorong ke tembok. Semakin terpepet hingga aku tak mampu bernafas. Aku tidak berani melakukan perlawanan. Energi itu kubiarkan menekan diriku. Tak lama angin serasa bergulung. Tubuhku terasa seperti dilipat-lipat. Lalu dihentakkan ke bumi. Aku terhempas. Tak lama energi-energi itu seperti air bergulung siap menerjang tubuhku. Aku juga tidak menolaknya. Semuanya begitu cepat. Bahkan tubuhku terasa seperti maghnit menyedot energi itu.

Tiba-tiba aku merasa seperti diserang ratusan pukulan. Akhirnya aku sudah tak kuat lagi menerima serang-serangan dasyat itu. Nafasku terasa putus dan tinggal satu-satu. Semakin lama semakin pendek. Aku terus melafaskan asma Allah. Dalam hati aku berdoa agar Allah izinkan jika aku menemui ajal biarkan lidahku tetap menyebut asma-Nya. Pandanganku terasa gelap dan semakin pekat. Aku menunggu malaikat maut menjemputku. Berkali-kali kuucapkan salam menyambut menyambut lebih dulu kehadiran malaikat maut. Meski nafasku tinggal satu-satu, tapi mereka tak kunjung datang. Aku sudah tak mampu mengendalikan kesadaran jiwaku. Semuanya kosong kecuali suara zikir dilafazkan oleh darah, daging, dan jiwaku.
Puuuuuh
Tiba-tiba angin berhembus pelan ke wajahku. Nafasku kembali lega. Aku kembali menarik nafas panjang. Aku seperti hidup kembali.

Aggghhhrrrhh! Tiba-tiba ada serangan lagi. Aku mengerang tinggi. Aku tidak mampu menahan pukulan keras yang tiba-tiba ke dada, ke punggungku. Pukulan bertubi-tubi itu kembali membuat dadaku sesak. Semua rasa seperti diaduk-aduk. Rasa panas, dingin, gonta-ganti mendera. Aku sangat tersiksa dan hanya bisa menyebut Allahu Akbar. Peluhku mengucur deras seperti mata air. Lama kelamaan energi yang memukulku berubah menjadi cahaya, lalu bergulung mengitariku. Semakin lama semakin runcing seperti angin puyuh membentuk pusaran mengangkat makin tinggi. Tak lama ujung pusaran itu seperti anak panah langsung menyusup dari ubun-ubun. Lalu memadat ke dalam tubuhku. Aku terhentak sekali lagi.
“Alhamdulilah” Suara para Puyang nyaris bersamaan. Sementara nafasku masih memburu. Akuntakmmampu berkata-kata.

“Semua sudah selesai, Cung. Kau boleh menarik nafas lega. Apa yang kau alami di dalam goa, itu hanya ilusi mempengaruhi bawah sadarmu. Untung kau tidak tergoda karenanya. Jika kau membuka mata ketika ada suaraku, atau menerima ketika seoang wanita mengantarkan pedang emas padamu, melawan hewan ganas yang meremukkanmu, maka hanya sebatas itulah kemampuanmu. Ternyata kau sanggup melalui jalan yang sulit itu, Cung. Dan malam ini, adalah penyempurnaan karomah yang kau miliki. Sekarang sujudlah, ciumlah tangan mereka. Mereka adalah guru-gurumu yang ikhlas mengajarimu.” Puyang Pekik Nyaring menunjuk pada enam puyang yang mendampingi aku sejak awal.

Selebihnya aku mendapatkan nasihat dari Puyang guruku perihal ilmu padi dan filosofi telunjuk. Dan masih banyak lagi hal-hal mendasar sebagai bekal hidup yang mereka tanamkan padaku. Aku seperti burung kecil siap dilepas untuk belajar terbang.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *