HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (82B)
Lelaki paruh baya itu melakukan gerakan seperti meyembah lalu berinteraksilah dengan salah satu penduduk lembah itu lewat batin. Makhluk asral dari Luang Ayek Gambegh bergaya seperti jawarah. Lalu ketika bangsa manusia menyembah-nyembah padanya dia semakin membusungkan dada seakan paling hebat.
“Apa yang engkau kehendaki hai anak manusia? Bukannya golongan kalian adalah makhluk yang sempurna?” Ujarnya sambil duduk. Bahasanya seperti sangat bijak. Padahal itu salah satu tipu muslihat makhluk asral ini.
“Aku datang ke mari, minta bantuan kalian” Ujar manusia itu. Selanjutnya aku melihat sebuah perjanjian antar mereka. Kesepakatan yang kudengar, makhluk asral yang berdiri siap membawa kawan-kawannya, membantu bangsa manusia semaksimal mungkin. Rupanya hal inilah yang menjadi titik masalah. Makhluk asral ini dianggap melanggar adat dan etika. Kaum mereka tidak ada selama ini melakukan perjanjian dengan bangsa manusia dalam bentuk apa pun.
Aku duduk di atas dahan pohon cighu, masih menyisir peristiwa yang menyebabkan satu dusun terhukum. Selanjutnya aku mengikuti manusia yang telah membuat perjanjian dengan penghuni Luang Ayek Gambegh ini. Rupanya, beliau salah satu dukun yang sengaja datang ke mari setelah meditasi dan mendapat petunjuk agar datang ke luang ini jika hendak mencari jin pendamping yang bervariasi. Sebab di luang ini ada juga makhluk asral jenis harimau yang diyakini memiliki budaya yang tinggi.
Selanjutnya manusia itu kuikuti. Rupanya beliau tinggal di Pagaralam, tepatnya di Talang Jelatang. Rumahnya agak terpencil ke arah sawah dan kebun kopi penduduk. Beliau pandai menyamar rupanya. Saat menjadi masyarakat biasa, beliau bergaul dengan masyarakat sekitarnya. Beliau juga terkenal loyal dan familier dengan siapa saja. Selanjutnya untuk melakukan ritual perdukukunan beliau punya rumah khusus yang letaknya jauh dari rumah tempat tinggalnya. Beliau punya kebun kecil setengah dibengkalaikan sebagai bentuk penyamaran. Jadi tetangga di Talang Jelatang tidak ada yang tahu prosfesi sampingannya. Aku mengangguk-angguk sembari memikirkan langkah kedepannya.
Selanjutnya aku pergi ke dusun di luang Ayek Gambegh. Kulihat seratus persen penduduk dusun tidak berdaya. Kampung mereka dililit oleh ular yang sangat besar. Kekuatan ular inilah yang mengikat satu persatu penduduknya sebagai bentuk kemarahan, menyiksa mereka sedemikian rupa. Makhluk di luang Ayek Gambengh ini tidak mampu melakukan apa-apa. Hendak melawan tidak bisa, jika melawan justru lebih salah. Tidak melawan mereka tersiksa. Mereka seperti makan buah simalakama.
Melihat kondisi mereka muncul rasa ibaku. Baru kali ini aku melihat makhluk asral disiksa oleh makhluk asral pula. Satu kampung merasakan kesakitan luar biasa tanpa mampu melakukan perlawanan. Tidak ada satu pun yang mampu mengobati. Suara meringis menahan sakit di mana-mana. Kampung yang tersiksa. Besar, kecil, perempuan, laki-laki semuanya dililit. Persis seperti bangsa manusia yang tidak paham apa-apa. Meski mereka makhluk asral, namun tak mampu melihat dan mewujudkan makhluk yang melilit mereka. Nafasku sedikit sesak melihat kondisi mereka.
“Baiklah Nek, aku akan mencoba melepaskan ikatan-ikatan yang telah mengikat semua penduduk luang Ayek Gambengh itu. Aku mohon doa” Ujarku pada nek Kam dan rombongan nenek gunung yang masih duduk bersila, setelah aku merasa cukup mengamati beberapa peristiwa dan merangkaikannya. Semua mengangguk dan memandangku penuh harap.
“Berangkatlah Cung, kami mengantungkan harapan padamu. Apa yang bisa kami bantu di sini?” Ujar salah satu nenek gunung yang baru datang.
“Bantulah aku dengan zikir, Kek” Ujarku sambil sujud mohon diri. Tak lama aku melihat mereka kembali duduk bersila, lalu mulai konsentrasi berselawat, dan berzikir.
Aku memulai misiku malam ini. Aku langsung meluncur ke tempat dukun orang Talang Jelatang itu. Kebetulan malam ini dia tengah melakukan ritual. Entah ritual apa, aku belum tahu. Bisa jadi ada hubungannya dengan pemanggilan makhluk asral dari luang Ayek Gambegh. Sangat kebetulan sekali. Artinya pekerjaanku akan lebih muda.
Sebelum melakukan sesuatu aku mengamatinya sejenak. Dari cara berpakaian beliau berbeda dari sehari-hari. Beliau mirip seperti pendekar. Berbaju serba hitam dan mengenakan ikat kepala. Di hadapannya ada dupa, kembang, dan beberapa keris pusaka. Ada juga punjung serupa sesajen yang sengaja dipersembahkan untuk makhluk asral yang diundangnya. Tak lama aku melihat beberapa makhluk halus diiringi dengan desiran angin pelan lama kelamaan sedikit kencang. Beberapa sosok dari atas dengan berbagai bentuk seperti cahaya kerlap-kerlip ke sana ke mari. Pertanda makhluk yang diundang telah datang. Aku masih terus mengawasinya meski secara batin dia sudah mulai tahu jika ada yang orang asing yang mengawasinya. Kuakui beliau hebat, sakti! Namum karena dia masih fokus memanggil-manggil makhluk asral, aku yang berdiri diam mengawasinya dari jauh, tidak terlalu dipedulikannya.
Tak lama beberapa sosok kulihat duduk di hadapaannya. Ada dalam bentuk lelaki tinggi besar, ada genderowo, ada kuntilanak, ada nenek-nenek, monyet, buatlah, ular, separuh babi dan manusia, ada juga sosok singa dan macan. Di antara yang datang adalah nenek gunung dari luang Ayek Gambengh dengan sosok aslinya, lelaki dewasa yang berwajah tegas, bermata tajam dan gagah. Wajahnya tersenyum sombong kala menatap sang dukun dan makhluk asral lainnya. Dalam hati aku bersyukur. Artinya aku tidak perlu bolak-balik ke luang Ayek Gambegh untuk mengambil atau menjemput dirinya. Cukup satu tempat ini saja.
Sang dukun sudah mulai melakukan aksinya. Selain beliau aku melihat ada dua orang manusia duduk diam tidak jauh di hadapnnya. Bisa jadi dua orang itu adalah pasiennya. Mereka tidak menyadari jika di sekeliling mereka banyak makhluk asral yang siap melaksanakan perintah Sang Dukun.
Sang Dukun mulai membaca mantra. Tangan kanannya memegang keris dan mengacung-ngacungkannya. Sementara tangan kirinya seperti orang menari dengan telapak tangan mengembang. Beberapa sosok dibantunya masuk ke dalam tubuh dua orang yang kukira pasien. Rupanya mereka bukan pasiennya, melainkan muridnya.
“Saya akan transfer ilmu pada kalian berdua. Silakan konsentrasi, fokus” perintahnya.
“Baik guru!” Jawab dua orang itu serentak. Aku penasaran bagaimana cara Sang Dukun transfer ilmu. Aku melihat Sang Dukun menarik beberapa sosok lalu dimasukannya ke badan murid-muridnya ini. Sang makhluk asral diberi tugas untuk memberi semacam kemampuan pada dua orang itu. Tak lama aku melihat kedua muridnya menegang. Wajah mereka nampak berbeda ketika makhluk-makhluk yang dimasukan untuk menjadi ghodam pendamping yang memiliki kekuatan itu bersenergi dengan fisiknya.
Jika sebelumnya aku melihat aktivitasnya dari jauh, akhirnya aku mulai mendekat. Sang Dukun masih membaca mantra dan berbagai hal dilakukan dalam rangka mengisi murid-muridnya dengan ilmu. Aku justru melihat gelombang hitam bergulung di tubuh mereka mulai ikut mengaliri darah. Makhluk-makhluk asral berupa ilmu telah menyesuaikan diri ke tubuh manusia itu. Rangkaian ritual nampaknya belum selesai. Ada sejenis minyak yang harus mereka lumurkan ke badan, selanjutnya ada air yang harus mereka minum, lalu telapak tangan mereka menyatu dengan tangan Sang Dukun.
“Nah, murid-muridku. Ritual kita hampir selesai. Tahap demi tahap sudah kalian lakukan. Untuk menyempurnakan kemampuan kalian, kalian bisa melakukan tapa di gua kecil tidak jauh dari sini selama tujuh hari tujuh malam.” Ujar Si dukun. Dua muridnya mengangguk patuh. Kedua muridnya ini tidak muda lagi sebenarnya. Yang satu lebih tua dari Sang dukun, yang satu lagi sebaya. Namun karena Sang dukun dia anggap guru, keduanya sangat patuh.
Asap dupa mengembang memenuhi ruang ritual. Sang Dukun masih komat – kamit baca mantra. Makhluk asral yang diundang datang dengan riang.
“Ingat, jika ada yang meminta tolong dengan kalian, jangan sekadar menolong saja. Tapi makhluk-makhluk pendamping dan ilmu kalian perlu dipelihara agar semakin dan selalu kuat. Jangan lakukan kesalahan jika tidak mau senjata makan tuan. Pahami sifatnya, kemauan mereka. Semakin kuat, maka semakin besar pula yang harus kalian persembahkan. Sesuai dengan perjanjian kita, kalian siap menjalankan itu semua dan memenuhi permintaan-permintaan mereka. Jaga itu” Ujar Sang dukun dengan gaya penuh wibawa. Kedua anak muridnya mengangguk-angguk sepakat.
“Di antara pengawal kalian masing-masing, ada berkehendak kepala kambing setiap tiga purnama. Penuhi itu selain darah ayam hitam dan kembang setaman.” Lanjut Sang dukun kembali. Aku kaget. Tiga bulan sekali minta kambing? Masya Allah, kejam sekali. Aku membatin. Kambing yang mereka maksud pasti manusia. Artinya ilmu yang diwariskan harus diberi tumbal manusia. Murid Sang Dukun harus mencari target untuk ditumbalkan setiap tiga purnama. Kejam!
“Ingat, dari tarif yang kalian pasang, tiga puluh persen harus kalian serahkan padaku. Jangan pula kalian lupa untuk tolong menolong. Jika si A bekerja tidak selesai, atau tidak mampu, maka wajib Si B membantu, menguatkan. Kalian harus kompak dan bekerjasama. Dengan demikian kita akan menjadi kuat” ujar Sang Dukun lagi. Sekali lagi kedua muridnya mengangguk setuju.
Melihat aktivitas Sang Dukun aku sudah tidak tahan. Makhluk-makhluk asral yang berada di hadapannya merasa senang. Akhirnya dari jauh kuacak-acak bahan ritualnya.
Brak! Brak!
Angin yang kukirim secepat kilat.
“Siapa kau!” Ujarnya kaget ketika dupa tempat beliau membakar kemenyan didorong angin hingga menabrak dinding kayu ruang ritualnya sampai jebol. Matanya merah melotot. Tubuhnya agak terdorong ke belakang. Karena malu, dia buru-buru bangkit. Kedua muridnya pun ikut terpental dan mencoba bangkit juga. Mereka langsung mengerjakan kemampuan hendak menyerangku. Makhluk-makhluk asral yang semula sangat gembira dan berpesta-pora dengan Sang dukun ikut kaget dan marah. Termasuk nenek gunung dari luang Ayek Gambegh.
“Aku hanya ingin mengambil lelaki itu. Untuk kubawa pulang dan memutuskan hubungan kalian” Ujarku menunjuk pada nenek gunung dari luang Ayek Gambegh. Wajah mereka serentak berubah.
“Kau jangan ikut-ikutan mengurus urusanku. Apa kepentingan menjemput makhluk yang ikut denganku. Mereka adalah pengikut-pengikutku. Lakukan saja kalau kau bisa!” Ujar Sang dukun sedikit sombong mengembangkan tangan pertanda menantang sembari tertawa lebar. Makhluk-makhluk asral pengikutnya pun ikut tertawa senang. Mereka berkelebat ke sana kemari mengelilingi aku.
“Kau akan kujadikan santapan dan pengikut mereka perempuan” Ujar Sang Dukun kembali tertawa.
Angin kibasan makhluk-makhluk asral yang mengelilingi aku terasa sangat kuat. Energi mereka kuakui cukup dasyat. Termasuk nenek gunung dari luang Ayek Gambegh yang menjadi targetku pun ikut-ikutan mengelilingi aku.
“Hari ini, hari terakhir kau jadi dukun, Mang. Aku tahu siapa dirimu. Hari-hari biasa kau seperti petani biasa. Waktu-waktu tertentu kau kemari melakulan ritual perdukunanmu” Ujarku. Aku melihat beberapa foto dan boneka dari kayu ada di dekat dupa ritualnya. Lalu ada semacam kotak kecil yang ditutup rapat bergerak-gerak di sampingnya. Di dalam kotak itu ada batara karang atau jenglot yang memiliki energi setan. Sejak mengetahui kedatanganku, tiga jenglot itu sudah mengingatkan Sang Dukun, bahkan beberapa kali mencoba menyerang.
Aku melompat ke luar ruangan. Mereka mengikutiku. Dalam pengawasanku sekilas, banyak sekali golongan pejabat, pegawai, pedagang, masyarakat biasa datang menemui Sang Dukun dengan berbagai kepentingan. Ada yang minta supaya lancar kariernya, padahal dalam aplikasinya, Sang Dukun akan menyingkirkan orang-orang yang memiliki jabatan tertentu untuk melancarkan misi yang minta tolong tersebut dengan bantuan bangsa jin. Ada yang sengaja berniat merebut jabatan tertentu dengan cara mengguna-guna seseorang. Ada yang minta kaya atau pengasihan supaya disegani bahkan ditakuti. ada yang minta disayang atasan, minta penglaris untuk warung dan tokohnya, dan sebagainya. Dan setiap orang yang datang minta tolong, rata-rata dalam waktu tertentu akan menjadi korban, yaitu mati.
“Kau salah datang ke mari anak gadis. Kau hanya mengantarkan diri untuk kusembahkan pada pengikut-pengikutku. Lagi pula siapa kau berani-beraninya ke sarang setan? Boleh juga nyalihmu” Sang Dukun mengangguk-angguk.
“Tapi melihatmu, nampaknya kau bukan orang biasa. Kau juga punya kemampuan hingga bisa menerobos ke mari. Jika kau ingin menjemput Segap, memutuskan hubungan dan perjanjian kami, maka kau harus mampu mengalahkan aku terlebih dahulu” Ujar Sang Dukun sedikit angkuh. Baru kutahu, nenek gunung dari luang Atek Gambegh itu namanya Segap.
Huuuuf!!!
Beberapa makhluk asral yang berdiri mengelilingi aku dengan cepat kutarik sosok mereka tanpa mereka sadari. Aku menawannya dan tidak melepaskannya kembali. Sang dukun tercengang melihat makhluk peliharaannya kuambil dengan mudah. Tak lama ribuan sosok menyerang menunjukkan kesetiaannya pada Sang Dukun. Termasuk beberapa makhluk asral dari benda-benda pusakanya. Dan kembali lagi kutangkapi semua. Aku kerahkan kemampuan menyedot mereka dengan ujung jari dan menyimpannya. Aku sedang malas bertanya atau melakukan negoisiasi pada mereka. Semuanya ingin kulakukan dengan cepat.
“Kurang ajar, rupanya kau ingin pamer kemampuan padaku?” Ujar Sang Dukun marah. Beliau langsung melakukan gerakan-gerakan menyerang.
“Aku bukan pamer Mang Dukun. Tapi aku ingin menolong Mang Dukun agar berhenti memperdaya makhluk-makhluk asral. Sebab di antara makhluk asral yang Mamang ambil, berefeks besar pada kehidupan mereka. Jadi mohon maaf kalau saya lancang” Ujarku masih berusaha lembut.
Mamang Dukun bergerak serentak dengan ghodam-ghodamnya. Kembali beberapa ghodamnya kutangkap dan kutahan. Zikir yang dilakukan nenek Kam dan nenek gunung seperti tameng kekuatan membantuku. Membuatku semakin mudah untuk menakhlukan jin-jin fasik yang buyar konsentrasinya dan kepanasan.
Sang dukun tidak ada rada akan mundur sedikit pun. Beliau kembali membaca mantra dan mengerahkan kekuatan untuk melawanku. Aku sudah siap dan berusaha mengimbanginya terlebih dahulu sebari mencari sela untuk menundukannya. Suara gemuruh seperti guruh hendak meruntuhkan langit. Tak lama berselang, aku melihat petir berkali-kali menyambar ke bumi diiringi dengan serangan-serangan Mamang Dukun yang mematikan.
“Darimana asalmu, anak gadis. Siapa gurumu? Darimana kau dapatkan ilmu penampar badai itu” Ujar Mamang Dukun. Ekspresinya menampakkan kekagetannya. Aku menatapnya dengan penuh tanya. Mengapa dia bertanya tentang ilmu?
“Untuk apa kau tahu dari mana ilmu itu, Mang. Yang jelas aku bukan dari seberang. Aku asli anak Besemah.” Ujarku singkat.
“Tunggu! Apa hubunganmu dengan Puyang Guru Putih?” Ujarnya lagi.
“Baik, agar Mamang tidak penasaran. Akan kuberitahu. Puyang Putih adalah saudara seperguruan puyangku. Beliau seorang penghianat. Menggunakan ilmunya untuk ke jalan sesat. Beliau sudah berpulang, mati di tangan Puyang dan kakekku” Ujarku datar. Matanya melotot. Beliau ini salah satu muridnya rupanya. Meski punya nama yang sama tamparan badai, namun dalam penerapan dan mantranya berbeda. Mamang Dukun lebih banyak menggunakan ilmu ini untuk melawan para makhluk asral yang hendak ditariknya.
Duar!!
Aku kaget tiba-tiba segerombolan makhluk asral menyerangku. Aku langsung bergerak melawan mereka dengan cara bertahan dari serangan serentak itu. Sang dukun baru sadar dari terkesimanya. akhirnya beliau kembali melakukan penyerangan menggunakan ajian-ajian yang sebagian besar aku tahu kuncinya. Sehingga beberapa kali serangannya menghasilkan angin, dan tidak ada energinya sama sekali. Akhirnya beliau mengganti ajian setannya. Api yang berkobar beliau ambil dari segala penjuru lalu dihantamkannya padaku.
Aku meningkatkan zikir dalam batin dan melepaskan jiwaku sepasrah-pasrahnya. Tak lama tubuhku seperti gasing berputar sangat cepat. Segencar apa pun serangan Sang Dukun tak mampu menyentuh tubuhku. Aku terus fokus pada pasrah dan menuju Allah saja. Tubuhku yang berputar mengikuti gerakan bumi yang berputar pada porosnya mengeluarkan angin menampar-nampar ke arah Sang Dukun. Di dalam zikir gerakan berputar ini disebut patrap. Gerakan yang bukan dikendalikan oleh nafsu mau pun gerakan hati ini murni daya dari SanKhalik. Aku tidak merasa khawatir sama sekali akan celaka. Justru aku merasakan kenyamanan yang luar biasa.
Dalam keadaan nyaman, aku ingat dengan misiku. Akhirnya aku kembali sadar dengan diri, dengan tidak lepas sadar pada Allah. Kuayunkan tanganku ke atas menghalangi serangan-serangan seperti gelombang api. Lalu dengan angin, kukembalikan bahkan kubuat api berderai-derai. Aku terkesima ketika beberapa bola api meluncur deras padaku dari sisi kiri dan kanan. Ini bukan main-main bisikku dalam hati. Aku ingat, kata Eyang Kuda ini namanya banaspati. Jin api yang maha dasyat serentak memyerang.Tidak ada jalan lain, kulawan api dengan ilmu halimun dan bola es.
DuuuaaRrrr!!
Bola es bertemu dengan bola api yang meluncur. Percikan bola es dan bola api meluncur tajam seperti anak panah yang dapat melukai ke segala arah. Tanpa sempat menarik nafas, serangan selanjutnya kembali seperti anak panah memberondongku dari segala arah. Aku tidak saja bertahan, namun segera memberikan serangan balasan. Terasa sekali melawan makhluk-makhluk api ini energiku seperti disedot. Beberapa kali aku nyaris kena sabetan apinya. Kadang api-api itu berupa lidah yang menjilat, kadang seperti ujung tombak yang tajam dan mengejar, kadang seperti bola api menggelinding seperti kilat siap menggilasku.
Hawa makhluk api itu terasa sangat panas. Keringat sebesar biji jagung, mulai membasahi seluruh tubuhku. Dalam satu kesempatan, satu di antara bola api itu mampu kutakhlukkan. Meski memberontak dan mencoba balik menyerang, namun dia tidak mampu melemahkan jaring gaibku. Dengan demikian memudahkan aku menumpas mereka, kusedot semua kemampuan mereka sehingga mereka seperti mayat hidup. Bernyawa, namun tak mampu berbuat apa-apa.
Menghadapi makhluk asral ganas ini tidaklah mudah. Aku nyaris kehabisan nafas kala mereka serentak menyerang. Aku terasa terhimpit bukit batu. Beberapa detik aku tidak bisa bernafas dan terasa lemas. Tiba-tiba dari atas, muncul cahaya putih seperti membelah kekuatan yang menyerangku sehingga aku terbebas dari himpitan itu. Aku tidak tahu siapa yang mengirim kekuatan serupa cahaya itu. Selanjutnya, ketika aku tengah mengumpulkan kekuatan untuk memecahkan kekuatan-kekuatan Sang dukun dan ghodam pendampingnya, tiba-tiba dua batara karangnya meluncur ke luar dari kotak menyerang dengan kekuatan dasyatnya membuat konsentrasiku buyar. Selendangku yang berayun spontan terpental jauh karena berbenturan dengan kekuatan yang maha dasyat itu. Aku yang sebelumnya berdiri dan merasa yakin kuda-kudaku takkan tumbang, ternyata tak mampu menolak kekuatan itu. Tubuhku melesat seperti kilat dalam hitungan detik akan menghantam batu cadas yang membukit di bagian selatan. Namun dalam hitungan detik itu pula tiba-tiba pedangku melesat seperti karpet menyambut tubuhku lalu diangkat ke atas. Hal yang tidak biasa kualami. Sejak aku diberi senjata ini oleh kakek Andun, pedang ini kugunakan sebenar-benarnya pedang. Tidak dalam bentuk lain. Itupun akan ke luar kalau aku menghendaki. Tapi kali ini dia ke luar sendiri menghalangi tubuhku agar tidak menghantam cadas, bahkan mengangkat tubuhku meluncur ke atas. Sebuah keajaiban yang aku sendiri tidak tahu datang dari mana. Aku bersyukur tak putus dalam hati.
Ketika tubuhku masih melambung, dua kekuatan menarik dari bawah. Energi yang menarik tubuhku benar-benar luar biasa. Aku mencoba melepaskan kekuatan tersebut dengan membaca mantra dan mengeluarkan ajian pukulan gunung yang kukombinasikan dengan kekuatan badai membelah laut. Dalam sekejap angin menderu ke arah bawah melawan kekuatan yang berusaha menarik tubuhku. Gulungan dan benturan silih berganti seakan mengguncang-guncang bumi.
Akhirnya aku memilih turun. Aku menapakkan kaki ke tanah dan mengubah diriku menjadi harimau putih. Aku mengaum sembari menancapkan cakar ke tanah. Aku merasakan semua buluku berdiri pertanda kekuatan lawan memang luar biasa. Batara karang yang bergumul dengan angin badai dan kekuatan gunungku nampak mulai kewalahan. Langit gelap. Percikan-percikan api seperti hendak membakar siapa saja yang mendekat. Aku mengusirnya dengan sekali dengusan hingga menggumpal kembali menyerang kedua batara karang.
Dalam satu kesempatan, kedua batara karang itu kutangkap dan kucabik-cabik, selanjutnya kukeluarkan cahaya api dari mataku untuk membakarnya dengan kalimat “Laailaha illallah”. Tiba-tiba kilat seperti letupan cemeti raksasa menyambar-nyambar tak beraturan menggambarkan kekuatan makhluk asral ini terlepas dan menabrak-nabrak liar ke langit.
Sreeeet!!
Sabuk kutarik dari pinggang lalu kujadikan sosok seorang lelaki seperti A Fung lalu kuminta azan. Dalam waktu singkat, azan pun berkumandang sangat merdu. Semua makhluk asral yang ada di area perdukunan ini tidak ada yang mampu bergerak. Sang dukun dan dua muridnya sejak tadi sudah terkapar. Pertarunagn dengan kekuatan-kekuatan ghodamnya yang tidak menerima majikannya kalah benar-benar menguras tenaga.
Aku kembali pada sosok diriku menyapu semua kekuatan-kekuatan negatif lalu menghimpunnya jadi satu. Setelah terkumpul seiring azan yang belum berakhir, kuremuk hingga jadi debu. Perjanjian manusia dengan jin penghuni Luang Ayek Gambegh berhasil kuputuskan. Sang makhluk nenek gunung yang telah melakukan perjanjian dengan bangsa manusia masih kusimpan di telapak tangan.
Alam nampak jernih kembali. Suara gemuruh telah hilang seiring berkumandangnya azan. Sosok lelaki dari sabukku telah lenyap. Sabuk kembali kupaki. Demikian juga pedangku telah menyimpan diri ke tempat semula. Aku menarik nafas lega. Sang dukun dan dua muridnya tidak memiliki kemampuan apa-apa lagi sekaramg. Mereka seperti manusia biasa, namun akan lumpuh beberapa waktu. Jika hati mereka bersih, mereka akan kembali normal tetapi jika hati mereka tidak berusaha tobat dan menyadari kesalahannya maka sampai mati mereka tetap akan lumpuh.
Aku mengendarai angin segera ke Luang Ayek Gambegh. Rupanya di sana telah berdiri sesepuh yang menunggu kehadiranku. Semua penduduk sudah lepas dari lilitan ular raksasa itu secara otomatis rupanya. Aku menarik nafas lega. Kulihat nenek Kam dan nenek gunung yang duduk bersamaku tadi ada di sini.
“Assalamualaikum Putri Selasih. Terimakasih kau sudah membebaskan dusun ini dari siksaan gaib leluhurnya. Usaha dan perjuanganmu tidak akan pernah kami lupakan” Ujar lelaki sepuh dengan sopannya. Aku menyambutnya dengan sujud, mencium tangannya. Suatu kebahagiaan ketika aku bisa membantu makhluk lain. Apalagi melihat wajah-wajah mereka yang berseri bahagia.
“Sama-sama, Puyang. Alhamdulilah. Semua berakhir. Aku tidak bekerja sendiri, Puyang. Tapi doa dan bantuan yang tidak kutahu darimana asalnya, beberapa kali menyelamatkan aku” Ujarku jujur. Di tanganku masih menggenggam sosok nenek gunung yang telah melakukan perjanjian dengan bangsa manusia.
“Bagaimana dengan Paman nenek gunung di genggamanku ini, Puyang?” Ujarku. Beliau seakan baru sadar jika aku masih menggenggam warganya.
Hiiiat…hat hat!
Tiba-tiba yang kupanggil puyang mengangkat tangan lalu kulihat telapak tangannya memegang sejenis bejana transparan tanpa mulut.
“Kemari, Cung” Ujarnya mengembangkan tangan kanannya. Aku menyerahkan sosok itu padanya. Tak lama sosok itu dimasukannya ke dalam bejana. Nenek gunung yang dikurung di dalamnya menjerit-jerit minta ampun sambil bersujud menangis. Tidak satu pun yang menghiraukannya. Entah sampai kapan dia akan terkurung di sana.
“Mari, pulang Nduk” Suara sangat kukenal, Eyang Kuda!
Masya Allah, aku serasa hendak menangis setelah menoleh. Ternyata tidak hanya Eyang Kuda. Tapi ada Kakek Andun, kakek Njajau, Nenek Ceriwis, dan Macan Kumbang. Aku menghambur berlari memeluk mereka satu-satu.
Angin lembab berhembus pelan. Embun jatuh mencium bibir-bibir daun dan kelopak bunga rumput liar yang tumbuh di semak-semak. Gemericik mata air yang jatuh dari dinding cadas mengiring langkah ringanku bersama Nenek Kam. Di belakang, Kakek Andun, Kakek Njajau, Eyang Kuda, Nenek Ceriwis, dan Macan Kumbang masih asyik bercerita tentang pertempuran tadi. Rupanya meski tidak hadir di tempat, mereka mengamati dan membantuku dari jauh.
“Aaah” Aku mendesah lega sambil memandang pada Nenek Kam. Telapak tangannya yang kecil kugenggam hangat. Perempuan yang sangat kukenal dan kusayangi namun masih saja jadi sosok misterius bagiku ini tersenyum simpul. Senyum misterius.
Bersambung…