HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (90A)

Karya RD. Kedum

Braaaak!!
ByuuRRR!!
Air laut seperti kaget ketika karang retak besar dan jatuh tiba-tiba meluncur ke dasar laut. Beberapa makhluk astral seperti percikan air ikut memencar hingga ke udara. Aku tidak mempedulikan mereka.
“Niniiiiiiii” Aku masih berteriak sekencang-kencangnya sembari mengerahkan kemampuan mencari jejak Nini Ratu. Sekali lagi aku berteriak memanggil beliau. Kali ini kukerahkan kembali kekuatan batinku. Aku tidak peduli suaraku akan menyisir laut, bukit, gunung-gunung, dan air.

“Nini Ratuuuuu”Aku mulai menangis. Baru kali ini aku menangis karena belum siap ditinggalkan dan berpisah. Meski dalam batin tetap berusaha menguatkan diri agar bisa menerima takdir dan tegar. Demi melampiaskan emosi itulah aku memukul karang. Bukan marah dengan Nini Ratu, tapi lebih pada kekecewaan diri.

Tiba-tiba air laut bergejelok membentuk ombak lalu menghempas karang. Beberapa karang hancur ketika tenagaku menghantamnya kembali. Aku melompat ke sana ke mari sembari memanggil-manggil Nini. Meski aku tahu, apa yang kulakukan sia-sia. Nini Ratu tidak akan kutemui kembali. Ruang kosong yang kuhadapi adalah pertanda. Dan semua kekosongan itu membuat gejolak batinku terua bergejolak. Aku belum siap beliau tinggalkan. Pertemuan dengan beliau terlalu singkat. Mengetahui jika beliau akan lenyap seperti ini, aku tidak akan mematuhi ketika beliau memintaku melangkah dan jangan menoleh sampai batas laut. Aku mematuhi perintah Nini Ratu karena aku memang hormat pada beliau. Oh! Andai bisa ditangguhkan lebih dulu, aku berharap waktu bisa sedikit berputar untuk kembali bersua Nini Ratu, sebentar saja.

Pelukan dan ciuman Nini Ratu masih terasa hangat. Bahkan aroma wangi dari tubuhnya belum pudar sama sekali. Aku memandang kalung yang mengantung di leherku. Liontin permata berwarna gading ini diperoleh Nini Ratu selama bertapa, lalu diberikannya padaku sebagai ungkapan kasih sayang beliau yang tak terhingga.
“Nini sangat menyayangimu, Cucuku. Kuberikan ini sebagai lambang cinta dan kasih sayang Nini padamu. Cinta Nini tidak akan pernah pudar padamu. Jagalah diri baik-baik. Jadilah pribadi yang tangguh” Ujar beliau ketika beliau mengeluarkan kalung yang terbuat dari tali seperti kulit, lalu mengalungkannya ke leherku. Terakhir, beliau balut tubuhku dengan kain sutra berwarna gading, dengan motif bunga kecubung yang merekah. Aku pasrah saja sambil menatap senyum Nini Ratu sedikit berair. Nampaknya beliau sangat terharu menatapku.

Rasa kehilangan ini tidak akan seperih ini jika Nini Ratu berpamitan untuk pergi selamanya. Bermula ketika aku disuruh beliau berjalan menuju sisi pantai, dan dilarang menoleh jika belum sampai. Aku sengaja berjalan pelan sembari tetap menajamkan pancaindera membaca apakah Nini Ratu berjalan juga atau tidak. Instingku sudah mulai curiga sejak awal mengapa Nini Ratu mengajak ke luar gua, lalu beliau berdiri di puncak karang yang paling tajam dikelilingi air. Ternyata hingga tepi laut aku tidak mendengar langkah beliau berjalan, atai pergi meninggslkan posisinya. Setelah sampai di tepi laut aku segera menoleh, tapi alangkah kagetnya aku. Sosok Nini sudah tidak ada di puncak bukit karang itu. Tiba-tiba, langit gelap gulita. Aku melihat awan hitam bergulung-gulung diiringi kilatan cahaya berkali-kali. Angin berhembus kencang. Tak lama hening kembali. Angin bertiup pelan. Gumpalan awan hitam seketika raib, bulan nampak terang benderang.

Di bawah cahaya bulan aku mencoba mengawasi dan mencari sosok Nini Ratu. Nini lenyap tak tahu ke mana. Menyadari Nini Ratu sudah tidak ada di posisinya, aku segera duduk, sejenak semedi menyusuri perjalanan beliau. Tapi yang kutemui hanya sebuah ruang kosong. Aku sekan-akan tidak diizinkan untuk sekadar tahu ke mana arah langkahnya. Berkali-kali kucoba untuk masuk wilayah itu. Tapi sekali lagi seperti ada pembatas yang tak bisa kuselami. Aku kecewa. Mengapa aku tidak punya kemampuan untuk menembus wilayah itu.

Mengetahui kehilangan jejak beliau berkali-kali aku memanggilnya. Aku berharap bisa kembali bersua. Bagaimana pun, meski beliau mengingatkan agar aku fokus pada kerajaan, tapi aku manusia biasa. Tiba-tiba aku seperti kehilangan kekuatan tanpa beliau. Jika selama ini aku begitu semangat ingin memberikan yang terbaik pada Timur Laut Banyuwangi, karena ada sosok Nini Ratu di baliknya. Karismatik beliau tidak bisa dipungkiri masih memancar di kerajaan Timur Laut Banyuwangi.

Aku merasa tertipu dengan pertemuan malam ini. Tepat tengah malam aku sudah berada di gua pertapaan beliau. Wajah Nini Ratih kutemui lebih bercahaya dari sebelumnya. Aroma wangi bunga semerbak memenuhi ruang tapa. Pakaian putih yang dikenakan Nini Ratu membuat siapa pun tidak percaya jika usianya telah ratusan tahun. Nini Ratu tampak cantik luar biasa. Ketika aku tiba, beliau mengembangkan ke dua tangannya lalu memeluk dan menciumku. Bahkan aku merasakan masih ada kecupan bibirnya, lembut menyentuh keningku. Berkaki-kali tangannya yang halus mengelus pipiku. Di balik sinar matanya yang bening, beliau menanamkan sebuah keyakinan padaku. Beliau tatap mataku dalam-dalam. Tatapan itu pun terasa hangat. Nini Ratu memang sangat berbeda malam ini.

Aku merasakan sebuah kekuatan ditransfer Nini Ratu ketika beliau mencium ubun-ubunku lalu pelan-pelan meniupnya. Bahkan desahan nafas Nini Ratu masih sangat terdengar ketika beliau membaca doa mirip mantra. Lalu gerakan tangan Nini Ratu seperti mengunci, pertanda apa yang beliau salurkan padaku selesai.

“Baru beberapa saat kita berpisah, Cucuku. Namun aku sudah melihat kedewasaanmu. Karismatikmu. Nini makin percaya padamu. Bawalah Timur Laut Banyuwangi ke dalam kebaikan. Nini bahagia melihat gairah kerajaan kita kembali hidup di tanganmu. Bahkan lebih maju dan beradab dibandingkan ketika Nini yang memimpinnya dulu” Ujar Nini masih memegang wajahku. Aku menatap dalam bola matanya. Sinar kejujuran terpancar di sana. Ada rasa haru menguncup di batinku. Nini Ratu sangat pandai membesarkan hatiku. Beliau juga sangat pandai menyemangati aku. Aku merasakan apa yang beliau sampaikan bukan sekadar pujian. Namun sebuah cambuk penyemangat agar aku senantiasa melakukan yang terbaik untuk Timur Laut Banyuwangi.
“Semua karena Nini Ratu. Tanpa Nini Ratu mustahil kerajaan itu bisa kembali hidup” Ujarku lagi yang disambut beliau dengan senyum kecil.

Ketika pelukan beliau sedikit merenggang, aku duduk timpuh di hadapannya. Eyang Naga duduk tidak jauh di samping Nini Ratu. Beliau lebih dulu datang daripada aku. Sejak awal aku melihat Eyang Naga menunduk. Hanya sesekali saja beliau angkat kepalanya ketika aku atau nini yang berbicara. Dan sesekali pula beliau menimpali pembicaraanku dan Nini Ratu.
“Adakah sesuatu yang kurang pada Cucuku Putri Selasih, Naga? Aku merasa semua yang ada padaku sudah keserahkan semua padanya” Ujar Nini di akhir obrolan panjang kami.
“Saya rasa tidak ada lagi Nini Ratu. Aku melihat semuanya sudah sempurna. Semoga Sang Hyang Widhi menjaga Putri Selasih dan kerajaan Timur Laut Banyuwangi, sehingga kerajaan itu kembali bangkit dan jaya selamanya” Ujar Eyang Naga sambil menatapku. Aku baru saja menerima sebuah cahaya ungu yang ke luar dari tubuh Eyang Naga. Cahaya ungu itu adalah salah satu senjata andalan kerajaan yang selama ini disimpan oleh Eyang Naga. Konon senjata berupa bola ungu kerajaan ini terwujud dari kitab kuno, yang mengandung kekuatan untuk kesejahteraan kerajaan. Banyak raja-raja makhluk astral yang berusaha hendak memilikinya pasca kehancuran Timur Laut Banyuwangi. Mereka adalah makhluk-makhluk astral, semula mengabdi pada Nini Ratu, lalu berubah pikiran mendirikan kerajaan sendiri. Mereka menjadi penghianat. Mereka adalah musuh-musuh dalam selimut kerajaan.
“Jagalah senjata ini, Cucuku. Banyak sekali raja-raja sepanjang pantai laut Banyuwangi ini yang menginginkannya. Senjata ini milik kerajaan kita. Kerajaan Timur Laut Banyuwangi, warisan leluhur kita” Demikian pesan terakhir beliau.

Senjata berupa bola ungu itu langsung kuletakkan di puncak bubungan istana kerajaan, lalu kupagari dengan mantra-mantra warisan Nini Ratu. Makhluk lain hanya bisa melihat istana makin bercahaya. Cahaya tersebut menentramkan setiap orang yang memandangnya. Energinya akan terpancar jauh hingga perbatasan kerajaan. Wajar saja jika banyak yang menginginkannya. Pancaran karismatik kerajaan seperti magnit. Bola ungu itu selama ini terlihat buram karena banyak sekali energi negatif yang merongrongnya. Sejak kerajaan Timur Laut Banyuwangi bangkit, menurut Eyang Naga dia berubah drastis, bening kembali.

Untuk ke dua kalinya aku melompat dan berdiri di puncak karang yang dikelilingi air laut, tempat Nini Ratu berdiri terakhir. Kali ini aku sujud mencium batu sembari menahan tangis. Aroma wangi Nini Ratu masih membekas di atas batu. Kuhirup dalam-dalam. Ketika aku bangkit, aku mencoba mencari Nini di air kembali. Ingin rasanya aku masuk ke dasar laut untuk melanjutkan pencarianku. Kuawasi sekali lagi sekelilingku.
“Nini…” Batinku mendesah. Seperti mengharapkan mimpi, aku ingin mendengar jawaban beliau tiap kali ketika aku berdialog batin dengannya. Namun berkali-kali kupanggil tidak kudapatkan jawabannya. Hening. Dan aku kembali kecewa.

“Bukankah sudah diingatkan supaya jangan kau cari Nini Ratu lagi, Cucuku. Alam beliau sudah berbeda. Kita tidak bisa menemui beliau lagi” Eyang Naga mengingatkan aku dengan suara berat. Aku tahu Eyang Naga sedih. Beliau menahan tangis. Beliau sengaja menguat-nguatkan diri supaya aku tidak larut dalam kesedihan. Namun getar suaranya tidak bisa dibohongi. Beliau menyimpan perasaan sama perihnya denganku.
“Eyang, mengapa Nini tidak bisa lagi dihubungi! Kemana Nini Ratu, Eyang” Ujarku masih tidak puas.
“Beliau telah mencapai nirwana, kembali ke alam yang tidak bisa kita jangkau, Kanjeng Ratu” Lanjut Eyang Naga lagi. Mendengar tidak bisa kita jangkau lagi, aku kembali terduduk. Artinya aku memang tidak akan pernah bersua lagi. Apa ini yang dikatakan moksa?

Aku jadi ingat kata-kata Eyang Putih beberapa waktu lalu jika aku harus kuatkan diri saat kita kehilangan apa yang kita sayangi . Apakah ini maksudnya? Aku kehilangan Nini Ratu selamanya? Aku kembali panik. Baru kali ini seumur hidup aku mengalami kepanikan seperti ini. Dan batinku benar-benar risau. Aku serasa hidup sendiri dan harus menyelesaikan semua masalah Timur Laut Banyuwangi sendiri.

Gelombang laut semakin tinggi. Posisi bulan nampak sudah bergeser dari poros tengah langit. Aku sedikit terengah-engah ketika berkali-kali melompat dari karang satu ke karang lainnya. Beberapa makhluk astral di dalam batu terpental gara-gara hentakan kakiku. Sebagian besar makhluk yang marah tidak kupedulikan. Namun mereka tidak satu pun yang berani mendekat apalagi menyerang. Hanya tatapan mereka saja yang terlihat garang.

Akhirnya aku menatap bulan yang posisinya sudah mulai condong ke laut. Cahayanya masih terang benderang menimpa air laut yang bergelombang. Purnama bulat sempurna itu tak menggairahkan lagi bagiku. Ada keperihan terasa di sana. Purnama telah menjadi saksi kepergian Nini Ratu. Terbayang tiap kali purnama maka aku pasti akan merasakan keperihan seperti saat ini.
“Oh Tidak! Nini Ratu!” Aku kembali menjerit tak berdaya. Aku tidak akan merasakan perih seperti ini andai aku ditinggalkan karena kematian. Paling tidak bila ditinggal mati aku dapat melihat jasadnya. Lalu dengan ikhlas melepasnya.

Kali ini aku memilih duduk di atas puncak batu karang menghadap ke laut. Samar kudengar suara Eyang naga sesegukkan. Beliau buru-buru kembali ke pertapaannya. Ternyata beliau tidak beda denganku. Beliau juga menyimpan duka yang dalam sama sepertiku belum sepenuhnya menerima kenyataan ditinggalkan Nini Ratu.

Aku kembali menatap bulan purnama. Membaca berbagai macam misteri tentangnya. Untuk itulah aku menepati janji, menemui Nini Ratu sesuai permintaannya. Duh! Jika ini dikatakan ajal, aku tidak akan sesenewen ini. Aku teringat betapa semangat dan senangnya batinku karena akan bertemu beliau. Bahkan menjelang pertemuan itu rakyat dan para santri baik yang menetap mau pun yang datang bertamu sengaja hadir seakan-akan memberikan suport padaku. Aku sendiri tidak tahu mengapa demikian.

Menjelang tengah malam, bersama Kyai dan jamaah kami mengadakan pengajian dan zikir bersama. Suasana masjid istana ramai sekali. Apalagi seorang Kyai dari pesisir datang berkunjung bersama santri-santrinya. Mereka adalah para jamaah yang rajin bertirakat di lereng gunung Ijen. Aku bahagia melihat kemampuan mereka yang bisa menembus alam tak kasat mata, dan bisa bersosialisi di alam tak kasat mata ini baik sesama mereka mau pun pada makhluk lainnya. Saling memberi dan mengisi.
“Mohon maaf, Kanjeng Ratu. Jika kami menemui Kanjeng dalam wujud seperti ini. Hal ini kami lakukan tiada lain agar kami tidak riyak, dan tidak ada bangsa manusia yang mengatakan kami berilmu dan sakti. Kami takut dengan predikat itu Kanjeng. Sekali lagi kami mohon maaf” Kyai Aziz salah satu pengasuh pondok pesantren berbicara sopan. Matanya selalu menatap ke bawah menundukkan kepala tiap kali berbicara padaku.
“Saya pun demikian Kyai. Saya lebih nyaman berjumpa dengan Kyai dan sedulur semua dalam wujud seperti ini. Kyai sepemikiran dengan saya. Saya juga tidak ingin di alam nyata ada yang tahu siapa saya sebenarnya” Balasku sambil tersenyum. Mereka mengangguk-angguk setuju.

Pengajian dan dilanjutkan zikir tiada lain untuk mohon ke pada Sang Khalik keselamatan dan kesejahteraan kerajaan, sekaligus mendoakan aku dan Nini Ratu yang akan bersua malam ini. Kulihat Eyang Putih tubuhnya sampai bergoyang-goyang saking asyiknya berzikir. Demikian para Kyai dan santri sambil memejamkan mata.

Di Pure, Pandita dan jamaatnya pun melakukan ibadah, mendoakan Nini Ratu dan aku bersama sesepuh kerajaan yang beragama Hindu. Aktivitas di Pure kulihat sibuk sejak petang. Beberapa lelaki membuat janur yang ditata sedemikian rupa. Pure menjadi meriah seperti akan ada perayaan hari besar saja. Para perempuan membagikan canang kepada para jamaat. Mereka masuk pure satu-satu dengan tertib, lalu duduk timpuh seperti orang semedi memanjatkan doa.

Usai berzikir, selanjutnya aku pamit pada mereka. Aku memang pergi sendiri. Tidak ada yang boleh mendampingiku. Maka tepat tengah malam berangkatlah aku. Ketika kutinggalkan sebagian besar jamaah masih berdiam di masjid dan pure. Kecuali Eyang Putih, nampaknya beliau ke luar istana mencari sisi laut.

Lalu berangkatlah aku mengendarai angin langsung menuju pertapaan Nini Ratu yang tersembunyi. Sejak awal perjalanan aku sudah mencium wangi bunga. Aroma wangi bunga itu sangat menentramkan jiwa. Dengan gembira aku bergegas menuju pertapaan beliau.

Tidak ada sebersit perasaan dalam dadaku akan terjadi peristiwa seperti ini. Dan aku tidak menyangka jika pertemuan malam ini adalah pertemuan terakhir. Aku tidak tahu jika malam ini adalah malam pilihan Nini Ratu untuk mencapai tingkat paling tinggi dalam hidupnya. Andai saja aku tahu, akan kuundur saja, berlama-lama berdiam dan bermanja pada beliau di gua tapanya. Tapi ketika kutemui beliau nampak sudah menunggu kehadiranku dan seperti sedang siap-siap untuk pergi.

Akhirnya aku memilih diam. Aku tidak berusaha mencari Nini Ratu kembali. Aku mencoba menenangkan diri mencoba menerima kenyataan. Kupejamkan mata. Aku mulai membaca syalawat, al fatihah, beberapa ayat pendek, wiridan teelebih dahulu sebelum mengawali doa. Selebihnya aku mencari ketenangan lewat zikir. Kuhirup udara pelan-pelan. Kutenangkan debur yang bergemuruh di dadaku. Aku tidak bisa menahan air mata yang meleleh pelan. Terasa hangat. Aku kembali pasrah, menyerahkan segala urusan pada-Nya. Tidak ada jalan lain kecuali pasrah.

“Huu Allah..Huu Allah..Huu Allah” Air mataku semakin deras. Semakin aku khusuk pendekatan diri pada Sang Khalik, semakin bergetar jiwaku. Aku terus menuju kestabilan jiwa untuk tetap berada pada zona yang paling nyaman. Merasakan kebesaran Ilahi dari segala sisi. Termasuk juga menerima kenyataan yang tidak bisa diserap dengan akal. Pelan-pelan aku tidak merasakan lagi angin yang berhembus, ombak yang berdebur. Yang ada adalah wilayah hening yang menyerap sepenuh jiwa diiringi getar Huu Allah. Aku seperti melayang di luar angkasa. Semuanya terasa tentram dan tenang.

Entah berapa lama aku duduk diam di atas batu karang yang menonjol di laut ini. Jiwaku sudah terasa tenang. Dadaku tidak berdebar-debar seperti sebelumnya. Pelan-pelan aku membuka mata. Cahaya bulan masih seperti tadi. Lembut meneduhkan. Aku terkesima ketika melihat banyak sosok duduk diam di atas permukaan laut seperti cahaya. Mereka duduk setengah melingkar menghadap padaku. Sejenak aku bingung melihat mereka. Semula kukira cahaya bulan yang berpendar di permukaan air. Aku mulai mengamati mereka satu-satu. Masya Allah! Mereka adalah Eyang Putih bersama Kyai dan santrinya. Aku tersentak kaget. Mereka duduk di bawah, di atas permukaan laut, sementara aku duduk di atas batu yang menonjol. Aku segera mengerahkan kekuatan turun dan segera ikut duduk di atas permukaan laut.
“Terimakasih atas kehadiran Eyang, Kyai, dan para santri” Ujarku sambil merunduk. Aku tidak menyadari kapan mereka datang ke mari dan untuk apa? Bukankah ketika kutinggalkan tadi mereka masih asyik di masjid istana. Ternyata ketika aku menoleh, di darat ada juga sosok Pandita dan beberapa sesepuh kerajaan. Hanya Nyi Ratih nampak berdiri tegak di sisi pantai agak ke lembah. Tiga nenek gunung pengawal Puyang Pekik Nyaring ada bersamanya. Aku jadi heran melihat kehadiran mereka. Mengapa mereka seperti dikomando datang ke mari semua?

Akhirnya, Eyang Putih mengajak kami untuk kembali ke istana. Kami pun berduyun-duyun kembali. Dalam perjalanan aku masih diam. Peristiwa barusan seperti deretan gambar silih berganti melintas di benakku. Termasuk kehadiran Eyang Putih, Kyai, santri dan sesepuh Timur Laut Banyuwangi. Sampai di istana aku langsung menuju ruang tengah. Di sana petinggi-petinggi kerajaan sudah duduk menungguku.
“Nyi Ratih, mengapa semua berkumpul di sini?” Tanyaku sedikit heran.
“Maafkan Kanjeng, ketika Kanjeng mengamuk tadi, istana kita turut geger dan bergetar. Ada frekuensi yang langsung kontak pada kerajaan kita. Kami semua tahu jika kekuatan itu berasal dari energi Kanjeng. Makanya kami bersama-sama ke sana. Alhamdulilah, kami temui Kanjeng dalam keadaan tenang berzikir. Dan kami pun akhirnya menyebar, ikut berzikir juga bersama Kanjeng Ratu” Ujar Nyi Ratih pelan. Aku terkesima mendengar penjelasan Nyi Ratih. Mengapa kekuatan energi kekecewaanku bisa berefeks pada istana? Bukanya sebagai manusia aku memiliki nafsu, kadang marah, sedih, dan gembira. Mengapa harus berefeks dan dapat mengganggu kestabilan istana? Aku menjadi bingung.
“Semua akan berefeks jika berkaitan dengan Timur Laut Banyuwangi, Kanjeng Ratu. Karena denyut jantung kerajaan ada padamu, Kanjeng. Dalam keadaan normal tidak akan berefeks. Namun jika Kanjeng marah, kecewa pada kerajaan sedikit saja, getarnya akan sampai se antero kerajaan” Ujar Nyi Ratih. Aku kaget bukan main. Begitu kentalnya hubungan itu? Jadi demi ketentraman kerajaan aku harus selalu bergembira dan tenang menyikapi berbagai persoalan yang berkaitan dengan Timur Laut Banyuwangi? Kembali aku dibenturkan pada hal yang sulit dicerna dengan akal. Namun ketika kukembalikan pada kuasa Sang Maha Kaya, tidak ada yang tidak mungkin dalam hidup ini. Selagi bumi masih berputar pada porosnya, maka berbagai hal masih akan kita temui keajaiban atas kuasa-Nya.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *