HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VII (100A)

Karya RD. Kedum

Aku sudah berdiri di antara dua muara, muara kanan dan muara kiri yang dikenal di Seberang Endikat Muara Cawang atau Marcawang. Sejenak kuhirup udara dalam-dalam. Di sini, pertama kali aku dijemput oleh salah satu Puyangku lalu menuntunku turun menuju air terjun di sisi jurang. Di situ ada pintu gerbang menembus air terjun yang jatuh. Pintu gerbang itulah yang mengantarkan aku ke masjid yang luas. Tempat aku ditatar berzikir nafas “Huu Allah” memperteguh batinku untuk dekat pada Sang Khalik, ketika dunia gaib dihebokan dengan peperangan memperebutkan aku. Dua peri dari Timur Laut Banyuwangi, utusan Kanjeng Ratu dengan berbagai cara mencoba mengambilku untuk memimpin kerajaannya yang hancur. Maka sesepuh dari Seberang Endikat dan gunung Dempu, ditambah oleh sesepuh nenek gunung sepanjang Bukit Barisan turut serta membantu menyelematkan aku.

Di situlah pertama kali aku berjumpa dengan Putri Bulan yang mempertaruhkan nyawa melindungi aku ketika sukmaku ke luar dari persembunyian untuk membantu pasukan Besemah melawan Banyuwangi. Beliaulah yang merebut aku dari tangan Ni Rara, pada akhirnya beliau tewas di medan laga.

Aku menarik nafas panjang. Sungguh perjuangan sesepuh dari tanah Sumatera ini sangat luar biasa mempertahan aku waktu itu. Mereka bersatu menyerang pasukan Banyuwangi yang menyerbu seperti air bah. Sementara aku dilarang keluar masjid, duduk diam dan berzikir. Aku kira kejadian di sana hanya beberapa hari saja, ternyata setelah dihitung dengan waktu di alam gaib, bertahun-tahun lamanya.

Ketika aku sedang asyik mengenang masa lalu, pelan-pelan datang angin semilir dari Timur. Aku menoleh dan fokus pada desirnya. Seseorang mendekat bersama angin. Mungkin utusan Puyang Bukit Selepah hendak menjemputku. Aku membatin. Suasana di atas bukit ini memang senyap. Hanya debur air yang mengalir deras dari dua sungai, menggema di bawah jurang. Atap istana yang berdiri di sudut bibir dua muara masih seperti dulu. Indah dan tenang.

Sejak awal aku memang diarahkan ke Mercawang ini oleh Puyang. Singgah ke bukit emas itu karena aku penasaran setelah mendengar cerita Nenek Kam. Sungguh aku tidak menduga ternyata di sana ada bukit emas yang disilamkan. Dan yang membuatku terkesima sampai saat ini adalah berjumpa dengan saudara Puyang Kedum Tengah Laman, salah satu leluhur di Besemah, utamanya leluhur dari Seberang Endikat ini. Puyang juriat Seberang Endikat.

“Assalamualaikum Cung, kita berjumpa lagi di sini.” Suara sosok berbaju putih, berjengot putih, bertongkat, sudah berdiri di hadapanku. Cahaya putih mengitari seluruh tubuhnya. Tubuhnya seperti bercahaya.
“Waalaikum salam, Puyang. Masya Allah, kita kembali berjumpa di sini Puyang” Aku segera menyongsong mencium tangannya. Tepukkannya di bahuku membuat batinku sangat nyaman di dekatnya. Aroma harum bau bunga menyeruak di antara kabut tipis yang mengitari area bukit.
“Indah sekali perjalananmu malam ini. Kau berjumpa dengan Putri Rambut Emas, bukan? Diajak keliling di Bukit Emas itu. Bersua pula dengan Puyang Tapak Abang dan naga kembar milik Puyang?” Katanya sambil tersenyum sumringah. Janggut putihnya bergerak-gerak ketika berbicara.
Aku membenarkan kata-katanya. Bahkan kuceritakan jika aku diberi hadiah singgasana emas lengkap dengan pakaian, senjata dan aksesorisnya.
“Kau bisa membawa semuanya ke alam nyata, Selasih. Kapan saja jika kau mau” Ujarnya lagi yang kusambut dengan senyum.
“Tidak, biarlah itu menjadi kekayaan dan kenangan di Timur Laut Banyuwangi. Puyang. Aku sangat bahagia diberi semuanya. Aku tidak akan membawanya ke alam nyata, Puyang. Aku khawatir, akan menjadi masalah, bahkan khawatir nanti dipuja-puja manusia” Sambungku. Kembali Puyang tersenyum. Kepalanya sedikit manggut-manggut. Iya, aku takut nanti bangsaku memuja-muja, menyanjung-nyanjung aku karena dianggap hebat bisa membawa emas dari alam gaib. Aku tidak mau pusing dengan hal itu.

“Puyang, apakah Puyang akan kembali membawaku berjalan di sisi jurang menuju air terjun, lalu kembali ke masjid di perut bukit itu?” Tanyaku berdiri di sampingnya.
“Pada akhirnya kita akan ke sana. Tapi sebelumnya, kita ke situ. Para Puyang sudah berkumpul di sana, menunggu kita.” Beliau menunjuk ke arah ceruk bukit yang ada telaganya. Aku memang belum pernah ke sana. Karena memang belum ada alasan untuk ke sana meski aku tahu di sana ada perkampungan dijaga oleh makhluk bersosok kerbau berbadan besar, panjang tanduknya hampir dua meter. Aku hanya tahu di sana perkampungan gaib, tepatnya istana gaib yang dihuni oleh para Puyang.
“Puyang Bukit Selepah ada di sana. Begitu juga Puyang-Puyang dari Uluan lainnya,” ujaranya menyebut gunung Dempu dengan Uluan.

Tubuhku serasa melayang ketika dibimbing Puyang menuju ceruk yang ada telaga. Jika sebelumnya aku hanya melihat ujung-ujung bubunga atap istana, sekarang terlihat semakin dekat. Gaun Puyang yang hingga kini tidak kuketahui namanya berkibar-kibar ditiup angin. Aroma harum bunga dari tubuhnya menyebar kemana-mana.

Aku merasa bahagia melakukan perjalanan malam ini. Pertama, ini kali pertama aku dilepas sendiri berjalan ke mari. Biasanya jika tidak ditemani oleh Macam Kumbang, atau dijemput utusan Puyang Bukit Selepah, atau ditemani Nenek Kam, dengan nenek gunung-nenek gunung dari gunung Dempu. Menyadari ini aku merasa sudah dewasa. Aku sudah bisa dilepas tanpa perlu dikawal dan diawasi.

Puyang mengajakku berhenti di bibir telaga. Beberapa bagian bangunan mirip pagoda, sebagian ada yang mirip masjid, ada pula rumah bari Besema pada umumnya bermubungan seperti tanduk kerbau.
“Uuuuuuaaaah… ” Aku dikejutkan suara kerbau seperti terompet terasa sangat dekat dengan telinga. Aku segera menoleh. Masya Allah! Ini kerbau yang paling besar kulihat seumur hidup. Kakinya yang besar seperti godam melangkah pelan mendekati kami berdua. Aku berdiri sejajar dengan Puyang menunggu kerbau yang masih berjalan. Lenggak-lenggoknya yang anggun, dan goyangan tanduknya yang melengkung panjang, justru kerbau nampak gagah berwibawah. Jadi ingat masa kecilku kerap kali aku naik di punggung kerbau milik Bapak, saban pagi mendongakkan kepala di garang dapur minta air garam. Maka Bapak akan meminumi setiap kerbau dengan air garam yang sengaja dituang di dalam bambu.

“Assalamualaikum Puyang dan Putri Selasih. Selamat datang di telaga Mercawang.” Sapanya ramah. Kami nyaris serentak menjawab salamnya. Mataku tak lepas menatap tubuhnya. Meski wujudnya seperti kerbau, aku melihat tanduknya bersih hitam mengkilap. Sangat terawat. Ada semacam minyak yang selalu dipoles di tanduknya, sehingga tanduknya pun mengeluarkan aroma wangi. Sekilas kutatap matanya. Bola mata yang besar bulat itu memiliki bulu mata yang panjang. Aku berusaha menyelaminya. Teduh sekali. Kulitnya yang tebal dan berbulu, tidak sekasar kulit kerbau pada umumnya. Kulitnya berbulu hitam keabuan, tetapi bersih. Lagi-lagi mengeluarkan bau wangi. Kuketahui dari Puyang, beliau penjaga pintu gawang ke telaga ini.

Sekilas aku jadi ingat cerita Kakek Haji Yasir ketika masih muda, beliau mencari kerbaunya yang hilang hingga naik ke bukit ini. Di sinilah kata Kakek Haji Yasir pernah melihat kerbau yang menatapnya dari tepi telaga. Kata Kakek dia tidak mengerti mengapa di tepi telaga ini ada kerbau besar sendiri. Padahal, biasanya kerbau hidup berkelompok. Kerbau itu mendongak ke atas seakan bertanya pada Kakek hendak ke mana. Lalu kakek menjawab dengan bahasa manusia bahwa beliau sedang mencari kerbaunya yang hilang. Tak berapa lama, kakek mendengar suara kerbau di lembah. Setelah dilihat benar itu kerbau Kakek yang terpisah dan tersesat hingga naik ke belatara bukit.

Selain beberapa orang dusun juga pernah melihat kerbau bertanduk panjang di telaga. Namun tidak satu pun yang berani mengganggunya. Semuanya yakin jika makhluk itu milik Puyang penjaga bukit dan telaga. Konon ada juga yang berusaha ingin melihat lebih dekat, tiba-tiba kerbaunya menghilang, lalu turun hujan lebat seputar telaga.

Umumnya penduduk Seberang Endikat tahu, jika di Bukit ini ada telaga yang dijaga oleh seekor kerbau besar bertanduk panjang. Konon hanya orang yang berhati bersih, dan sopan saja yang kerap bertemu atau melihat kerbau besar ini meski seluntas

Aku membatin, apa ada hubungannya tingkah-laku penduduk Seberang Endikat ini dengan kebiasaan kerbau di telaga Mercawang? Sebab tiap kali melihat manusia lewat maka ia akan mendongakkan kepala seperti orang bertanya. Selanjutnya, manusia akan menjawab kemana tujuannya. Hal tersebut terterap dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya pada waktu kecil aku melihat kerbau-kerbau yang tengah padang rumput mendongakan kepala tiap kali melihat manusia lewat. Lalu manusia akan menjawab “nak ke ulu, atau nak ke iligh” seperti berbicara dengan manusia. Setelah dijawab, kerbau-kerbau itu melanjutkan makan atau berkubang hingga akhirnya muncul pula ungkapan di kalangan masyarakat Besemah. Jika melihat seseorang yang bengong, sedikit mendongak, maka akan disebutnya “seperti kerbau bertanya.”

“Sudah lama aku menunggu kehadiran Putri Selasih ke mari, Puyang. Baru kali ini bisa bertatap muka. Ternyata, apa yang dibicarakan para Puyang, benar. Putri Selasih anak dara yang berani, berhati bersih, dan memiliki watak yang keras. Seperti cadas.” Ujarnya sambil bergerak-gerakan matanya yang bulat. Aku hanya tersenyum simpul mendapatkan pujian Kerbau Puyang ini. Meski bertubuh besar gagah, Kerabu Puyang ini memiliki hati yang lembut. Selintas aku melihat keempat kuku kakinya. Masya Allah, apakah aku tidak salah lihat? Kukunya berlapis emas! Jangan-jangan giginya pun berlapis emas. Aku membatin.

“Apakah Kerbau Puyang hanya sendiri di sini?” Tanyaku. Kerbau Puyang menggeleng. Dia katakan di puncak bukit itu, ada mata air yang membentuk telaga kecil dijaga oleh Kerbau Putih.
“Kadang Kerbau Putih itu ikut berendam ke mari.” Ujarnya menjelaskan. Lagi-lagi aku ingat cerita Bapak, dulu Ayahnya pernah juga bertemu dengan kerbau putih di bukit ini. Tubuhnya juga besar dan gagah. Hanya saja tanduknya lebih pendek. Kerbau albino itu suka muncul jika melihat ada orang yang tersesat. Lalu dia menunjukkan jalan dengan cara mendahului manusia. Persis seperti nenek gunung ketika membantu bangsa manusia yang tersesat di rimba. Maka ia akan memberikan tanda tinjak kakinya dan gemeretak bunyi ranting yang diijak sebagai petunjuk ke luar dari rimba. Jika bangsa manusia mengikuti jejaknya, maka pasti selamat. Sebab biasanya nenek gunung mengantarkan manusia langsung ke tepi hutan.

Baru saja aku dan Puyang hendak pamit melanjutkan perjalanan, tiba-tiba di atas bukit selatan aku melihat kobaran api sangat besar. Aku terkesima dibuatnya. Api dari mana? Ini bukan ulah manusia. Tapi api dari makhluk astral. Siapakah dia? Aku penasaram dan ingin melompat menghampiri saat itu juga. Terbayang betapa paniknya semua satwa yang ada di sana.
“Puyang” Ujarku tercekat. Aku berharap Puyang memberikan waktu padaku untuk melihat keadaan di atas bukit itu.
“Hmmm…Dewi Laut Secincing Api datang lagi ke mari” Bisiknya.
“Dewi Laut Secincing Api? Siapa dia, Puyang? Makhluk dari lautkah?” Tanyaku yang dijawab Puyang dengan anggukkan. Aku belum puas jawaban Puyang. Aku ingin tahu siapa Dewi Laut Sicincing Api itu. Mengapa dia ke mari. Kata Puyang dia datang lagi. Artinya, sebelumnya dia sudah pernah ke mari. Tapi untuk keperluan apa?
“Dia Dewi Laut dari Bengkulu Selatan. Istananya di laut bagian barat daya gunung Merapi. Ratusan tahun lalu dia pernah ke mari. Dia ingin mandi di telaga ini untuk menyempurnakan tapanya. Dia ingin terlihat cantik seperti bidadari, tidak bersisik seperti sekarang” Jelas Puyang tetap bernada santai.
“Lalu, apa yang terjadi ratusan tahun itu padanya , Puyang. Apakah dia memaksakan diri untuk mandi di telaga?” Tanyaku.
“Setiap bulan purnama, di telaga ini akan turun bidadari untuk mandi. Bidadari itu makhluk astral yang menempati alam di atas angin. Parasnya sangat cantik. Melebihi cantiknya paras peri” Ujar Puyang menjelaskan. Selanjutnya, beliau katakan, Dewi Laut Sicincing Api hendak mengambil alih telaga ini. Maka terjadilah pertempuran. Bidadari-bidadari itu tidak mau telaga tempat mereka mandi ini direbut oleh makhluk laut itu.

“Terakhir, para bidadari itu mengambil batu dari kayangan, lalu dilemparkannya ke telaga. Seketika air telaga berubah menjadi merah seperti darah. Padahal air telaga tidak berubah merah. Yang merah adalah batu yang jatuh di dasar telaga yang mempengaruhi pemandangan seperti telaga darah. Melihat air telaga berwarnah merah Dewi Laut Sicincing Api merasa takut. Rupanya makhluk itu takut dengan warna darah. Ia pun kabur dan melanjutkan tapanya semata-mata untuk kembali memperebutkan telaga ini. Sekarang ia muncul kembali. Pasti ingin memastikan apakah air telaga masih berwarna merah darah atau tidak” Penjelasan Puyang panjang sekali. Aku langsung dapat menyimpulkan, jika api yang menyala itu berasal dari Dewi Laut Sicincing Api. Aku akan akan usir dia untuk kembali ke asalnya.
“Izinkan aku melihat-lihat ke sana Puyang?” Kataku sedikit tergesah-gesah.
“Iya, kau memang harus melakukannya. Mengusir mereka dari tanah Besemah sebelum terjadi kekacauan” Ujar Puyang.

Baru saja aku hendak bergerak, tiba-tiba suara Alif memanggil-manggiku. Menanyakan kabarku. Aku buru-buru menjawab baik-baik saja dan mohon maaf padanya jika sedang melakukan satu misi. Lalu kututup sementara agar dia tidak bisa menghubungiku lagi. Aku langsung meluncur ke atas bukit yang menyala.

Setelah dekat, kulihat di atas pepohonan mertengger api-api yang mengeluarkan hawa panas dan energi. Di tengah api yang menyala seperti api unggun itu berdiri seorang perempuan berparas cantik. Mahkotanya berkilau-kilau karena semuanya terbuat dari intan. Tubuhnya tinggi semampai. Matanya sipit dan terlihat hanya bola matanya mirip ikan. Rambutnya panjang terurai sampai melebihi panjang kakinya. Benar kata Puyang, tubuhnya bersisik. Dan yang membuat dirinya sedikit menyeramkan, meski cantik namun ada sirip yang muncul di kaki dan tangannya, lalu rambutnya bergerak-gerak berwarna hitam dan kuning. Setelah kuamati, ternyata rambutnya berupa ular seperti ular cincin, bertubuh hitam lalu diselingi warna kuning melingkar seperti cincin. Aneh sekali! Ular dan api itu adalah pasukkannya. Balatentaranya.

Aku berdiri di salah satu pohon. Menatap tajam kehadiran Dewi Laut Sicincing dan pasukannya. Melihat kehadiranku, nampak sekali ketidaksukaanya. Hidungnya mengendus-ngendus. Matanya berkilat-kilat. Spontanitas rambut ularnya yang menjuntai beralih posisi ke depan semua. Aneh-aneh saja memang makhluk astral ini. Dulu ketika aku membaca komik silat, kerap kali ditampilkan gambar tokoh-tokoh sakti dalam bentuk yang aneh-aneh. Kukira itu hanya rekayasa, hasil imajinasi manusia. Ternyata, tidak. Ribuan macam bentuk makhluk astral di alam gaib ini aneh-aneh bentuk dan wujudny sesuai pula dengan asalnya. Ada makhluk dari gunung, dan bukit-bukit, maka dia akan berbeda denga makhluk dari air, lembah, apalagi dari laut. Ada yang setengah hewan, menyerupai hewan, ada yang seperti hewan benaran. Ada lagi yang setengah manusia setengah hewan, ada yang seperti manusia, dan menyerupai manusia. Ada yang seperti tumbuh-tumbuhan, seperti akar yang bergerak dan lain sebagainya. Di hadapanku saat ini wujudnya seperti manusia, cantik luar biasa, tapi kulitnya bersisik, matanya seperti ikan, ada lagi didampingi wujud seperti api dan ular berbisa.

“Selamat datang di ranah Besemah, Dewi Laut Sicincing Api. Ada keperluan apa kalian datang ke mari” Tanyaku dengan nada sopan.
“Rupanya nyalih sedulur tanah Besemah ini kecil sekali. Mereka mengutusmu untuk menemui kami ya Cucu Adam?” Dewi Laut Sicincing tertawa. Tapi aku melihatnya tidak lebih seperti seringai karena ketika mulutnya terbuka, giginya kecil-kecil runcing seperti gergaji. Lalu ular-ular yang menjuntai menjadi rambutnya itu seakan-akan hendak menyerbuku.
“Jangan berkoar-koar dulu Dewi yang cantik. Sadarilah kamu berada di mana. Kamu berada di wilayah nenek moyangku. Ini tanah Besemah. Kami punya kehidupan di sini. Sementara kalian berada di laut Selatan Bengkulu. Kamu masuk ke mari tanpa pamit terlebih dahulu. Kau kira semua alam semesta ini milikmu? Kalian makhluk yang tidak punya etika, dan tatakrama rupanya” Ujarku masih bernada datar.

Melihat gelagatnya, makhluk ini memang tidak punya tatakrama. Atau karena dia telah pernah datang ke mari lalu bertapa selama ratusan tahun, sehingga sangat percaya diri kali ini bisa menakhlukkan penghuni bukit ini lalu menguasai telaga yang diyakininya dapat mengubah Wujudnya agar tidak bersisik?

“Untuk apa permisi? Bukankah derajat nenek moyangmu penghuni tanah ini lebih rendah daripada derajat Dewi Laut Sicincing Api. Bahkan aku lebih sakti! Jika dulu, ratusan tahun yang lalu aku kalah, diusir oleh bidadari dan nenek moyangmu, mereka melarangku untuk mandi di telaga, tepat bulan purnama itu. Tapi kali ini, aku bersumpah, telaga itu akan jadi milikku” Dewi Laut Sicincing kembali tertawa seperti seringai. Aku masih tenang menghadapinya. Rupanya makhluk ini termasuk makhluk yang suka bermimpi. Makhluk laut yang tidak mengukur tingginya gunung. Dari nadanya, dia sangat percaya diri karena ratusan tahun telah membekali diri.

Selintas melihatnya aku yakin Dewi Laut Sicincing Api ini makhluk yang berilmu tinggi. Pasukannya saja aneh-aneh seperti ini. Rambutnya saja berbentuk ular, dan itu bala tentaranya. Belum lagi api dan senjata yang tersembunyi di tubuhnya. Tapi aku tidak gentar. Sambil berbicara aku berusaha mencari kelemahan makhluk laut ini. Kadang-kadang makhluk ini tampilannya saja menyeramkan, tapi kenyataannya dia makhluk yang sangat lemah. Bahkan kelemahan yang mereka miliki sangat sepele, dan tidak terpikirkan oleh makhluk lain.

“Pulang sajalah Dewi Sicincing Api. Bawalah pasukanmu meninggalkan tanah Besemah ini, sebelum kamu menyesal. Sebab meski ribuan tahun dirimu bertapa, kamu tidak akan bisa menakhlukkan ranah ini. Tanah Besemah ini tanah bertuah, perempuan cantik. Tanah pepuyang yang sejak dulu selalu mereka pertahankan. Tanah Pepuyang yang selalu bertahan memberi keberkahan bagi penduduk Besemah” Aku masih bersikap sabar dan hati-hati. Kulihat matanya sudah berubah berkilat-kilat. Dia tidak suka aku nasehati. Api yang melingkarinya menyala tambah tinggi. Ular di rambutnya malah naik-naik ke atas lalu menjalar-jalar ke depan seakan menyatakan; Minggir! Jangan halangi!

“Kekuatan iblis” aku membatin. Energinya semakin kurasakan. Tidak hanya bergetar, namun menarik-narik energiku. Ini adalah salah satu ilmu menakhlukan lawan dari awal. Agar kita lemah.
“Kau tidak perlu menakut-nakuti aku Cucu Adam. Aku sudah ribuan tahun hidup. Berbeda denganmu yang masih berbau kencur. Apalah sulitnya hanya sekadar memberikan telaga itu untukku. Untuk aku melakukan ritual. Alangkah pelitnya makhluk darat ini” Ujarnya lagi dengan nada seakan-akan menyudutkan dan mengembalikan kesalahan pada Puyang Besemah. Iblis memang diutus untuk menghasut dan menghancurkan kehidupan di muka bumi ini. Demikian juga makhluk di hadapanku ini. Mereka berguru dengan iblis. Lambang api yang melingkar sudah menunjukkan siapa mereka.

Huuf!!
Aku langsung memecah diri menjadi enam setelah pelan-pelan kekuatan mereka sudah mulai mencoba menguasaiku. Area bukit ini sudah mulai menjadi bara. Hawa panas yang berasal dari makhluk-makhluk ini sangat terasa. Bayanganku segera duduk berjejer membentuk sebuah pagar, lalu dengan sigap mereka langsung fokus untuk melawan kekuatan-kekuatan iblis ini dengan zikir.

Lafas ta’auz, dilanjut dengan syahadat, syalawat, dan surat-surat pendek terdengar lirih. Sementara diam-diam tanah, batu, pohon, dan semua makhluk di area ini kuperintahkan untuk ikut berzikir bersama bayanganku. Ini baru pembukaan saja. Tapi energi makhluk laut ini sudah menyerang.
“Minggirlah Cucu Adam. Percuma kau kerahkan kemampuan dengan mantra-mantramu itu. Kau kira di antara kami tidak bisa mengucapkan mantra-mantra?” Kembali Seringai Dewi Laut Sicincing Api penampakan giginya yang runcing. Lafaz al qur’an dia katakan mantra-mantra. Aku tidak menyangkal memang banyak makhluk astral yang kafir bisa melafaskan ayat dan surat pendek. Mereka makhluk dari golongan yang cerdas. Cukup mendengar lalu mereka hafal. Kerap mengikuti makhluk lain saat sedang mengaji. Tapi kebanyakan mereka tidak mendapat hidayah. Mereka hafal bacaan-bacaan doa, surat pendek dan ayat tiada lain untuk memperdaya makhluk lain, terutama mencelakakan golongan manusia.

“Dewi Laut Sacincing Api. Ini peringatan terakhir, tinggalkan tempat ini. Jangan buat kehancuran dan keonaran kembali. Sebab jika kalian berani merusak tanah ini, jangan menyesal. Akulah yang akan menghancurkan kalian hingga ke dasar laut. Tidak akan kubiarkan secuil pun tinjak kalian tertinggal di sini” Nadaku mulai tinggi ketika melihat pasukannya sudah mulai bergerak untuk menyerang.
“Huu Allah….Huu Allah…Huu Allah” bayanganku mulai berzikir diikuti desir angin, batu, tanah, pohon dan dedaunan. Getar-getar mulai kurasakan.

Emosiku mulai naik kerena di area ini bersemayam puyang-puyang dengan istana, masjid dan dusun-dusun yang damai sejak dulu. Dengan hadirnya makhluk laut ini pasti semua terusik.
“Iblis Dewi Laut Sicincing Api, sekali lagi aku ingatkan. Tinggalkan tempat ini, atau kumusnakan kalian. Ingat! Tidak sejengkal pun kami mengizinkanmu mendekati telaga Mercawang ini. Jangankan memiliki atau bisa mandi melakukan ritual di sini, untuk sekadar mendekat pun kau tidak akan bisa. Jangan coba-coba, Dewi Laut. Akan kuhancurkan dirimu” Kali ini aku mengancamnya. Aku sudah tidak bisa lagi menahan diri. Apalagi terlalu lama bincang-bincang dengannya menghabiskan waktu saja. Percuma aku memberikan pengertian dan menawar-nawar. Pasukan iblis ini tidak bisa menerima.
Hiiiiiaaaat!!

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *