HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (67B)

Karya RD. Kedum

Malam ini bulan terlihat baru separuh. Meski langit tidak terlalu bersih, di balik awam masih terlihat bintang kelap-kelip seperti mata gadis kelilipan. Aku sengaja duduk di teras mencari angin. Jalan nampak sepi. Hanya dari beberapa rumah kulihat pintunya terbuka, dan suara musik lagu daerah dari kos-kosan mahasiswa UNIB.

Selintas pandanganku tertuju pada beberapa makhluk asral dengan berbagai bentuk. Ada yang duduk diam di seberang parit yang mirip sungai kecil depan rumahku. Ada juga di antara mereka mengintip, ada yang berjalan, ada juga seperti bercengkrama dan saling kejar seperti hendak berkelahi. Aku hanya memperhatikan pola mereka. Beberapa kuntilanak ada yang sok ramah tertawa-tawa melihat padaku. Kecuali nenek-nenek bau sirih hilir mudik di jalan samping rumah, sambil melirik-lirik padaku. Perawakannya dekil, rambutnya kusut. Aku malas menegurnya. Apalagi dia suka mengganggu anak kecil yang sedang bermain dengan dalih menjaga cucu. Sering membuat nangis balita. Pikirnya wajahnya lucu, padahal tampangnya serem, kulitnya bukan berkerut lagi, tapi berlipat. Mulutnya selalu mengunyah sirih sampai mulutnya merah belepotan kayak darah. Terus suka membuang ludah sembarangan. Sering pula penampakan diri, membuat balita-balita yang terlihat padanya takut. Apalagi kuntilanak, rambut panjang, baunya apek, suka sekali mendekati anak-anak yang sedang bermain sendiri, atau sedang tidur.

Saat sedang asyik melihat tingkah laku makhluk-makhluk asral itu tiba-tiba ada suara nenek Kam.
“Dek, pergi ke rumah dukun itu. Suruh pergi jin-jin yang menyiksanya dia sudah tidak mampu apa-apa lagi, kok kamu suruh peliharaannya menyiksanya.” Ujar nenek Kam.
“Dia jahat Nek, masih muda suka membuat orang sengsara. Bahkan dengan ringannya membunuh orang dengan ilmu santetnya” Ujarku. Langsung dijawab nenek Kam, bukan tugasku menyiksanya. Biarlah sang Maha saja memberikan ganjaran yang setimpal sesuai perbuatannya. Akhirnya aku berangkat melihat sang dukun muda.

Sampai di lokasi, aku melihat sang dukun antara mati dan hidup. Para jin peliharaannya kuusir pergi sesuai pesan nenek Kam. Sebagian mereka ada yang melawan tidak mau pergi dari tubuh si dukun, menghisap darah dan sum-sum tulang belakangnya. Akhirnya aku berkelahi dengan makhluk asral itu. Kebanyakan jin-jin pembantunya ini diambil dari laut dan kuburan. Sebagian lagi berasal dari benda-benda pusakanya. Ada tiga penghuni pusakanya berupa harimau tua. Melihat sikapnya, kasar dan ganas aku tidak berani melepasnya begitu saja. Mereka mengaku berasal dari pulau Jawa. Satu dari Sunda, Ki Sudanak namanya. Lalu dua dari Banyuwangi, Mbah Kusno dan Mbah Parmin. Energi mereka sangat kuat. Ketiga-tiganya minta makan.

“Kau membawa apa kemari, anak manusia. Mana makanan untuk kami? Kami lapar. Kalau tidak, kami akan mencari darah.” Ujar di antara mereka berbahasa Osing.
“Hei! Aku bukan dukun, bukan pula budak kalian. Jika kalian ingin makan, bekerja! Bangsa kami jika hendak makan harus bekerja terlebih dahulu. Bukan seperti kalian!” Ujarku marah. Apalagi mendengar ancamannya. Mencari darah? Maksudnya hendak mencelakakan manusia. Mendengar nada suaraku tinggi, salah satu harimau melompat tinggi hendak menerkamku. Aku lawan dengan hantaman telapak tanganku. Kudorong dengan mustika biru kakek Andun. Tubuh besarnya terpental. Rupanya sudah terpental sekali, dia tidak berani menerkam lagi. Matanya saja nanar.
“Dengar Aki, Mbah-mbah, aku bisa membuat kalian lumpuh seperti dukun kalian. Aku ambil semua energi kalian” Ancamku melihat wajah mereka menyeringai siap-siap hendak menyerang.
“Kami tidak takut!” Ujar salah satu mereka lagi. Ya, wajar saja mereka mengatakan tidak takut. Karena mereka memang petapa-petapa dan berilmu tinggi, rata-rata usianya ratusan tahun.
“Baik, kalau kalian hanya akan membuat resah kehidupan manusia, aku akan habisi kalian.” Ujarku mulai bergerak. Kusapukan selendangku untuk menangkap tubuh ketiganya. Ketiga harimau penghuni keris Sang dukun mulai mengatur posisi. Mereka hendak menyerang berbarengan. Kuku tajam mereka mencakar-cakar menghasilkan suara mengerikan. Begitu juga suara menggeram mereka. Berat dan mengancam. Dalam sekejap ketiganya melompat berbarengan.
Das!!! Das!!! Hug!!!
Tubuh mereka beradu dengan ujung selendangku. Benturan dengan kekuatan tiga harimau siluman ganas ini menghasilkan suara-suara yang terdengar oleh bangsa manusia.
“Suara apa ini, kok gemuruh. Rumah kita panas dan berisik. Apa ada gempa?” Istri sang dukun yang tengah menjaga suaminya cemas.
“Aba…bangun Bah. Banguuuuun. Rumah kito koh nak roboh. Bangun Bah!” Si ibu menggoyang-goyang tubuh sang Dukun. Tapi Sang dukun diam saja. Tak lama dia ambil air lalu dituangkannya di dalam gelas. Kemudian dibaca-bacanya mantra.
Aku melihat beberapa makhluk asral mendekat dan menghirup air yang dibacai mantra oleh istri Sang dukun. Air yang semula bening, berubah menjadi keruh. Lalu air itu hendak diusapkannya ke tubuh Sang dukun dengan maksud mengobati. Istri dukun mungkin tidak tahu jika air itu justru akan menyiksa Si dukun. Makhluk-makhluk asral itu justru akan menjilati dan menghisap darah Sang dukun. Akhirnya dari jauh kupecahkan gelas berisi air yang dipegang istri dukun. Dia kaget melihat gelas pecah dan air tumpah di lantai. Matanya nanar ke atas memandang langit-langit ruangan yang tak seberapa. Dikuat-kuatkannya batinnya sambil mengambil lap dan mengepel lantai.

Sementara tiga siluman harimau masih berniat mengeroyokku. Aku belum berhasil menangkapnya.
“Siapa kau harimau kecil? Dukun darimana kau? Kecil-kecil berani sekali kau menantang kami.” Ujar salah satu siluman harimau sambil menahan kakinya yang sakit kena pukulanku.
“Dengar Aki, dan Mbah-mbah. Agar kalian tidak mati penasaran, akan kuberi tahu kalian. Namaku Putri Selasih. Aku dari tanah Besemah gunung Dempu. Aku bukan dukun seperti tuan kalian.” Ujarku. Mendengar gunung Dempu mereka sedikit terbelalak.
“Apa? Dari Besemah? Gunung Dempu? Kembaranku ada di sana.” Ujar mbah Kusno. Keningku berkerut mendengar kata ada kembarannya di gunung Dempu? Jangan-jangan makhluk ini mengaku-ngaku saja.
“Sungguh Putri Selasih, kembaranku ada di gunung Dempu. Dia dipegang seseorang di gunung itu. Aku sudah sangat rindu ingin jumpa.” Suaranya agak memelas. Aku membaca hatinya. Benar, beliau memang rindu saudaranya. Dalam hati aku mendapat angin segar ini. Makhluk satu ini bisa kutakhlukan dengan mudah.
“Aku bisa membantu mbah ketemu kembaran mbah di sana. Tapi dengan syarat mbah ikut aku dan tidak melakukan kejahatan lagi. Tidak merusak organ tubuh manusia, berhenti mencelakakan manusia. Berhenti suka minum darah.” Mendengar tawaranku si Mbah malah menangis. Terus di tengah tangisnya mengatakan mau ikut aku dan minta tolong dipertemukan dengan saudara kembarnya. Hilang garangnya.
Sementara dua harimau lainnya ki Sudanak dan Mbah Parmin, melihat mbah Kusno menangis malah marah dan menyerang. Melihat mereka hendak mencelakakan mbah Kusno, kuhalangi dengan satu pukulan. Mbah Kusno langsung kutarik ke dekatku dan kutotok agar beliau tidak menyerangku.
“Jangan cengeng Kusno. Percuma kau jadi petapa dan berilmu tinggi. Baru mendengar nama daerah saja sudah menangis,” ujar Ki Sudanak. Tangis Mbah Kusno makin jadi. Dia tidak peduli dengan ucapan Ki Sudanak.
“Kalian tidak usah marah-marah dengan mbah Kusno. Setiap makhluk punya persoalan masing-masing. Mengapa kalian marah karena mbah Kusno rindu dengan saudara kembarannya?” Ujarku sembari melindungi mbah Kusno. Aku khawatir dua makhluk ini menyerang mbah Kusno lagi. Mereka anggap mbah Kusno penghianat.

Benar saja serangan dari jauh kembali dilancarkan dua harimau tua ke arahku dan mbah Kusno. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan. Sambil terus melindungi mbah Kusno aku hantamkan kembali selendangku. Kutambahkan pusaran angin untuk menggulung mereka berdua. Dalam waktu singkat, keduanya bergumul dengan anginku. Serangan Ki Sudanak di tengah angin yang bergulung seperti hantaman badai menghasilkan suara menderu. Lampu yang tergantung di rumah Sang dukun bergoyang-goyang seperti hendak jatuh. Istri si Dukun menjerit-jerit ketakutan. Lalu beliau ambil tongkat yang dari tadi bergerak-gerak di sudut ruangan. Aku melihat ada makhluk besar tinggi di dalamnya dari tadi dia hanya mengintip, tidak mau ke luar. Istri dukun mengangkat tongkat lalu mengacung-ngacungkannya ke atas seakan menghalangi angin yang menderu. Aku tertawa melihatnya. Apa-apaan istri dukun ini. Padahal dia tidak paham fungsi tongkat dan tidak pula tahu jika ada makhluk yang bersemayam di dalamnya.Yang beliau tahu tongkat itu ada kekuatan. Angin masih terus menderu. Bahkan beberapa alat ritual si dukun banyak yang jatuh berantakan. Aku masih berusaha menangkap dua siluman harimau yang nampak kalap melihat kawannya kuambil. Energi-energi yang berada di ruangan ini saling berbenturan membuat rumah semakin gaduh namun tak kasat mata. Istri Sang dukun tidak tahu kalau makhluk peliharaan suaminya sedang perang denganku.

Haaaap!
Hiiiiiaaaaat!! Aku memutar selendangku. Hantaman dua siluman harimau mampu membuyarkan anginku. Tapi tak urung tubuh mereka jatuh persis seperti nangka masak jatuh dari pohon. Kulihat mbah Parmin tidak bergerak-gerak lagi. Beliau pingsan. Aku langsung mengarahkan telunjukku, kusedot kemampuannya. Melihat aku melumpuhkan kawannya, ki Sudanak kembali menyerangku. Kali ini serangannya lebih dasyat dari tadi. Entah ilmu apa yang dia keluarkan. Namun hantamannya luar biasa. Aku seperti membentur puluhan ribu batu karang. Beberapa kali aku nyaris terjerengkang.

Menghadapi kekuatan Ki Sudanak, aku segera membaca mantra kekuatan menghadang gunung. Kukumpulkan ke ujung tanganku. Kulihat gerakan Ki Sudanak berkilau-kilau seperti cahaya matahari. Kadang seperti cahaya api. Tak lama gerakkan tangannya berubah mirip perisai mengeluarkan angin yang sangat kencang. Aku mencoba menghalanginya dengan kekuatan menghadang gunung. Tak lama kekuatan Ki Sudanak dan kekuatanku saling dorong. Suara menderu tak hanya mengeluarkan angin kencang. Namun rumah dukun ini kembali bergetar seperti hendak roboh. Beberapa barang yang tergantung satu-satu jatuh.
“Aduh Abah, apalagi ikoh Ba. Ngapo rumah kito ajo yang begempo?” Ujar istri dukun sambil memegang tubuh suaminya yang tak bergerak. Aku dan harimau Ki Sudanak masih saling dorong. Tiba-tiba Duuuaar!! Hentakan keras yang kuhentamkan ke bumi membuyarkan dorongan Ki Sudanak. Hasilnya mengeluarkan suara ledakan hingga membentur langit-langit ruangan tembus ke atap. Atap rumah dukun bolong seketika.

Jeritan istri si dukun membuat geger tetangga. Apalagi saat atap rumahnya jebol, suara ledakan kencang sekali. Ki Sudanak terkapar di lantai usai ledakan itu. Aku langsung meringkus, lalu mencabut energinya. Dua harimau siluman kubiarkan terkapar tak berdaya. Aku menarik nafas lega. Kuayunkan tanganku ke atas, aku mencoba menarik energi dari semua pusaka yang ada di ruangan ini. Benturan-benturan kembali terjadi. Beberapa pusaka memberontak. Melakukan perlawanan. Kusapu sekali lagi. Akhirnya energi pusaka habis seketika. Makhluk asrama ya sebagian kuusir.pergi sebagian lagi kutawan di ujung jemariku.

Aku berbalik ke mbah Kusno. Kutanyai apa maunya.
“Aku ingin berjumpa dengan kembaranku Putri Selasih, kami dipaksa berpisah oleh empu Elang pembuat keris kembar itu. Meski sama-sama di Sumatera namun ternyata tidak mudah kami untuk berjumpa. Dukun-dukun ini telah mengikat kami masing-masing. Tolonglah kami, Putri Selasih. Jumpakan kami.” Mbah Kusno kembali menangis. Aku memberikan syarat padanya jika hendak bertemu dengan saudara kembarnya. Kuminta beliau bersyahadat dan tinggal di gunung Dempu. Begitu juga kembarannya akan kutarik dan tinggal di gunung Dempu. Tidak bergantung dengan dukun lagi. Tapi di gunung Dempu bersama para mualaf lainnya, hidup penuh aturan dan beragama. Mendengar tawaranku mbah Kusno menerima. Bahkan. Beliau sangat berterimaksih. Yang penting baginya bisa berjumpa dengan kembarannya hidup bersama-sama lagi.

Kuayunkan tangan aku fokus memanggil paman Raksasa. Dalam sekejap, paman Raksasa telah berdiri di hadapanku. Kuceritakan pada paman Raksasa siapa mbah Kusno dan keinginannya. Kuminta Paman Raksasa membimbing beliau setelah bersyahadat nanti. Paman Raksasa tertawa girang. Tubuh tambunnya bergoyang-goyang. Selanjutnya aku duduk sejenak, aku pamit segera menuju gunung Dempu.

Aku berusaha mencari saudara kembaran mbah Kusno. Aku memusatkan pikiran dan penciumanku. Cukup lama aku berkeliling di sekitar kampung. di area gunung Dempu, sejenak aku meminta izin pada sesepuhku di gunung Dempu. Nyaris semua mendukungku.
“Sudah berani asal lewat tak mau singgah ya. Mau kualat kamu?” Suara Nenek Ceriwis menegurku. Kukatakan ini dalam keadaan darurat aku tidak punya banyak waktu untuk bercerita, apalagi singgah. Nenek Ceriwis mendegus marah. Aku membatin minta maaf pada beliau. Mendengar suara nenek Ceriwis mendengus marah, Kakek Njajau malah tertawa.
“Kalau kamu tua nanti, jangan kayak nenekmu ya Selasih. Dari muda sampai tua cerewet dan pemarahnya tidak berkurang. Malah makin jadi.” Sambung kakek Njajau. Aku hanya tersenyum mendengar suara kakek Njajau.

Aku masih berkeliling. Pertama aku berusaha mencari di sekitar tangsi dua. Ternyata tidak ada. Aku bertanya pada nenek gunung penjaga tangsi dua. Beliau menyatakan tidak ada. Akhirnya aku turun ke tangsi satu. Di tangsi satu aku merasa ada energi yang kucari. Akhirnya aku sampai pada satu rumah. Aku melihat rumah ini agak suram. Tidak ada cahaya dan energi yang membuat rumah itu nyaman. Aku meminta izin masuk. Ternyata di dalamnya sama persis seperti di rumah dukun di Bengkulu banyak sekali benda pusaka dalam segala bentuk. Ada keris, ada batu, ada kulit dan taring harimau, ada jenglot, dan macam-macam benda pusaka di satu kamar khusus. Ada aneka macam lilin, gaharu, kembang, dan gambar-gambar para demit. Ada gambar Nyi Roro Kidul, ada gambar Prabu Siliwangi dengan harimau tunggangannya, ada gambar tokoh-tokoh spiritual yang tak kukenal ditata sedemikian rupa. Ada kain putih diikat rapat dan dimantrai, simpulanku itu adalah kain kafan. Selanjutnya ada boneka yang dipajang dengan foto seseorang. Melihat benda-benda yang terpajang di ruang khusus ini, yakinlah aku jika beliau benar-benar serius menggeluti dunia perdukunan.

Bukan dukun sakti namanya kalau dia tidak tahu kehadiranku. Para pengikutnya lebih dulu memberitahunya. Beliau langsung menghadangku di depan pintu kamarnya.
“Mengapa kau datang kemari, harimau kecil. Darimana kau?” Tanyanya dengan nada tidak suka. Kujawab aku mencari kembaran mbah Kusno yang beliau tawan. Akhirnya kami sejenak berdebat. Beliau mengatakan tidak pernah menawan siapa-siapa. Ketika aku minta izin mencarinya beliau menghalangi. Bahkan beliau mengusirku.
“Lebih baik kau pergi dari sini sebelum aku marah. Kau tidak kuizinkan memeriksa benda-benda pusaka saya.” Ujarnya lagi. Aku ngotot tidak mau pergi.
“Berikan sajalah keris yang itu padaku. Aku tahu di situ kembaran Mbah Kusno. Kalau tidak kuhancur leburkan tempat ini. Akan kuobrak-abrik agar makhluk-makhluk asral ini pergi dari sini. Termasuk juga sampean akan kuusir dari tanah Bersemah ini!” Ujarku melihat beliau dan makhluk-makhluk asral peliharaannya sudah berdiri. Melihat mereka sudah mulai menyerangku, aku hantamkan kaki. Dalam sekejap mereka sudah berhadapan denganku. Kuhantam mereka dengan muda. Satu kelebatan cahaya biru dari telapak kananku mendorong mereka hingga terjerengkang dan melayang. Tak lama aku melihat kelebatan bayangan datang beramai-ramai. Pasukan yang membantu sang dukun banyak sekali. Ketika mereka kembali menyerbu, kusapu mereka dengan cahaya biru dari telapak tanganku kembali. Puluhan mereka terseret dan kulebur jadi satu. Menyadari anak buahnya dengan mudah kutarik, sang dukun naik pitam.
“Jangan sebut mbah Darmo dari gunung Lawu kalau kalah dengan anak kecil sepertimu, kecoa.” Ujarnya sambil menepuk dada. Sombong sekali. Beliau melepaskan serangannya padaku masih dibantu makhluk-makhluk asral peliharaannya.

Hiiiiaat!!!
Sekali hantam kamar ritualnya mbah Darmo kuporak-porandakan. Makhluk asral yang berada di benda-benda pusakanya ada yang balik menyerang, ada juga yang kabur terbirit-birit. Air mantra dan kembang kuhambur. Kamar ritual Sang dukun menjadi berantakan. Sang dukun sangat marah. Beliau segera mengeluarkan anjian-ajiannya. Keris yang dipegangnya seperti makhluk hidup melompat-lompat menggetarkan tubuh Sang dukun. Kuhantan dengan pukulan badai. Sang Dukun terpental. Namun kerisnya tetap berdiri. Bahkan makhluk yang ada di dalamnya masih sambil semedi melakukan serang -serangan padaku. Dalam hati aku salut juga dengan mbah dukun satu ini.

Sang dukun bangkit lagi. Kali ini dia baca mantra kembali. Kekuatannya lebih dasyat dari tadi. Nyaris semua kekuatan yang ada di ruangannya ini turut membantu menyerangku. Makhluk-makhluk yang hadir tidak saja dalam sosok orang, ada juga bentuk harimau, monyet, pocong, kuntilanak, boto ijo, ular, dan gondorowo. Di antara harimau yang menyerangku kulihat ada satu mirip sekali dengan mbah Kusno. Aku fokus padanya. Aku tidak ingin dia terluka meski dia pun memiliki kemampuan yang dasyat juga. Pantas saja berani merantau, rupanya si dukun memang memiliki kemampuan yang sangat mumpuni. Ketika beliau menggunakan jurus kuntau harimau, aku menatap gerakannya dengan seksama. Ini gerakan kutau harimau Besemah. Rupanya beliau juga berguru dengan orang Besemah. Aku penasaran sampai dimana dia menguasai kuntau itu. Sementara makhluk-makhluk asral pengikutnya masih menyerangku dengan kekuatan-kekuatan mereka. Aku tidak mau berlama-lama, kugulung makhluk-makhluk asral itu dengan selendang dan angin badaiku. Lalu kusalurkam energi zikir. Aku mendengar jeritan kepanasan para makhluk asral. Suara mereka menyeramkan sekali. Sementara saudara kembar mbah Kusno telah kuikat tidak bisa bergerak lagi.

Melihat anak buahnya menjerit dalam ikatan selendangku, Sang dukun terperangah. Gerakan kuntau harimaunya makin ganas menyerangku. Kadang dia berputar, mencakar, mengigit, menerkam. Satu gerakan kuhentamkan kaki dan tanganku mematahkan dan mengunci gerakkannya. Kini tinggallah kekuatan batinnya beradu dengan energi yang kusalurkan di lengan kiriku. Sementara tangan kananku terus menyalurkan energi zikir membuat makhluk-makhluk asral melolong panjang.
Hiiiatttt!!!
Satu hentakan kuakhiri membuat sang Dukun terpental menabrak dinding rumahnya hingga jebol. Tubuhnya terpental hingga ke luar rumah. Begitu juga makhluk asral yang terikat di selendangku kusalurkan hawa panas untuk melebur mereka. Mereka hangus tinggal abu. Lalu kuhentakkan. Sekali hentak abu berserakan memenuhi udara ruang ritual sang dukun. Aku kembali menyapu ruangan dengan selendangku sehingga benda-benda pusakanya berterbangan entah ke mana. Ada yang bersembunyi di balik batu-batu pengunungan, ada yang nyungsep di kebun teh, ada yang meluncur ke sungai-sungai dan air terjun di sekitar gunung, ada juga yang mengubur diri di bawah rumah sang dukun. Mereka mirip seperti cahaya meteor meluncur sangat cepat. Sebagian lagi hancur kuhantam.

Sang dukun setengah semaput minta-minta ampun.
“Aku anak Besemah penghuni gunung Dempu ini mbah. Rupanya mbah sudah lama praktik di sini. Mengotori pegunungan ini. Mengirim teluh dan santet. Ingat aku akan datang kemari lagi.” Aku menepuk pundaknya. Kutarik semua kekuatannya hingga beliau kelonjotan seperti mau mati. Tak ada satu pun makhluk asral peliharaannya yang muncul. Rumahnya kunetralisir segera. Aku minta izin membawa kembaran mbak Kusno meninggalkan mbah Darmo yang masih tergeletak di luar rumahnya.

Tak berapa lama aku telah sampai kembali menemui paman Raksasa dan mbah Kusno yang duduk seperti orang sedang semedi. Menyadari kehadiranku mbah Kusno langsung buka mata dan kaget melihat di hadapannya telah berdiri kembaran. Keduanya sama-sama kaget lalu mereka perpelukan sambil tersedan-sedan. Di sela tangis keduanya mereka mengungkapkan kerinduan dan bercerita selama mereka terpisah dalam bahasa Osing Banyuwangi yang tidak kupahami. Namun melihat bahasa tubuh dan ekspresi keduanya, terlihat sekali jika mereka saling sayang dan saling merindukan. Aku yang berdiri dekat kaki Paman raksasa jadi ikut terharu melihat mereka berdua.

Setelah cukup lama aku membiarkan mereka menangis dan berpelukan, lama kelamaan tangis mereka pun reda.
“Terimakasih Putri Selasih telah membantu kami bersatu kembali.” Mbah Kusno sujud padaku. Aku angkat bahunya. Kukatakan aku pun bahagia bisa menyatukan dua saudara yang terpisah lama. Setelah kutanya berapa tahun mereka terpisah. Nyaris serentak mereka menjawab seratus tahun.
“Seratus tahun..” Hatiku lirih. Paman Raksasa tersenyum.
“Waktu di alam nyata dengan alam gaib kan berbeda, Selasih. Seratus tahun di alammu memang lama.” Ujar paman raksasa. Aku tersenyum. Benar sekali. Malah selisih jarak waktu dua alam itu sangat panjang. Akhirnya aku minta mbah Kusno menyampaikan pada kembarannya tentang perjanjian awal yang kami buat.
“Kangmas Kusni, aku berjanji dengan Putri Selasih. Jika dia bisa mempertemukan kita, maka aku berjanji akan ikut beliau. Kuharap Kangmas juga tidak keberatan, agar kita selalu bersama. Aku tidak ingin berpisah lagi, Kang Mas.” Ujar Mbah Kusno memegang tangan kembarannya. Aku baru tahu kalau nama saudara kembar beliau mbah Kusni. Kutatap wajah mbah Kusni dalam-dalam. Nampaknya beliau patuh dan menerima keinginanan mbah Kusno. Lalu kujelaskan bahwa keduanya akan tinggal di lereng gunung Dempu, paman Raksasa yang akan membimbing keduanya untuk bersyahadat di sana.

Angin dari laut bertiup pelan. Bulan meski separuh sudah makin tinggi. Langit tampak lebih bersih dari tadi. Bintang timur nampak lebih cerlang dari yang lain. Mbah Kusno dan mbah Kusni mohon diri ikut paman Raksasa. Keduanya menyalamiku erat sekali.
“Mbah, jadilah harimau yang baik, yang soleh, dan ahli ibadah. Suatu saat aku akan datang melihat Mbah berdua di sana. Titip salam untuk adikku A Fung.” Aku menyalami keduanya. Tak lama paman Raksasa merangkul keduanya. Paman mengucapkan salam dan ketiganya melambaikan tangan. Dalam waktu sekejap ketiganya lenyap dari pandanganku. Tinggallah aku masih berdiri di tengah-tengah rumah dukun. Tetangga mereka berdatangan keheranan melihat atap rumah yang jebol. Jasad si dukun mereka pindahkan ke ruang depan.
“Nek Kam, apakah dukun ini harus kuobati? Kusadarkan?” Aku membatin berinteraksi dengan nek Kam. Lalu kata nenek Kam tidak usah, karena sebentar lagi ajal akan menjemputnya setelah tubuhnya bersih dari segala pengaruh makhluk asral. Akhirnya sejenak aku tatap Si dukun. Wajahnya tidak tegang lagi seperti tadi. Tapi lebih lembut dan pasrah. Nafasnya tinggal satu-satu. Beberapa orang kulihat membaca surah yasin. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah wajib si dukun dibacakan atau dipedengarkan surah yasin sementara aktivitasnya selama ini jauh dari kegiatan ibadah? Dia lebih banyak menentang syariat agama? Dia telah menentang kekuasan Sang Maha? Apakah wajib dimandikan lalu disolatkan ketika dia mati?
Wallahu a’lam.

Aku berjalan pelan meninggalkan rumah Sang dukun yang semakin ramai. Perjalanan selintas yang kualami barusan jauh dari perkiraan. Mana pernah aku membayangkan akan bertemu dengan siluman harimau kembar pada akhirnya mereka mau diajak ke jalan kebenaran hanya karena di sebabkan rasa rindu dan cinta. Aku makin sadar, betapa kekuatan cinta, rindu, dan persaudaraan kadang menembus segala logika. Bahkan mampu menumbangkan keegoisan seseorang.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *