HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (87A)

Karya RD. Kedum

Aku bersama Puyang Purwataka menyisir hamparan tanah tebing gersang berbatu. Sepanjang mata memandang hamparan baru kerikil seperti di susun di tanah yang berundak-undak. Kami berdua memang sedang berada di puncak gunung Slamet. Gunung tertinggi di Jawa Tengah ini memang sangat menarik untuk dikunjungi. Pemandanganya sangat indah. Apalagi jika dilihat oleh mata telanjang siang hari.
“Masya Allah, Puyang. Indah sekali” Ujarku berdiri di samping Puyang Purwataka. Beliau mengangguk sepakat. Lalu mengamitku untuk melangkah, kami kembali berjalan di jalan berbatu.

Seperti biasa tiap kali menjajakkan kaki di gunung, maka berbagai macam hal akan terlihat nyata. Demikian juga di puncak ini. Beberapa perkampungan dan istana gaib terlihat nyata. Beberapa sosok menyapa Puyang dengan ramah. Namun tak sedikit menatap kami sinis dari jauh tidak berani mendekat.

Aku tidak banyak bertanya pada Puyang ketika melihat barisan seperti kirap sosok perempuan cantik berpakaian adat Jawa. Ada kereta kencana ditarik oleh empat ekor kuda, dan pasukan perempuan menunggang kuda, lengkap pula dengan tombak melintas seperti berjalan di awan. Aroma wangi menyeruak seketika memenuhi rongga dada. Aku hanya memerhatikan barisan itu dengan kagum. Setelah lenyap dari pandangan baru aku bertanya pada Puyang. Siapa mereka.
“Mereka adalah pasukan kerajaan Nyi Roro Kidul. Penguasa Laut Pantai Selatan” Ujar beliau. Aku terperangah. Wanita penguasa pantai laut selatan yang legendaris dan dikenal oleh para praktisi dan masyarakat Jawa pada umumnya itu? Banyak mitos berkaitan dengan kekuasan beliau. Pasukannya saja demikian angungnya, apalagi Nyi Roro Kidulnya. Aku membatin.
“Gunung Slamet diapit oleh dua lautan luas, yaitu laut Utara dan laut Selatan. Kebetulan saja tempat ini jadi perlintasan. Nyaris kerajaan-kerajaan kecil sepanjang gunung ini di bawah kekuasan Nyi Roro Kidul. Di alam gaib, beliau terkenal sebagai ratu yang karismatik, disegani dan dihormati. Nama beliau selalu dieluh-eluhkan.

Tidak mudah untuk bisa berjumpa beliau. Istananya ada di dasar laut. Kalau pun ada yang mengaku-ngaku berjumpa beliau, pasti pekerjaan makhluk asral dari darat yang menyerupai beliau lalu mengaku- ngaku sebagai Nyi Roro Kidul” Lanjut Puyang lagi. Aku semakin tertarik. Muncul pula keinginanku untuk dapat berjumpa dengan penguasa laut Selatan yang terkenal di alam nyata mau pun di alam gaib itu.

“Puyang, benarkah banyak bangsa manusia yang meminta pesugihan, keadigjayaan dan lain sebagainya pada beliau?” Tanyaku lagi.
“Benar. Tidak sedikit yang memuja beliau lalu meminta berbagai macam hal. Termasuk juga kekayaan, jabatan, kesaktian dan lain sebagainya. Beliau sangat dipuja-puja oleh masyarakat terntentu. Bahkan kerap masyarakat melakukan ritual khusus, baik di tempat-tempat yang dikeramatkan dan diyakini sebagai tempat bersemayamnya beliau. Mau pun langsung ke pantai laut Selatan sebagai penghormatan pada beliau. Hal seperti ini tidak asing bagi masyarakat Jawa pada umumnya. Terutama mereka yang masih kental dengan aliran kepercayaan” Lanjut Puyang Purwataka lagi.

Sebenarnya aku ingin bertanya lebih jauh tentang sosok Nyi Raro Kidul itu pada Puyang. Termasuk apakah benar Nyi Roro Kidul yang mengabulkan permintaan-permintaan bangsa manusia yang memuja beliau? Namun pertanyaan itu kuurungkan ketika Puyang menunjuk tebing ke bawah. Kami melihat beberapa sosok seperti merangkak meniti jalan setapak. Melihat sosoknya mereka adalah para pendaki yang sengaja naik ke puncak sebelum matahari terbit. Nafas mereka terlihat berasap sedikit terengah.

Udara memang terasa sangat dingin. Angin bertiup sedikit kencang. Halimun masih menempel rendah. Kami seperti berdiri di awan. Untung langit cerah, tidak hujan seperti beberapa hari ini. Meski batu kerikil dan sedikit pasir basa karena embun, nampak tidak selicin ketika turun hujan.

Melempar pandang ke sekeliling gunung, serasa bisa menggapai bintang yang kecil yang berkedap-kedip seperti menggoda. Lampu-lampu dari ibu kota kabupaten dan kota-kota kecil yang mengelilingi gunung nyaris tidak terlihat karena halimun yang menggumpal.

Suasana temaram seperti ini tidak menciutkan jiwa para pendaki untuk mencapai puncak gunung. Mereka adalah anak-anak muda perempuan dan laki-laki pemburu sunrise dan ingin memgabadikan keindahan alam. Terbukti masih gelap seperti ini mereka sudah berduyun-duyun ke puncak gunung tertinggi di Jawa Tengah ini.

Tidak sedikit mereka berteriak “Alhamdulilah, lalu Allahu Akbar” sebagai ucapan syukur karena sudah sampai di puncak, setelah lebih sepuluh jam mendaki. Untung mereka tidak bisa melihat sosokku dan Puyang Purwataka. Kalau mereka bisa melihat kami berdua lebih dulu berada di puncak, dengan pakaian tidak sama dengan pendaki, pasti mereka kira aku dan Puyang adalah makhluk gaib penghuni puncak gunung Slamet.

Aku masih asyik memerhatikan tingkah laku mereka. Berbagai macam ekspresi yang mereka lakukan di sini. Ada yang membentangkan tangan dan berteriak, ada yang menjatuhkan diri sujud syukur, ada yang tertawa terbahak-bahak, dan lain sebagainya.
“Mengapa, kau ingin bergabung dengan sahabat-sahabatmu pencinta alam itu?” Tanya Puyang ketika melihatku senyum-senyum sendiri mengamati tingkah mereka.
“Tidak, Puyang. Justru aku tertawa, mereka persis seperti aku. Ada kepuasan batin tersendiri ketika mampu mendaki dari titik nol. Bangga, bahagia, biasanya menjadi satu” Ujarku mengenang diri dan rindu dengan sahabat-sahabatku di Ratu Samban Hiking Club yang banyak mendidikku. Akhirnya kuketahui mereka adalah pendaki-pendaki dari Malang, Surabanya, Brebes, Pati, Jakarta, Kalimantan dan Sumatera. Sebagian lagi dari kota-kota kecil sekeliling gunung Slamet.

Ketika aku masih asyik mengamati para pendaki, tiba-tiba penciumanku mengarah pada beberapa sosok yang menurutku janggal berbaur dengan pendaki. Aroma jin. Setelah kuamati, ada beberapa makhluk gunung yang menyerupai sosok para pendaki yang telah berpulang. Mereka jelas iseng ingin menakut-nakuti para pendaki. Syukur-syukur kalau mereka tidak mencelakakan. Aku khawatir mereka menarik kaki salah satu pendaki lalu digelincirkan ke jurang dan mati. Yang membuat aku heran mengapa mereka menyerupai para pendaki yang meninggal di sini?

Melihat gelagat yang kurang baik, aku segera mengambil tindakan. Kusentil telinga mereka satu-satu. Mereka menatapku beringas. Angin yang semula pelan tiba-tiba bertiup kencang. Kulihat rata-rata pendaki menggigil kedinginan.
“Kurang ajar. Berani sekali kau. Siapa kau bocah gendeng” Ujar salah satu mereka dan langsung berubah sosoknya menjadi sosok lelaki dengan wajah seram, besar tinggi, bertaring, dan bermata merah. Tanduknya satu di kening membuat wajahnya sangat seram. Sementara yang dua lagi bertubuh hitam kekar dan berbulu, matanya bersinar hijau seperti lampu sorot.
“Aku adalah orang yang benci dengan tingkah kalian” Ujarku. Dengan cepat kusambar tubuh mereka bertiga lalu kugenggam erat-erat. Mereka menjerit memberontak ingin melepaskan diri. Mereka tidak menyangka jika aku secepat itu menyambar tubuhnya. Beberapa saat kubiarkan mereka menjerit dan mengeluarkan ajiannya.

Melihat tingkahku, Puyang Purwataka tertawa.
“Pagi-pagi sudah dapat mainan. Mau kau apakan Putri Selasih” Kata Puyang Purwaraka.
“Tiga makhluk ini adalah raja jin yang mendiami lereng gunung ini, kan Puyang? Mereka jahat, suka menyesatkan para pendaki, suka mencelakakan hingga mati. Mereka makhluk yang kejam” Ujarku mengangkat tangan. Eyang mengangguk, masih sambil tertawa.
“Bagaimana Baginda raja? Apakah kalian bisa melepaskan diri? Jika selama ini sering aku mengingatkan kalian, nah sekarang kalian berhadapan dengan muridku. Maafkan jika aku tidak bisa menolong. Terserah muridku mau diapakan kalian” Puyang Purwataka kembali tertawa.
Huf! Huf! Huf!
Ketiganya kubakar hingga jadi debu. Beberapa makhluk asral yang semula berseleweran di antara bebatuan gunung, tiba-tiba lari menjauh.
“Awas! Siapa berani mengganggu mereka, akan kubakar kalian seperti tiga rajamu ini!” Teriakku mengancam mereka. Angin kembali berhembus pelan. Aku sengaja membakar mereka karena sudah terlalu sering mencelakakan manusia. Terutama para pendaki.

Tawa bahagia para pendaki masih menghiasi puncak gunung Slamet. Tak sedikit berfoto di tengah remang sembari membentang bendera komunitas dan bendera merah putih. Wajah-wajah mereka yang ceria, pasti terobati dengan perasaan bahagia. Aku bisa merasakan itu.

Di sisi bibir tebing puncak, aku dapat melepas pandang ke kawah yang mengepulkan asap belerang. Jika berjalan ke bawah, menuju kawah kemungkinan butuh waktu sepuluh sampai lima belas menit untuk para pendaki. Tiba-tiba Eyang menempelkan telinganya ke tanah. Melihat beliau agak lama menempelkan telinga, akhirnya aku juga ikut menempelkan telinga. Aku mendengar suara gemuruh seperti magma yang mendidih. Sejenak jantungku berdebar. Suara itu berasal dari kawah merapi.
“Puyang” Aku menatap Puyang Purwataka yang sudah berdiri kembali.
“Tidak apa, Cu. Suara gemuruhnya teratur. Tidak ada hal yang menghawatirkan. Gunung dalam keadaan aman terkendali” Puyang Purwataka tersenyum melihat ekspresiku yang sedikit cemas. Aku menarik nafas lega. Yang kukhawatirkan adalah para pendaki ini. Syukur-syukur jika mereka memiliki kepekaan sehingga bisa membaca alam.

Ketika aku dijemput Puyang Purwataka tadi pagi, aku baru saja menyelesaikan solat subuh di masjid istana. Kami memang langsung menuju puncak ini. Kata Puyang ingin memperlihatkan matahari terbit padaku dari ketinggian gunung Slamet tempat beliau bertapa. Benar saja, tak berapa lama, di timur aku melihat garis mencuat berwarna jingga. Pelan-pelan cahaya seperti bola emas semakin lama semakin terang. Masya Allah, indah sekali. Sayang aku tidak bisa berpose seperti para pendaki ini. Melihat keindahan matahari baru muncul hanya abadi dalam ingatan dan menumbuhkan kekagumanku pada Sang Maha pencipta.

Lautan awan seperti bentangan emas menghampar sangat indah. Wajar jika banyak pendaki hendak ke mari. Puncak gunung Slamet bisa membuat orang selalu rindu untuk menikmati panoramanya. Sekelumit surga yang diperlihatakan Sang Maha.

Ketika bayangan sudah terlihat panjang, aku dan Puyang bergerak turun. Aku dan Puyang Purwataka menyisir jalan setapak menuju tempat beliau sering melakukan tirakat. Ternyata, di antara hutan pinus yang menghadap ke lembah, ada gua berpintu kecil sementara di dalam langsung seperti ruangan besar dan kering begunduk-gunduk terdiri batu kecil dan besar. Cahaya matahari masuk di sela pintu gua, membuat gua terang benderang. Kata Puyang, gua ini tembus hingga ke sisi barat gunung Slamet menghadap salah satu kota. Aku tak bisa banyangkan berapa panjang gua. Namun yang membuatku tertarik adalah banyak sekali orang yang tirakat di sini. Rupanya mereka adalah santri-santri Puyang Purwataka. Sebagian mereka dibangunkan oleh Puyang, sebagian lagi dibiarkan dalam tirakatnya.
“Mari pulang. Turun gunung” Ujar Puyang Purwataka yang diikuti para santrinya setelah Puyang memberikan semacam tausia dan doa untuk mereka.

Aku berjalan paling belakang. Puyang Purwataka meminta santrinya lebih dulu menuju tempat tinggalnya. Mereka disuruh menunggu di sana. Para santri berjalan lurus menuju lawang menuju puncak. Sementara aku diajak Puyang membelok ke ke kanan, lalu meniti jalan curam, licin, bersemak. Rupanya di lembah ada perkampungan yang cukup ramai. Hal ini terlihat dari atap-atap seng yang mengkilap tertimpa matahari.

“Huf! Bismillahi..” Puyang Purwataka menyapukan tangannya setelah dekat dengan perkampungan warga. Rupanya beliau membuka semacam tabir sehingga kami berdua wujud menjadi manusia biasa. Aku patuh saja.
“Kulonuwun…Assalamualaikum…” Puyang mengetuk satu rumah yang masih terkunci dari dalam. Padahal matahari sudah muncul meski masih pagi. Tidak ada jawaban, namun pelan-pelan terdengar langkah seseorang mendekati pintu.
“Maaf, Mbah. Kami mendengar dari tetangga katanya Mbah Kakung sakit. Kami bisa melihat Mbah Kakung?” Ujar Puyang Purwataka setelah melihat wajah perempuan tua menyembul dari balik pintu.
“Ndak usah! Untuk apa sok perhatian. Sudah puluhan orang yang datang ke mari, tapi cuma melihat saja. Tidak ada satu pun yang menolong untuk mengobati suamiku” Ujar si Mbah langsung emosi. Aku kaget. Ternyata ada orang tua yang galak. Wajahnya asli penampakkan kemarahan.
“Pergi sana, pagi-pagi sudah buat orang marah saja” Hardiknya hendak membanting pintu. Puyang segera menghalangi agar pintu tidak tertutup. Kali ini perempuan itu membuka pintu lebar-lebar sambil berdiri di tengah pintu dengan tangan di pinggang.
“Maaf mbah, jangan marah-marah dulu. Mbah Putri ingin Mbah Kakung sehat bukan? Izinkan kami mengobatinya, Mbah” Kembali Puyang membujuk.
“Kalian apa? Dokter? Dukun?” Nadanya masih meremehkan.
“Kami bukan dokter, bukan pula dukun, Mbah. Tapi kami hamba Allah yang perduli dengan sesama.” Lanjut Puyang lagi.
“Halla itu cuma bicara saja. Bayak orang yang mengaku peduli. Tapi hanya untuk mencari muka saja” Kembali Mbah hendak menutup pintu. Kali ini lebih kasar dari tadi.
“Mbah, izinkan kami masuk untuk mengobati Mbah Kakung. Semoga saja melalui kami, Allah mengangkat semua penyakit Mbah Kakung. Kita harus ikhtiar, Mbah. Jangan biarkan Mbah sakit tanpa pengobatan. Mbah Putri sayang dengan Mbah Kakung bukan? Mbah Putri tidak ingin Mbah Kakung mati bukan?”
“Iya, aku tidak ingin suamiku mati, Nduk” Tiba-tiba beliau menangis.
“Jika suamiku mati, aku akan hidup dengan siapa? Dua anak kami jauh, tidak tinggal di kampung ini. Mereka sudah punya keluarga masing-masing. Satu menjadi buruh di Malang, istrinya orang sana. Satu lagi bekerja di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Mereka tidak pernah pulang apalagi menengok kami, berkabar pun tidak” Lanjut beliau sambil menangis.
“Mbah, mungkin mereka tidak punya ongkos untuk pulang untuk menjenguk mbah berdua. Jangan pernah Mbah berhenti berdoa supaya kedua anak Mbah banyak rezekinya sehingga bisa pulang menjenguk Mbah. Doakan mereka selalu selamat, Mbah. Mbah mengharapkan mereka pulang. Apakah Mbah sudah berdoa untuk mereka?” Ujarku lagi setelah melihat pancinganku mulai mengena. Mbah Putri menggeleng. Beliau sudah terlihat lunak. Aku segera menghampiri dan memeluknya. Si Mbah makin jadi menangisnya. Kubiarkan beliau menangis beberapa saat sembari kutransfer energi diam-diam.
“Boleh ya Mbah kami melihat keadaan Mbah Kakung?” Bisikku lembut. Si Mbah hanya mengangguk sambil melangkah menuju amben di ruang tengah gubuknya sambil terus kupeluk.

Mataku terbelalak ketika Si Mbah membuka kelambu kusam yang menutupi tiap sisi amben. Seorang laki-laki terbaring dengan tubuh berbungkus tulang, mata terpejam. Yang membuatku sangat miris adalah, tangan dan kakinya diikat dengan kain ke tiap sudut amben. Tanpa bertanya lagi, Puyang langsung melakukan pengobatan. Rupanya di dalam tubuh Mbah Kakung ini bersemayam kerajaan jin gunung yang telah membuat sarang di ulu hati, perut, kepala, lengan dan kaki. Pendek kata satu tubuh telah menjadi rumah bangsa tak kasat mata. Dalam kesehariannya, meski bertubuh seperti tak berdaya, Si Mbah suka mengamuk dan tenaganya luar biasa. Makanya beliau diikat oleh masyarakat sebagai alternatif keamanan beliau dan istrinya.

Melihat kehadiranku dan puyang, para jin itu ada yang berlari, ke luar dari tubuh Mbah, namun ada juga yang bersembunyi di tubuh Mbah Kakung. Ada yang ke ujung jari, tulang bahu, bawah betis, sela jari, otak paling bawah, ke dalam telinga, dan lain sebagainya. Puyang membaca doa sesaat lalu para jin itu beliau tarik lalu ditelannya. Kalau sudah seperti ini yang kulihat bukan lagi sosok Puyang Purwataka guruku. Tapi sosok naga berkulit emas yang indah. Selanjutnya di perut beliau terlihat sebuah tempat yang luas berisi ribuan bahkan jutaan makhluk asral yang beliau kurung. Perut Puyang Purwataka semacam penjara makhluk gaib.

Ribuan makhluk gaib sudah ditelan Puyang Purwataka. Tak satu pun yang bersembunyi di tubuh Mbah Kakung luput dari pengawasannya. Semua dapat ditarik Puyang dengan mudah.
“Tangkap yang sudah melarikan diri, Cucuku” Ujar Puyang masih sambil mengunyah makhluk asral yang ditariknya. Aku segera melakukan perintahnya. Ratusan makhluk yang melarikan diri kutarik kembali. Lalu dengan cepat dihisap Puyang. Demikian seterusnya hingga akhirnya hadir sosok tinggi besar datang menghampiri kami.
“Kalian sudah mengganggu kami, artinya kalian siap mati” Ujarnya. Aku segera menghadangnya. Sementara Puyang masih terus mengobati Mbah Kakung.

Mata mbah Kakung sudah mulai terbuka. Tangannya bergerak-gerak ingin minta minum. Mbah putri segera ke dapur mengambil air putih. Puyang segera meraih secangkir air putih, lalu mendoakan terlebih dahulu sebelum diminumkan dan diulaskan ke seluruh tubuh mbah kakung.

“Siapa yang mengganggu kalian? Bukankah sebaliknya kalian yang telah mengganggu bangsa kami? Mengapa bertempat tinggal di tubuh manusia? Mengapa bukan di sisi jurang, hutan, batu, goa, dan lain sebagainya. Banyak tempat di gunung ini. Dari mulai kaki gunung hingga ke puncak masih banyak tempat-tempat kosong. Kalian telah membuat mbah ini sakit.” Ujarku datar.
“Kami nyaman tinggal di tubuhnya. Kalian kurang ajar telah menghancurkan istana kami” Ujarnya lagi. Mendengar alasannya yang tidak masuk akal, membuat aku mulai marah.
“Kamu masih ngotot tinggal di dalam tubuh manusia? Di dalam tubuh mbah ini? Kamu berhadapan denganku” Aku langsung mengayunkan tangan menyerangnya. Kuputar tanganku, kuplintir tubuhnya hingga menyatu di genggamanku.

Makhluk gunung yang satu ini bukan sosok biasa. Beliau adalah raja jin yang kejam dan ganas. Melihat aku menyerang dulu, dia kerahkan kemampuannya. Aku ingin menanggkapnya hidup-hidup lalu akan kuberikan pada Puyang untuk beliau telan.

Aku duduk diam menghadapi Raja Jin. Aku konsentrasi penuh menghadapinya. Raja inilah sumber sakit si Mbah. Sejenak kami bertarung. Aku sengaja ingin mengukur kemampuannya. Setelah beberapa jurus mematikan dikeluarkannya, akhirnya aku tidak sabar apalagi melihat Puyang telah selesai membantu Si Mbah. Tubuhnya bersih dari gangguan makhluk asral. Wajahnya telah berubah cerah. Ikatan yang selama ini menjadi alat pengaman, dilepas Puyang satu-satu. Bahkan Si Mbah duduk dan hendak berjalan. Mbah putri menangis haru sambil memeluk suaminya.
“Kenapa kamu menangis Juminten?” Ujar Mbah Kakung. Beliau nampak heran mengamati sekeliling rumahnya.
“Terimakasih Gusti Pangeran, telah menyembuhkan suamiku” Ujarnya sambil berurai air mata dalam bahasa Jawa. Mbah Kakung masih menatap heran. Beliau benar-benar tidak ingat dengan peristiwa yang dialaminya.

Hiiiiiiaaaap!
Aku menangkap tubuh raja jin dibantu Puyang ikut menarik dan langsung menelannya. Tak berapa lama Puyang menyapukan tangan membersihkan lingkungan gubuk lalu memagarinya. Selanjutnya kami berpamitan. Mbah putri berulang kali minta maaf dan mengucapkan Terimakasih tak terhingga. Aku tersenyum bahagia melihat mbah Kakung dan mbah Putri berpelukan. Samar-samar aku mendengar ucapan keduanya, tidak akan saling tinggalkan. Ingin selalu bersama. Selamanya.

Di jalan, Puyang Purwataka tidak banyak bicara. Namun aku dapat memperoleh pelajaran pada tindakan beliau. Membantu seseorang jangan tanggung-tanggung dan jangan pula menunggu orang yang meminta. Ibarat memberi sadakoh, lebih baik tangan di atas daripada tangan di bawah.

Kami berdua, masih berjalan di jalan kampung. Meski tanahnya sangat subur, namun desa ini tetap saja terlihat gersang. Hal ini karena penduduk tidak rajin menanam berbagai macam kebutuhan sehari-hari. Misalnya menanam ubi kayu menjadi pagar, menanam serei, laos, cabe, talas, kelapa, pisang, sayur-sayuran, atau apa saja yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan sendiri. Dalam hati aku bertanya-tanya, mengapa mereka tidak rajin menanam itu semua? Apakah mereka terlalu sibuk di ladang? Padahal kayu tergeletak begitu saja, bisa tumbuh.

Aku dan puyang berjalan di bawah pohon pinus yang tumbuh jarang. Selebihnya gubuk-gubuk yang nyaris tak terlihat karena semak belukar. Puyang mengajakku meniti jalan kecil dan berumput tinggi. Basah embun masih melekat di daun-daun.
“Cung, kau amati rumah itu. Apa yang kau lihat?” Tanya Puyang Purwataka menunjuk salah satu rumah yang beratap sedikit miring. Aku segera membuka mata batinku. Di dalamnya ada lelaki, kepala keluarga telapak kakinya terluka parah , tidak bisa sembuh meski sudah berobat. Sekarang membengkak hingga ke paha, dan lukanya mengeluarkan nanah dan darah.

“Kakinya infeksi, Puyang. Gara-gara terluka kena parang. Beliau terinjak parang, Puyang. Namun kalau aku melihatnya parang itu sudah ditaburi racun oleh makhluk asral” Ujarku. Puyang Purwataka mengiyakan. Lelaki itu kepala keluarga yang sangat tekun bekerja. Ketika beliau menjadi kuli sayur-mayur untuk tambahan hidup, kakinya terinjak parang yang diracuni makhluk asral. Kami menuju rumah itu. Tanpa mengetuk lagi, ternyata lelaki itu sedang duduk di dekat pintu menghadap matahari yang baru naik.

Puyang menyapanya dan langsung bertanya bagaimana keadaan kakinya. Aku melihat ada dua makhluk asral yang menjilat-jilat kakinya yang bengkak karena sudah memborok. Bau anyir tercium ke mana-mana. Melihat ekspresinya, lelaki ini sudah pasrah.

Katanya, beliau sudah berobat ke mantri, Puskesmas, bahkan ke Rumah sakit kabupaten. Tapi hingga sekarang belum juga sembuh.
“Kata dokter saya mengidap kencing manis, makanya tidak bisa sembuh-sembuh” Ujarnya dengan suara kecil. Bibirnya yang kering, hanya bisa berucap patah-patah.
“Cu, kau ambilkan tujuh lembar daun sirih. Tadi di jalan setapak menuju ke mari kau lihat bukan?” Ujar Puyang. Selanjutnya puyang menyuruh istri lelaki itu menjerang air. Aku segera ke tempat yang ditunjuk Puyang, mengambil tujuh lembar daun sirih yang tumbuh liar lalu segera kembali. Daun sirih segera direbus, selanjutnya istri petani itu disuruh memarut ibu kunyit. Istri petani patuh dan bergerak cepat tanpa sempat bertanya untuk apa. Apalagi bertanya tentang asal kami.

Puyang Purwataka memandikan si Bapak dengan air sirih lalu menyiram lukanya dengan air sirih hangat-hangat kuku. Setelah lukanya dikeringkan, selanjutnya puyang meminta ibu kunyit yang sudah di parut, lalu menambahkan setengah sendok minyak goreng, kemudian beliau bungkus dengan daun, lalu dipanggangnya di atas bara. Aku melihat kunyit bakar itu sudah berubah warna lebih tua. Tanpa sungkan-sungkan, Puyang melulur kunyit yang masih hangat menutupi borok kaki petani itu. Lalu membungkusnya dengan selembar kain panjang yang sengaja dikoyak sang istri.

Aku disuruh Puyang menarik belatung yang bersarang di dalam lukanya. Belatung-belatung ini adalah salah satu perwujudan jin pembawa penyakit.
“Besok pagi, lukanya ini dibuka, jika masih basah, maka parutkan lagi ibu kunyit lalu beri minyak goreng, bakar, dan tempelkan. Bungkus lagi dengan kain bersih. Insya Allah kakinya akan sembuh” kata Puyang sambil menepuk-nepukkan telapak tangannya seakan-akan membersihkan dari kotoran pasir dan debu.

Tak lama beliau menarik makhluk asral yang menjilati kaki sang petani, lalu ditelannya. Mereka sosok yang membuat kaki petani tidak sembuh-sembuh.
“Belum kenyang Puyang, menelan jin-jin itu?” Godaku. Puyang tertawa lebar.
“Jutaan jin nakal seperti ini, kayaknya belum akan membuat Puyang kenyang, Cu” Jawab Puyang lagi. Akhirnya kami meninggalkan rumah petani yang terluka.

Kali ini perjalanan agak jauh jaraknya dengan kampung sebelumnya. Kami sudah berjalan di jalan kampung yang berbatu. Sampai di simpang empat tengah desa, ada Post Kamling. Puyang mengajak membelok ke sana. Ternyata di sana ada lelaki berpakain dekil, rambutnya gimbal, kukunya panjang kotor dan hitam, asyik berbicara sendiri. Ketika melihat aku dan Puyang, beliau langsung berdiri dan ingin ngamuk. Puyang meniup beliau. Lelaki itu langsung diam.
“Siapa lelaki ini, Puyang. Aku melihatnya sama seperti lelaki pertama tadi. Tubuhnya sudah menjadi sarang kerajaan jin” Tanyaku.
“Iya, lelaki ini sudah puluhan tahun tidak waras. Ketidakwarasannya karena kesalahannya sendiri. Dia stress karena semua keluarganya meninggal. Bermula dia melakukan ritual di salah satu tempat di gunung ini. Tempat itu terkenal sebagai tempat pesugihan. Dia pemalas, namun ingin cepat kaya. Dulu dia berdagang, dan sukses. Dia tidak menyadari jika ritual yang dia lakukan itu minta tumbal. Semula permintaan makhluk asral itu tumbal kambing. Itu sudah dipenuhinya. Padahal maksud jin jahat yang dia sembah, kambing itu adalah bagian keluarganya. Pertama anaknya, lanjut istrinya, orang tuanya, dimulai ibunya terlebih dahulu, lalu menyusul bapaknya, anaknya kembali, hingga habislah tinggalah dia sendiri. Penyesalan yang terlambat membuat dia begini. Di tambah lagi jin yang minta tumbal selalu menagih padanya. Makanya dia seperti ini” Cerita Puyang panjang sambil duduk di sampingnya.
“Apa yang kau lihat ditubuhnya, Cu” Lagi Puyang Purwataka bertanya. Kujawab aku melihat makhluk berbentuk ular melilit tubuhnya, dan mematuk-matur otaknya. Lalu berbagai macam jenis jin bentuknya macam-macam bersarang di pancainderanya, hati, perut, dan sebagian sudah mengalir di aliran darahnya. Nyaris seluruh tubuhnya ada bangsa jin” Jawabku kasihan. Puyang mengangguk selanjutnya beliau menyuruhku menarik makhluk asral itu semuanya. Tak sedikit mereka melakukan perlawanan. Aku pun akhirnya sedikit mengeluarkan energi bertarung untuk menakhlukan mereka. Setelah semuanya bisa kutakhlukan, kuserahkan pada Puyang. Dengan cepat Puyang menelannya.
“Puyang, mengapa mereka tidak diberi kesempatan untuk bertobat?” Ujarku sedikit tidak tega.
Urusan tobat, adalah tugas lainnya. Di dalam ini banyak tokoh agama yang akan mengubah mereka menjadi baik. Namun jika mereka membangkang, tidak sedikit mereka dipenjarakan dengan tubuh terikat” Kata Puyang sambil mengelus-ngelus perutnya. Aku kagum dibuatnya.

Aku menyudahi pengobatan setelah membersihkan otak lelaki ini yang berbelatung. Belatung-belatung itu adalah perwujudan makhluk asral yang merusak otaknya.
“Bagaimana Le, awakmu?” Tanya Puyang ramah. Si orang gila hanya senyum-senyum sendiri tidak bisa menjawab.
“Kamu lihat di kaca, bagaimana sosokmu. Kau sudah puluhan tahun tidak mandi, tidak sadar, karena diganggu makhluk halus pesugihanmu. Sekarang ingat-ingat di mana rumahmu, saudara-saudaramu” Ujar Puyang Purwataka.
“Pergilah ke air, mandilah.” Lanjut Puyang kembali sembari meniup tubuh lelaki itu.

Aku melihat semacam cahaya putih berfungsi sebagai pagar pada diri lelaki itu agar tidak terganggu lagi oleh makhluk gaib. Sementara aku membantu memutuskan perjanjiannya dengan anak buah Ratu Ular Nyi Blorong. Meski bakal ada perlawanan dari beliau dan anak buahnya, aku dan Puyang sudah siap. Justru aku yang disuruh Puyang memporak-porandakan tempat pesugihan itu.

Kali ini kami berjalan makin ke lembah. Aku tidak tahu arah mana dan ke desa apa. Namun Puyang mengajakku singgah pada satu rumah sederhana. Di sana ada sepasang suami istri bersama dua anaknya yang masih kecil. Rupanya sudah satahun ini sang istri sakit keras. Sang suami dengan setia merawat istrinya. Membawa istrinya berobat ke mana-mana. Istrinya selalu merasa ketakutan, lalu sering sesak nafas, dan kadang-kadang kesurupan.

“Kau tahu apa yang terjadi dengan ibu muda itu, Cu?” Puyang bertanya.
“Perempuan itu sering kesurupan, ada gangguan makhluk gaib yang sengaja dikirim oleh seseorang untuk menghancurkan rumah tangga mereka. Meski sudah berobat alternatif dan medis, namun tidak juga sembuh. Aku melihat ular hitam bertanduk bersemayam di perutnya, lalu sejenis gondorowo memegang dadanya, sehingga ibu muda itu akan selalu sesak nafas, di punggung, kepala, tengkuknya juga bersarang makhluk-makhluk asral. Termasuk di kelaminnya, hal membuatnya merasakan penderitaan yang luar biasa. Tapi hebatnya, suaminya dengan setia merawat dan terus berjuang untuk kesembuhan istrinya. Tanpa mengeluh. Aku melihat kesetiaan dan cinta keduanya tak tertukarkan” Ujarku hampir berurai air mata. Puyang memegang bahuku.
“Tugasmu bantu mereka. Kasihan anak-anaknya butuh perawatan ibunya. Kasih sayang dan cinta mereka benar, tidak diragukan. Perasaan cinta mereka terus bergelora seperti ketika mereka belum punya anak. Mereka suami istri yang soleh dan soleh. Keduanya jebolan salah satu pondok pesantren terkenal di Jawa Timur. Moyang ibu muda itu, berasal dari kampung kerajaanmu, Banyuwangi” Lanjut Puyang lagi. Aku menarik nafas panjang. Ada sedikit sesak mendengar kisah mereka. Akhirnya kami mengetuk pintu rumahnya.

“Assalamualaikum, mohon maaf Mas, saya mendengar istri panjenengan sakit. Boleh saya melihatnya Mas?” Ujarku ketika bapak muda ke luar sembari menggendong anaknya yang berusia kira-kira satu tahun setengah. Dengan ramah kami disilakannya masuk tanpa ada rasa curiga arau was-was sedikit pun menerima orang yang tidak dikenal. Aku mengamati istrinya yang terbaring tak berdaya. Belum sempat melakukan apa-apa, aku telah diserang oleh makhluk yang tinggi besar bertanduk dan mata merah. Tangannya berkuku panjang dan berdarah-darah. Dialah yang mencengkram dada ibu muda itu sehingga dia selalu merasa sesak.

Melihat serangannya yang tiba-tiba, itu aku segera membekuknya dan mengintrogasinya. Dia katakan penyakit ibu muda itu karena si ibu melakukan perbuatan mesum di sekitar sendang tempat istananya. Aku tidak langsung percaya. Makhluk licik ini sangat pandai mengadu domba. Ketika kutanyakan sendang mana, makhluk gaib itu tidak bisa menyebutkan. Aku tidak mau berbicara lama, kuremuk tubuhnya, lalu kubakar hingga menjadi debu. Melihat makhluk hitam itu mati jadi debu, beberapa sosok pasukannya menyerah. Mereka tidak melakukan perlawanan. Aku langsung menangkap mereka lalu menyerahkannya pada Puyang. Puyang langsung menelannya.

Pengobatan belum selesai, aku berusaha membenahi syaraf-syarafnya yang sebagian besar terluka. Selanjutnya dengan media air yang didoakan Puyang, lalu diminumkan dan diusapkan, Ibu muda itu membuka mata dan bangkit.
“Alhamdulilah Yaa Allah..Terimakasih, Mbak, Mbah” Ujarnya bangkit. Meski belum terlalu kuat, namun dia sudah bisa duduk dan menurunkan kaki dari tempat tidur. Aku melihat kebahagian keluarga kecil itu. Mereka berpelukan penuh haru. Sang Ibu muda mengucapkan maaf dan terimakasih pada suaminya yang setia menjaganya selama ini. Ketika suaminya ingin mengetahui sebab sakitnya, aku hanya tersenyum dan mengatakan ini adalah ujian Sang Maha untuk menguji iman mereka, menguji kualitas cinta mereka. Kukatakan jangan henti untuk bersyukur, ujarku sedikit ngeles. Sebab jika kukatakan jujur, maka pasti bisa terjadi masalah besar, sebab yang mengharapkan kehancuran rumah tangga mereka adalah tetangga mereka yang diam-diam menyintai sang Ibu muda. Padahal tetangganya itu sudah punya anak dan istri. Beliau memiliki ilmu hitam, dan sering dipraktikannya.

Diam-diam tanpa sepengetahuan kedua suami istri ini, Puyang mendatangi tetangganya tersebut. Melumpuhkannya, lalu mengambil semua jin ghodam pengikutnya.

Ketika ke luar dari rumah sepasang suami istri muda itu, matahari sudah nyaris lurus di atas kepala. Bisa dipastikan waktu sudah mendekati pukul dua belas tengah hari. Kami berinisiatif pulang ke kediaman Puyang Purwataka. Waktu solat dzuhur telah tiba. Puyang kembali mengayunkan tangannya, membawaku ke alam gaib.

Kami berdua mengendarai angin melintasi tebing, hutan, semak, dan perkebunan rakyat. Jika di atas puncak pagi tadi aku seperti ada di negeri atas angin ketika melihat lautan awan mengelilingi puncak gunung, sekarang justru sebaliknya, langit nampak bersih dan biru.

Pelan-pelan, aku dan Puyang Purwataka turun. Beliau mengajakku menuju tempat tinggal beliau. Perkampungan kecil di pinggang gunung Slamet, yang dikelilingi ladang sayur-mayur. Di sinilah Puyang Purwataka menyamarkan dirinya. Beliau seketika mengubah penampilannya. Hanya aku yang dapat melihat perubahan beliau tiba-tiba.

Beliau sosok yang unik. Sama halnya dengan Eyang Putih. Aku belajar pada mereka. Jika kesehariannya Eyang Sahida atau Eyang Putih penampilannya di alam nyata dan di alam ghaib sungguh berbeda, bak bumi dengan langit demi menyembunyikan siapa dirinya, lain pula dengan Puyang Purwataka. Eyang Purwataka kesehariannya biasa-biasa saja. Beliau memiliki lahan pertanian menanam cabe, kol, dan sayur-sayuran. Tinggal sendiri di gubuk, di sisi tebing yang menghadap ke sungai berair terjun yang kadang jernih, kadang keru.

Di alam nyata beliau terlihat layaknya seorang petani biasa. Memakai topi kumal, baju kaos menjaring angin, berlengan panjang dan sudah kehilangan warna, mengantongi kokok kretek bermerek Jamboe bol. Beliau memang agak tertutup dengan warga lainnya. Lebih memilih bekerja sendiri dibandingkan bersama-sama dengan warga lain. Paling ada empat lima orang yang sengaja beliau panggil untuk mengolah kebunnya. Itu pun diketahui adalah murid-muridnya yang sengaja ikut menyamar sepertinya. Sederhana sekali.

Aku menghirup udara dalam-dalam. Suhu dingin di area pengunungan ini mirip dengan suhu di gunung Dempu. Meski tengah hari, namun udara masih terasa dingin. Beberapa satwa terbang cepat. Aku disuguhi pemandangan yang luar biasa indah.

Ketika berjalan di sisi hutan kecil, kembali aku menghirup udaranya dalam-dalam. Di kejauhan tanah kuning terlihat meliuk menuju puncak. Jalan itu adalah jalan yang dilalui para pendaki melalui Blambangan. Kakiku terasa gatal ingin menyisir setapak itu bersama para pendaki kembali naik di ketinggian gunung Slamet yang meyimpan banyak misteri.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *