HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT II (22)

Karya RD. Kedum

Pulang sekolah seperti biasa aku dan kawan-kawanku sambil berjalan akan membuat berbagai rencana untuk main atau atau mengerjakan PR bersama. Karena umumnya sahabat-sahabatku tinggal di ruko yang menyebar di pasar kota Pagaralam. Biasanya kami akan mencari rumah kawan kami yang cukup luas dan sepi untuk tempat berkumpul.

Akhirnya kami sepakat, bermain di tanah kosong belakang ruko bapakku. Kami ingin menikmati jelang libur panjang dengan bermain bersama-sama. Sebab kawan-kawanku ada yang akan liburan bersama keluarga mereka ke Jakarata, Palembang, ada juga yang ke pulau Jawa.

Dalam hati sebenarnya aku ingin juga bisa pergi menyeberang ke pulau Jawa. Aku menganggap kawan-kawanku adalah anak-anak yang beruntung karena mereka bisa menginjak Jakarta dan pulau Jawa dalam usia muda. Sementara aku, tidak punya alasan ke luar kota. Bapakku sibuk dengan bisnisnya. Makanya pilihan bijak daripada diam di rumah saja, aku lebih memilih pulang kampung bisa bertemu dengan Haji Yasir kakekku.

“Rencana kamu akan liburan kemana, Erus” Tanya Evi padaku. Anak pemilik studio foto terkeren di kotaku ini kadang memangilku Erus kadang Dedek seperti panggilan kesayangan keluargaku. Liburan kali ini dia akan ke Jakarta bersama keluarganya. Dalam hati aku aku membayangkan kebahagiaannya. Pasti dia akan main ke Monas yang indah itu. Tapi tak apalah, dengan senang hati aku akan menunggu cerita serunya ketika dia pulang kelak.

Aku sudah berjanji akan liburan ke dusun Bapak Ibuku bersama kakek Haji Majani agar bisa bertemu dengan kakekku Haji Yasir tentunya. Ah! Tidak hanya itu. Aku ingin bisa bersama-sama nenek Kam, sebab sehari dua hari ini rencana nenek Kam akan pulang kampung. Pasti aku akan sangat rindu.

“Libur pertama aku mau ikut kemah Pramuka di Bandar Jaya selama empat hari, Ev. Lalu pulang dari sana aku mau ikut kakekku pulang ke dusun” Ujarku sambil terus berjalan.

“Kamu mau minta oleh-oleh apa?” Tanya Evi lagi. Sahabatku keturunan Tiongha satu ini memang berbeda dengan yang lainnya. Setiap dia pulang dari liburan, pasti ada oleh-oleh untukku. Apalagi ketika hari-hari besar tertentu, misalnya lebaran. Sudah dipastikan mamanya menghadiahiku baju baru. Jika natal dan imlek, pun aku diberinya pula hadiah, minimal roti kaleng, minuman dan coklat kesuakaanku. Bonusnya angpau tentunya.

“Vi, belikan aku boneka aja ya” Timbalku, yang disambut Evi dengan anggukan. Rasanya aku bahagia sekali memiliki sahabat-sahabat yang baik seperti mereka. Baik lelaki dan perempuan sama baiknya. Masih asyik membicarakan masalah liburan dan rencana untuk saling jemput sebelum bermain bersama, tiba-tiba segerombolan anak menghadang langkah kami.

Beberapa orang mendorong tubuh kawanku. Evi sahabatku nyaris terjerengkang meski tubuhnya agak tinggi. Ada sekitar sepuluh anak perempuan sengaja mencari gara-gara untuk membuat keributan. Di antara mereka ada yang bertubuh agak besar. Nampaknya dia adalah ketua kelompok. Aku mengawasi gerak-gerik mereka. Nampaknya mereka hendak memalak kawan-kawanku. Terutama anak-anak keturunan Tionghoa. Tas kawan-kawanku mereka tarik. Bahkan rambut Merry mereka jambak. Mereka menyangka Merry anak keturunan Tionghoa juga karena berkulit putih dan rambutnya agak pirang.

Keributan kecil mulai terjadi. Aku tidak bisa tinggal diam. Melihat kawanku ditarik-tarik kubentak mereka sekuat-kuatnya. Entah bagaimana mereka terdiam semua. Kusuruh kawan-kawanku mundur ke belakang. Kulihat kancing baju kawanku ada yang sampai lepas. Yang menonton adegan itu pun banyak. Adik kelas, kakak kelas yang melintas hanya bisa jadi penonton. Paling hanya memegangi kawanku yang ketakutan. Mereka tidak berani melakukan tindakan lebih, sebab bisa dipastikan entah kapan kalau tidak dipalak, dihadang, dikeroyok.

Inilah kota kecilku Pagaralam. Banyak sekali preman kampung yang suka memalak orang yang dianggap lemah. Kali ini ada kelompok perempuan dan semuanya pelajar Sekolah Dasar. Anak-anak kemarin yang masih bau kencur tapi sudah mempunyai karakter kriminal. Sebelumnya memang pernah terdengar olehku ada kelompok anak perempuan dari SD Negeri 10 suka memalak anak sekolah lain. YayMereka biasanya berkelompok. Yang dipalak bukan hanya uang bisa juga buku, penghapus, pena, pensil dan lainnya. sebagainya. Kali ini sepertinya mereka mulai mengembangkan sayap menjadikan SD Xaverius sebagai sasaran baru.

Aku menghampiri ketua kelompok lawan. Kutatap tajam matanya. Ingin sekali rasanya aku menelannya. Meski tubuhnya lebih tinggi tapi aku tidak gentar. Aku benci sekali melihat kelakuannya. Ingin rasanya kubuat babak belur semua. Dengan membusungkan dada dan tangan dipinggang kutantang dia. Semula wajahnya dibringas-bringaskan tapi ketika bertatapan denganku nampak wajahnya sedikit ciut.

“Hei! Apa maunya kalian? Mengapa kalian rame-rame manghadang kami? Mau nyari gara-gara?” Aku langsung memegang leher baju ketua kelompok mereka. Kutatap matanya tajam-tajam. Mereka adalah anak-anak dari Tebat Baru yang kampungnya paling terkenal banyak premannya serta dominan dihuni oleh suku tertentu yang terlanjur mendapat predikat suku yang jahat. Tiap kali ada pembunuhan, saling bacok, berkelahi, mencopet, penjudi, maling, selalu dari suku ini. Dan tiap kali penjahat lari pasti ke kampung itu.

Di hadapanku sekarang adalah anak-anak dari kampung yang menyatakan kampungnya paling serem. Beberapa kawanku yang sama belajar kung fu denganku nampak waspada dan siap dengan kuda-kuda. Mendengar pertanyaanku ternyata mereka semua bungkam. Tidak ada satupun yang menjawab. Aku dorong tubuhnya sambil menunjuk wajahnya. “Ingat! Kalau kamu dan kawan-kawanmu masih berani menghadang kami, anak-anak Xaverius ini, akan kucari kalian.” Ujarku geram sambil menunjuk mereka satu-satu. Entahlah aku tidak tahu mereka menjadi berubah. Semuanya seperti anak ayam melihat elang. Satu-satu mereka mundur dan pulang.

Kami melanjutkan perjalanan. Tak lupa aku memberikan pesan pada kawan-kawanku kalau ada di antara mereka masih mencegat atau mengganggu, ingat-ingat cirinya. Aku akan cari mereka. Akhirnya semua dapat bernafas lega.

Sampai di depan Masjid Raya, aku minta izin kawan-kawanku untuk belok kanan, sementara mereka memilih jalan lurus karena jalan itu sudah dekat dengan rumah-rumah mereka. Aku berniat mengambil majalah Bobo dan Kuncung di toko Veolet langgananku. Aku mulai masuk lorong pasar yang mulai sepi. Para pedagang sayur rata-rata sudah pulang. Meski lengang, jalan sempit, agak gelap dan sedikit becek, aku terus berjalan. Jalan ini adalah jalan pintas untukku agar bisa cepat sampai ke toko tujuan.

Baru kira-kira lima puluh meter masuk lorong, sejumlah anak menghadang dan rame-rame menyeretku. Tubuhku mereka dorong hingga terjatuh di sela-sela bangku dan meja pedagang yang sempit. Aku kaget dan tidak sempat mengelak. Mereka menyergap cepat sekali. Nampaknya mereka sengaja mencari sela untuk membokongku dari belakang. Aku merasakan tulang igaku sakit sekali terbentur ujung meja. Rok yang kupakai bagian belakang sepertinya koyak entah kena paku atau besi yang agak menonjol. Kutahan rasa nyeri tulang igaku. Aku merasakan sedikit sesak ketika menarik nafas. Sementara untuk bangun agak sulit karena tempatnya sempit.
“O, anak ini yang berani menantang wong Tebat Baru, ya. Punya nyali juga rupanya”. Seorang anak lelaki bertampang kusut menendang tulang keringku. Aku berusaha bangkit. Tapi rupanya dia injak perutku. Aku tangkap kakinya lalu sekuat tenaga kupelintir hingga berbunyi “trak”. Aku yakin kakinya cedera. Aku tidak peduli kakinya patah atau keseleo.
Aku ingat pesan Bapakku. Jika dalam keadaan terdesak dan kamu tidak bersalah maka Bapak izinkan kamu cederai lawanmu. Jangan pikirkan akibatnya. Itu urusan nanti. Bapak yang akan membereskannya. Pesan itu memang ditanamkan Bapak padaku, melihat kondisi kotaku rata-rata masyarakatnya berwatak keras dan kasar. Untuk itulah aku diwajibkan ikut salah satu perguruan bela diri sejak kecil, tidak lain agar aku bisa membela diri. Apalagi santer pula penculikan anak yang dimasukan ke dalam karung dan lain sebagainya.

Aku segera berdiri. Barulah aku tahu rupanya anak-anak yang menghadang kawan-kawanku tadi semua di sini. Mereka mengelilingiku. Aku mulai waspada. Kupusatkan konsentrasi untuk merubuhkan mereka. Aku tahu mereka hendak mengeroyokku. Sementara laki-laki kupelintir kakinya tampak terpincang-pincang menyingkir menahan sakit. Beberapa orang mengambil kayu sebagai senjata.

Aku semakin waspada. Dalam hati aku tidak mau mati konyol. Aku mulai membaca situasi untuk bisa bergerak agar mereka kesulitan mengeroyokku.
“Mati kau kali ini. Ingat! Tidak ada yang boleh menyaingi wong Tebat Baru! Tidak ada yang boleh melawan kami. Siapa yang berani melawan kami, artinya nyari mati!” Ujar di antara mereka yang paling besar.

Nampaknya dia merasa sangat gagah di sini. Tadi dia sempat kutantang dan kudorong tubuhnya. Dalam hati aku menyesal, mengapa tadi Nita, Endang, dan Merry aku suruh pulang dulua bersama Evi dan kawanku lainnya. Coba kalau mereka ada, paling tidak ada orang yang akan mengabari Bapakku. Aku membatin.

Aku ingat pesan guru kung fu-ku. Beliau berpesan saat menghadapi keadaan genting, gunakan akal sehatmu. Kendalikan emosimu, tingkatkan kewaspadaanmu. Jangan grasa-grusu. Dan ingat, jangan pernah menyerang lebih dahulu, agar kamu bisa membaca gerak langkah lawanmu.

Akhirnya aku menunggu mereka bergerak. Ketika ada dua orang melangkah menghampiriku, aku langsung melompat ke atas meja yang berdiri agak mepet ke sudut tembok. Menghadapi jumlah mereka yang banyak tidak mungkin aku sanggup. Dengan cara mepet ke tembok akan memberikan ruang gerak yang sempit buat lawan, sehingga aku dengan mudah melumpuhkan mereka satu-satu.

Brak!! Satu hantaman kayu di arahkan ke kakiku. Aku melompat dan bergantung di besi atap yang rendah, lalu dengan leluasa aku menendang dua wajah yang terjangkau oleh kakiku. Kulihat dua orang itu terhuyung-huyung. Aku kembali memepetkan tubuh ke sudut tembok. Wajah-wajah pengeroyok semakin beringas.

Kali ini rata-rata mereka memegang kayu sepanjang lengan orang dewasa. Aku agak gentar juga. Dalam hati aku pasrah. Aku tidak akan menang menghadapi mereka yang rata-rata tubuhnya lebih besar dariku. Pelan-pelan mereka mulai maju. Sikap mereka pun hati-hati.

Aku menahan nafas tetap waspada. Ada dua orang naik meja di hadapanku. Aku sangat berharap ada orang yang lewat di sini. Tapi harapan tinggal harapan. Tidak ada satupun orang melihat kejadian kami. Dua orang yang kutendang wajanya nampaknya sama-sama berdarah. Aku yakin minimal bibir atau gusinya cedera. Hal ini terlihat ketika mereka meludah.

Satu di antara mereka mencari batu dan bergerak pula mendekati aku sambil menahan nyeri pipinya. Sementara aku bingung jurus apa yang akan aku gunakan demi melihat lawan yang banyak ini?
“Jangan takut, lawan mereka!” Suara Putri Selasih menyemangatiku. Ah, aku lega. Aku lupa jika ada Putri Selasih yang menemaniku. Mengapa tidak dari tadi dia membantuku? Paling tidak memberi petunjuk agar aku melakukan sesuatu.
“Jangan manja! Kalau bisa dilakukan sendiri lakukan. Kecuali kalau sudah dalam keadaan terdesak baru boleh minta bantuan orang lain” Tambahnya.

Pasukan penyerang anak Tebat Baru sudah semakin dekat. Aku kembali fokus pada gerakan mereka. Benar saja mereka hampir serentak menyerangku. Dua orang dari atas selebihnya dari bawah. Entah bagaimana, tiba-tiba tubuhku meliuk-liuk seperti orang menari menghindari serangan lawan. Aku ikuti saja gerakan itu dengan pasrah. Aku merasakan tubuhku sangat ringan.

Dalam gerakan yang masih gemulai, kaki dan tanganku mulai bermain, meninju, menedang, menyikut para pengeroyok. Aku heran, dalam satu gebrakan mereka tumbang sampai berdengik seperti suara kucing jatuh. Aku sadar ini pasti ulah Putri Selasih yang memainkan ilmu kuntaunya. Akhirnya setelah merasakan hantamanku, rombongan pengeroyok anak Tebat Baru itu kucar-kacir pergi. Tidak satupun di antara mereka yang larinya sempurna.

Sepuluh orang perempuan dan satu lelaki itu ada yang lari terpincang-pincang, ada juga yang sempoyongan. Aku membiarkan mereka kabur dengan cara mereka sendiri.

Aku menarik nafas lega. Baju putihku tampak kotor sekali. Rok sekolahku koyak bagian belakang. Tas sekolahku pun penuh dengan lumpur. Sejenak aku bingung, apa yang harus aku sampaikan pada ibu atau Bapakku. Pasti mereka meradang melihat kondisiku yang kumel. Aku mencoba membersihkan dan merapikan bajuku yang kotor sembari berpikir alasan apa yang harus kusampaikan pada mereka.

Apakah mereka bisa percaya jika kusampaikan aku jatuh? Lama aku mempertimbangkannya. Kurasakan Putri Selasih tidak bisa memberikan saran apa-apa. Dia diam saja. Satu sisi aku tidak mau berbohong. Tapi di sisi lain, bisa kupastikan Bapakku akan mencari pengeroyok itu apabila aku berbicara jujur. Apalagi jumlah mereka lebih dari sepuluh orang. Aku khawatir Bapakku ngamuk.

Saat aku berpikir sembari memegang tas sandangku menuju jalan pulang, di ujung timur aku melihat nenek Kam berdiri di samping Macan Kumbang. Mereka berdua memandangku dari jauh. Aku berharap nenek Kam dan Macan Kumbang tidak tahu kejadian barusan.
“Mereka mengawasi kita dari tadi. Justru mereka ada di sini karena mereka tahu kamu dikeroyok.” Bisik Putri Selasih.
“Hmmm mengapa mereka tidak mendekat” Batinku.
“Sama saja dengan memandang dari jauh. Kalau mereka turun tangan alamat bisa seperti kena badai pasar ini. Janganlah. Terlalu kecil masalah kayak ini untuk mereka” Ujar Putri Selasih lagi.

Aku mulai melangkah pulang. Macan kumbang dan nenek Kam sudah tidak terlihat. Usai mengambil majalah pesananku, aku buru-buru pulang. Aku khawatir kawan-kawanku sudah ke rumah menjemput aku untuk bermain. Aku sedikit mengendap-endap melalui orang ramai yang berdiri di depan gudang Bapak. Di dalam seperti biasa Bik Sum dan kawan-kawannya asyik bekerja menampi biji kopi. Aku segera masuk setengah terburu-buru. Alhamadulilah, selamat. Bapak tidak melihat aku pulang. Aku segera ganti pakaian.

Ketika mengangkat tangan, baru kusadari jika tulang rusuk kananku terasa sakit. Aku lihat di cermin ternyata memar, bahkan sedikit bengkak. “Sini nenek obati dulu. Yang mengeroyokimu tadi itu, anak-anak nakal dari kampung Tebat Baru. Apa yang sudah kamu lakukan tadi, semoga cukup jadi pelajaran untuk mereka” Ujar Nenek Kam sambil menempelkan tangan ke tulang rusukku. Sejenak beliau membaca doa dan meniup bagian yang sakit.

Aku diam saja memperhatikannya. Nenek Kam sangat serius. Ini terlihat dia berulang kali mengurut dan membaca doa lagi. Aku merasakan energi lain ketika telapak tangannya menempel di tulang rusukku. Terasa hangat, lalu berubah menjadi dingin.


“Alhamdulilah, untung tidak patah” Ujar nenek Kam. Lalu beliau menyuruh aku telentang di kursi. Beliau meraba perutku. Tangannya mulai sedikit berputar-putar. Aku merasakan seperti ada tangan yang masuk lalu menata isinya perutku. Rupanya menurut nenek Kam usus di perutku selain tegang juga kusut.

Jari-jari nenek Kam seperti menelusuri tiap aliran darah dari kepala hingga ke ujung kaki. Dalam hati aku bahagia sekali punya nenek yang begitu sayang padaku. Tak lama berselang aku melihat Bik Sumi masuk. Beliau menawarkan makan siang untukku. Katanya pesan ibuku sebelum pergi membantu saudaranya yang hendak hajatan, berpesan agar beliau mengambilkan makan untukku.

Akhirnya aku makan disuapi Bik Sumi. Sesaat aku merasa sangat dimanja. Sampai-sampai makan disuapkan. Padahal yang seperti ini bukan aku banget. Tapi demi menyenangkan Bik Sumi aku manut saja.

Belum selesai makan, aku mendengar beberapa kawanku datang. Merry sahabatku yang paling cerewet langsung menemuiku. Setengah berbisik dia memberikan selembar kertas. Aku langsung membacanya. Rupanya dari anak yang mengeroyokku tadi. Aku tidak menceritakan kejadian barusan pada kawan-kawanku kalau aku mereka keroyok dan hampir mati. Aku membaca surat mereka, deretan huruf yang tidak jelas, terjelek di dunia menurutku. Isinya besok sepulang sekolah mereka menantang kami untuk duel satu lawan satu. Mereka sebutkan jumlah mereka delapan orang. Aku berpikir sejenak. Rupanya mereka belum juga kapok.
“Siapa yang mengantarkan surat ini denganmu, Mer?’ Tanyaku. Dijawab oleh Merry anak-anak yang biasa “nyemang ” di sepanjang Lettu Hamid. Mereka adalah anak-anak dari Tebat Baru. Sering juga aku melihat mereka bergerombol di depan ruko dan gudang Bapakku. Apalagi ketika para pekerja mengangkut karung kopi ke dalam truk-truk. Sedikit banyak ada juga biji kopi yang jatuh. Merekalah yang memungutinya di bawah mobil. Kalau sudah banyak mereka jual. “Jumlah mereka ada delapan orang ya. Semoga benar delapan orang” Ujarku agak berbisik. Aku mulai berpikir keras strategi apa yang harus kami lakukan. Sementara kawan-kawanku ini tidak semuanya pandai berkelahi apalagi bela diri. Een, Evi, Meini, mereka anak Tionghoa yang lemah lembut. Apa yang harus mereka lakukan jika mereka yang diserang. Tidak mungkin aku sanggup melindungi mereka. Berbeda dengan Merry, Indai, dan Endang. Mereka kurang lebih sama denganku, pantang ditantang.

Bersambung..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *