HARIMAU SUMATERA HEWAT BERADAT VI (81A)

Karya RD.Kedum

Aku baru saja hendak merebahkan badan ketika mendengar ada yang memanggil-manggil Bapak. Bapak yang masih duduk di sajadah langsung bangkit. Sementara Kakek Haji Majani dan Kakek Haji Yasir masih melanjutkan zikirnya.

“Assalamualaikum Kak, kakak Syahrial, ada di pondok?” Suara lelaki. Beliau memanggil Bapak dengan menyebut kakak Syahrial, nama kakak sulungku. Nampaknya beliau tidak sendiri. Itu terdengar obrolan kecil mereka sejak masih di jalan hingga pangkal tangga. “Waalaikum salam, ada. Naik Hom…” Ibu menjawab sembari membuka pintu. Sebenarnya aku ingin bangkit, tapi tanganku diraih Nenek Kam. Akhirnya aku baring kembali. “Kenapa, Nek. Itu ada Mang Homidi datang.” Ujarku menyebut saudara sepupu Ibu. Maksud hati ingin sekadar bersalaman, menampakkan hidung, terus basa-basi menanyakan kabar beliau dan bibik. “Dengar saja obrolan mereka nanti. Soal akan bertemu beliau gampang. Besok pagi kau datangi dia di pondoknya sambil pergi ke pancuran, kan bisa…” Bisik Nenek Kam kembali.

Akhirnya aku mengatur nafas agar tidak terdengar memburu. Salah satu kebiasaan orang di kampungku jika ada orang jauh datang, maka mereka akan bertandang untuk bertemu. Kebetulan beliau tahu aku pulang dan ada kakek Haji Majani juga ada, makanya beliau bertandang sebagai wujud silaturahmi. “Mana Dedek, katanya pulang? Mamak Kiaji Pengaringan juga, masih kan di sini?” Suara mang Hom lantang. “Dedek sudah tidur berdua nenek Kam. Kalau Bapak Haji dua-duanya masih berzikir.” Ujar Ibu. Melihat Ibu hendak membangunkan aku Mang Hom melarang. “Jangan, tidak usah dibangunkan. Kan Dedek masih lama ‘ngulang’?” Lanjut Mang Hom. Ngulang maksudnya pulang kembali ke Bengkulu. Dijawab Ibu masih lama. Akhirnya mereka kembali cerita -cerita berbagai macam topik.Aku dan Nenek Kam masih pura-pura tidur. Tangan Nenek Kam kugenggam dan kuletakkan di perutku. Setengah berbisik beliau mengatakan jika besok beliau mengajak pulang ke pondoknya. Aku hanya mengiyakan agar beliau senang. Padahal sudah terbaca, manalah Nenek Kam betah berdiam di pondoknya. Paling juga ngajak kelayapan ke alam lain, batinku.

“Aku melihat ada batin di rumah Ujang. Siapa tamu Ujang itu, Hom? Dari mana?” Samar aku mendengar ibu bertanya perihal tamu Mang Ujang. Ibu menyebutnya batin. Artinya lelaki dewasa. Mang Ujang itu orang yang bekerja di sawah Mang Sawaw sepupu Ibu. Beliau berasal dari Sumedang. Menurut Ibu, Mang Ujang merantau ke Besemah ini sejak beliau masih bujang kecil. Artinya dari usia belasan. Hingga sekarang sudah beranak pinak. Istrinya orang Besemah. Sebulan yang lalu kabarnya beliau ‘belanju’ (pulang) ke Sumedang setelah puluhan tahun tidak pulang dan berkabar. Terus ke mari bersama saudara Bapaknya. “Kata Ujang, adik bungsu Bapaknya. Dia itu ‘dukun besak’ kata Ujang. Pandai mengobati orang” Jawab Mang Hom menyebutbyabdukun besak. Artinya orang yang berkemampuan tinggi. Dukun sakti.”Iya, betul. Tadi aku melihat dia seperti orang kuntau di sudut sawah. Terus tiba-tiba muncul batu cincin sebesar ibu jari, lalu ada bugha kembuai. Keris” Jawab Mang Fajar. “Apa? Dapat dapat dari mana?Kok bisa begitu?” Ujar ibu heran. “Dapat dari alam gaib” Ujar Mang Fajar semangat sekali. Ibu terbengong-bengong. Penarikan pusaka dari alam gaib di kampungku tidaklah biasa. Makanya ketika ada orang yang menarik benda gaib langsung tersebar luas menjadi pokok pembicaran masyarakat. Sama halnya dengan Mang Fajar dan Mang Hom, mereka rela bermalam-malam ikut menyaksikan ritual penarikan benda di alam gaib itu. Mereka benar-benar kagum dan bangga menjadi saksi kesaktian dukun dari Sumedang itu.Aku makin tertarik mendengar cerita Mang Hom dan Mang Fajar. Mereka semangat sekali mengatakan adik Bapak Mang Ujang dukun hebat luar biasa. Sampai-sampai ikut membicarakan fisiknya juga saking kagumnya.”Kalau melihat perawakannya, siapa sangka adik bapaknya Ujang itu dukun besak. Gerakaknya lembut, berbicara juga lembut,” kata Mang Fajar. “Lah iyalah Jar, orang Sunda meski marah sekali pun tetap lembut. Berbeda dengan kita orang Sumatera. Sekali berbicara, persis seperti mau menelan orang. Suara besar, nadanya selalu tinggi, wajah garang, mata melotot. Itu ngobrol biasa. Apalagi kalau marah” Ujar Bapak disambut tawa semuanya. “Nyelah nian, kalu ngicek bebentual” Sambung Ibu menambahkan.

Dalam sekejab, dukun besak itu jadi pembicaraan warga kampung. Beberapa warga ada yang berobat, meminta pakaian, maksudnya penjaga diri. Lalu penjaga kebun, dan segala macam yang berkaitan dengan hal mistis. Atau sekadar bertamu ingin melihat dukun besak. Demikianlah orang kampung, mereka akan cepat tahu jika ada yang orang asing datang, apalagi jika ada sesuatu hal yang menurut mereka aneh dan baru, maka akan menjadi buah bibir. “Orangnya belum terlalu tua, Kak. Nampaknya jauh di bawah kita. Biasa orang Sumedang, pembawaannya lembut dan sopan. Bukan seperti kita ngobrol biasa saja seperti hendak saling makan saking kerasnya” Kata Mang Hom disambut tawa bersamaan Mang Fajar dan Bapak. Ibu menyuguhkan kopi dan makanan kecil. Kakek Haji Majani dan Kakek Haji Yasir sudah selesai zikir lalu ikut ngobrol. Obrolan masih seputar orang sakti. Akhirnya semua bercerita tentang keanehan-keanehan dan kelebihan -kelebihan yang dimiliki setiap orang baik yang mereka temui sendiri mau pun yang mereka dengar dari orang lain.”Nek, ada orang sakti datang ke dusun kita rupanya” Ujarku. Nenek Kam mengangguk sambil merem.

Diam-diam aku terawang kebenaran yang disampaikam Mang Hom. Aku jadi tertarik seperti apa orang sakti itu. Apa tujuannya menarik-narik benda pusaka di sini? Apakah beliau punya misi hingga jauh-jauh datang ke kampung terkencil ini? Masyarakat Besemah, umumnya tidak pernah menarik-narik benda pusaka dari alam gaib. Pertama karena memang tidak membudaya menuntut ilmu-ilmu gaib, ritual kegaiban dan lain sebagainya. Apa yang dimiliki oleh sebagian orang tertentu rata-rata natural. Jarang yang berguru. Kalau bukan karena nasab, biasanya karena tergolong manusia pilihan yang dipercaya oleh bangsa gaib sebagai perpanjangan tangan. Berbeda dengan adik Bapaknya Mang Ujang. Nampaknya ilmu beliau karena dipelajari, menuntut ilmu. “Waktu dia melatih Ujang di tengah laman (lapangan terbuka), latihan kebal. Diserang dengan gerahang, pangkur, kudok, tidak mempan!” Lanjut Mang Fajar semangat menceritakan kekebalan yang dimiliki Sang tamu. Tidak luka meski ditikan dengan berbagai senjata tajam. Akhirnya Kakek Haji Yasir jadi ikut bercerita jika Bapaknya juga tidak tembus ditembak peluru oleh tentara Belanda. “Sampai beliau meninggal saya tidak tahu ilmu itu beliau dapat dari mana.” Ujar Kakek Haji Yasir mengenang orang tuanya sambil menyeruput kopi panas……Aku mulai mengintai ke rumah Mang Ujang yang terletak di sudut sawah. Tempatnya tidak terlalu jauh dari kebun kakek Haji Yasir. Hanya di hilir sekitar satu kilo meter. Benar apa yang dikatakan Mang Fajar dan Mang Hom. Aku melihat lelaki berusia sekitar empat puluh tahunan, sedang melakukan ritual di sudut rumah Mang Ujang. Beliau tengah membaca mantera, entah apa yang akan dilakukannya. Lalu menyembah-nyembah sambil memegang gaharu. Oh! Rupanya beliau tengah berinteraksi dengan makhluk asral di kampung ini. Termasuk minta izin dengan leluhurku. Tapi yang kulihat jin fasik menyerupai beberapa orang leluhurku. Termasuk ada Puyang Ulu Bukit Selepah.

Demi melihat itu, aku makin tertarik apa yang hendak orang asing ini lakukan? Aku terus mengintai. Kuawasi makhluk yang menyerupai puyang Ulu Bukit Selepah. Kuberi tanda, aku tahu tempatnya. Dalam hati aku bergumam tunggulah kedatanganku. Aku akan buat perhitungan, berani sekali menyerupai puyang dan leluhurku. Aku memerhatikan sesajen yang terhidang di hadapannya. Ada kembang, ada punjung ayam bakar, telur, kopi, rokok, sirih, dan pisang. Beberapa benda pusaka ada di antara kembang. Asap kemenyan meliuk-liuk. Tangan kanannya menggenggam keris berukuran sedang. Ada sosok petapa di dalamnya. Kuakui godam itu memiliki energi yang cukup besar. Buktinya dia bisa menakhlukan bangsa jin dan memanggilnya.Bangsa jin yang disuguhi makanan bukan main bahagianya. Mereka pesta pora. Angin berhembus kencang. Raja-raja jin memanggil anak buahnya untuk ikut menikmati sajen yang disediakan. Sebenarnya aku sudah hendak bertindak. Namun kubiarkan dulu. Aku ingin melihat apa lagi yang hendak dilakukan oleh beliau.

Melihat gelagatnya, beliau memang seorang dukun. Selain benda pusaka, banyak sekali jimat di badannya. Setiap jimat memiliki godamnya masing-masing. Pantas beliau mengeluarkan keris, karena energi yang paling kuat ada pada kerisnya. Aku melihat sosok kembar tiga yang bekerja kompak sekali. Merekalah menjadi penakhluk jin-jin fasik yang dipanggilnya.”Aku ingin kalian menuntunku untuk menunjukan benda-benda pusaka yang ada di daerah sini. Aku juga berharap kalian menjadi penguat pasukanku. Jika kalian patuh, kalian boleh ikut aku dan aku akan beri kalian makan. Tapi jika kalian tidak berjuang untukku, atau berkhianat, maka aku akan membunuh kalian. Bagaimana?” Interaksi Si dukun pada raja jin. “Aku dan anak buahku butuh darah dan kembang. Apakah kau sanggup memenuhinya ketika aku butuh?” Jawab Raja Jin lalu disanggupi oleh dukun itu. “Aku inginkan daging manusia, apakah kau sanggup memberiku tumbal ketika kuminta?” Ujar jin fasik satu lagi yang menyamar sosok puyangku. Sang dukun menyanggupi, asalkan yang menjadi tumbal untuknya bukan anggota keluarganya, tapi bisa diganti sesuai yang petunjuk dukun, lalu tidak mesti bayi, anak-anak, orang tua, laki-laki atau perempuan. Yang penting manusia. “Aku hanya mau bekerja padamu, tapi aku minta “kupek” tiap kali tujuh purnama.” Ujar jin satu lagi.

Kupek itu bayi atau orok. Ternyata permintaan mereka berbeda-beda. Sang dukun menyanggupi itu semua. Sang dukun menambahkan kembali kemenyan di atas dupa. Asap menyebar mengundang semua makhluk asral mendekat. Pendek kata, semua jin menyampaikan keinginan mereka, dan sang dukun menyanggupinya semua syaratnya asal mereka mau bekerja dan sungguh-sungguh melaksanakan perintahnya. Dalam batin ingin sekali aku menghantam mereka menghalangi pekerjaan sang dukun saat ini juga. Namun lagi-lagi batinku berkata agar aku dapat menahan diri. Aku ingin melihat bagaimana mereka bekerja. Mereka jin-jin dari hutan gelap dan sebagian lagi dari kuburan. Sang dukun komat-kamit membaca mantera. Memperkuat perjanjian pada makhluk asral. “Langkah pertama, aku ingin kalian bantu aku untuk menunjukkan benda pusaka di wilayah ini. Kita tarik benda itu bersama-sama.” Ujar sang dukun mulai berencana. Oh, rupanya beliau jauh-jauh datang ke mari hendak menarik benda pusaka?

Aku makin tertarik mengikuti. Usai ritual, bangsa jin yang menyamar ditarik sang dukun lalu diberikannya tempat di dalam keris. Ratusan raja jin dan ribuan pasukannya ada di dalam keris sang dukun.”Sementara waktu, kalian tinggal di dalam keris ini saja dulu.” Ujar sang dukun. Pasukan jin seperti angin menyusup cepat ke dalam keris, membangun kehidupan baru mereka. Sebagian mereka dengan bangga menepuk dada karena menurut mereka sudah menakhlukan bangsa manusia. Kelak manusia-manusia yang tidak nerima ini akan menjadi teman mereka, yang jelas pengikutnya dan budaknya. Selain makluk-makhluk asral panggilan, ternyata Sang dukun dijaga juga oleh sosok harimau belang yang bertubuh besar dan gagah. Nampaknya dia juga memiliki energi yang besar sama dengan makhluk asral kembar tiga yang ada di dalam kerisnya. Yang di dalam keris tak hanya pandai memanggil, namun juga petarung. Sementara sosok harimau jawarah, pandai bertarung.

Usai mengintai aktivitas Sang dukun, aku kembali pulang. Kusentuh-sentuh tangan Nenek Kam yang sudah tertidur. “Mau bilang apa? Aku tahu kau ke sana memperhatikan aktivitas dukun itu bukan?” Ujar Nenek Kam masih dengan mata terpejam. Aku tersenyum sendiri. Nenekku ini kapan tidurnya kok tahu semua gerakkan orang.”Iya, Nek. Aku malam ini akan mengikuti aktivitas dukun itu. Dia hendak menarik pusaka-pusaka yang ada di dusun kita ini kulihat sudah ada banyak pusaka yang diambilnya dalam bentuk macam-macam. Ada permata, keris, mangkuk belantan, lambang kerajaan, cuntang emas dan lain-lain. Berarti beliau sudah lama di dusun kita ini, Nek?” Ujarku setengah berbisik. “Baru dua minggu. Sudah banyak pula orang dusun kita yang minta pagar kebun dan sawahnya pada beliau. Padahal katanya pagar itu dijaga jin. Penduduk dusun tidak tahu jika yang menjadi pagar itu bangsa jin. Mereka diminta menanam telur angsa ‘beghukal’ di empat sudut maksudnya agar terhindar dari niat orang jahat yang mau mencuri dan gangguan hama.

Penduduk kampung tidak tahu jika jin-jin itu tidak hanya sekadar mau menjaga, tapi dia harus diberi imbalan, bergantung perjanjiannya dengan dukun. Bisa jadi yang punya kebun akan sakit, keluarganya mati dan lain sebagainya karena jin-jin itu menagih janji, mereka lapar. Sementara orang awam tidak tahu menahu tentang hal itu. Apalagi masyarakat dusun kita. Nenek sudah mengawasinya sejak dia datang,” urai nenek Kam masih sambil menutup mata mirip orang ngantuk bicaranya pelan dan setengah tidak jelas. “Mengapa nenek tidak bicara sejak awal? Tidak memberi tahu aku?” Aku menggoyang-goyang tangannya. “Hmm…kau kira Hom dan Fajar main ke sini karena maunya mereka saja? Akulah yang menggiring mereka agar mereka bercerita dan kau tahu.” Ujar Nenek. Mendengar itu nenek Kam langsung kupeluk. Nenekku satu ini, masih saja diam-diam mengajari aku. Aku saja yang banyak tidak pahamnya. “Malam ini aku akan kembali mengintai dukun itu, Nek,” ujarku lagi. “Dia itu dukun serba jadi, Dek. Ketika ada yg sakit, orang minta diobati, maka akan diobatinya dengan syarat membawa sesajen. Dia akan menyuruh jinnya mengobati. Apalagi jika ada yang minta guna-guna, dengan cepat dia akan melakukannya,” sambung Nenek Kam lagi. Aku kaget dibuatnya. Di kampungku, jarang sekali terdengar dukun asli Besemah berprofesi dukun guna-guna. Dan memang tidak membudaya tradisi guna-guna ini. Umumnya yang membawa ilmu guna-guna, dukun susuk dan lain sebagainya adalah dukun-dukun datangan. Bukan penduduk asli Besemah. Pernah juga terdengar ada dukun susuk, lalu beberapa daerah terkenal dengan ilmu pengasihan dengan minyak kucur (pelet).

Orang Besemah umumnya tidak lazim menuntut ilmu hitam. Kebanyakan ilmu mereka karena faktor keturunan. Tapi tidak menutup kemungkinan berkat berkembangnya transportasi ke beberapa daerah terdengar juga ada orang Besemah yang datang ke luar daerah untuk menuntut ilmu hitam ini. Aku merunut beberapa peristiwa yang pernah terjadi berkaitan dengan hal gaib. Ketika aku masih kecil, Pagaralam adalah kota kecil yang terkenal jahat. Pembunuhan, perampokan, kerap kali terjadi. Waktu itu ada kelompok perampok yang cukup ditakuti dan terkenal kejam dan licik. Konon bosnya bisa menghilang tiap kali usai merampok. Katanya dia mempunyai ilmu belut putih. Jadi ketika dikejar polisi, selalu lolos tidak pernah tertangkap. Dia juga mempunyai ilmu saipi angin, ketika dikejar maka larinya sangat kencang seperti kilat. Sayang aku masih terlalu kecil ketika itu. Baru mendengar cerita orang saja. Yang kutahu, Pagaralam kota kecil imagenya jelek di mata banyak orang. Kota mistis karena banyak manusia harimau. Maling, rampok, copet, berkeliaran seperti nyamuk di musim kemarau.

Pernah suatu kali Bapak dan kak Yudikat kakakku yang CPM ke kantor Polisi. Waktu itu aku juga masih kecil. Dari cerita yang kudengar, rupanya mereka mengurus kakak sepupuku yang ditahan polisi. Beliau anak saudara Bapak dua beradik Ayah. Aku memanggilnya Winar. Sebenarnya waktu itu aku sudah bosan mendengar Bakwo demikian aku memanggil Bapaknya, sebentar-sebentar ke rumah menemui Bapak, ngadu perihal Winar ini. Pekerjaannya kalau tidak merampok, mencuri. Mencuri pun tidak tanggung-tanggung, kalau mencuri kopi berton-ton, merampok nasabah bank, merampok tokoh emas, tokoh bangunan, mobil, dan lain sebagainya. Beliau tidak segan melukai dan membunuh korban. Rupanya, Bapak dan Kak Yudikat ke kantor Polisi, bukan mebezuk Winar yang ditahan. Selama ini Bapak swlalu dijadikannya andalan agar dirinya segera diproses.

Rupanya kedatangan Bapak dan Kak Yudikat ke kantor polisi minta sebaliknya agar Winar tidak usah diproses cepat-cepat, mau dikasih makan atau tidak terserah, mau dikasih racun pun silakan. Bapak dan semua keluarga mengharapkan Winar mati di tahanan. Setelah kupikir sekarang, wajar saja Bapak dan keluarga besar marah pada Winar, karena beliau telah mengotori nama keluarga besar.Itu dulu, setelah dua puluh tahun dipenjara, menurutku hukuman terberat Winar. Keluarga memang tidak ada yang menengoknya. Kecuali Bakwo diam-diam sesekali tetap saja menengok Winar tanpa diketahui keluarga.

Pernah suatu hari ketika beliau sudah ke luar dari tahanan, sedikit takut Winar memberanikan diri datang ke rumah hendak bertemu dengan Bapak. Aku ingat betul bagaimana berjam-jam Bapak menatap Winar yang duduk pucat di hadapannya. “Kalau sudah bosan hidup, ini tali. Bekujutlah! Keluarga besar kita mengharapkan kau mati segera dari pada membuat malu keluarga besar kita. Puluhan kali aku menjadi jaminan gara-gara kelakuanmu. Beratus kali telingaku ini mendengar tobat dan janjimu tidak akan mengulangi lagi. Tapi masih saja kau lakukan, mencuri mobil, mencuri motor, merampok tokoh dan lain sebagainya.” Nada Bapak tinggi sambil melemparkan tali tambang ke tubuh Winar. Waktu itu aku ikut marah dengan Bapak karena menurutku Bapak sangat kejam dan tega berucap kasar dengan Winar keponakannya sendiri. Herannya, di depan. Bapak Winar hanya diam dan menunduk. Tubuh kecilnya meringkuk seperti tak bertulang. Melihat fisiknya, aku tidak percaya jika Winar perampok. “Harusnya kakimu ini dipotong saja habis ditembak Polisi tempohari. Biar kapok, tidak bisa berjalan” Lanjut Bapak lagi. Waktu itu aku memang melihat bekas jahitan di pergelangan dan mata kaki Winar. Kata Ibu waktu itu mata kakinya pecah. Betis dan pahanya juga pernah ditembak. Ke luar masuk penjara sudah biasa. Namun kulihat Winar biasa-biasanya saja. Tidak cacat. Berjalan pun biasa meski bekas luka masih terlihat.

Satu kesempatan pernah kutanya mengapa dia tidak kapok-kapok? Trus ratusan kali lolos dari kejaran polisi padahal sudah dikepung. Bagaimana caranya? Terus beliau cerita kalau dia punya ajian panglimunan yaitu ilmu halimun. Jadi ketika ada yang mengejarnya tiba-tiba dihalangi kabut sehingga sang pengejar kehilangan jejak. Lalu beliau juga punya ilmu belut putih, ilmu gedam, dan sederet ilmu lainnya yang digunakannya untuk melancarkan kejahatan. Suatu kali pernah jin godam pendampingnya yang berujud singa dan boto ijo kutangkap dan kukurung. Ternyata Winar tahu, dia datang dan minta-minta ampun agar dilepaskan. Akhirnya kulepaskan, dan dari beliau juga aku tahu kalau beliau berguru di Jawa selama tujuh tahun lamanya. Sejak godamnya kutangkap, Winar menghilang tak tahu kemana. Keluarga besar kami bersyukur lega karena Winar tak terlihat batang hidungnya. Tidak satu pun yang mengetahui keberadaannya.

Suatu malam tiba-tiba Winar datang ke rumahku, maksudnya ingin bertemu Ibu karena rindu. Memang dari sekian banyak keponakan Bapak, beliau termasuk dekat dengan Ibu. Mengetahui Winar yang datang, Bapak marah. Winar langsung diusirnya malam itu juga. Di sinilah aku melihat ilmu yang dimiliki Winar. Ternyata beliau buronan Polisi kasus perampokan dengan kekerasan di Palembang. Belum lagi perampokan yang dilakukan kelompoknya di Batu Raja, Lampung, lahat, Muara Enim, Prabumulih, Jambi, dan sederet kota lainnya. Dari pertama beliau masuk rumah, ternyata telah diikuti Polisi. Dalam waktu singkat rumah kami dikepung Polisi. Tidak ada ekspresi cemas di wajahnya meski sudah dikepung sedemikian rupa. Yang jantungan justru Ibu melihat banyak anggota Polisi. Tanpa babibu lagi, Polisi langsung masuk, sigap dengan senjata, lalu berteriak semua disuruh tiarap dan Winar di suruh angkat tangan menyerah. Aku melihat Winar lari ke kamar mandi, lalu dikejar Polisi dan Winar menghilang seketika. Se-kota Pagaralam tahu kelicikan Winar yang selalu lolos dari kejaran aparat waktu itu. Sekali lagi dia bilang memperoleh ilmu itu hasil berguru di pulau seberang. Bahkan dengan gamblangnya dia bercerira padaku bagaimana dia digembleng gurunya, berdiam di hutan cukup lama. Waktu itu, aku kagum karena Sinar kuanggap sakti. Sama halnya dengan dukun Sumedang yang baru datang itu. Semua masyarakat mengatakan beliau dukun besak. Artinya dukun sakti.

Satu tanggapan untuk “HARIMAU SUMATERA HEWAT BERADAT VI (81A)

  • 23 Oktober 2020 pada 13 h 07 min
    Permalink

    Ditunggu sambungannya sodara…

    Oh iya,nyai ratih gimana ya ceritanya, pasukan bayuwangi yg di pukul mundur waktu itu, semoga berlanjutt…Amin

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *