Syech Ali Jaber Ulama Para Migran Indonesia di HongKong
Catatan seorang mantan tenaga kerja Indonesia di HongKong, Berta Siagian. Syeh Ali Jaber adalah sosok ulama yang hidup untuk Al Quran dan menghidupkan Al Quran, tak akan menjadi sia-sia. Sosok yang gemar bergurau dan sangat rendah hati.
Indonesia kembali berduka. Syech Ali Jaber meninggalkan kita untuk selamanya. Menghadap Sang Khalik dengan semua iman dan ibadahnya. Setelah berjuang lebih kurang 20 hari melawan covid 19. Beliau menghabiskan nafasnya di salah satu rumah sakit di ibukota dalam keadaan negatif covid 19.
Awal saya mengenal langsung beliau saat masih bekerja sebagai pekerja migrant di Hong Kong. Beliau kerap dakwah kesana. Saya menyukai dakwahnya yang satu misi yaitu mencetak penghapal Qur’an. Sebelum mengenal langsung, saya banyak mendengar dari orang- orang yang mengenalnya. Mulai dari santri, ulama sampai media sosial. Saya mengagumi apa yang beliau lakukan. Berdakwah di negeri asing dan mencintai apa yang dilakukannya. Beliau sangat bersuka cita saat memperoleh status WNI sekitar tahun 2012. Walau lahir dan besar di Madinah tapi ada darah Indonesia mengalir dalam tubuhnya. Jiwa raganya beliau sedekahkan untuk bangsa ini.
Beberapa kali saya terlibat dalam dakwah beliau di negeri beton. Walaupun bukan organisasi kami yang mengundang, tapi saya dilibatkan. Beliau selalu menanyakan tentang saya dan mau berkunjung ke kontrakkan saya yang jauh dari mewah di Hong Kong. Beliau tak canggung duduk di antara barang dagangan, buku- buku dan baju muslim. Selalu cerah tersenyum di pintu. Saya tak punya ruang tamu. Ruang tamu dah saya sulap menjadi gudang serba guna. Yang datang hanya akan duduk di atas kasur lipat menghindari dinginnya lantai. Dan beliau selalu menyiapkan tempat duduknya, seolah paham saya masih kaget kedatangan tamu tak diundang. Beliau selalu membuat kejutan.
Terakhir kali mendampingi beliau saat 2014, setelah saya menikah dan meninggalkan Hong Kong. Alhamdullilah suami mengijinkan saya pergi sendiri ke Hong Kong. Saya sangat bersuka cita dan sigap menyusun beberapa rangkaian dakwah yang sempat terhenti karena harus hijrah mengikuti suami. Salah satu agenda adalah Gerakan Sedekah Qur’an Braille. Syech Ali Jaber pencetusnya. Saat acara di Hong Kong beliau didampingi Syech Jihad Al Maliki, seorang hafidz cilik tunanetra dari Madinah dan Syech Adil bin Salim al Khabani, juga dari Madinah.
Syech Ali meminta diperkenalkan pada pelaku dakwah di Hong Kong yang bukan berasal dari Indonesia. Beliau ingin program ini mempunyai jangkauan yang lebih luas. Tak sulit bagi saya mengabulkan permintaannya. Dan mereka bertemu dalam jamuan makan malam. Syech Ali detail menjelaskan visi misi gerakan ini. Dari meja sebelah, saya menangkap jelas semangat dan passion beliau yang luar biasa untuk Al Qur’an. Bahkan tunanetra pun beliau berikan harapan untuk bisa membaca bahkan menghapal Al Qur’an.
Selera humor beliau cerdas dan renyah. Ceramahnya kalem, syarat makna dan mudah dimengerti. Tak kaku memasukkan candaan cerdas yang membuat jamaah tertawa. Di luar panggung dakwah beliau lebih lucu. Saat jauh keluarga, beliau intens berkomuniksi dengan keluarga. Menggoda istri dan anak lewat telephone. Kadang kami juga diijinkan bicara dengan istrinya. Beliau tak suka membicarakan ulama lain. Dan kalem menghadapi pengkritiknya. Saya pernah bertanya
“Syech, ada yang bilang Syech Ali wahabi. Apa tanggapan Syech?”
” Ya nggak usah ditanggapi.” Jawabnya.
” Apakah ini berarti mengiyakan Syech? Bukannya diamnya wanita itu tanda setuju?” Tanya saya lagi
Syech Ali memperbaiki duduknya. Memakai topi ala Maher Zein dan menjawab ” Saya bukan wanita dan dia tidak sedang melamar saya.”
Seketika kamar hotel Syech Ali riuh dengan kelakar. Dan kami berjalan melihat gemerlap Hong Kong. Sekali kali saya nyeletuk.
“Syech, tadi ada yang ngelihatin terus, dikira Maher Zein.”
Diluar dugaan beliau menjawab
“Masih lebih ganteng saya. Makanya dia heran kenapa Maher Zein jadi lebih ganteng.”
Dalam safari dakwahnya, beliau tak kenal lelah. Total banget. Dan tidak rewel. Tidak minta harus dilayani, atau minta makan di restaurant mewah, apalagi minta tiket first class, hotel mewah dan minta amplop (bayaran). Justru beliau memberi hadiah umroh pada beberapa pekerja migran, termasuk saya. Karena saya saat itu sudah menikah dan atas persetujuan beliau, hadiah itu saya hadiahkan ke teman yang lebih membutuhkan. Mereka berangkat umroh dari Jakarta bersama travel Syech Ali.
Setelah acara utama di salah station Hong Kong selesai, kami balik ke hotel. Dari awal hanya memesan 3 kamar. Untuk Imam Adil, Syech Jihad dan ayahnya dan Syech Ali sekamar dengan assisten. Kami selalu diskusi di kamar Syech Ali. Kami berbagi tugas untuk besok. Karena malam itu assistennya harus pulang Indonesia akibat kesalahan tiket. Pagi hari jam 3, Syech Ali dan 2 teman saya harus ke bandara mengantar Syech Jihad pulang Madinah. Sedangkan saya bertugas membangunkan Syech Adil dan mengantar beliau ke masjid untuk mengimami sholat subuh.
Syech Ali meminta saya meminjam seterika hotel. Beliau menyeterika sendiri bajunya. Baju Syech Adil dan Syech Jihad juga diseterika. Sampailah saat menyeterika penutup kepala, beliau meminta kami mencoba. Satu persatu kami mencoba. Semua gagal. Kami heran dimana masalahnya. Ternyata ada tehnik khusus. Setelah itu meminta saya ikut mengantar baju Syech Adil. Beliau jelasin bahwa besok pagi saya yang akan mengantar ke masjid sementara beliau akan ke bandara.
Syech Ali meminta kami nginap di hotel saja karena tidak mungkin kalau pulang. Jam 2 malam harus bersiap. Kita tidak bisa buru- buru karena Syech Jihad tunanetra. Jadilah malam itu Syech Ali tidur di kasur dan kami empat wanita ini tidur di sofa. Kami sengaja pesan kamar besar untuk beliau karena memang disitu kami akan diskusi seperti biasa. Sebelum tidur Syech Ali menyeletuk
“Ibu- ibu sholehah sudah ke toilet semua ya? Saya mau tutup pintu. Sebab saya takut diperkosa.” Kami tertawa bersama.
Pukul 02.00 dini hari Syech Ali dan rombongan ke bandara. Saya menunggu di hotel menunggu komando kapan saya bisa ke pintu kamar Syech Adil. Jam 3an beliau ngabarin kalau Syech Adil sudah bangun dan saya boleh menunggu depan pintu tapi dilarang mengetuk sampai beliau sendiri keluar. Saya duduk depan pintu. Sayup mendengar lantunan thilawah Syech Adil. Selama ini saya hanya mendengar dari youtube. Kali ini saya berkesempatan mendengar kembali, langsung. Kemarin pun saya mendengar langsung di stadion. Tapi kali ini lebih merdu. Ahhhh Syech Ali meminta saya awal menunggu supaya saya bisa mendengar lagi dan supaya tidak mengganggu thilawah beliau kalau harus sering mengabari. Adab beliau Masha Allah. Beliau ingin memastikan baju tamunya rapi dan tidak kecewa. Beliau selalu memberikan pengertian kepada tamunya kenapa panitia dan jamaah semua perempuan.
Saya dan teman-teman mempunyai kebiasaan menghabiskan sisa makan dan minum ulama. Ngalap berkah kata orang Jawa. Sengaja kami belikan porsi besar supaya banyak sisanya. Minum juga begitu. Ini yang bikin Syech Ali ketawa. Kadang pas lagi makan baru tiga suap, tiba-tiba bilang kenyang. Supaya banyak sisanya. Padahal kami juga pesan makanan. Tapi sisa ulama selalu kami tunggu.
“Saya sudah kenyang.” Katanya
” Serius Syech, itu masih utuh. Syech makan lagi sampai betul- betul kenyang.” Kami berkata seolah bijak
“Saya serius. Apa sih yang tidak bisa saya lakukan untuk ibu- ibu.” Jawabnya berdamai.
Saya selalu pinjamkan sajadah ke beliau. Karena kadang beliau tidak bawa.Ternyata Syech Adil tidak bawa sajadah juga. Akhirnya beliau pinjamkan sajadah. Untuk beliau saya pinjamkan kerudung untuk sajadah. Setelah Syech Adil pulang, beliau pake sajadah kembali. Teman-teman berebut sajadah ini. Mereka pikir sajadah Syech Ali tertinggal. Bersuka cita rebutan. Tapi pemilik adalah pemenang sehati.
Syech Ali berpasangan
“Mbak Berta terima kasih sudah meminjamkan sajadah untuk saya dan Syech Adil. Ini saya kembalikan. Mudah-mudahan menjadi saksi kelak bahwa kami pernah sholat di hotel ini memakai sajadah ini.”
Saya menangis menerima kembali sajadah saja. Saya cium sajadah itu. Kerudung yang dipakai beliau, saya hadiahkan ke teman. Saat itu saya tak tahu kapan akan bertemu beliau kembali.
Allah kembali mempertemukan kami di Turkey. Mendadak seperti biasa. Beliau membawa keluarga besarnya. Beliau iseng bertanya apakah sedang di Turkey. Pesan singkat yang saya jawab dengan telephone. Saya bahagia mendengar suara beliau. Dan kami berjumpa di bandara Kaesery. Saya bawakan daging asap terbaik untuknya. Langsung dimakan di depan saya.
“Ini sangat sedap. Daging asap terbaik yang pernah saya makan. Karena diantar oleh Mbak Berta langsung.”
Saya yang tersanjung langsung menjawab
“Saya tidak pernah melihat orang makan daging asap senikmat ini Syech. Ini pasti karena Syech Ali hanya dapat sandwich di pesawat.”
Syech Ali selalu menasehati untuk menjaga hati. Kalau ada yang tidak suka dakwah kita, terus saja berdakwah santun. Selalu mengajak membumikan Alquran dan melangitkan manusia. Mengajak bersedekah cerdas lewat pembibitan penghapal Qur’an, menjadi orang tua asuh santri penghapal Qur’an, bersedekah Al Qur’an bahkan membantu tunanetra mampu membaca Quran dengan program Qur’an Braille. Qur’an braille ini bahkan dikirimkan keluar Indonesia.
Saat saya terinfeksi covid 19 Juni lalu, saya whatsaap beliau. Diluar dugaan beliau langsung menelepon saya. Saya berbinar menerima panggilan beliau. Beliau berdoa panjang untuk dan saya mengaminkan dari seberang. Sebelum menutup telpon beliau masih berkelakar “Polisi Hong Kong saja Mbak Berta lawan, ayo Mbak lawan corona dengan dzikir dan terus mengaji.”
Syech Ali, kami akan merindukanmu. Terima kasih untuk menjadi bagian dari Indonesia. Amalan dan ilmu yang telah Syrach Ali bagi semoga menjadi sedekah jariyah.Terima kasih untuk menjadi bagian penting model bangsa ini bergerak membumikan Al Qur’an. Bergerak mencetak penghapal Qur’an. Beliau sangat ingin Al Qur’an juga dinikmati kaum disabiliti. Perjuanganmu harus kami lanjutkan. Dunia tak akan sama lagi tanpamu. Kami melihat bagaimana engkau tersenyum menghadap Allah. Rabb yang kau sayangi. Semoga kelak Allah ijinkan kita berjumpa lagi dalam kehidupan yang abadi.