HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (7) (8)

Karya RD.Kedum

Kali ini aku bersama nenek Kam memasuki sebuah halaman yang luas. Bersih dan rindang. Rumah panggung di hadapanku tampak lebih besar dibandingkan dengan rumah-rumah di sampingnya. Dalam hati aku bertanya, rumah siapa pula ini? Dinding-dinding rumah kayunya seperti diukir. Bentuknya persis seperti rumah bari memanjang ke belakang. Tiang-tiangnya besar bulat. Atap sirap rumahnya mirip seperti tanduk, lancip kiri kanan.

Antara ruang utama dengan dapur terlihat ada sekat beranda dan tangga untuk turun ke arah pancuran. Di samping tangga tersusun rapi salangan puntung (kayu bakar) kayu kopi besar dan bernas. Jendela kecil menghadap ke jalan nampak terbuka lebar. Di belakang rumah aku melihat tengkiang (tempat penyimpanan padi) berdiri tegak di atas kolam yang penuh dengan ikan. Pancuran yang terbuat dari bambu besar, memercik deras menimpa batu-batu hitam yang tersusun rapi. Indah sekali.

Tapi lagi-lagi aku heran mengapa semua orang yang kulihat semuanya diam? Bahkan bertatapan mata saja denganku pun enggan. Apalagi untuk berhadapan muka? Paras mereka sulit untuk kurumuskan seperti apa. Namun semuanya terlihat bersih dan bening.

Aku dan nenek Kam menaiki anak tangga yang lebar dan landai. Melepas alas kaki lalu mendorong pintu rumah yang berdaun lebar. Engselnya yang terbuat dari besi bulat mengingatkan aku pada pintu-pintu gedung jaman dahulu. Bunyi derit pintu yang di dorong mirip suara mesin kilangan padi. Aku teringat rumah salah satu saudara kakekku di dusun. Rumah bari Besemah beratap sirap penuh dengan ukiran pintunya tebal, besar dan berat.

Aku terperanga ketika memincangkan kaki masuk. Pandanganku tersekat tiang di tengah-tengah rumah. Tiang besar dan bulat ini tegak kokoh menyanggah tengah rumah dari bawah hingga mubungan. Meski jendela-jendelanya kecil memanjang namun pencahayaannya cukup terang untukku melihat seisi ruangan. Semuanya berisi barang antik yang serba ukiran. Kursi dan lemari jati berukiran, dihiasi ambal berbulu halus bermotif kembang.

Di ruang tengah terpajang dipan kayu jati berkelambu warna kuning lembut. Sprei beludu warna coklat muda sangat padu dengan lantai papan yang berwarna coklat yang licin mengkilap. Di samping dipan sepasang kursi bulat jaman dahulu dan kursi malas menghadap ke jendela. Dari jendela aku dapat melihat sawah yang membentang menghadap ke Bukit yang bercadas. Pemandangan yang sangat asri. Ada juga orang-orangan untuk mengusir burung pipit. Angin semilir membuat tangkai padi mengangguk-angguk.

Aku menongolkan kepala ke jendela. Di bawah, seorang lelaki setengah baya tengah merendamkan pangkul (alat tradisional untuk menangkap ikan) ke salah satu kolam. Lalu menaburkan dedak padi di atasnya. Sebentar saja, ikan-ikan emas berlompatan memperebutkan makanan. Yang lebih memukau adalah dua ekor nenek gunung berbulu loreng dan tiga ekor singa memiliki warna yang berbeda. Singa hitam/kumbang, singa berwarna putih dan singa berwarna kuning. Ketiganya tidur bermalas-malasan di atas pematang kolam sembari menjuntaikan kepala ke arah kolam. Sedangkan nenek gunung hanya duduk terpaku seakan menunggu sinar matahari. Mereka mirip seperti kucing-kucing yang manja. Ingin sekali aku menghampirinya, mengelusnya bahkan menciumnya.

Aku merasakan telapak tanganku sedikit di dorong ibu jari nenek Kam. Ini isyarat batinku. Kubuang jauh-jauh keinginanku. Dari beranda antara ruang utama dengan dapur, aku sedikit menongolkan kepala ke dapur. Tungku perapian nampak menyala. Di atasnya ada periuk dan cerek air. Seorang perempuan berkain batik dan kebaya kembang, membungkuk meniup api dengan teghing (bambu kecil untuk meniup api).

Aku merasa nenek Kam seperti membimbingku untuk turun. Aku mengikuti kehendaknya saja. Kami kembali menelusuri jalan kampung. Tapi bukan jalan yang tadi. Aku dan nenek Kam sedikit memutar ke arah belakang. Ternyata di bagian ini pun rumah-rumahnya tak kalah indah dan asri. Beberapa perempuan kulihat menyapu halaman dan bawah rumah panggung mereka. Ada juga anak kecil yang berlari-lari saling kejar dengan nenek gunung riang gembira.

Aku berpapasan dengan seorang anak kecil perempuan yang usianya tidak jauh denganku. Aku heran, mengapa aku merasa sangat kenal dengannya. Tapi aku lupa kenal dimana. Ingin sekali aku menegurnya. Tapi langkah nenek Kam semakin cepat membuatku mengurungkan niat untuk menyapanya.

Usai berkeliling, dari jauh terlihat bubungan istana yang berwarna emas terlihat makin bersinar. Di ufuk timur matahari mulai naik seperti bola raksasa. Aku dan nenek Kam kembali ke tempat semula lurus mengarah ke istana yang berkilau.

Aku merasakan tanganku sedikit digenggam lebih erat. Tiba-tiba aku terperanjat. Ada tangan dingin mengelus-elus pipiku . Ketika kubuka mata, aku masih duduk di kursi beranda rumah. Aku kaget. Nenek Kam masih memegang cangkir kopi. Aku terbengong-bengong. Bukankah tadi aku berjalan-jalan di sebuah perkampungan yang asri? Mengapa sekarang aku berada di sini? Apakah mungkin aku tertidur dan bermimpi dalam posisi duduk seperti ini. Ah! Tidak mungkin. Aku menatap bengong nenek Kam. Wajah orang tua ini biasa-biasa saja.

“Sudah, sekarang mandi sana. Kamu kan mau sekolah! Nanti terlambat. Sudah puas kan jalan-jalannya? Itulah salah satu perkampungan di gunung Dempu tempat nenek sering pulang.” Ujar nenek Kam seakan tahu apa yang kupikirkan.

Belum hilang rasa penasaranku, suara Bapak sudah memanggil-manggil menyuruhku turun untuk siap-siap sekolah.

“Berjalan-jalan? Jadi apa yang kulami barusan memang kenyataan berjalan-jalan di kampung yang berada di puncak gunung Dempu? Kampung ke dua nenek Kam?”. Aku masih terbengong menatap nenek Kam. Beliau seperti pura-pura tidak melihatku. Rasa takjub dan tidak percaya belum bisa kukuasai. Nenek Kam masih asyik mengunyah buah rengas dengan lahap.

“Nek, Nenek belum akan pulang ke dusun bukan?” Tanyaku. Perasaan rinduku pada beliau belum usai. Dan aku takut berpisah lama-lama.

“Iya, malah aku berdoa, semoga aku bisa meninggal di rumahmu ini. Di rumah Hasan” Ujarnya. Dalam hati aku bahagia sekali. Kata Meninggal kutepis jauh-jauh. Nenek Kam tidak boleh meninggal. Enak saja!

“Nek, nanti malam ajak lagi aku ke kampung di puncak itu ya” Ujarku sedikit berbisik dan berlalu.

Berangkat ke sekolah, biasanya aku akan barengan dengan teman-temanku. Evi, Helen dan Fanny, yang keturunan Tionghoa itu. Mereka kusuruh berangkat duluan. Pagi ini aku ingin berangkat ke sekolah sendirian. Biasanya aku akan singgah dulu ke rumah Merry, menjemputnya barengan ke sekolah. Kali ini aku sengaja memilih jalan lain. Aku ingin sendiri.

Di dalam perjalan ke sekolah, aku masih memikirkan peristiwa singkat yang kualami. Jalannan sudah mulai ramai oleh anak sekolah. Aku sengaja menikung ke jalam masjid Raya. Tiada lain hanya hendak menikmati puncak gunung Dempu sejenak. Aku bersyukur langit tampak cerah meski sisa embun belum sepenuhnya turun.

Aku berhenti sejenak di pasar proyek tidak jauh dengan simpang tiga Kemuning. Biasanya puncak Dempu akan tampak jelas dari simpang Kemuning ini. Kali ini aku naik ke atas pagar tembok sekat antara tokoh manisan dengan pasar proyek. Sejenak kuperhatikan gunung Dempu. Seperti biasa gunung itu seperti gundukan berlapis dua berwarna hijau pekat. Aku mengira-ngira letak dusun yang kudatangi bersama nenek Kam tadi pagi. Gunung yang terlihat runcing itu ternyata menyimpan sejuta rahasia yang sulit untuk dipercaya. Di sana berdiri istanah megah, perkampungan asri tanpa suara.

Aku terkaget ketika Budiman dan Suwandi teman sekelasku memanggil-manggilku. Aku segera melompat dan mendekati keduanya.

“Ngapain kamu pagi-pagi naik tembok? Lihat layang-layang ya?” Kata Suwandi.

“Ini masih pagi tahu, kalau mau lihat layang-layang nyangkut nanti agak siangan”. Lanjutnya lagi.

Aku hanya tertawa. Suwandi adalah salah satu sahabat akrabku di sekolah. Anak katurunan Tionghoa ini terkenal nakal. Tapi aku suka bersahabat dengannya. Hatinya baik. Dia lincah, berlarinya kencang, kalau bermain dia nampak lebih cekatan dibandingnkan dengan Budiman yang rada malas karena kegendutan. Akhirnya kami bertiga berjalan bersama menuju sekolah.

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (8)


Aku lega ketika lonceng pertanda pulang sekolah berbunyi lima kali. Segera kukemas buku, pensil dan pena yang berserak di atas meja. Aku mendengar beberapa kawan sudah berjanji hendak main layang-layang dan kelereng di tanah kosong belakang rumahku. Di antara mereka menyebut-nyebut namaku. Kali ini aku tidak tertarik sama sekali. Biasanya aku yang punya ide untuk bermain apa saja dan di mana.

Usai mengucapkan salam dengan Pak Muslini guru IPS-ku, aku berlari paling cepat menuju pintu.

“Mer, Endang, Nita, Arief, Suwandi, aku duluan ya” Teriakku tanpa meminta persetujuan mereka. Aku langsung berlari kencang menyisir jalan ke arah pasar Proyek. Beberapa kali aku hampir menabrak ibu-ibu yang berbelanja.

Sampai di rumah, aku langsung melempar tas ke atas karung kopi. Bibi Sumi dan beberapa perempuan temannya tengah membersihkan biji kopi di gudang Bapakku hanya tersenyum melihat aku bersusah payah naik ke atas gundukan kopi agar bisa dengan cepat masuk rumah. Seperti biasa Bik Sumi memungut tasku lalu menyusul masuk ke dalam rumah, membantuku melepaskan baju sekolah dan menganti dengan baju main yang sudah disediakan ibuku.

Sebenarnya perempuan hitam manis ini bekerja di gudang Bapakku. Kata ibuku beliau paling rajin dan tidak hitung-hitungan soal tenaga. Kerap beliau membantu ibu memasak, membersihkan rumah dan lain-lain tanpa diminta. Oleh sebab itu Ibu dan Bapakku sangat sayang padanya. Menurutnya dia senang anak-anak, sehingga hampir setiap hari dia akan membantuku dalam hal apa saja. Termasuk hari ini mengingatkan aku kalau mau main harus makan terlebih dulu.

“Aku tidak mau main hari ini, Bik. Aku mau di rumah saja dengan Nenek” Ujarku. Bibik Sum mengangguk sambil menggantungkan baju sekolahku, lalu ke luar lagi bergabung dengan teman-temannya. Rumah sepi. Hanya suara tampah para pekerja terdengar berdetak-detak saat mereka menampi biji kopi. Aku tidak mendengar suara adik dan ibuku. Kupanggil-panggil mereka. Hening. Aku langsung naik ke lantai dua. Barangkali mereka ada di sana. Dari balik gorden kamar, aku melihat nenek Kam sedang tidur. Nyenyak sekali. Sesekali aku melihat mulutnya bergerak-gerak seperti bersiul. Aku tidak berani mengusiknya.

“Udah pulang, Cung?” Aku terperanjat. Nenek Kam menegurku dengan mata masih tertutup. Aku langsung menghampirinya dan mencium tangannya.

“Mata Nenek terpejam, tapi kok tahu kalau aku pulang?” Tanyaku. Aku hanya mendengar gumamam yang tidak jelas sebagai jawaban. Kubisikan ke telinganya, megajaknya makan siang. Yang dijawabnya dengan lambaian tangan pertanda menolak. Mungkin juga maksudnya beliau sudah makan.

“Nenek jangan tidur telentang seperti ini. Miring saja arah tembok atau ke arah sini” Aku berusaha membalikan tubuhnya. Nenek Kam terkekeh-kekeh melihat tingkahku. Akhirnya beliau mengalah, dia miringkan tubuhnya.

“Kamu takut kalau aku mati kan? Setiap makhluk hidup pasti akan mati, Cung. Esok atau lusa Nenek, Bapak, Ibu dan kamu sendiri akan mati. Hanya saja, Nenek kepingin mati di rumahmu” Ujarnya. Entah untuk kali keberapa kata-kata itu terlontar dari mulut nenek Kam.

“Kok Nenek mau meninggal di sini? Mengapa tidak memilih meninggal di dusun saja, Nek. Apa istimewahnya meninggal di sini?” Tanyaku. Padahal aku paling benci dan takut dengan kata mati.

“Aku senang di sini. Jadi kalau meninggal aku ingin dalam keadaan senang pula karena ada cucuku yang akan menunggui dan berdoa untukku” Nenek Kam tersenyum kecil.

“Nggak, aku tidak ingin Nenek meninggal. Nenek tidak boleh meninggal” Aku meraih tangan Nenek Kam yang kurus. Beliau segera bangun lalu mengelus-ngelus rambutku.

“Iya, iya… Nenek tidak jadi meninggal. Tunggu kamu besar dan menjadi orang hebat” Katanya. Mendengar itu aku tidak jadi menangis.

Usai makan aku kembali ke atas menemui nenek Kam sambil membawa buku. Nenek Kam masih berbaring. Aku membuka-buka bukuku dan mengerjakan pekerjaan rumah di lantai. Tak lama berselang aku melihat nenek Kam tertidur pulas kembali dan kembali mulutnya bersiul-siul. Lama kuperhatikan nenek Kam yang terbaring.

Meski sudah berusia lanjut tapi aku tidak melihat rambutnya putih seperti nenek-nenek pada umumnya. Batinku membayangkan yang baring di hadapanku adalah perempuan cantik yang menampakan diri dan mengatakan dirinyalah Relingin beberapa waktu lalu. Apakah dia ada di sini?

Belum sempat aku berpikir lain, nenek Kam yang tua renta berubah menjadi sosok yang cantik tengah tidur pulas dalam posisi yang cantik pula. Aku mengusap-ngusap mata untuk meyakinkan kalau aku masih di dunia nyata. Mataku tak berkedip sama sekali. Aku memandangi sosok perempuan cantik itu selekat-lekatnya. Tiba-tiba aku mencium aroma bunga memenuhi ruang kamar. Tapi sungguh aku tak bisa menerka aroma bunga apa? Kalau bunga melati, mawar, kenanga, kamboja, kemuning, sedap malam, aku sangat paham aromanya. Aroma ini sangat berbeda. Tapi aku yakin ini aroma bunga.

Tiba-tiba bulu kudukku merinding. Aku heran. Padahal ini siang hari. Matahari terang benderang. Mengapa suasananya jadi lain? Sosok nenek Kam kembali pada wujud aslinya. Perempuan cantik itu lenyap dari pandanganku. Belum selesai aku terpanah dengan pukauku, aku mengernyitkan mata menatap sosok samar seperti bayangan di ujung kaki nenek Kam. Lama-lama bayangan itu makin jelas bentuknya. Ternyata nenek Kam tidak tidur sendiri. Tapi ada sosok lain berada di ujung kakinya.

Meski terlihat samar tapi tak urung membuat aku mundur, merapat ke dinding lemari. Kutenangkan dadaku yang bergemuru, Semakin lama makin jelas. Seekor nenek gunung berwarna putih tidur melingkar. Tak kalah pulasnya dengan nenek Kam. Dalam hati aku bertanya, siapa pula kawan nenek Kam yang turut tidur di sini? Apakah dia singa yang kulihat di perkampungan lereng gunung Dempu tadi pagi? Mengapa dia ke sini? Atau dia ini salah satu adik nenek Kam? Pelan-pelan aku melihat wujudnya berubah menjadi perempuan kecil. Mataku terbelalak. Aku kaget sekali. Bukankah anak kecil ini yang berpapasan denganku dan nenek Kam tadi pagi ketika berjalan-jalan ke perkampungan di puncak Dempu? Aku sangat hafal wajahnya. Lagi-lagi aku berpikir keras mengingat-ingat pernah bersua di mana sebelumnya dengannya. Namun yang jelas aku merasa sangat dekat dan mengenalnya sejak lama. Siapa namanya? Apa maksudnya tidur di sini? Apa hubungannya dengan nenek Kam? Belum sempat aku bertanya banyak hal yang membuatku bingung, nenek Kam bergumam dengan mata masih terpejam.

“Suatu saat kamu akan tahu jawabannya. Yang jelas dia sangat dekat denganmu, Cung”

Aku melihat nenek gunung putih, tepatnya gadis kecil yang sangat kupahami wajahnya itu mengeliat. Kali ini dia telentang. Sehingga semakin mudahlah aku menatap parasnya. Aku masih berpikir keras mengingat-ngingat dimana aku pertama kali bertemu dengannya meski nenek Kam mengatakan suatu saat aku akan tahu jawabannya. Buntu, aku tidak menemukan jawabannya sama sekali. Buku pelajaranku masih terbuka dan beserak di lantai. Pekerjaan sekolah belum kurampungkan. Belum hilang keherananku, dari balik pintu aku melihat seorang anak kecil berdiri menatap kami dengan senyum. Wajah kekanakannya nampak bersih dan tampan, rambutnya pendek, senyumnya manis sekali. Aku mengira adik lelakiku. Ternyata bukan. Aku juga merasa pernah melihat anak Anak kecil ini. Tapi di mana? O iya aku baru ingat. Dialah yang berlari-lari kecil di bawah rumah panggung yang kulihat pagi tadi. Dia berwujud nenek gunung kecil dengan lorengnya yang halus. Siapa dia, namanya?

Langkah kecilnya menuju bukuku yang berserak. Dia lipat dan dirapikannya. Kemudian diberikannya padaku. Aku menerimanya tanpa mampu mengucapkan apa-apa. Parasnya yang teduh membuatku terpukau. Aku kagum melihatnya. Saat tersenyum, berderet giginya yang putih tersusun rapi. Duh mata itu, bersinar-sinar seperti cahaya bintang. Indah sekali. Sekali lagi aku mengusap wajahku untuk memastikan jika aku tidak bermimpi.

Nenek Kam baru tiga hari menginap di rumah kami. Tapi aku merasakan benakku sangat padat berjejal berbagai peristiwa yang tidak pernah kuduga. Kadang aku bingung membedakan mana dunia nyata, mana dunia gaib? Berbagai macam hal yang tidak masuk akal ternyata cukup melelahkan. Namun dorongan serba ingin tahu tahu membuatku menepis semua perasaan itu jauh-jauh. Apalagi melihat nenek Kam. Aku seperti melihat mata air yang tak henti mengalir. Nenek Kam adalah guru yang mengajariku banyak hal lewat peristiwa-peristiwa yang sulit dicerna oleh akal sehat. Entah apa lagi yang akan beliau ajarkan padaku dengan hadirnya anak kecil dan perempuan yang parasnya sangat kuhafal ini.

Dari lantai satu aku mendengar suara orang mengobrol. Suara yang sangat kukenal, ibu dan Bik Sumi. Tak lama suara Ibu berteriak-teriak memanggilku. Aku mulai melangkah ke luar kamar tidak berani menjawab dengan suara keras. Aku takut Nenek Kam terbangun. Gadis kecil di ujung kakinya membuka mata. Lelaki kecil duduk di sampingnya. Tanpa mampu berpamitan aku ke luar kamar langsung menuju anak tangga. Dari atas aku melihat ibu mendongak ke atas sambil memperlihatkan tengkoluk (selendang) dan kain sarung batik. Aku bertanya untuk siapa kain dan tengkoluk itu? Kata ibu untuk Nenek Kam. Rupanya ibu baru pulang dari pasar membeli dua helai tengkoluk dan duah lembar kain batik, dan kebaya. Aku langsung mengambilnya, lalu naik kembali ke lantai dua.

“Nek…Nek…” Aku mencari-cari nenek Kam. Aku bermaksud hendak memperlihatkan tengkoluk dan kain batik yang baru dibeli ibuku. Pasti nenek Kam senang sekali, pikirku. Aku mencari-cari beliau hingga ke teras beranda depan. Tidak ada. Batinku mulai kesal. Apa nenek Kam sengaja mempermainkan aku. Kemana pula gadis kecil dan anak lelaki yang tampan itu?

“Nenek..Nenek di mana..” Aku berbisik. Aku seperti menghimpun kekuatan batin yang tiba-tiba muncul untuk mengetahui keberadaan nenek Kam. Mataku terpejam. Batinku fokus menuju nenek Kam. Dan benar saja, aku melihat nenek Kam ada di lantai satu di depan gudang kopi, berdiri di pinggir jalan. Tangannya melambai-lambai. Dua anak kecil berjalan pelan menuju hulu. Mau kemana mereka? Mengapa nenek Kam tiba-tiba berada di lantai satu? Bukankah tangga ke bawah hanya ada satu ? Mengapa aku tidak melihatnya menuruni anak tangga? Harusnya beliau berpapasan denganku. Untuk sampai ke pinggir jalan, mestinya nenek turun tangga, melalui ruang tengah lantai satu, ke luar melalui pintu gudang kopi sekaligus loket kantor CV hasil bumi Bapakku. Dan itu tidak mudah, karena di gudang banyak sekali anak buah bapakku yang tengah menyutir biji kopi untuk beliau kirim ke Lapung dan Palembang. Untuk bisa ke luar, maka nenek harus mendaki gundukan kopi setinggi atap rumah. Berjalan bersusah payah karena kaki akan terbenam di biji kopi.

Aku masih berdiri diam dengan mata terpejam. Batinku masih mengawasi nenek Kam. Entah apalagi yang akan beliau lakukan. Dua anak kecil itu semakin jauh. Nenek Kam membalikan badan. Aku mengira beliau masuk toko dan melalui gudang untuk kembali ke lantai dua. Aku membuka mata, dan berencana hendak menyusul menek Kam di bawah. Baru saja melintas di kamarnya, aku melihat beliau baring-baring sambil meguap di tempat tidurnya.

“Aduh! Nenek membuat aku kaget terus sih. Tadi aku melihat Nenek di bawah mengantar dua anak kecil itu. Itupun tidak lewat tangga. Sekarang aku hendak menyusul ke bawah tiba-tiba nenek sudah ada di tempat tidur lagi.” Kali ini nadaku agak kesal. Aku seperti dipermainkan. Kain sarung batik, kebaya, dan tengkoluk kuletakan di sampingnya.

“Eiii…apa ini?” Nenek Kam bangkit seketika. Diraihnya kain dan tekoluk di sampingnya. Lalu dibukanya dengan mata bersinar-sinar. Ekspresiku berubah ketika melihat cahaya kegembiraan wajah nenek Kam.

“Bagus sekali, Cung. Ini untuk Nenek? Semua?” Tanyanya sembari memeluk kain, kebaya, dan tengkoluk ke dadanya. Kujawab dengan anggukan. Kain dan tengkoluk dibentangkannya lebar-lebar, lalu dilipatnya kembali.

“Pandai sekali ibumu memilih corak , nenek suka keduanya. Tengkoluknya warna putih dan kuning, ada bordirannya. Harganya pasti mahal. Sampaikan terimakasih dengan ibu ya” Nenek Kam memasukan kembali kain dan tengulok ke dalam plastik. Ketika aku hendak melepas merek ‘cap cen’ yang melekat di kainnya, beliau melarang.

“Jangan dilepas, Cung. Kain dan tengkulok ini mau Nenek lihatkan dengan anak bunting Kamsri. Dari musim ke musin, jangankan tengkulok atau kain empai . Baju bughuk piranti calau saja dia tidak pernah belikan” Kata Nenek Kam.

Sebenarnya aku hendak protes. Aku ingin melihat nenek Kam memakai tengkulok barunya. Demi mendengar itu aku diam saja. Bahkan membantunya menyimpan ke dalam tasnya.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *