HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (96C)

Karya RD. Kedum

Di tengah kesibukanku dan Macan Kumbang menghimpun makhluk-makhluk astral yang baru bebas, akhirnya sebagian mereka sepakat ingin kembali ke kerajaan mereka masing-masing. Sebagian lagi ingin bebas. Namun mereka yang ingin bebas kuancam akan kutarik kembali. Sebab, aku tidak ingin mereka menjadi makhluk liar yang tidak mempunyai tujuan hidup. Jika mereka ada di dalam naungan kerajaan, minimal mereka punya batasan-batasan yang harus mereka patuhi. Aku inginkan mereka punya budaya sedikit banyak akan mejadi satu bentuk peradaban bagi koloninya.

Sebagian mereka yang berniat bebas tidak bisa berkata apa-apa ketika aku berbicara. Mereka menunduk diam. Aku memang menatap mereka penuh ancaman.
“Kami tidak ingin setelah menyelamatka kalian, lalu membebaskan kalian begitu saja. Kalian tetap harus punya kehidupan, etika dan tatakrama. Oleh sebab itu kami akan memanggil pemimpin -pemimpin kerajaan kalian.

Aku berpikir keras, bagaimana kelanjutan mereka. Sebagian nampak juga karakter liarnya hendak kabur ke mana-mana. Pikirnya mungkin akan mendapatkan siksaan lagi, makanya mereka dikumpulkan. Akhirnya mereka kupagari agar tidak bisa kabur. Tatapan mereka banyak juga liar, seram, dan melotot. Tapi ada juga yang layu dan pasrah.

Demi melihat kondisi mereka, muncul juga rasa kasihanku. Aku memohon kepada Allah agar dihadirkan air yang bisa mengenyangkan mereka. Tangan kuangkat tinggi-tinggi. Lalu aku mercoba mengeruk tanah, lalu melimpahlah air membentuk sebuah kolam. Melihat air yang bening makhluk-makhluk astral beramai-ramai minum dan nyebur ke dalam kolam. Aku kembali berdoa agar air tetap melimpah untuk mereka minum dan mandir sepuasnya.
“Terimakasih, Nyai. Engkau cucu Adam yang baik sekali. Air ini menyegarkan aku. Mengenyangkan juga” Salah satu makhluk astral sujud padaku. Seluruh tubuhnya basah. Namun nampak sekali dia bahagia.
Aku mengangguk sambil tersenyum. Mereka memang sangat kalap ketika melihat air. Aku sangat memaklumi, ratusan tahun, mungkin juga ada yang ribuan tahun yang mengalami penyiksaan di penjara. Dalam hati aku ngeri membayangkan kekejaman yang dilakukan Datuk Dewo Salangik. Jika tidak kejam, mana mungkin beliau tega menghukum makhluk astral ini sampai sekian lama.

Melihat semua makhluk astral sudah mulai segar, akhirnya aku memanggil beberapa pemimpin mereka agar menjemput rakyatnya. Aku tidak peduli mereka dari golongan mana. Angin berdesir kencang. Tak lama datanglah sosok-sosok yang diundang berdiri di hadapanku. Kusampaikan, jika sebagian besar makhluk astral ini adalah rakyat mereka yang lama ditahan oleh Datuk Dewo Salangik. Sekarang sudah bebas.
Beberapa pemimpin makhluk astral langsung menghumpun rakyatnya. Mersi tatapan mereka liar, namun aku paham mereka juga mengucapkan terimakasih meski tidak semua mau mengucapkan.

Melihat rajanya, makhluk-makhluk astral ini langsung sujud di hadapan pemimpin-pemimpin mereka. Mereka berbicara dengan bahasa mereka masing-masing. Mereka mengungkapkan rasa harunya pada rajanya. Aku jadi ikut terharu melihat mereka. Ternyata ada juga perasan rindu dan hormat pada rajanya meski sebagian besar mereka berwajah buruk mengerikan. Ada yang tersedu-sedu sambil mendekap kaki rajanya, ada yang hanya terisak sambil menatap wajah pemimpinnya dengan perasaan rindu dan haru. Melihat pemandangan itu kami bertiga merasa sangat bahagia.

Terakhir, rakyat Datuk Raden Sudan Malingga yang masih tertinggal. Aku Kembali mengajak Macan Kumbang membersihkan kerajaan mereka yang sudah diubah oleh Datuk Dewo Salangik. Semua makhluk astral yang ada di sana kutarik dan kujadikan satu dengan Datuk Dewo Salangik. Untung jumlah mereka tidak terlalu banyak. Mereka tak berkutik ketika kuperlihatkan pemimpinnya dalam keadaan terikat.
“Eii..eii..eii kalian sudah di sini semua. Rupanya Anak Gadis itu menarik kalian juga. Ya sudah, mati sama-samalah kita ya” Ujarnya ringan.
“Hidup dan mati itu milik Allah, Datuk. Bukan milik kami atau milik makhluk mana pun. Kalian tidak akan mati jika Allah belum mengizinkan untuk mati” Ujar Alif.
“Minta izin ke mana kalau mati, Yuang?” Ujar Datuk Dewo Salangik menyapa Alif dengan sebutan ‘Yuang’ singkatan dari kata Buyuang sebutan untuk anak lelaki suku Minang.
“Bukan minta izin, Datuk. Tapi jika Allah belum menghendaki kita untuk mati, maka kita tidak akan mati. Allah itu yang menciptakan bumi dan langit. Meciptakan makhluk berbangsa-banga. Ada bangsa manusia sepertiku, ada juga bangsa makhluk astral seperti kalian” Lanjut Alif lagi. Tak lama aku melihat pandangan Datuk Dewo Salangit sudah berubah. Nampaknya dia tertarik dengan apa yang disampaikan Alif. Berkali-kali beliau mengatakan jika dirinya lahir dan hidup begitu saja. Tidak tahu siapa Bapaknya. Tidak pernah dia mendengar jika makhluk seperti dia Allah yang menciptakan.

Alif berbicara tetap lembut membuat Datuk aneh mulai terpengaruh. Jiwa dakwa Alif telah membuat pikiran Datuk sedikit terbuka. Cukup lama mereka berbicara. Bahkan sedikit berdebat. Banyak hal yang dijelaskan Alif untuk meyakinkan Datuk yang aneh itu.
“Ah, kalau akan membuat aku tidak bisa menggunakan keilmuanku, untuk apa? Aku tidak mau. Eh Yuang ribuan tahun aku menuntut ilmu. Aku tidak mau ilmuku lenyap. Ah, kamu becanda aja. Biarlah aku mau mati aja kalau tidak dibebaskan” Lagi-lagi Datuk Dewo Salangik berkata datar. Untuk kesekian kalinya pula Alif menjelaskan dengan lemah lembut jika setiap makhluk hidup pasti akan mati. Tanpa diminta, jika tiba waktunya mati, semua makhluk hidup akan mati.
“Kamu berbicara lembut sekali? Mengapa?” Ujarnya lagi. Kedengarannya lucu juga. Harusnya Alif yang bertanya, sosok jahat seperti dia dari tadi tidak ada bengisnya. Meski marah sekali pun tapi nadanya tetap datar, biasa saja.
Tak lama Datuk aneh bertanya siapa Allah itu. Kembali Alif menjelaskannya dengan sederhana. Tak lama Datuk Dewo Salangik terdiam. Tidak lagi nyeracau tak jelas. Aku juga tidak melihat gelagat dia akan menyerang. Anak buahnya pun mendengarkan dengan seksama. Ketika ada yang hendak protes dan bertanya langsung di stop Datuk Dewo Salangik. Mereka dilarangnya menyela pembicaraannya.

Usai berdebat sengit, berargumentasi ke sana ke mari, tak lama dia mengatakan ingin menyembah Allah bersama rakyatnya. Bagaimana caranya? Apakah mereka harus melakukan tapa? Mendengar itu aku memikirkan air mata haru. Akhirnya Alif menjelaskan untuk menyembah Allah tidak perlu melakukan tapa seperti hendak mencari ilmu. Tapi cukup dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Akhirnya Alif membantunya bersyahadat. Bulu kudukku merinding ketika Datuk Dewo Salangik dan pengikutnya terbata-bata mengucapkan dua kalimat syahadat, dilanjutkan artinya, lalu bersyalawat.
Cahaya putih menanungi sosok-sosok mereka. Energi positif langsung terserah memenuhi area. Aroma kembang harum mewangi, seakan-akan bau malaikat yang ikut bergembira.

“Aiii…mengapa aku jadi berubah bersih putih seperti ini?” Ujar Datuk Dewo Salangik menyadari ada perubahan pada fisiknya. Memang nampak dirinya tidak seperti tadi. Tubuhnya menjadi bercahaya. Berkali-kali dia mengamati kulit tangan, dan kakinya. Sayang, makhluk ini tidak paham dengan kaca, kalau saja dia berkaca, dia akan menemukan wajah kurusnya tidak kumal seperti sebelumnya. Aku menarik nafas panjang. Setidaknya kondisinya telah membuat Datuk dan pengikutnya yakin akan kebesaran Allah.

Dari sekian banyak aku bersua dengan makhluk astral selalu saja makhluk yang berilmu tinggi, jika dianjurkan kebaikan lebih mudah menerimanya. Mereka yang cerdas lebih mudah menerima kebenaran dibandingkan mereka yang hanya punya kemampuan setengah-setengah.
“Alhamdulilah” Aku mengucapkan syukur berbarengan dengan Alif. Sementara Macan Kumbang masih fokus membantu mengembalikan rakyat kerajaan tebing Bukit Barisan, rakyat Datuk Raden Sudan Malinga.

Selanjutnya kulihat Alif masih mengajarkan berbagai macam hal yang ringan-ringan pada Datuk dan Dewo Salangik dan rakyatnya . Alif mengajarkan bagaimana menyapa sesama muslim ketika bersua. Kewajiban apa yang harus dilakukan sebagai muslim dan lain sebagainya.
“Jika Datuk hendak belajar, bisa belajar ke gunung Dempu. Akan aku antarkan ke sana. Di sana Datuk bisa belajar agama bersama para mualaf yang lain” Ujarku. Ternyata tawaranku disambutnya dengan antusias. Datuk ingin pergi ke sana sekarang juga.
“Eiiit…bagaimana dengan tubuhku yang masih terikat ini? Kanciaaaang! Lepaskan dulu Anak Gadis” Datuk Dewo Salangik kembali nyeracau sambil menatapku. Aku kaget! Aku memang lupa melepaskan ikatan yang dilakukan Macan Kumbang dan membuka totoknya. Sambil senyum-senyum sendiri aku berusaha melepaskan ikatan dan totokannya. Setelah lepas Datuk Dewo Salangik langsung berdiri lalu ngulet persis orang bangun tidur.
“Uuuhhhhaaaaa pegel juga aku dibuatnya. Ayo Anak Gadis, antar aku dan anak buahku sekarang juga” Ujarnya mulai tidak sabar.

Aku mengangkat tanganku ke dada, lalu kupanggil Paman Raksasa. Tak lama hembusan angin mulai semilir manandakan beliau datang. Benar saja, tidak perlu menunggu lama, Paman Raksasa sudah ada di hadapan kami.
“Assalamualaikum Putri Selasih, apa kabar anakku. Rindu rasanya sudah lama tidak berjumpa. Ada apa memanggilku jauh-jauh, Selasih” Paman Raksasa berdiri di hadapanku sambil menunduk. Kami serentak menjawab salamnya.
“Alhamdulilah, Paman. Aku sehat-sehat saja. Mohon bantuan Paman untuk membawa Datuk Dewo Salangik dan rakyatnya ke gunung Dempu. Mereka hendak belajar, untuk berguru agama bersama syech dan ustad di sana” Ujarku. Paman Raksasa tertawa bahagia dan langsung menyapa Datuk Dewo Salangik dan rakyatnya. Tak lama, Paman Raksasa mohon diri membawa Datuk Dewo Salangik berangakat menuju gunung Dempo.
“Sampai jumpa Datuk. Semoga Datuk betah” Lanjutku. Bersamaan dengan hal itu, Macan Kumbang selesai mengembalikan rakyat Datuk Raden Sudan Malinga menduduki kembali kerajaannya. Mereka bahagia sekali seperti mendapat kehidupan baru. Macan Kumbang membantu mereka sambil meminta salah satu yang sudah sepuh di antara mereka untuk menjadi pemimpin sementara.
“Hidup layaklah kalian, benahi kembali kerajaan kalian yang sudah lama tidak kalian miliki. Aku sudah membantu membersihkan kerajaan Tebing Bukit Barisan ini. Untuk hal lain, silakan dilanjutkan” Ujar Macan Kumbang.

Karena memang mereka berasal dari kerajaan yang maju, berbudaya tinggi, tidak sulit untuk mengatur dan menyesuaikan diri. Mereka dengan cepat berbenah meski perasaan masih diliputi rasa haru. Sekilas Macan Kumbang menceritakan tentang dimana kini raja mereka Datuk Raden Sudan Malingga dan Raden Asmaga Garung. Dalam suasana haru tak sedikit mereka yang menangis dan meratapi nasib mereka. Sebagian ada yang mengelus-ngelus prasasti lambang kerajaan mereka sambil tetap menangis.

Tiba-tiba, langit berubah gelap. Tak lama suara gemuruh petir seakan memecahkan gendang telinga. Kilatannya menyambar tak henti ke mana-mana .
“Kanjeng, ada apa ini?” Alif berteriak kaget. Aku dan Macan Kumbang masih menunggu apa yang akan terjadi. Tak lama awan hitam yang bergumpal seakan meluncur ke arah kami. Dalam keadaan kaget, aku segera siap-siap untuk menahan gumpalan awan jika hendak menyerang kami. Kutunggu gumpalan itu mendekat. Perkiraanku dalam hitungan detik maka akan terjadi benturan dasyat. Dalam keadaaan genting itu aku sedikit cemas karena sudah bisa dipastikan jika terjadi benturan, Alif tidak bisa menghindar. Dia pasti akan kena radiasi dasyatnya. Yang kukhawatirkan dia pasti akan terluka. Sementara aku mengumpulkan kekuatan untuk melawannya. Macan Kumbang pun nampak sangat siap menyambut serangan itu.

Baru hitungan detik, tiba-tiba gumpalan awan hitam itu semakin lama bergerak semakin pelan. Lalu berubah seperti wujud sosok besar tinggi. Aku menahan diri untuk tidak mengeluarkan serangan. Apalagi melihat sosok itu wajahnya terlihat tersenyum. Hanya wajah! Aku terpukau melihatnya. Gumpalan awan hitam membentuk kepala, tubuh dan kakinya tidak jelas. Tapi di kepalanya bertengger mahkota. Meski aku tidak bisa melihat warna sosok itu dengan jelas kecuali awan hitam, namun aku merasakan karismatiknya. Wajah itu sangat wibawa menurutku. Matanya tajam, rahangnya pun sangat tegas. Di atas bibirnya bertengger kumis tipis melintang, menandakan sikap tegas seorang pemimpin
Jika dicermati tampilannya, beliau seorang raja.
“Om suwastiastu. Salam kenal Ratu Timur Laut Banyuwangi. Senang bisa berjumpa denganmu. Angin bukit Barisan telah mengundangku untuk menemuimu. Aroma kembang yang harum, sampai pula ke istanaku. Kenalkan nama saya Hyang Sanda warmana dari huluan Batanghari” Sapanya ramah dengan tangan mengatup di dada. Aku membalas salamnya. Dalam hati aku bertanya-tanya ada apa beliau payah-payah menemuiku? Bukankah beliau seorang raja meskipun baru kali ini aku mendengar namanya. Nama yang masih berbau hindu. Aku tidak pernah tahu dimana hulu Batanghari. Sungai yang membelah kota Jambi itu.
“Oh! Terimakasih, salam kenal kembali, Baginda. Kenalkan nama saya Putri Selasih, dan ini saudara saya Macan Kumbang dan Alif” Ujarku sedikit membungkuk memberi hormat. Sosok setiap gumpalan awan itu nampak tersenyum. Aku tidak berani bertanya mengapa hanya sosok bayangan di gumpalan awan saja yang hadir di sini? Mengapa bukan sosok aslinya. Ilmu beliau pasti luar biasa. Pengalaman malam ini benar-benar membuatku kagum. Bersua dengan sosok-sosok sakti yang memiliki ilmu aneh-aneh dan sulit diprediksi.
“Saya menemuimu untuk mengucapkan terimakasih, karena telah menyelamatkan anak cucuku, rakyat kerajaan Lereng Tebing Bukit Barisan. Raden Sudan Malingga, salah satu keturunanku. Selama ini, kami tidak mampu mengalahkan Datuk dari kerajaan Barereh itu. Beliau sakti dan licik. Ratusan bahkan ribuan tahun dia menguasai kerajaan Malingga. Mengubah budaya dan tradisinya menjadi liar. Sekali lagi saya haturkan terimakasih Putri dari tanah Besemah. Sampaikan salamku pada leluhur kalian. Saya izin pamit. Sampai jumpa. Om Suwastiastu”
Tiba-tiba gumpalan awan hitam yang menyerupai sosok raja itu kembali berputar balik arah. Aku merunduk memberi hormat dan melambaikan tangan.

Suasana perbukitan kembali hening. Angin yang bertiup semilir, mengubah suasana seperti tidak terjadi apa-apa. Kami bertiga saling pandang. Aku bersyukur di antara kami tidak ada yang terluka. Wajah Alif nampak lebih berseri dari biasanya. Mungkin karena merasa dapat pengalaman yang tidak dia dapatkan sebelumnya. Perjalanan kami memang sangat padat dengam peristiwa. Ada saja hal-hal yang membuat kami harus turun tangan membantu. Jika tengah berhadapan seperti ini, kerap kali aku lupa jika aku tengah berada di alam lain. Kadang di alam tak kasat mata lebih nyaman dibandingkan di alam nyata yang hiruk-pikuk.

“Mari kita segera pulang Selasih. Fajar sudah menyingsing. Sebentar lagi waktu subuh tiba” Ujar Macan Kumbang. Aku sepakat ingin segera pulang. Bagaimana pun sebentar lagi aktivitas dua kehidupan akan berubah. Aku akan kembali ke lama nyata, sementara di alam lain gantian aktvitas makhluk astral. Aku segera memanggil angin. Tak lama, kami meluncur cepat melintasi gunung, bukit, hutan, sungai, dan lembah. Samar-samar terdengar semesta bertasbih seiring fajar yang mulai mengintip di ufuk timur, menggambarkan waktu untuk kembali terserah pada sang Maha Khalik, yang telah memberi cahaya kehidupan.

Suara mengaji dari toah-toah masjid serupa lampu sorot yang mengarah ke langit. Semesta tampak terang benderang. Usai mengantar Alif ke rumahnya, aku dan Macan Kumbang bergegas pulang ke rumahku. Setelah duduk di kamar, baru terasa jika aku sangat lelah. Suara percikkan air wudu mengajakku untuk membuka pintu kamar menuju kamar mandi. Macan Kumbang kulihat sudah duduk timpuh di belakang Bapak yang sedang menunggu azan. Aku senyum-senyum sendiri. Pasalnya Bapak tidak melihat jika ada sosok yang ikut solat bersamanya.

“Allahu Akbar!” Suara berat Bapak takbir di pagi yang masih basah, terasa menyejukkan. Alam terasa sangat damai. Kusibak air yang mengucur lewat kran, sejuk meresap seluruh tubuh. Di dalam benak, kejadian semalam penuh masih sangat lekat. Aku serasa usai melakukan perjalanan jauh dan lama. Berbagai peristiwa tadi malam benar-benar memberi warna baru bagiku. Aku bergegas masuk kamar lalu memakai mukena. Hanya dengan cara ini aku kembali pasrah dan terasa sangat dekat untuk menyelesaikan segala masalah. “Allahu Akbar” Aku larut dalam doa.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *