HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (80A)

Karya RD. Kedum

Aku baru saja terjaga ketika ayam sudah ramai di halaman pondok kakek Haji Yasir. Ada yang berkokok, ada yang berteriak-teriak saling kejar, anak-anaknya menciap minta makan, dan lain sebagainya. Rupanya Bapak sedang memberi makan ayam-ayam peliharaannya.

“Huss!! Ngapain matok anak kecil! Ini makanan sudah diberi masing-masing. Sudah pergi sana! Cari makan sendiri, ayo pergi !” Suara Bapak marah dengan seekor ayam jago yang suka mematok anak ayam sampai pingsan. Ayam jagonya ini sudah berumur, tajinya saja sampai melengkung. Suka mengejar orang lewat mirip induk ayam beranak kecil kalau diganggu. Kata Bapak ayam jagonya itu, ayam bertuah ‘penunggu tenggaghe’. Artinya ayam yang bisa diandalkan untuk menjaga kandang dan ayam yang lainnya. Makanya diberi nama Preman.
“Pak, potong sajalah si Preman daripada banyak anak ayam yang patah kaki, patah sayap gara-gara dia.” suatu kali Ibu protes karena ada tiga ekor anak ayam yang masih bayi mengap-mengap dibanting Si Preman. Melihat anak ayam setengah mati, Bapak langsung mengambil daun talas, lalu ditutupkannya pada tiga ekor anak ayam tersebut. Kemudian buru-buru beliau siram dengan air. Hanya beberapa detik, anak-anak ayam itu bangun dan lari kembali mengejar induknya. Aku terkagum-kagum melihatnya. Apa hubungan daun talas ditutup lalu disiram dengan ‘kesekaratan’ anak ayam tersebut. Sampai sekarang tidak terpecahkan.

Di beranda kakek Haji Majani dan kakek Haji Yasir sedang bercengkrama. Kakek Haji Majani baru tiba petang kemarin. Katanya ketika tahu aku pulang kampung, beliau ikut pulang ke Seberang Endikat. Alasannya sembari ziarah. Padahal rencanaku beberapa hari lagi mau ke Pengaringan menginap di rumahnya terus mengajaknya ke mari.
“Sejak pulang kampung, baru tiga malam ini Dede tidur di pondok. Dua malam di sini, ketika baru sampai, dengan malam ini, lalu satu malam di pondokku. Selebihnya dia merantau.” Terdengar suara nenek Kam bercerita dengan kedua kakekku.
“Merantau? Kamu ajak kemana Cucungku, Relingin? Kamu suruh ikut Macan Kumbang adik bujangmu itu?” Kekek Haji Yasir menyebut nama Nenek Kam. Beliau tertawa mendengar ucapan kekek Haji Yasir.
“Mau tahu saja perjalanan anak muda. Kemana lagi kalau bukan ke gunung Dempu. Bertemu dengan puyang-puyangnya dari Uluan.” Lanjut nenek Kam kembali. Hening. Aku yakin kedua kakekku kaget lalu berpikir tentang keajaiban-keajaiban yang tidak masuk akal. Untung ibu tidak mendengar, kalau ibu mendengar nyinyirnya pasti kambuh. Bisa merepet sampai berasap mirip gerbong kereta api zaman dulu.
“Ah, sudah. Relingin ngeranyam panjang.” Kata kakek Haji Majani. Ngeranyam panjang artinya banyak cerita tak jelas.
“Dek pecaye ude.” Lanjut Nenek Kam kembali. Artinya kalau tidak percaya ya sudah. Selebihnya mereka kembali bercerita tentang bukit di Hulu sebagian besar dijadikan kebun oleh pendatang dari Semende.
“Rimba raya di huluan sudah banyak ditebas jadi kebun kopi. Bahkan sekarang mereka sudah membuat talang (rompok) di situ. Lama kelamaan bukit itu akan jadi kota karena ramai.” Ujar Nenek Kam lagi. Padahal kekhawatiran Nenek Kam adalah lama-lama rimba di bukit itu akan habis dan nenek gunung akan semakin sempit hutan buruannya. Hewan juga makin berkurang. Nenek gunung akan kekurangan makanan. “Bukannya cukup jadi pelajaran beberapa waktu lalu nenek gunung menyerang manusia? Hewan-hewan ternak penduduk banyak yang mati. Bahkan banyak petani tidak berani ke kebun atau ke ladangnya. Semua karena hidup mereka terganggu.” Ujar Nenek Kam kembali.

Aku mendengarnya dari dalam. Sejenak aku tercenung. Muncul cemasku jika hutan di huluann dibuka, kemana lagi nenek gunung berlindung. Lalu kerajaan-kerajaan jin yang selama ini damai, tidak pernah mengganggu kehidupan manusia, mereka pasti terusik.
“Ah ini pasti tidak terlepas dari izin Kepala Desa. Pasti kakakku itu yang memberikan izin orang-orang dari Semende untuk membuka lahan di sana,” aku membatin. Aku harus menemuinya. Aku akan protes kebijakan yang diberikannya. Jangan mentang-mentang nenek moyang Ibu berasal dari Semende lalu mereka diizinkan berkebun di ‘bukit ijang’ itu seenaknya. Rasanya aku ingin saat ini juga menemuinya.

“Nek, darimana paisan ikan ghuan ini? Siapa yang masaknya?” Ibu membawa tiga ruas bambu berisi ikan pepes yang dimasak dalam ruas bambu . Ikan itu kami bawa petang kemarin. Tapi ibu baru menyadarinya jika ada lauk ikan pagi ini.
“Tidak usah tanya-tanya darimana. Yang penting kamu tidak perlu masak lauk. Tinggal rebus pucuk ubi, atau gheghancang teghung (terong masak bening), sudah!” Kata Nenek Kam sambil megunyah sirihnya.
“Iya…tapi tidak ada salahnya bertanya darimana? Siapa tahu kalau enak, sama dengan masakanku, besok minta lagi.” Ujar Ibu menggoda. Nenek Kam tersenyum mendengar pernyataan Ibu.
“Paidan ikan itu dari Uluan, masakan Sulijah kawanku” Ujar Nenek Kam. Ibu hanya mengangguk-angguk tidak paham siapa Sulijah. Sementara aku tersenyum sendiri teringat nenek Sulijah pernah tidur dengan Kakek Haji Majani dan Haji Yasir ketika beliau ditugaskan Nenek Kam menggantikan aku, agar ibu tidak sibuk mencariku. Ternyata Nenek yang suka melawak itu pintar masak juga.

“Ayo bangun, kita ke hilir.” Tiba-tiba telingaku ditarik Macan Kumbang. Aku mengucek-ngucek mataku yang belek’an. Soalnya habis solat subuh aku tidur lagi, tapi hingga kini mataku masih terasa berat. Udara yang dingin membuat aku enggan ke luar dari selimut.
“Ada apa di hilir” Tanyaku setengah malas.
“Jalan-jalan ke Endikat” Ujarnya lagi. Tumben Macan Kumbang mengajakku ke Endikat hilir. Akhirnya aku bangkit setengah malas.

Tanpa cuci muka, apalagi mandi, aku segera mengambil sepatu lalu memakainya dan turun lewat pintu belakang. Sebenarnya Macan Kumbang melarangku mengenakan sepatu. Aku pura-pura tidak mendengar. Kami berdua langsung masuk ke dalam kebun kopi kakek tanpa pamit. Terdwngar ibu ikut nimbrung dengan kakek Haji Majani, Kekek Haji Yasir, dan Nenek Kam. Mereka tengah membahas gulai ikan dalam ruas buluh dari Nenek Sulijah. Ibulah yang selalu bertanya sampai detil. Samar-samar terdengar suara ibu bertanya, dapat darimana mereka dapat bumbu dapur. Apa di alam nenek gunung ada sawah, tebat, kebun kopi, ladang bumbu dapur? Apa sama seperti kita bercocok tanam dan lain sebagainya. Sementara Bapak masih asyik dengan ayam-ayamnya. Beberapa induk ayam dan ayam jago, menurutku sangat liar tetapi terlihat asyik berkerumun minta dielus sama Bapak. Kadang-kadang Bapak digodain Ibu menyebut Bapak sebagai ‘bapak ayam’. Soalnya semua hewan peliharaannya manja semua.

“Ada apa di hilir, kita tidak pamit loh. Nanti semua heran” Ujarku setengah berbisik.
“Sebentar saja kok. Sebelum mereka bertanya kita udah pulang” Ujar Macan Kumbang menarikku. Macan Kumbang memanggil angin agar cepat sampai. Sampai di lokasi aku melihat-lihat apa yang menarik di sini kecuali air Endikat yang bergemuruh menghantam batu-batu kecil dan berbuih. Udara terasa sangat dingin. Aku sedikit menggigil.
“Lihat itu” Ujarnya menujuk balik batu besar yang ditutupi pohon menjuntai. Aku kaget sekali. Anak nenek gunung tergeletak dengan separuh badan terendam air ke sungai. Aku segera melompat menghampirinya. Aku menoleh-noleh mencari induknya. Mengapa anak kecil ini sendiri di sini.
“Dia terperosok dari atas, Selasih. Pinggangnya patah” Ujar Macan Kumbang. Dadaku langsung terasa sesak. Kasihan sekali anak kecil ini. Tubuhnya sudah lemas.

Tidak menunggu lama, aku mengangkat tubuhnya yang terendam ke atas batu yang agak datar. Kuraba punggungnya, sepertinya benar, pinggangnya patah. Aku segera membaca mantra dan meletakkan tanganku di punggungnya. Kuelus sembari transfer energi. Kurasakan pelan-pelan tulangnya yang masih muda kembali menyatu. Suara desah nafasnya kembali teratur. Matanya berair. Kembali aku meraba seluruh tubuhnya. Ternyata hanya pinggang saja. Untung tidak ada luka. Kupeluk anak malang ini sepenuh hati.
“Lain kali hati-hati, sayang. Mengapa kamu terpisah dengan indukmu?” Ujarku sembari mengelus kepalanya. Berkali-kali lidahnya menjilat-jilat wajahku sebagai ucapan terimakasih. Kubiarkan lidah kasap dan sedikit anyir itu membasahi pipiku. Aku tertawa geli. Ingin rasanya membawanya pulang untuk teman bermain.

Melihat nenek gunung kecil ini aku ingat pertama kali bertemu Gundak. Ketika itu dia terluka hingga ususnya terburai gara-gara ditanduk kerbau liar. Nenek Kam menyuruhku menyembuhkannya. Aku pun melakukan sebisaku waktu itu. Rupanya Nenek Kam memberikan pelajaran padaku agar aku bisa awas dan peka mengatasi situasi genting seperti itu dan bagaimana menolong sesama makhluk. Kali ini aku berhadapan dengan nenek gunung lagi. Tapi yang ini asli harimau kecil. Bukan harimau jadi-jadian atau manusia harimau seperti Gundak.

Aku menarik nafas lega ketika nenek gunung kecil berdiri. Tapi tubuhnya masih terlihat lemah. Kakinya gemetar. Aku mencoba membantunya memberikannya minum.
“Minum dulu ya. Kamu mencari apa sampai terjatuh anak kecil.” Ujarku mengelus punggungnya. Dia harimau jantan yang masih sangat muda. Paling usianya empat bulan. Kali ini dielus-eluskannya bulunya ke kakiku.

Grrrhhh…grrrrhhh…
Tiba-tiba dari hulu aku melihat dua ekor nenek gunung melompat dari tebing cadas ke pohon dan batu-batu Endikat. Anak kecil itu langsung bersuara lirih manja. Rupanya bapak dan induknya datang. Aku melepas si anak mendekati kedua orang tuanya. Sepasang nenek gunung sibuk mencium dan menjilatinya.
“Bantu mereka mengangkat anaknya ke atas, Selasih.” Ujar Macan Kumbang. Akhirnya aku mendekati tiga nenek gunung itu. Aku minta izin pada kedua orang tua mereka untuk membantu anaknya kembali ke atas. Akhirnya dengan izin mereka aku mencoba mengangkat anaknya kembali ke atas cadas. Macan Kumbang membantuku. Dalam sekejab, anak nenek gunung sudah berada di atas cadas kembali. Kedua nenek gunung dewasa duduk menunduk hingga tubuhnya rata dengan tanah. Kesayangan sujud dalam sekali petanda mengucapkan terimakasih. Aku mengelus keduanya. Lalu mempersilakan mereka pergi memasuki belantara lagi.

Baru saja hendak berbalik badan, tiba-tiba ada yang bertepuk tangan. Aku menoleh, ternyata Kakek Njajau.
“Hei! Berani sekali kalian masuk wilayahku tanpa permisi!” Suara Kakek Njajau. Beliau berdiri di atas batu besar sambil menatapku dan Macan Kumbang. Aku tahu beliau sedang bercanda.
“Maafkan kami Paduka, kami tidak tahu jika ini wilayah Paduka. Kami hanya numpang lewat Paduka” Jawabku sambil bergaya setengah takut. Kakek Njajau melompat turun ambil tertawa kencang. Suaranya menggema hingga ke dasar jurang.
“Bersalaman dulu, Paduka. Aku rindu.” Ujarku meraih tangannya dan menciumnya. Kekek Njajau kembali tertawa sambil menepuk pundakku berkali-kali.
“Untung kau segera datang menolong anak kecil itu. Kalau tidak bisa mati dia” Ujar Kakek Njajau.
“Untung Macan Kumbang mengajakku ke mari, Kek. Kalau tidak mana mungkin aku bertemu dengan penguasa sungai Endikat ini” Ujarku. Kakek Njajau kembali tertawa kencang.

Heran kalau di daerah kekuasaannya Kakek Njajau tertawa lepas. Mungkin sepanjang sungai ini mendengar suara tawanya. Sudah lama sekali aku tidak melihat beliau tertawa lepas seperti ini.
“Kakek mau kemana? Patroli ya” Tanyaku serius.
“Itu..” Bibirnya manyun menunjuk batu yang menonjol di permukaan air. Aku terbengong, di batu yang beliau tunjuk aku melihat sosok kakek Njajau tengah duduk seperti sedang berzikir. Lalu dihadapanku ini asli apa palsu? Aku membatin. Tak lama telingaku disentilnya.
“Lihat seperti ini saja heran. Kamu saja bisa jadi enam.” Ujar Kakek Njajau kembali. Aku mengangguk-angguk. Macan Kumbang asyik melompat dari batu satu ke batu lainnya seperti orang sedang olahraga. Rupanya di tengah mencari ikan. Beberapa kali kulihat dia melompat ke dalam sungai menangkap ikan sema dan memakannya. Tak lama kami berdua pamit pulang. Kakek Njajau melanjutkan zikirnya kembali.

Matahari belum muncul sempurna. Kabut pebukitan belum mampu ditembus cahaya matahari. Kali ini aku naik ke punggung Macan Kumbang. Dalam sekejab aku dan Macan Kumbang telah sampai di pondok kakek Haji Yasir.
“Hmmm rupanya dari hilir kalian ya ?” Tanya Nenek Kam padaku. Mata Ibu melirik ingin tahu.
“Darimana, Dek?” Tanya Ibu melihat aku melepas tali sepatu.
“Dari hilir, Bu” Jawabku.
“Anakmu dari Endikat, menolong anak nenek gunung”
“Ha!!!” Mata ibu terbelalak tidak percaya. Nenek Kam senyum-senyum menatap wajah Ibu.
“Tidak usah heran, Luhai. Dari dulu juga anakmu dah biasa bergaul dengan nenek gunung”Lanjut Nenek Kam kembali. Wajah ibu masih terlihat kaget.
“Pagi-pagi dah cerita horror!” Ujar Ibu. Macan Kumbang yang berdiri di sampingku mengangkat tangan ke telinganya sambil melet-melet menggodaku.
“Ibu yang takut, kok aku yang digoda?” Ujarku sedikit keras.

“Nah! Bicara sama siapa?” Ibu menoleh ke kiri ke kanan melihat-lihat siapa tahu ada penampakan. Macan Kumbang tertawa cekikikan sambil menjauh. Aku menutup mulut melihat Ibu makin membelalak. Nenek Kam buru-buru ke depan membawa secangkir kopi sembari tertawa kecil.

Sejak tadi malam Kakek Haji Majani dan Kakek Haji Yasir banyak sekali rencananya. Pertama mau ziarah ke makam orang tua mereka yang sudah tidak tahu kemana nisannya. Cuma tahu lokasinya saja. Soalnya nisan-nisan makam leluhur mereka banyak diambil para pekerja jalan tempo dulu ketika jalan ke seberang Endikat masih seperti kubangan kerbau. Rencana ke dua kakekku, mau ziarah ke makan Puyang Kedum Tengah Laman. Yaitu gelar Puyang Ali Goni leluhur dusun Seberang Endikat. Aku hanya mendengarkan mereka berdua bercengkrama. Kedua kakekku ini terlihat akrab dan saling mengalah. Kata kekek Haji Majani ke makam Puyang dulu baru ke makam kedua orang tua mereka. Sebaliknya kata Kakek Haji Yasir tidak mungkin makam orang tua mereka dilewati saja. Kan tidak sopan. Aku senyum-senyum sendiri mendengar perdebatan kecil itu.

Akhirnya kakek Haji Majani mengalah. Mereka akan ziarah ke makam orang tuanya terlebih dahulu baru ke makam Puyang Kedum Tengah Laman.
“Mau diantar tidak kakek-kakekku yang ganteng? Mau cepat apa lambat?” Ujarku menawarkan diri.
“Ah tidak, biarlah kami berjalan pelan-pelan. Jangan suruh kawanmu itu menampakan diri. Bisa mati tengah jalan nanti kakek berdua” Ujar Kakek Haji Yasir.
“Dulu katanya, kakek berdua pendekar. Pinter kutau. Sering ke luar masuk hutan, baik ketika masih jadi tentara maupun sebagai petani. Katanya dulu sering bertemu nenek gunung. Terus Kakek Haji Yasir pernah menangkap ular sebesar paha gara-gara ternak penduduk sering dimakannya. Apa itu tidak hebat?” Ujarku.
“Itu dulu. Ketika masih muda. Sekarang sudah tua. Nafas saja tinggal satu-satu. Jangan kau takuti kakekmu ini” Lanjut Kakek Haji Majani. Akhirnya aku tersenyum mengiyakan. Biarlah dua kakekku merdeka dengan kehendaknya. Padahal maksudku jika beliau bersamaku, maka akan kubawa mereka diam-diam agar cepat sampai ke tempat tujuan. Tapi biarlah untuk kali ini, aku tak ingin mengganggu keduanya.

Sepeninggal kakek Haji Majani dan Kakek Haji Yasir, Nenek Kam tidur-tiduran sambil memeluk penumbuk sirih. Matanya merem melek. Tak lama secara tak kasat mata, beliau bangkit dan berjalan. Kusapa mau kemana. Jawabnya menyusul kakek Haji Majani dan Kakek Haji Yasir. Aku tidak percaya Nenek Kam menyusul. Pasti beliau sudah duluan menunggu di makam. Tapi tak apalah, kedua kakekku biasa berhadapan dengan Nenek Kam seperti itu. Asal bukan ibu. Kalau Ibu bisa dipastikan kalau tidak pingsan bisa-bisa apa yang dipegangnya terlempar. Dikiranya hantu mirip Nenek Kam nanti.

Macan Kumbang kutarik-tarik kakinya. Aku iri melihatnya pagi-pagi sudah lelap.
“Ada apa? Aku ngantuk” Ujarnya sambil memicing.
“Ayo kita jalan. Aku bosan di sini. Semua pergi. Kakek ziarah, Nenek Kam sudah pergi duluan, kita ke tempat kakek Njajau atau ke tempat Kakek Andun yok… ” Ajakku. Macan Kumbang tidak bergerak. Dia kembali terlelap. Bahkan suara ngoroknya makin santer. Akhirnya aku ke luar pondok. Bapak dan Ibu nampaknya sudah di tengah kebun. Mungkin sedang memetik kopi yang matang satu-satu sisa panen raya kemarin. Rumput juga masih terlihat pendek pasca dibantu nenek gunung.

Aku duduk di beranda pondok. Aku bingung mau melakukan apa. Akhirnya kututup pintu pondok, kutinggalkan Macan Kumbang dan sosok palsu Nenek Kam yang tertidur lelap. Aku kembali ke sungai Endikat. Jika tadi pagi aku bersama Macan Kumbang jauh ke hilir, kali ini aku akan mulai dari hulu.

“Selasih!” Suara memanggilku dari atas bukit. Aku baru saja duduk-duduk di atas batu besar. Air yang mengalir dari hulu sangat kencang. Menikmati hutan belantara samping Endikat di hulu ini bagiku sungguh nyaman. Meski matahari sudah tinggi tapi udara di sini terasa lembab. Aku mendongak ke arah suara yang memanggilku. Aku tidak tahu suara siapa. Aku menunggu-nunggu dia kembali memanggil atau berdiri di hadapanku. “Selasih, ke mari!” Suara itu lagi. Tapi aku tidak melihat sosok yang memanggilku. Lama aku mengawasi arah suara. Tidak juga terlihat sosoknya.
“Oiii siapa itu? Dimana?” Balasku sambil sedikit teriak. Kupasang telinga dan mataku tajam-tajam. Tak lama aku melihat dahan kayu besar yang menguntai ke sungai bergoyang-goyang lagi.
Masya Allah, nenek gunung! Tapi aku belum tahu siapa dia? Aku mencari-cari jalan untuk bisa ke atas. Tidak ada. Jurang ini sangat curam. Akhirnya aku hanya melambai-lambaikan tangan saja lalu kembali duduk dan memandang sebentar di seberangku.

Air nampak deras dari hulu. Gemuruhnya kadang berirama seiring batu-batu yang berbenturan. Rasa-rasanya aku baru kali ini ke mari. Di hilir ada bendungan kecil untuk pembangkit listrik. Aku berusaha memandang air yang mengalir di bagian tepi sungai. Sekadar melihat-lihat ketam merangkak-rangkak di sela-sela batu.
“Selasih!” Kali ini aku dikejutkan oleh tiga ekor nenek gunung turun dari atas cadas. Yang satu mengibas-ngibaskan bulunya. Nampaknya habis menangkap ikan di sungai. Yang satu lagi berjalan santai lalu duduk si atas batu-batu yang lembab.

Aku menghampiri sekaligus menatap mereka sambil berpikir dimana kami pernah bertemu. Aku lupa.
“Rasanya kita pernah bertemu sebelumnya, dimana ya” Tanyaku pada nenek gunung yang usianya sudah cukup dewasa. Dialah yang menyebut-nyebut namaku.
“Aku Alam dari Ulu Bukit Selepah, muanai endung Gundak” Ujarnya. Maksudnya saudara lelaki ibu Gundak. Aku baru ingat. Benar, beliau adik Umak Gundak. Biasanya kalau ada acara di Ulu Bukit Selepah kulihat beliau paling sibuk membantu menyiapkan segala sesuatu.
“Oh, iya. Maafkan aku Mamak (paman), aku setengah lupa.” Ujarku menundukkan badan, memberi hormat pada mereka. Meski mereka usianya tidak jauh dariku, namun aku tetap harus menghormatinya karena dia saudara Umak Gundak. Selebihnya beliau bercerita jika sedang berburu lalu terasa lelah main di tepi sungai ini.

Aku tertawa-tawa ketika melihat di antara mereka berlaku mirip seperti kayu yang hanyut. Pertama kukira hanyut benaran. Habis mereka persis seperti benda mati yang digulung arus. Ketika aku kaget melihatnya lalu melompat hendak menyambar tubuh mereka yang hanyut, tiba-tiba dia bergerak dan berenang. Aku lebih kaget lagi.
“Ah Mamak, kukira Mamak pingsan dan hanyut! Ternyata pura-pura” Teriakku. Suaraku memang harus kencang melawan gemuruh sungai. Ketiga nenek gunung itu tertawa. Rupanya mereka memang sengaja melakukan seperti itu sambil melihat ikan di dalam air.

Matahari sudah semakin tinggi. Cahaya panasnya sudah menembus hingga ke dasar sungai. Air sungai yang bening, seperti cahaya mutiara berpendar-pendar. Aku dan tiga nenek gunung agak menepi mencari tempat yang teduh.
“Mak, kapan menjemput bunting (calon pengantin) Gundak?” Tanyaku pada Mamak Alam.
“Tidak lama lagi, Selasih. Rupanya kau sudah tahu ya” Tanya beliau yang kujawab dengan anggukkan.
“Nanti kalau menjemput ‘bunting’ ikut ya. Saat ini, masih mempersiapkan untuk bagok’an tersebut. Maklum Gundak kan anak satu-satunya, dan dialah yang akan melanjutkan Baknya” Kata Mamak Alam lagi.
“Insya Allah, semoga saja aku tidak sibuk dengan urusan dunia nyataku, Mak. Kalau bulan depan aku sudah pulang ke Bengkulu. Aku harus mempersiapkan diri untuk Ujian Nasional, Mak” Ujarku lagi. Teringat beberapa bulan ke depan akan lebih berat. Aku harus mengurangi aktivitas lain untuk mempersiapkan diri Ujian Nasional. Apalagi aku bercita-cita ingin kuliah. Ingat rencana Ujian Nasional, lalu ikut Sipenmaru, darahku sedikit berdebar. Rasanya waktu begitu singkat.

“Mamak, boleh aku bertanya?” Ujarku agak serius. Mamak Alam menatapku serius pula.
“Apa yang mau ditanyakan, Putri Selasih?” Ujar beliau ikut duduk di sampingku. Aku berpikir sejenak memikirkan bentuk pertanyaan seputar menyunting bangsa manusia.
“Begini, Mak. Gundak kan akan ‘bebunting’ (menikah) dengan bangsa manusia. Kalau bangsaku sudah disunting, maka tidak bisa dibatalkan lagi ya, Mak?” Tanyaku.
“Selama ini belum pernah terjadi pembatalan, Selasih. Sebab secara lahir, bangsa manusia itu sudah ditakdirkan memiliki batin yang bisa senergi dengan bangsa nenek gunung. Jadi tidak sembarang orang” Ujar Mamak Alam.
“Tapi, Mak. Beberapa kali aku melihat bunting yang dipinang nenek gunung di gunung Dempu, semuanya tidak ada yang ceria. Wajah mereka kaku dan pucat” Ujarku kembali ingin tahu meski beberapa kali nenek Kam pernah menjelaskan bagaimana proses penjemputan pengantin. Tapi aku masih juga tidak puas. Rupanya memang tidak hanya sukma bangsa manusia pilihan yang mereka sunting. Tapi utuh dengan fisiknya. Maka dalam kehidupan kasat mata yang disunting terlihat meninggal. Padahal bukan jasadnya. Jasadnya diganti dengan pohon pisang. Dan itu sudah berlangsung sejak lama. Bahkan di alam gaib beberapa kali aku bertemu dengan bangsaku pada dasarnya mereka dulu adalah manusia. Tapi tidak bisa pulang lagi ke alam nyata. Ada yang memang melakukan perjanjian pindah alam, ada yang karena kemampuan yang dimilikinya bisa ke dua alam, ada yang diculik makhluk gaib, ada juga yang sengaja berdiam di alam gaib dalam waktu tertentu. Bahkan tidak sedikit satu kampung digaibkan. Banyak perkampungan gaib yang ditemukan di sepanjang Sumatera ini. Mamak dengan sabar bercerita sesuai yang beliau pahami.

“Ada tamu rupanya” Tiba-tiba Kekek Njajau sudah berdiri di belakangku.
“Kakek!” Aku berdiri langsung menghampirinya diikuti Mamak Alam dan dua kawannya.
“Tadi di hilir, sekarang sudah di hulu. Bertemu pula dengan Alam. Mana Macan Kumbang dan Nenek Kam? Kamu kabur ya?” Kakek Njajau menatapku sedikit menyipitkan mata. Kusambut dengan tawa. Kakekku satu ini pura-pura tidak tahu perjalananku.
“Kura-kura dalam perahu, kakek pura-pura tidak tahu” Jawabku.
Hup! Hup! Hup!
Tiba-tiba kakek Njajau menyerangku. Aku kaget bukan main. Aku spontan mengelak dari pukulan tangan kosongnya. Luar biasa, pukulan jauh kakek Njajau menghantam batu dan hancur.
“Wow! Keren kek” Ujarku sambil melompat agak tinggi.

Kakekku satu ini memang rada aneh. Serangan mematikan yang dilakukan beliau dianggapnya main-main. Hal yang seperti ini bukan sekali dua kali dilakukannya padaku. Sering kali. Terutama kalau berada di daerah kekuasaannya sepanjang sungai Endikat.
Hiiiiiaaaat!!
Tiba-tiba tangannya menapak ke bumi. Dalam waktu sekejab bumi seperti bergetar. Aku berusaha berdiri. Namun semakin berguncang. Akhirnya aku melompat dan mengambang di udara demi menghindari pukulan-pukulan kakek Njajau. Aku takjub, ternyata guncangan itu hanya dilakukan padaku. Mamak Alam dan dua kawannya tetap duduk manis menonton kami berdua.

Hiiiiiaaat!
Kakek Njajau mengakhiri gerakannya dengan duduk bersila. Aku sudah mendarat kembali dan berdiri di hadapannya.
“Sudah cukup olahraga hari ini. Lanjutkan kalian bincang-bincang. Kakek mau ke Hulu” Ujarnya melesat hilang dari pandanganku. Mamak Alam dan dua kawannya tertawa melihat tingkah aneh kakek Njajau.
“Sudah tua, tapi masih bertingkah seperti anak muda. Hebat sekali kakek Njajau ini” Kata Paman Alam memandang ke arah kakek Njajau menghilang. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Kakek Njajau memang aneh. Datang dan pergi sesukanya, tiba-tiba.
“Aku sudah biasa berhadapan dengan beliau seperti ini, Mak. Seringkali aku rasa akan celaka. Tapi sebenarnya beliau sedang mendidik aku untuk peka dan waspada. Begitulah cara beliau mengajarkan banyak hal” Ujarku mengatur nafas yang masih sedikit engos-engosan.

Aku mengawasi bekas pukulan kakek Njajau. Masya Allah, ternyata hangus dan mengeluarkan bau gosong. Aku tidak bisa bayangkan jika pukulan itu mengenaiku. Tapi kakek Njajau nampaknya memang tidak pernah main-main. Bahkan bermain pun beliau sangat serius.
“Ada yang memantulkan cahaya, Selasih” Ujar Mamak Alam.
Benar, aku melihat ada cahaya memantul dari bagian yang gosong. Aku mengulik-nguliknya. Ternyata batu permata berwarna biru. Aku mengambilnya dan meletakkannya di atas telapak tanganku. Cahayanya memantul biru pula. Dengan membaca doa terlebih dahulu, benda itu kukembalikan ke alamamnya.
“Mengapa dikembalikan, Selasih. Bukankah benda itu bisa kau gunakan?” Tanya Mamak Alam.
“Permata itu bukan milik kita, dan bukan pula diberikan pada kita Paman. Aku tidak ingin benda itu mempengaruhi perasaanku, mempengaruhi batin kita” Ujarku.
Mamak Alam manggut-manggut. Matanya menatap lurus ke sungai yang masih beriak menghilir, berbuih, dan bercanda dengan batu-batu bujang.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *