HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT V (73B)

Karya RD. Kedum

Kakek Andun kembali batuk-batuk kecil ketika kupanggil. Nampaknya beliau tengah mengumpulkan energi untuk bercerita. Aku sungguh penasaran setelah mendengar nenek ceriwis berkat tidak perlu dirahasiakan.
“Sebenarnya tidak ada rahasia, Selasih. Dan tidak perlu juga dirahasiakan. Banyak yang tahu masalah ini. Hanya saja karena usiamu masih muda, dan tidak ada yang bercerita padamu, jadi semuanya terkesan dirahasiakan. Perempuan Angin Timur itu nama aslinya Putri Sendayang Runai. Beliau putri seorang raja dari bukit Ratu. Bukit Ratu itu bukit yang terletak jauh di hulu Bukit Patah, sudah dengat dengan Liwa Lampung. Beliau dulu istri kakek. Kami berpisah karena orang tuanya menganggap kakek yang pengelana tidak sepadan dengan anak seorang raja. Akhirnya kami berpisah.

Sejak berpisah, beliau memilih jadi petapa meninggalkan kerajaan dan menolak ketika hendak dinikahkan oleh ayahnya dengan seorang pangeran dari Lampung. Lama beliau hilang, dan tidak ditemukan hingga ayahnya berpulang karena sudah sangat sepuh. Sejak itu kerajaannya dilimpahkan pada adiknya hingga kini, karena permaisuri, ibunya Putri Sendayang Rinai pun memilih menyepikan diri, menjadi petapa juga. Putri Sendayang Rinai, belum lama ke luar dari pertapaannya. Dia berusaha menyamar, menyembunyikan siapa dirinya sebenarnya. Maka dia menyamar dengan mengubah namanya Perempuan Angin Timur sesuai dengan nama bukit tempatnya bertapa, yaitu bukit Timur. Dia tidak mau pulang ke kerajaan ayahnya” Cerita kakek Andun menggugah hatiku. Aku jadi ikut sedih. Mereka terpisah atau dipaksa berpisah karena berbeda kasta. Satu rakyat jelata, yang satu putri seorang raja, pewaris kerajaan? Jadi mirip-mirip cerita di alam manusia.

“Beliau dari bangsa apa, kek? Mengapa aku tidak mencium kalau beliau golongan kita?” Ujarku.
“Hasil tapa beliau selama ratusan tahun telah membuat beliau sulit dilacak asal dan golongannya oleh orang-orang yang baru mengenalnya. Beliau bangsa kita, manusia harimau.” Lanjut kakek Andun lagi. Aku berdecak kagum. Menurutku kisah mereka luar biasa.

“Kek, apakah kakek sudah bertemu kembali dengan nenek Perempuan Angin Timur?” Tanyaku agak detil. Terbersit keinginan agar kakek Andun kembali bersatu dengan nenek Perempuan Angin Timur.
“Sudah beberapa kali kebetulan bertemu. Di antaranya ketika pertemuan di gunung Dempu” Ujar kakek Andun.
“Kakek ingin kembali?” Ujarku pelan sambil menahan haru. Entahlah aku jadi sedih dengan cerita ini.
“Tidak, Selasih. Kakek sudah nyaman sejak dulu sendiri. Kakek lebih nyaman beribadah. Terlepas beliau masih hendak kembali atau tidak dengan kakek, kakek tidak peduli. Buat kakek masa lalu adalah pelajaran berharga yang telah menempah kakek menjadi sosok seperti ini. Banyak hal yang kakek peroleh usai peristiwa itu. Salah satunya, berumahtangga tidak cukup bermodal cinta saja. Tapi restu orang tua. Kakek dulu terlalu nekad, tidak bercermin pada diri sendiri. Kakek hidup di jalanan, suka merantau, menikahi seorang putri raja, dikira kakek hendak merebut tatah kerajaannya. Jadi berbagai cara mereka lakukan bagaimana caranya agar kakek bisa ke luar dan terusir dari istana.” Suara kakek Andun. Aku mendengar tawa halus ketika beliau bercerita. Kakek Andun seperti menertawakan diri sendiri.

Suasana hening. Aku masih terhanyut dengan cerita kakek Andun. Kisah mereka seperti cerita dongeng saja. Tentang putri raja menyintai pemuda miskin. Baru aku tahu jika di balik sosok karismatik kakekku ini, beliau punya kisah hidup yang cukup tragis. Bagaimana dengan nenek Perempuan Angin Timur, apakah beliau masih hendak kembali bersama kakek Andun? Aku membatin. Nenek ceriwis maupun kakek Njajau tidak kudengar suaranya. Apakah mereka telah pergi? Tidak terlibat obrolan batin lagi?

“Itulah sekelumit kisa kakek, Selasih. Perjalanan hidup itu berwarna-warni. Semakin panjang usia kita, maka semakin banyak pula hal yang akan kita temui. Sebagai hamba kita jangan pernah berhenti untuk belajar. Belajar sabar, belajar ikhlas, belajar menghayati hidup lalu mengambil hikmahnya” Lanjut kakek Andun lagi. Aku menjawab iya antara terdengar dan tidak. Suasana kembali hening.
“Kembalilah melihat medan pertempuran di sana. Jika layak dibantu, bantulah Raden Danang Pangkas. Tak ada salahnya kau bantu mereka bersama saudara-saudara kita dari Tebo Imau. Sebab mereka tengah mempertahankan wilayah kekuasaan mereka” Ujar Kakek Andun lagi. Akhirnya aku mohon diri segera kembali ke medan laga menemui nenek Perempuan Angin Timur.

“Assalamualaikum, Nek!” Sapaku langsung di sampingnya.
“Waalaikum salam, akhirnya kembali lagi kemari kau Selasih,” ujarnya tanpa menoleh. Aku terkagum-kagum melihatnya sebelum menjawab iya. Ternyata beliau tengah mengerahkan energi membantu pasukan Raden Danang Pangkas. Demikian juga rombongan nenek gunung dari Tebo Imau. Mereka duduk bersemedi, fokus mengerahkan kekuatan-kekuatan pada pasukan Raden Danang Pangkas juga. Sementara pasukan dari Utara, kulihat tak kalah ramainya. Setiap ada yang gugur di pihak mereka maka akan datang lagi sepuluh kali lipat. Melihat kekuatan pihak musuh aku berdecak kagum. Mereka tidak bisa di anggap remeh. Bala tentara mereka memang sudah terlatih untuk bertempur di medan perang.

“Puyaaaaang!” Aku melambaikan tangan pada sepasang elang laut. Keduanya menatapku. Aku langsung meluncur terbang ke punggung Puyang Elang Lanang.
“Puyang, maafkan aku. Aku ingin membantu Raden Danang Pangkas.” Ujarku. Puyang Elang langsung paham maksudku. Beliau terbang menukik agak rendah mendekati Raden Danang Pangkas dan Panglima perang dari Utara. Aku salut, rupanya sang Raja turun langsung menyemangati bala tentaranya. Setelah di atas baru aku menyadari, jika pasukan Raden Danang Pangkas jauh lebih kecil dibandingkan pasukan lawan.

Sejenak aku memperhatikan pertempuran Raden Danang Pangkas berhadapan langsung dengan Panglima Utah Dagondo, panglima perang dari Utara. Aku terperangah melihat dua makhluk sakti tengah mengadu ilmu kekuatan masing-masing itu. Pedang besar berkilap-kilap di tangan panglima. Pedang berwarna emas itu seperti ribuan lebah berdengung setiap ayunannya.

Aku bersama puyang Elang Lanang masih mengitari arena pelan-pelan. Tiba-tiba aku melihat dari sudut selatan dua makhluk tinggi besar tengah membidikkan panahnya ke arah Raden Danang Pangkas. Keduanya nampak serentak bergerak. Melihat itu tanpa berpikir panjang, aku arahkan tanganku menangkap busur panah keduanya lalu kukembalikan.
Crasssss!!
Meski keduanya menghindar, tak urung busur panah menancap di paha salah satu mereka. Dia terjerit. Mereka tidak menyangka jika panahnya akan berbalik. Sekarang sosok itu mengalihkan pandangnya padaku. Aku dan Puyang Elanglah kini menjadi sasarannya.
“Tenang Puyang, aku akan hadapi pemanah curang itu. Akan aku patahkan panah mereka.” Ujarku. Puyang Elang terbang agak mendekat, keduanya kembali memasang busur ke arahku. Setelah dekat, kusabet panah mereka dengan selendangku. Kedua panah itu ternyata memiliki energi yang sungguh kuat. Berulang kali seperti hendak melepaskan diri. Sekuat tenaga kukerahkan energi untuk meleburnya. Ternyata hanya patah saja, panah itu tidak bisa kulebur saking dasyatnya. Melihat panah mereka patah kedua sosok itu meluncur mendekati aku. Akhirnya aku melompat turun lalu meminta Puyang menjauh.
“Harimau kecil! Berani sekali kau menghancurkan senjata kami. Siapa kau sebenarnya. Mengapa kau ikut campur dalam urusan kami.” Ujar salah satu mereka. Yang bertanya ini golongan genderowo besar tinggi berbulu hitam seperti kulit gajah. Setelah dekat baru aku tahu jika keduanya bertaring dan bertanduk. Nampaknya mereka termasuk andalan panglima Utah Dagondo.
“Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya benci melihat kecurangan kalian. Kalian hendak membokong Raden Danang Pangkas dari belakang bukan? Kalian jahat! Untuk itulah aku berada di sini hendak mengusir kalian dari sini.” Ujarku bersamaan dengan satu gerakkan yang kuhentakkan membuat pasukan lawan terjerengkang mundur. Termasuk dua makhluk besar tinggi ini.

Aku menghindar ke atas ketika dua pemanah itu mengirimkan pukulan-pukulan yang mematikan. Aku hanya berniat melumpuhkan mereka saja, tidak berniat membunuhnya. Minimal menghalangi mereka berbuat curang.

Hiiiiiiaaaat!!! Hap..Hap!
Selendangku menghantam pasukan yang baru datang. Mereka seperti lalat yang tersapu. Terjerengkang tidak ada sisa. Lalu dengan cepat kukerahkan kekuatan matahari.
Duaaaar!! Duaaar! Duaaaar!!
Kilatan api langsung menghanguskan mereka yang terjerengkang. Melihat kenyataan itu, Panglima Utah Dagondo ikut kaget hingga beliau lengah jika sedang berhadapan dengan Raden Danang Pangkas. Dalam waktu bersamaan Raden Danang Pangkas berhasil memukul panglima Utah Dagondo hingga tersungkur beberapa kali. Sementara dua pemanah yang tengah menyiapkan serangan kembali kaget melihat pasukan mereka kubuat gosong.

Melihat panglima Utah Dagondo tersungkur, serangan anak buahnya makin kendur. Raden Danang Pangkas tidak memberi kesempatan pada Panglima Utah Dagondo untuk bangkit. Pukulan demi pukulan disalurkannya tanpa henti. Langit seperti mengerti kemarahan Raden Danang Pangkas, kadang berwarna jingga, kadang gelap, kadang terang benderang. Percikan api seperti mainan menghiasi semesta. Suara erangan, angin, jerit, menggaung seperti hendak meruntuhkan langit.

Aku lihat beberapa kelompak makhluk asral menjadi penonton dari jauh. Ternyata di alam gaib pun sama seperti manusia, jika mendengar kegaduhan rasa ingin tahu tinggi. Maka akan jadi penonton di pinggiran menjaga jarak dan ada yang sambil mengintip bersembunyi di balik-balik batu dan pohon. Beberapa sosok kulihat diam-diam mencuri senjata yang tergeletak. Rupanya ada juga bangsa ini memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.

Melihat Panglima Utah Dagondo tersungkur, aku biarkan Raden Danau Pangkas terus menyerangya. Jika aku mau, bisa saja aku menghantamnya. Namun aku tidak melakukannya. Aku biarkan Raden Danang Pangkas melakukan penyerangan agar dia puas dengan perjuangannya. Aku hanya menghalangi pasukan-pasukan baru yang datang hendak menyerang. Kalau tidak seperti itu, sudah lama pasukan Raden Danang Pangkas kalah.

Aneh, pasukan lawan ini seperti air bah, ada saja yang baru datang menyerang. Aku berusaha menghalau setiap bala tentara yang baru. Sementara pasukan Raden Danang Pangkas tidak bertambah. Masih seperti awal. Bahkan berkurang karena banyak yang gugur. Sementara yang membantu di sisi arena hanya transfer energi, tanpa campur tangan langsung ke medan pertempuran.

Pasukan Panglima Utah Dagondo memang banyak sekali. Rupanya setiap kerajaan yang mereka takhlukkan mengirimkan bala tentara yang tidak sedikit. Makanya mirip air bah. Jika tidak dibantu, sudah lama pertahanan Raden Danang Pangkas tumbang. Sedikit banyak, campur tangan manusia memang diperlukan. Setelah mendengar cerita kakek Andun, maka aku semakin yakin siapa yang harus aku bela dan bantu selamatkan.

Sepak terjang Panglima Utah Dagondo rupanya sudah lama diamati oleh Datuk Ratu Agung. Makanya beliau juga mengirimkan utusannya untuk membantu pasukan Raden Damang Pangkas. Bagaimana pun, kerajaan-kerajaan kecil sepanjang darat yang berderet ke arah Timur tidak akan tinggal diam. Pasukan Utah Dagondo sama saja dengan penjajah. Sayang sekali, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Utara kalah dan tunduk di bawah kekuasaan rajanya. Hal ini kuketahui sekilas ketika puyang Elang terbang membawaku berkeliling mengawasi pertempuran.

Hiiiiiiiiaaaat!!!
Suara lengkingan Raden Danang Pangkas menggelegar seperti harimau lapar. Dalam waktu sekejap tangannya memutar lalu seperti membentuk sebuah jaring membalut tubuh Panglima Utah Dagondo. Utah Dagondo terlilit dan tidak mampu bergerak. Berkali-kali dia berusaha melepaskan diri. Namun gagal. nenek Perempuan Angin Timur membantu memantrai jaring yang mengikat Panglima itu. Tubuh panglima Utah Dagondo beliau angkatnya tinggi-tinggi.
“Dengar pasukan dari Utara, lihat siapa di dalam jaring ini? Dia adalah panglima kalian. Hanya ada dua pilihan, kalian pulang tanpa senjata, atau tetap bertahan di sini bersamaku, mengabdi padaku. Aku tidak akan membiarkan secuil pun wilayah kekuasaanku di ambil oleh raja kalian. Lihat, betapa mudahnya Panglima kalian aku takhlukan bukan? Raja kalian bodoh mengutus panglima dan pasukan dungu seperti kalian.” Ujar Raden Danau Pangkas tegas. Aku masih mengawasinya. Dua pemanah berdiri tegak tidak berani bergerak. Rupanya begini rangkaian perang. Panglima perang itu mereka tawan. Otomatis pengikutnya tidak berani melawan ketika melihat pimpinan mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

Sungguh tidak kusangka, sebagaian besar bala tentara itu berteriak “Kami akan ikut Raden, kami ingin mengabdi pada Raden! Kami tidak ingin jadi budak Utah Dagondo!” Rupanya Panglima Utah Dagondo bersama rajanya, bukan pemimpin yang bijak. Kerajaan-kerajaan kecil yang ditakhlukannya, semua kekayaannya mereka rampas. Makanya meski tunduk namun dalam hati mereka tidak rela. Ada dendam. Yang masih setia dengan panglima Utah Dagondo menyingkir ke tepi dengan tangan kosong. Senjata yang mereka miliki mereka tinggalkan. Dua pemanah pun ikut bersama pasukan yang masih setia dengan Utah Dagondo. Selanjutnya mereka disuruh Raden Damang Pangkas pulang ke kerajaan mereka.
“Sampaikan pada raja kalian, panglima perang kalian aku tahan. Sampaikan juga pada raja kalian, aku menantangnya. Jangan seperti banci, selalu bersembunyi, mengandalkan panglima perang dan bala tentara saja. Tapi harusnya raja kalian ada di sini, bertarung denganku. Aku Raden Damang Pangkas! Tidak akan terkalahkan di tanah dataran Timur ini. Tidak ada yang berani padaku!” Suara Raden Damang Pangkas lagi. Mendengar ucapannya terakhirnya aku segera mundur. Aku kurang simpatik mendengar tantangan dan ke-akuannya. Ternyata Raden Danang Pangkas angkuh. Dia tidak sadar di balik ucapannya dia meremehkan pasukan-pasukan dari kerjaan lain yang telah membantunya. Ada dari kerajaan nenek gunung, manusia harimau dari Tebo Imau, ada Puyang Elang Laut dari dusun Tinggi Sebakas. Ada pasukan dari kerajaan gunung Bungkuk, ada nenek Perempuan Angin Timur.

“Mengapa menepi, Selasih. Kalau bukan karena kamu turun tangan, pasukan Raden Damang Pangkas tidak akan menang” Ujarnya.
“Aku tidak akan turun tangan kalau tidak melihat nenek Perempuan Angin Timur, para nenek gunung dari Tebo Imau, dan utusan dari gunung Bungkuk itu turut membantu. Aku juga tidak akan kembali ke sini kalau tidak di suruh kakek Andun untuk membantu pasukan Raden Damang Pangkas, konon ada hubungan kekerabatan dengan raja di Ulu Kasie.” Ujarku. Nenek Perempuan Angin Timur menatapku. Pasti beliau terkesima mendengar nama kakek Andun, aku membatin. Aku pura-pura tidak tahu.
“Yang penting, kau sudah menjalankan amanah dari kakekmu. Pasukan Raden tinggal berbenah.” Sambung nenek Perempuan Angin Timur lagi. Aku lupa siapa nama asli beliau yang disebutkan kakek Andun tadi. Sambil menatapnya, aku membayangkan mahkota bertengger di kepalanya, diapit oleh puluhan pengawal, duduk di singgasana. Tapi beliau menolak itu semua, justru memilih menjadi betapa, mengasingkan diri, jauh dari keramaian dan segala hal berbau duniawi.

Kami seperti sudah sering bersua. Tidak ada rasa canggungku sedikit pun pada beliau. Melihat sikapnya, aku mengakui beliau berilmu tinggi. Namun seperti kata kakek Andun beliau menutupinya. Beliau malah memilih tampil sederhana agar tidak terlihat jika beliau seorang putri raja.

Sebelum Raden Damang Pangkas menyadari jika aku ikut membantunya, aku buru-buru izin pulang pada nenek Perempuan Angin Timur. Beliau menghalangi menyuruhku tunggu beberapa saat.
“Maafkan aku, Nek. Aku kurang simpatik dengan sikap sombong Raden Damang Pangkas. Cara dia berbicara dengan pasukan lawan, seakan adalah usaha dia sendiri. Dia lupa jika di sekeliling ini ada pasukan nenek gunung, manusia harimau dari Tebo Imau. Ada pasukan dari kerajaan gunung Bungkuk, ada dari Sebakas, dan ada nenek dari tadi kulihat mentransfer energi untuk pasukan Raden. Lihatlah, beliau sibuk dengan dirinya sendiri. Kita dianggap penonton sama dengan makhluk-makhluk yang dari tadi mengintip di sekitar sini tidak berani mendekat. Seorang pemimpin yang cerdas, bukan berteriak-teriak menantang raja di depan pasukan bala tentaranya. Harusnya dia kirim utusan, utusan itulah yang menyampaikan pada rajanya tentang panglima yang ditawan dan apa keinginan sang Raja dari Utara selanjutnya. Apa dia pikir perang ini sudah usai? Belum tentu pihak lawan menerima, esok atau lusa bisa saja mereka kembali menyerang. Kalau kembali perang, aku tidak akan datang, apalagi membantu, sebelum Raden Damang Pangkas menyadari sikap sombongnya.” Ujarku tegas. Mata nenek Perempuan Angin Timur tajam menatapku. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Mungkin beliau tidak menyangka jika aku akan berpikir sejauh itu.
“O iya Nek, kita datang sukarela ya, Nek. Wajar saja beliau berkata begitu. Dia kan tidak minta tolong dengan kita.” Ujarku menetralisir suasana. Selanjutnya aku pamit, mencium tangannya, mengucapkan salam dan berharap suatu saat bisa berjumpa kembali dan bisa ngobrol lama. Beliau hanya melambai sambil menatapku. Dari sinar matanya, aku dapat membaca, beliau masih sangat menyayangi kakek Andun. Aku merasakan beliau menyayangi aku juga karena mencium aroma kakek Andun pada diriku.

Aku menarik nafas lega. Saat ini aku sudah di kamarku lagi. Aku segera ke luar, menuju kamar mandi wudu dan berniat hendak tidur. Baru saja hendak merebahkan badan, aku mendengar kakek Andun berdehem.
“Kenapa kek? Kakek mau nanya soal nenek Perempuan Angin Timur? Siapa kek namanya? Aku lupa.” Ujarku. Dijawab kakek dengan tawa renyah. Hebat sekali kakek Andun mengendalikan emosinya. Beliau tidak terpancing dengan pertanyaan menggodaku.
“Kamu kenapa emosi? Kamu tidak suka dengan sikap Raden Danang Pangkas? Kok sampai terucap? Jadi kesannya kamu menolong tapi minta dihargai. Apa bedanya kamu sama Raden itu? Kamu benci dengan sikap sombongnya, keakuannya, tapi tanpa kamu sadari sebenarnya kamu pun menampakkan sikap sombong. Tidak baik itu.” Suara kakek Andun mengingatkanku. Aku langsung istighfar. Apa yang diucapkan kakek benar. Tanpa kusadari sikap tidak sukaku adalah bentuk keangkuhanku. Dan itu kutunjukan pada nenek Perempuan Angin Timur. Aduh! Aku jadi malu. Benar-benar malu.
“Oh! Maafkan aku Kek.” Ujarku menyesali diri. Selanjutnya kata kakek Andun tidak mesti minta maaf padanya. Tapi mintalah maaf pada sang Pencipta. Karena tidak ada makhluk yang patut menyombongkan diri. Yang patut sombong itu hanya Sang Pencipta karena Dia-lah yang memiliki semuanya. Aku kembali menunduk malu. Ucapan kakek Andun benar-benar menohok. Kusadari aku belum dewasa dalam bersikap. Mestinya, walau dalam batin tidak suka, tapi tetap harus bersikap santun. Bukan terkesan ngambek terus buru-buru pulang lalu berucap jika terjadi perang lagi, aku tidak mau datang. Aku jadi menyesal telah menunjukan sikap kekanak-kanakkanku pada nenek Perempuan Angin Timur.
“Terimakasih kakek, untuk selanjutnya aku akan hati-hati dalam bersikap dan berucap” Ujarku menyesal.
“Bagus, itu baru namanya cucuku.” Lanjut Kakek Andun lega.
“Cucuku juga” Ujar kakek Njajau.
“Cucuku.” Suara nenek Ceriwis sedikit melengking.
“Cucu sama-sama.” Suara nek Kam. Aku kaget. Langsung menjerit memanggilnya. Tidak kusangka tumben malam ini aku seperti reuni berada di tengah-tengah orang-orang yang aku cintai.
“Sudah, tidak usah menjerit, kayak rindu berat saja. Padahal kamu sibuk dengan urusanmu sendiri.” Kata nek Kam. Aku langsung menjawab dengan rengekan. Bagaimana pun jujur, aku sangat merindukannya.

Ketika ingat mendengar perdebatan para kakek dan nenek tentang aku, membuat aku tersenyum bahagia. Bahagia karena banyak sekali yang menyayangi aku.
“Aku diakui sebagai kakekmu tidak ya? Boleh ya aku ikutan mengatakan Selasih cucuku?” Eyang Kuda menimpali di sela obrolan batin kami. Akhirnya semua tertawa. Eyang Kuda menyimak juga rupanya.
“Justru selama di Bengkulu, Eyanglah yang menang karena setiap saat dekat dengan Selasih. Terimakasih Eyang sudah menjaga anak kecil yang bandel ini.” Ujar nenek Ceriwis dengan embel-embel anak kecil yang bandel. Eyang terkekek-kekek mendengarnya.
“Selasih memang anak kecil yang bandel.” Sambung Eyang lagi sambil tertawa. Aku hanya bisa nyengir mendengarnya.
“Baik nenek dan kakek, eyangku tercinta, silahkan lanjutkan obrolan kalian ya. Obrolan kaum tua. Anak kecil ini sudah mengantuk. Waktunya tidur” Ujarku menarik selimut lalu menutupi tubuhku sampai kepala. Tak lama semua sudah mengucapkan salam masing-masing. Rupanya obrolan ditutup. Dalam hati aku geli sendiri dengan obrolan jarak jauh ini. Jadi ingat masa intercom dan zaman HT.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *