HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (84A)

Karya RD. Kedum

Aku bersama para Puyang guru dan nenek kakekku berjalan pelan menuruni tebing ujung Dempu. Kata Puyang, kami akan ke Talang Pisang, ziarah ke kampung nenek gunung atau manusia harimau yang ada di lembah. Konon Nenek Makek dan Nenek Pagar Jaya, sering pulang ke Talang Pisang semasa hidupnya. Keduanya adalah nenekku, manusia damai, yang sangat dekat dengan kehidupan nenek gunung atau manusia harimau. Setahuku kedua-duanya memiliki tujuh saudara bangsa nenek gunung yang bersama mereka setiap saat. Hampir sama dengan Nenek Kam, memiliki tujuh saudara juga. Macan Kumbang adalah adik bungsunya.

Aku mendengar nama dusun Talang Pisang ini dari dulu. Tapi belum pernah ke sana. Sebab aku tidak punya alasan untuk berkunjung ke sana. Pernah mau mencoba ke sana, tapi tidak jadi. Takut kehadiranku tidak sopan. Konon di sana kampung yang paling sering dikunjungi oleh manusia damai. Talang Pisang semacam kampung pertemuan sebelum mereka naik ke perkampungan di gunung Dempu. Kira-kira kalau dalam kehidupan nyata kerajaan, Gunung Dempu adalah pemerintah pusatnya, Sedangkan Talang Pisang tingkat kabupatennya.

Di alam nyata, Tangsi Dua adalah dusun para pekerja PTP X kebun teh Gunung Dempu Pagaralam. Yang bermukim di sini umumnya pekerja yang berasal dari pulau Jawa dari zaman sebelum merdeka. Mereka secara turun temurun mendiami rumah-rumah milik PTP dan bekerja sebagai pemetik teh, sebagian lagi di pabrik.

Udara terasa lembab. Suasana yang sangat nyaman bagi bangsa nenek gunung. Aku berdiri paling belakang Puyang dan Nenekku. Eyang Putih ada di hadapanku. Pakaian putihnya melambai-lambai mengeluarkan aroma bunga. Wangi sekali. Langkahnya sangat ringan. Bahkan mirip seperti kapas. Sejak kenal beliau aku sudah merasakan jika beliau perempuan hebat. Dari aromanya memang sulit untuk ditentukan, apakah beliau bangsa manusia atau bangsa gaib. Eyang Sahida memang agak berbeda dengan yang lainnya.

Nenek Kam menunggang pada Macan Kumbang. Yang lain kulihat berjalan sendiri-sendiri. Termasuk juga aku bersama Puyang Guru, Kakek Njajau dan Kakek Andun. Kami lebih memilih mengendarai angin. Bisa bercengkrama sambil berjalan. Aku lebih banyak jadi pendengar. Mendengarkan diskusi dan pandangan mereka sembari membaca karakter dua guru baruku ini. Ternyata mereka memang makhluk langka di muka bumi ini. Banyak hal aneh di dalam pandangan kasat mata, tapi di alam tak kasat mat mereka adalah pribadi soleh dan soleha, dusegani banyak orang.

Mungkin seribu satu di alam ini yang mengalami hal sepertiku. Aku tidak perlu mencari guru hebat seperti mereka, namun mereka datang dengan ikhlas meminta jadi guruku. Sesekali aku mengamati beliau, pakaiannya, wajahnya, penampilannya, suara dan nada bicaranya. Aku juga belum tahu apakah kedua Resi ini ada hubungan khusus apa tidak. Hubungan kekerabatan, atau sepertinya misalnya. Aku masih terus mendalami semuanya.

Jika di alam nyata, jalan yang kami susuri adalah jalan setapak, semak belukar dan lereng-lereng kebun teh. Tapi di alam tak kasat mata, dari puncak gunung Dempu ke lembah, kami melalui jalan yang mulus dan luas, dihiasi rumah-rumah baghi dan pepohonan sepanjang jalan. Layaknya jalan lintas di alam nyata. Lampu berwarna kuning menghiasai sepanjang jalan. Rumah-rumah baghi dengan bubungan tinggi seperti tanduk kerbau nampak kokoh dengan tiang-tiangnya yang bulat dan besar. Konon kata Kakek Andun, membangun rumah-rumah itu banyak juga dibantu oleh bangsa manusia. Yaitu bangsa manusia-manusia pilihan atau satu yang bisa hidup di dua alam yang berbeda. Yaitu alam nyata dan alam gaib.

Di lembah, kota Pagaralam seperti cahaya bintang. Cahaya-cahaya itu berasal dari lampu-lampu rumah penduduk dan jalan kota. Aku jadi ingat, beberapa tahun lalu ketika berada di puncak Dempu menikmati Pagaralam malam hari seperti melihat tumpukan bintang menaburi bumi. Indah sekali. Dari puncak Dempu pula Pagaralam seperti kuali cekung dikelilingi bukit serupa pagar, lalu di bagian Barat, berdiri gunung Dempu berjajar dengan bukit Barisan. Keadaan alam yang asri dipagari bukit ini pulalah yang menjadikan nama kota kecil ini Pagaralam. Kota yang menyimpan sejarah tentang berkembangnya peradaban kerajaan Sriwijaya. Kota yang terkenal dengan masyarakatnya yang keras dan kejam. Kota yang dekat dengan kehidupan nenek gunung atau manusia harimau.

Ketika sampai pintu gerbang Talang Pisang, banyak sekali nenek gunung yang menyambut kehadiran kami. Umumnya mereka adalah kaum tua. Ada yang berpenampilan seperti haji, ada yang berpakaian biasa layaknya orang kampung, ada yang berpakaian seperti pendekar. Pakaian mencirikan identitas mereka. Termasuk juga keilmuannya bisa dilihat dari pakaian resmi yang mereka kenakan saat seperti ini.

Tabuhan rebana menyambut kehadiran kami mengingatkan aku pada alam nyata. Seperti inilah yang dilakukan oleh bangsaku di desa-desa untuk mememeriahkan suasana pesta atau kegiatan lainnya. Biasanya yang rebana remaja putri dan putra, atau kaum ibu. Di sini aku melihat kaum lelaki separuh baya.

Aku, Puyang Pekik Nyaring bersama rombongan langsung menuju masjid tidak jauh dari pintu gerbang dusun. Salat dua rokaat, selesai berdoa langsung menuju salah satu rumah baghi di seberang masjid.

Ternyata dusun Talang Pisang ini lumayan luas. Penduduk dusunnya sangat ramai. Kata Nenek Kam, dusun teramai di pinggang gunung Dempu ini dusun Talang Pisang. Banyak sekali jalan menuju ke seluruh penjuru menghubungkan dusun-dusun kecil di sekitar perut Dempu dan bukit Barisan tanah Besemah.

Kami duduk bersila di dalam ruangan rumah baghi. Perempuan laki-laki, kecil besar nampak sangat antusias berkerumun di sekitar rumah. Mereka sangat hormat pada Puyang Pekik Nyaring. Kehadiran beliau memang selalu ditunggu-tunggu.
“Talang Pisang, adalah dusun ke dua setelah puncak Dempu, Cung. Dusun ini ibarat roda, dia adalah sumbu perputaran dusun-dusun lainnya. Makanya dusun ini ramai. Mengapa Puyang membawamu ke mari? Karena di sinilah cikal bakal puyang Dempu ‘dengberadeng’ berkumpul sebelum diamanahi untuk memimpin wilayah-wilayah tertentu di sekitar Dempu ini. Salah satunya adalah Kerajaan Pekik Nyaring di Merapi. Sementara pusat kerajaan ada di puncak Dempu. Siapa pun, jika sudah mengkhatamkan keilmuannya, maka wajib berziarah ke mari. Ke rumah baghi ini.” Puyang Pekik Nyaring berbicara pajang lebar. Aku mengangguk-angguk memahami. Aku lebih memaknainya bahwa kita jangan melupakan leluhur dan asal mula kita sebagai bentuk abdi dan penghargaan pada sumber mula kita ada.

Aku merasakan kehadiran sesepuh di dusun ini. Baik yang terlihat nyata maupun tidak. Meski namanya dusun, tapi melihat penduduk sangat ramai layaknya kota. Konon, penduduk dusun tidak melulu asli dusun ini. Ada juga yang datang meski leluhur mereka berasal dari sini. Mereka adalah bangsa nenek gunung yang mendiami sekitaran gunung Dempu.

“Selamat datang di dusun tua, dusun nenek moyang leluhur nenek gunung di Dempu ini, Cucungku Putri Selasih. Selamat datang Resi yang sudah jauh menyeberang laut ke mari. Kenalkan, saya Panglima Liman, dan ini adik kembar saya Atar dan Atir. Kami bertugas menunggu dusun Talang Pisang ini” Ujar Puyang Panglima Liman. Aku baru sadar, pernah suatu kali aku bertarung entah melawan siapa, beliau menolongku, sesudah itu beliau lenyap entah ke mana. Sayang aku tidak terlalu perhatian waktu itu. Sehingga tidak berniat menyusuri beliau. Aku sungguh tidak menyangka jika beliau adalah leluhur tua di Talang Pisang ini.
“Puyang Panglima, terimakasih atas bantuan Puyang ketika aku bertarung melawan jabalan di Bengkulu. Aku lupa kejadian di mana. Tapi aku masih ingat Puyang. Maafkan jika aku tidak mengenal Puyang waktu itu” Ujarku sembari menatapnya. Beliau tersenyum lebar membuat matanya nampak lebih kecil.

Usai mengenalkan tokoh-tokoh dan berdoa di dusun Talang Pisang, akhirnya kami kembali pulang ke puncak. Waktu nampaknya sudah dini hari. Aku bahagia sekali dikenalkan dengan sesepuh di dusun Talang Pisang. Termasuk bersua dengan dulur-dulur dari bangsa manusia. Mereka sangat antusias berkenalan denganku. Pertama mungkin karena aku masih muda, bahkan termuda di antara bangsa manusia damai di Besemah ini, ke dua mereka tidak menyangka jika aku adalah cucu Puyang Pekik Nyaring, penguasa Merapi gunung Dempu.

Berjalan bersama para sepuh membuatku banyak belajar pada tindak-tanduk mereka. Mereka adalah orang-orang suci yang tidak melewati waktu sedetikpun untuk ibadah. Terdengar detak jantung mereka selalu bertasbih, zikir, bersyalawat sili berganti.

Setelah sampai kembali di kediaman Puyang Pekik Nyaring, Eyang Putih meminta izin membawaku ke pertapaan beliau di lereng gunung Dieng dengan alasan untuk dikenalkan pada murid-muridnya di sana. Sementara Puyang Resi Purwaraka juga menyatakan keinginannya membawaku ke pertapaannya di sisi Barat gunung Selamet. Kali kedua guruku dari seberang ini berdebat masalah siapa yang lebih dulu harus kukunjungi.
“Berapa lama kau akan bawa Putri Selisih, Resi Sahidah. Nanti kamu malah keenakan, kelamaan membawa cucuku. Ingat dia tidak seutuhnya ada di alam kita. Tugasnya di alam nyata juga ada” Ujar Pekik Nyaring mengingatkan.
“Sebentar saja, Puyang. Agar muridku ini tahu ke mana dia harus mencari gurunya. Sekalian aku hendak kenalkan dengan saudara-saudara seperguruannya. Dia harus tahu siapa aku dan bagaimana kehidupanku. Usai dari tempatku akan kuantar Putri Selasih ke tempat Resi Purwataka” Ujar Eyang Putih melirik pada Puyang.
“Tidak usah diantar, biar kalau sudah selesai Putri Selasih akan kujemput saja di lereng Dieng” Ujar Puyang Purwataka menahan sedikit kecewa lantaran kalah terus menguasai aku. Aku tersenyum melihat perdebatan kedua guruku ini. Melihat permintaan mereka, aku memandang pada Puyang Pekik Nyaring, Puyang Ulu Bukit Selepah, Kakek Njajau, Kakek Andun, Nenek ceriwis, Nenek Kam, dan Macan Kumbang. Aku menunggu persetujuan mereka.
“Mohon maaf sedulurku, izinkan aku mendampingi perjalanan, Selasih. Kebetulan aku ada waktu” Ujar Kakek Andun. Mendengar itu bukan main gembiranya. Baru kali ini aku dikawal oleh beliau-beliau ini. Artinya kami akan berjalan bersama! Suatu hal yang langka.
“Kalau begitu, izinkan pula saya ikut ke seberang. Sudah lama sekali saya tidak menginjak pulau Jawa” Lanjut Eyang Kuda tiba-tiba. Aku memandang beliau. Benar juga, Eyang Kuda berasal dari Jawa Tengah. Jangan-jangan sejak perang dulu beliau belum pernah pulang ke Jawa saking setianya pada Pangeran Sentot Ali Basyah. Kulihat matanya berbinar-binar. Akhirnya semua sepakat ke tempat pertapaan Eyang Putih terlebih dahulu, baru ke pertapaan Resi Purwataka.

Aku menatap nenek Kam dan yang lainnya. Apakah akan ikut bersama seperti kakek Andun dan Eyang Kuda? Ternyata mereka hanya menatapku dengan tatapan sukacita. Nenek Kam senyumnya lebih mekar. Nampaknya beliau bangga dan senang sekali. Terlihat dari sinar matanya yang kecil berseri-seri. Beliau mengangguk mengizinkan.
“Di alam nyata, urusanmu serahkan dengan Nenek Kam. Pergilah, Cung. Ambillah pelajaran setiap perjalanan” Nenek Kam memegang tanganku. Aku langsung memeluknya.
“Nenek Sulijah sudah menjadi dirimu, sekarang dia sedang berada di pondok Kakek Haji Yasir. Jadi kau tidak usah risau, Cung. Laksanakan saja permintaan para Resi ini. Ini pengalaman pertamamu ke pulau seberang, mengunjungi negeri seribu ilmu. Negeri yang menyimpan seribu peradaban” Kata Nenek Kam kembali. Aku mengangguk mengiyakan. Nenek Kam yang sudah sepuh saja semangat meski beliau tidak pergi, apalagi aku yang baru hendak mengembangkan sayap belajar pada waktu. Akhirnya aku mengangguk dan mohon restunya.

“Nek, nenek Sulijah jangan disuruh tidur bersama kakek Haji Yasir dan kakek Haji Majani ya” Bisikku ke telinga Nenek Kam. Mendengar pesanku nyaris Nenek Kam terbatuk. Nenek Kam cekikikan lucu sendiri. Pasti beliau teringat ketika Nenek Sulijah menjadi Dedek kecil yang masih suka digendong kakek Haji Majani, lalu tidur bersama Keduanya. Aku ikut cekikikan melihat Nenek Kam tertawa geli, bukan soal membayangkan Nenek Sulijah tidur di antara Kakek Haji Majani dan Kakek Haji Yasir. Tapi melihat Nenek Kam menahan tawa sambil memegang perut dan tidak ingin yang lain tahu justru membuat nenekku satu ini semakin lucu.

Di lereng gunung Dieng, Nyi Ratih tengah duduk bersila di dalam musolah kecil bersama tujuh saudara seperguruannya. Sejak kemarin mereka masih khusuk melakukan tirakat. Aktivitas rutin yang harus mereka laksanakan setiap Selasa paing dan Rabu kliwon. Mereka puasa dan mengamalkan hal tertentu. Nyi Ratih diberi kepercayaan Eyang guru untuk membimbing saudara seperguruannya. Musolah yang berdiri di lereng gunung Dieng ini nampak sepi jika dilihat dari alam nyata. Di alam gaib, ada sosok Nyi Ratih dan saudara seperguruannya.

Musolah kecil di tebing lereng yang kerap dipakai Eyang Putih berzikir ini, sesekali disinggahi para pengelana untuk solat dan sekadar istirahat. Namun di alam gaib, musolah kecil ini selalu ramai berisi murid Resi Sahida atau Eyang Putih. Halaman musolah yang datar dan luas kerap dijadikan tempat mereka latihan.

Penduduk sekitar Dieng tidak ada yang tidak kenal Eyang Putih. Perempuan ringkih, renta, hidup sendiri di lereng gunung, merawat musolah kecil yang menghadap ke jurang. Herannya, entah dari mana, banyak yang datang dari jauh hanya ingin menemui beliau. Apa keperluan mereka tidak ada yang tahu. Darimana mereka kenal perempuan renta itu, tidak juga ada yang tahu. Dalam kehidupan sehari-hari orang melihat beliau kalau tidak duduk timpuh di dalam musolahnya sendiri, akan terlihat beliau memunguti sampah sepanjang lereng dengan tangannya. Perempuan tua itu tidak punya ladang atau kebun untuk digarap layaknya petani pada umumnya. “Beliau lebih banyak menghabiskan waktunya duduk melamun di musolahnya” Demikian kata salah satu penduduk yang mengenal beliau. Menurut mereka sesekali penduduk ada yang mengantar makanan atau hasil ladang. Perempuan itu mereka anggap sedikit tidak waras. Kadang-kadang ada kerabatnya datang sekadar hendak membantu beliau mandi. Beliau adalah Eyang Sahida, seorang manusia hidup di lereng Dieng yang kerap dipanggil Eyang Putih.

Suatu kali ada sepasang suami istri masih muda sengaja datang dari Sulawesi mencari Eyang Sahida. Nampak sekali mereka orang kaya. Itu terlihat dari penampilan dan kendaraan yang mereka pakai. Mereka sengaja datang dari jauh hanya ingin bertemu dengan Eyang Sahida. Keduanya bercerita, belum lama pulang dari tanah suci. Ketika terjadi musibah di terowongan Mina, sepasang suami istri muda itu nyaris mati karena tidak bisa bergerak dan mulai sesak. Mereka melihat banyak manusia terinjak-terinjak. Entah dari mana datangnya, ada perempuan tua memeluk mereka berdua lalu seperti menyeret mereka berdua menyingkir. Semula gelombang manusia berjejal, ditambah suara gemuruh, ada yang menjerit, menangis, dan sebagainya, namun tiba-tiba mereka seperti berjalan di jalan yang luas. Tiba-tiba mereka sudah ke luar dari kerumunan manusia yang terjepit, masih dalam pelukan perempuan tua itu. Ketika mereka mengucapkan terimakasih dan ingin tahu siapa beliau, Perempuan itu menyebut namanya Eyang Sahida dari gunung Dieng. Kedua suami istri itu sengaja datang hendak mengucapkan terimakasih.

Mendengar cerita pasangan suami istri itu, masyarakat bingung. Kapan pula Eyang Sahida pergi haji? Orang dalam kehidupan sehari-hari beliau seperti orang tidak waras? Meski sudah dijelaskan demikian tetap saja orang itu tidak percaya. Mereka tetap ngotot hendak bersua dengan Eyang Sahida.

Dalam kesehariannya, tak satu pun penghuni lereng melihat beliau pergi ke lembah membeli keperluan sehari-hari. Atau sekadar jalan-jalan ke kampung-kampung kecil sepanjang lereng. Tapi herannya, ada juga penduduk yang mengatakan pernah melihat beliau di pasar. Kadang duduk-duduk di pinggir jalan seperti pengemis, atau sedang berjalan seperti pemulung. Meski beberapa orang yang bercerita tentang hal itu, namun tak sedikit masyarakat meragukannya. Pasalnya untuk turun gunung, jalan satu-satunya yang harus dilalui Eyang Putih adalah jalan di tengah kampung. Sementara mereka tidak pernah melihat beliau lewat. Pendek cerita, Eyang Putih adalah perempuan ringkih, tidak pernah bergaul, dan sedikit misterius.

Besambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *