HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (97A)

Karya RD. Kedum

Sambil melempar biasan, pancing bambu buatan Bapak, aku menatap ke tengah Paok Betelogh. Paok Betelogh salah satu kolam ikan buatan Puyang yang diwariskan pada anak cucunya sekampung. Di seberang paok, terdengar suara mang Hom memanggil Jansri dan Piok anaknya untuk mengumpulkan kopi yang terhampar di halaman pondoknya yang lantang. Matahari memang sudah condong ke Barat. Halaman tempat menjemur kopi sudah teduh terhalang pohon petai cina yang menaungi kebun.
Meski jarak tempatku duduk dihalangi paok yang cukup lebar bahkan agak jauh, namun suara lantang mang Hom dan dua anaknya terdengar jelas.

Saudara sepupu Ibu yang satu itu kata Bapak agak aneh. Kalau musim kopi, hasil panen banyak dipakainya untuk foya-foya. Wariak, tukang sayur yang datang dari Pagaralam, kerap dicegatnya untuk membeli segala macam yang dijual. Bukan hanya membeli sayur-mayur, tempe tahu. Tapi yang dibeli utamanya adalah makanan kecil, berupa kue jajanan pasar. Lalu tidak lupa memesan minuman bergas, seperti sugus, sprit, coca-cola, dan sirup rasa jeruk yang sering disebut orson. Memesan kerupuk berkampil-kampil (bungkus). Semua barang pesanannya beliau bayar dengan biji kopi. Barteran yang banyak merugikan petani. Sebab jika harga kopi di Pagaralam perkilonya lima ribu rupiah, maka mang Wariak akan menghargainya paling mahal dua ribu lima ratus, atau paling banter tiga ribu.

Barteran seperti itu tidak disukai Bapak. Maksud Bapak, hasil panen dapatnya hanya setahun sekali. Maka berhematlah sampai panen tahun depan. Berbelanja seperlunya, jajan ada waktunya. Tapi nasehat Bapak tidak digubrisnya. Tiap kali diingatkan, maka Mang Hom akan menjauhi Bapak, menunjukkan ketidaksukaannya. Bahkan, demi menghindari bertemu Bapak, Mang Hom rela berjalan membungkuk-bungkuk melintas di tengah kebun kopi Bapak. Padahal jalan ke luar menuju jarau, harus melalui sisi pondok Bapak dan pondok kakek Haji Yasir.

“Cepatlah sedikit kerja itu, Jan. Lelaki kok tenaga mirip perempuan” Mang Hom memarahi anak sulungnya.

Aku hanya melihat Jansri dan Piok terbungkuk-bungkuk mengumpulkan buah kopi yang terhampar. Dua remaja kecil itu kembali sekuat tenaga mengumpulkannya ke tengah halaman.

Aku bersyukur hari ini nampak cerah. Langit biru berpoles putih, mulus, dan awan terlihat lebih cantik. Sebagian lagi ada yang bergerigi serupa gigi raksasa yang tergantung.

Beberapa kalong besar sudah mulai terbang ke hulu. Meski menurutku kehadiran mereka terlalu cepat. Biasanya mereka akan terbang beramai-ramai dengan kepakan sayapnya yang lebar setelah sudah dekat waktu maghrib. Kepaksa sayap mereka persis seperti penari Gending Sriwijaya ketika mengembangkan tangan.

Anak burung pipit yang bersarang di ujung-ujung daun bambu kering, mencacap memanggil-manggil ibunya. Suara rincah mereka, menandakan mereka tengah disuap sang induk. Mereka tengah makan malam, batinku. Terbayang bagaimana sang anak mengepakkan bakal sayapnya yang berbulu satu-satu. Lalu membuka lebar paruhnya dengan leher memanjang. Sang induk dibantu pejantan akan menyuapi anaknya satu-satu, bolak-balik hingga si anak kenyang. Burung pipit itu mengajarkan tentang cinta kasih seorang ibu dan ayah. Kasih sayang ibu dan ayah memang luar biasa.

Aku memilih duduk di atas pematang, persis di sisi rumpun bambu. Sengaja memilih tempat yang teduh. Sebab sinar matahari masih lurus memancar ke arahku. Rasanya panas dan perih dikulit. Sementara angin yang berhembus terasa dingin. Dua perpaduan seperti langit dan bumi.

Sambil memegang biasan, aku masih asyik melihat aktivitas Jansri dan Piok. Tiba-tiba mata pancingku bergerak-gerak. Aku mengalihkan perhatian ke ujung pancing. Benar, tali pancingku bergerak-gerak ke sana ke mari. Aku langsung berdiri. Pancing sedikit kutarik. Tak lama aku melihat seekor ikan meronta-ronta hendak melepaskan diri. Ikan emas! Aku menjerit girang. Ikan yang kuperoleh lumayan besar. Tubuhnya selebar telapak tangan orang dewasa. Aku segera melepasnya dari kail yang menancap di mulutnya. Aku kembali memasang cacing ke kail, lalu melemparnya kembali ke tengah Paok. Dalam hati, dapat satu ekor lagi sebesar ini, sudah lebih dari cukup. Aku akan pulang dengan gembira.

Aku memang sengaja memancing ikan petang ini. Diperjalanan dari Bengkulu ke Seberang Endikat kemarin, aku sudah berangan-angan hendak memancing di tebat Puyang yang bersisihan dengan kebun Bapak ini. Di belakang tempatku duduk, terdapat parit kecil yang dalam, berair cukup deras. Suara air pancuran bambu yang jatuh menimpa batu terdengar sedikit santer. Sebentar lagi, kakek Haji Yasin pasti akan ke pancuran membersihkan diri, lalu wudu menunggu waktu magrib.

Kali ini aku memancing sendiri. Macan Kumbang telah pulang ke huluan. Katanya malam esok mau ke Gunung Bungkuk menemui Putri Bulan. Calon pengantin baru itu harusnya dipingit, tidak terlalu banyak aktivitas lagi. Tapi Macan Kumbang tidak mengindahkan hal itu. Dia justru mengatakan itu adat lama, yang berlaku hanya untuk orang lama. Tapi terakhir dia jelaskan, masa pingitan itu nanti, setelah dua pekan menjelang pernikahan, ketika sanak keluarga sudah mulai kumpul dan mempersiapkan berbagai macam untuk nikahan. Pingitan itu maksudnya calon pengantin tidak berjumpa dua pekan lamanya. Mengapa harus dipingit? Rupanya agar ketika menikah, lalu berjumpa, hati mereka dipenuhi bunga rindu. Sehingga benarlah kata orang momen bahagia itu akan membuat mereka merasa dunia hanya milik mereka.

“Assalamu’alaikum Putri Selasih”

Aku mencari-cari sumber suara sambil menjawab salamnya. Suara itu kecil dan merdu. Tidak terlihat siapa-siapa. Aku duduk sendiri di sini. Tapi suara itu terasa sangat dekat. Di seberang sana ada Jansri dan Piok tengah menutup gundukan kopi seperti gunung kecil. Mereka tidak bersuara.

“Ini aku. Aku di sini! Lupa ya?”

Aku memandang ke atas ranting bambu yang menjuntai ke air.

Masya Allah, ular kecil yang pernah kuselamatkan dulu. Ular, putri seorang raja yang tinggal di mata air Tebat Betelogh ini.

“Sejak tadi aku mencium aromamu. Mencium aroma manusia damai” Ujarnya lagi.

Aku menarik nafas lega karena ada teman ngobrol di sini. Jadi teringat ketika mancing bersama Kakek Haji Majani. Ular kecil ini membantu kami berdua. Kami mendapat ikan lumaian banyak, membuat kakek Haji Majani bahagia sekali saat itu. Roman-romannya petang ini aku akan mendapatkan hal yang sama.

Ternyata dugaanku benar, belum beberapa menit kami ngobrol, kail pancingku selalu dimakan ikan. Ikan-ikan yang kuperoleh kukarang dengan rumput sehingga mirip rambut panjang dara yang dikepang.

“Sudah, sudah cukup, sudah Putri cantik. Kurasa sudah cukup ikan ini untuk makan malam petang ini. Terimakasih sudah membantuku” Ujarku bahagia.

“Ah, kamu selalu merendah Putri Selasih. Padahal kamu bisa mendapatkan lebih dari itu jika kamu mau. Makanya aku kagum dengamu, cucu Nenek Kam. Kamu tidak tamak, tidak pula ‘mentang-mentang’ berilmu lalu selalu mencari jalan mudah.” Ular kecil memujiku. Pandai sekali dia mengambil hati, membuat suasana akrab layaknya seorang sahabat karib lama tidak bertemu.

“Kau tahu, Selasih. Ikan-ikan ini sering aku sembunyikan” Bisiknya.

Aku menatapnya ingin tahu apa sebabnya.

“Apalagi kalau Pamanmu itu yang mancing. Pernah dia marah-marah karena ikan banyak tapi tidak satu pun dia dapatkan. Pancingnya dia patahkan. Dia pasang bubu, aku masukan dua ekor tawes, dan satu ikan betok” Ujar ular cantik kembali sambil tertawa kecil.

Aku ikut tertawa membayangkan kelucuan itu. Tapi apa pasal ular cantik ini melakukan hal itu?

“Aku tidak suka dengan pamanmu itu. Dia suka buang sampah sembarangan ke arah paok, suka kencing di pinggir paok tanpa cuci. Tidak sopan” Gerutunya.

Aku menatapnya dengan kerut di kening. Di seberang itu ada dua orang Pamanku. Mang Hom dan Mang Sukan. Lalu dekat pondok juga ada Saudara Bapak, Mang Fajar namanya.

Ketika kutanya Paman yang mana, Putri Ular menyebut nama Mang Hom.

Aku menepuk jidat. Untung Bapak ibunya ular tidak turun tangan. Bisa-bisa dipelintirnya itu kemaluan Mang Hom. Aku senyum-senyum sendiri dengan pikiran ngeresku.

Terakhir kusampaikan maafkanlah Mang Hom karena ketidakpahamannya. Kecuali dia buang air besar di paok, akan jadi masalah besar itu. Semua penghuni dan penjaga Paok Betelugh pasti rame -rame protes pasa Mang Hom. Alamat mang Hom akan sakit, tersiksa, dan mati.

Matahari makin condong ke barat. Burung kecil taktaraw sudah bernyanyi, pertanda hari sudah petang. Usai ngobrol dan tertawa-tawa pada Putri Ular Tebat Betelogh, aku pamit pulang. Kami berpisah di pematang. Aku memilih cuci tangan dan kaki di pancuran terlebih dahulu, baru menenteng pulang rangkaian ikan.

Di jalan aku bertemu kakek hendak ke pancuran. Melihat aku menenteng rangkaian ikan besar-besar dan banyak, kakek kaget.

“Masya Allah, pandai sekali kau mancing, Cung? Bapakmu saja yang pintar mancing tidak pernah dapat sebanyak ini” Mata kakek Haji Yasir sedikit terbelalak.

Aku tersenyum sambil berkata, Ibu akan masak ikan ini untuk Kakek.

Sampai di pondok ibu dan Bapak juga kaget melihat hasil memancingku. Tidak sampai satu jam telah mendapatkan ikan sebanyak itu. Ibu keheranan lalu segera menyianginya.

“Pakai jampi-jampi apa, Dek? Pikat sema?” Bapak menggodaku.

Aku tertawa mendengar nama salah satu mantra kuno nenek moyangku jika hendak memancing ikan di sungai Endikat.

Konon di sungai yang deras itu banyak ikan sema dan ikan tilan. Karena sungai-sungai besar dan deras banyak melintas di sekitaran bukit Barisan dan gunung Dempo, lalu di sungai-sungai itu banyak ikan semanya, maka jadilah mereka yang berdiam di tanah Pagaralam dan sepanjang sungai-sungai itu dengan sebutan Besemah dari kata “be” memiliki atau ada. Sedangkan semah nama ikan, hingga menjadi nama suku. Suku Besemah.
Lalu mengapa nama kota kecil di kaki gunung Dempo itu Pagaralam? Karena kota kecil itu mirip seperti kuali, dikelilingi bukit-bukit jajaran Bukit Barisan. Bukit-bukit itu serupa pagar, kerap dijadikan tempat persembunyian para pejuang ketika merebut kemerdekaan. Makanya sampai kini, kota Pagaralam selain disebut Kota Embun, Kota Bunga, Lembah Dempo, juga disebut Kota Perjuangan.

Menjelang magrib, dari jauh aku sudah tahu langkah halus Nenek Kam. Beliau datang menunggang Macan Kumbang.

Ketika nenek Kam naik tangga dan masuk, Ibu kaget. Seperti biasa pasti ramai suara ibu.

“Aiii, bikin kaget saja Nenek Kam. Tiba-tiba langsung masuk pondok saja. Kenapa tidak memanggil dulu dari bawah, atau teriak dari jarau” Ibu langsung berdiri.

Nenek Kam hanya terkekek sambil menggantungkan kampek purunnya di tiang pondok.

Aku senyum-senyum sendiri. Sebelumnya aku sudah menemui Nenek Kam diam-diam tanpa diketahui Ibu.

“Katanya bidapan. Itu nampak segar bugar. Masih bisa berjalan ke mari. Padahal jauh” Kata ibu masih sedikit ketus. Bidapan itu artinya gering, atau demam.

“Mengapa meski susah untuk sekadar datang ke mari. Kan ada Macan Kumbang siap menggendong dan membawaku kemana saja” Ujar Nenek Kam datar.

Mendengar nama Macan Kumbang, ibu terjerit. Melompat dari garang masuk ke dapur. Suasana jadi makin heboh.

“Jangan nakuti-nakuti aku, Nek!” Ibu berdiri dengan tangan masih memegang pisau dan kotor lendir ikan.

Aku terpingkal-pingkal melihat ekspresi ibu. Bapak juga ikut tertawa. Tingkah Ibu persis seperti anak kecil ngambek ketika ditakut-takuti. Akhirnya pekerjaan ibu kuambil alih. Sementara Ibu masih ngomel-ngomel sambil mengupas bawang, mengiris cabai, cung, lengkuas, kunyit, dan serai. Ikan perolehan mancing petang ini akan dimasak pindang.

“Untung anaknya tidak seperti ibunya. Kalau seperti ibunya, hmmm… kulempar kau ke sungai Endikat” Ujar Macan Kumbang menungguiku menyiangi ikan.

Aku tersenyum mendengar candaannya.

Rupanya ibu memperhatikan aku. Matanya melirik-lirik ingin marah. Aku tahu, beliau mencurigai aku berbicara dengan makhluk astral seperti Macan Kumbang atau A Fung.

Aku pura-pura tidak melihat lalu diam. Kalau diteruskan, alamat masak pindang ikan petang ini tidak jadi.

“Daun salam kita habis. Aku enggan ke bawah memetiknya” nada ibu masih tidak suka. Entah beliau arahkan pada siapa teriakannya. Padaku atau pada Bapak. Nampaknya tidak ada yang memperhatikan dengan serius.

“Ini daun salamnya” Belum berselang semenit, Macan Kumbang memberikan beberapa tangkai daun salam.

Aku langsung memberikannya pada ibu. Mata ibu kembali terbelalak.

“Kok cepat sekali? Pohon salam kan tinggi. Lagian harus turun pondok dulu baru bisa mengambilnya” Ujarnya.

“Ibu, yang penting, daun salamnya sudah ada. Jangan curiga melulu” Ujarku lembut.

“Bukan curiga! Tapi takut!” Ibu membentakku.

Aku buru-buru lari menyelesaikan mencuci ikan.

Bapak dan Nenek Kam duduk di ruang tengah. Mereka masih asyik bercerita, tidak peduli dengan suara bentakan ibu seperti di sulut api.

Malam ini alamat akan pergi jika nenek Kam sudah datang. Beliau entah akan mengajakku ke mana. Padahal seminggu lagi aku akan berangkat ke Pekanbaru untuk daftar ulang. Semoga malam ini sekadar jalan-jalan, mencari ghukam, atau mucung kemiling di hutan. Aku capek berantem melulu. Sesekali ingin santai menikmati perjalanan malam di dunia tak kasat mata. Atau main ke gunung Dempu berjumpa sesepuh-sesepuhku.

Seperti biasa, menjelang solat isya, usai makan malam semua masih asyik bercengkrama. Banyak hal dibicarakan oleh para orang tua ini kalau sudah berkumpul. Termasuk membahas ikan-ikan hasil macing petang tadi.

“Besok Bapak mau mancing lagi, Dek. Kalau dapat banyak kita buat ikan masak banghi ya, Bu” Ujar Bapak semangat.

Kulihat respon ibu baik. Ibu mengangguk setuju.

“Eh, kenapa kita tidak mancing malam ini saja? Habis solat isya, kita mancing. Mau kan Dek?” Bapak bertanya.

Ibu langsung protes, alasannya anak gadis kok diajak mancing malam-malam.

Aku hanya menahan tawa melihat keduanya berdebat. Apalagi ketika Bapak bilang, ibu saja yang tidak tahu jika aku kerap kelayapan ke hutan malam hari. Bahkan sampai ke gunung Dempu. Kalau tidak diajak mancing, malam ini pasti dibawa pergi sama Nenek Kam.

Mendengar itu Ibu terdiam tak bisa berkata-kata lagi. Suara tawa Bapak menghiasi tingkap malam yang mulai gelap. Suara desir angin menyentuh daun pisang lalu bergesekan dengan seng atap pondok, kadang mirip biola dengan nada agak kacau.

Aku bergabung duduk dekat Bapak dan Kakek yang sedang ngobrol, menyelipkan kaki ke bawah kaki Kakek Haji Yasir yang duduk bersila. Berharap hangat tubuh kakek sedikit berpindah padaku. Udara perbukitan Seberang Endikat ini memang terasa sangat dingin. Apalagi kata kakek sekarang sudah masuk musim kemarau. Masih petang saja halimun sudah turun. Membuat cuaca semakin dingin.

Suara satwa malam mulai ramai. Kadang hening, kadang kembali riuh seperti lomba paduan suara. Suara-suara alam yang kerap kali menyadarkanku betapa bumi ini selalu diisi kehidupan.

Kata kakek Haji Yasir, setiap makhluk hidup, sekecil apa pun dia, maka ia akan melakukan ibadah setiap waktu, yaitu bertasbih. Suara jangkrik, desir angin, kodok, burung malam, dan lain-lain tak henti bertasbih. Apa yang disampaikan kakek Haji Yasir sama persis seperti disampaikan Puyang Bukit Selepah dan Puyang Pekik Nyaring.

Malam makin larut. Aku, Nenek Kam, dan Ibu sudah memasang posisi untuk tidur. Tiba-tiba Nenek Kam berbicara memakai bahasa Nenek Gunung padaku. Intinya Nenek Kam mengajak aku pergi. Aku hanya mengangguk kecil dan menyentuh lengannya tanda setuju. Ibu yang baru mau baring di sebelahku di remang cahaya lampu cubok yang berkedip pelan, ikut menyimak dan menatap pada Nenek Kam.

“Nenek ngomong apa? Bicara dengan siapa?” Tanya Ibu agak menjalar ke Nenek Kam.

“Aiii..Luhai, Luhai. Seperti tidak kenal aku saja. Ngobrol dengan kawankulah” Ujar Nenek Kam.

Mendengar kata ngobrol dengan kawanku, Ibu langsung melompat di antara aku dan Nenek Kam. Akhirnya aku segera pindah menggantikan posisinya. Aku mengaduh karena ditimpa tubuh ibu. Ibu langsung masuk dalam selimut dan meringkuk. Kupeluk Ibu sambil tertawa. Sebisa mungkin aku menahan perasaan lucu melihat Ibu.

“Tidak ada siapa-siapa di sini, Ibu. Nenek cuma bergumam. Makanya Ibu jangan penakut biar tidak curiga melulu sama Nenek” Ujarku sambil menarik selimut ibu untuk melihat wajahnya.

Kudengar ibu menarik nafas lega. Aku tidak bisa berkata-kata. Ibuku sejak dulu selalu merasa takut kalau bicara tentang hal mistis, atau bicara tentang nenek gunung. Padahal Ibu sejak kecil dikitari oleh orang-orang ‘manusia damai’. Bukan hanya nenek Kam. Tapi ada Nenek Bakek, lalu ibu mertuanya Nenek Pagarjaya.

Tidak berapa lama, suasana hening. Nenek Kam seperti orang terlelap. Ibu juga sudah mulai lelap. Nafasnya turun naik dengam teratur. Bapak juga terdengar di ruang sebelah, ngoroknya santer sekali.

Di sela-sela dinding aku masih melihat gerakan bayangan tertimpa cahaya lampu minyak yang bergoyang. Kakek Haji Yasir nampak masih berzikir duduk di atas sajadah. Aku sendiri belum bisa tidur. Sambil menghadap dinding, meringkuk menahan dingin.

Entah jam berapa nenek Kam akan mengajak aku pergi. Pikiranku justru berjalan ke mana-mana. Kadang ke Timur Laut Banyuwangi, ke gunung Selamet, kadang gunung Dieng, kadang ke Merapi Kerinci, kadang ke gunung Bungkuk, kadang ke Sebakas, kadang juga ke Bukit Selepah dan Bukit Patah. Banyak sekali tempat-tempat yang berkesan. Lalu melintas juga Alif yang tengah digembleng Eyang Kuda.

Kata Bapak besok akan ada mesin penggilingan kopi keliling datang untuk menggiling kopi Bapak yang sudah kering. Kalau jumlah sedikit, biasanya menggiling sendiri pakai kilangang. Kilangan itu mesin tradisional terbuat dari papan dan kayu, yang dibuat sedemikian rupa. Bagian penggilas kayu berigi dari pelat atau besi yang berfungsi mengupas kulit kopi. Penggilas ini dibuat lurus dengan lingkaran seperti roda pedati sebagai pemberat, lalu bagian luar ada semacam engkol untuk diputar. Biasanya bapaklah yang memutar engkol kilangan itu. Selanjutnya ibu yang menampi memisahkan biji kopi dengan kulitnya. Tapi karena kopi yang akan ditumbuk lumayan banyak, maka digunakan mesin yang digerakkan mesin berbahan bakar solar. Untung ada penggilingan keliling. Kalau tidak buah kopi kering ini harus dibawa ke mesin penggilingan. Tempatnya cukup jauh, badan jalan rusak parah, mobil pengangkutnya pun tidak lancar. Meski biaya penggilingan keliling cukup mahal, akhirnya Bapak memilih mesin giling keliling.

Tadi siang, ibu sudah mengambil daun pisang kepok, dan membeli kelapa bulat yang masih agak muda di beberapa kebun milik Wak Nasir. Rencananya ibu akan membuat kelicuk, panganan kecil yang terbuat dari pisang kapas yang sudah sangat matang, dicampur dengan kelapa parut, beras pulut, gula pasir dan garam secukupnya. Lalu dibungkus dengan daun, terakhir dikukus. Kelicuk itu makanan kecil kesukaan kakek Haji Yasir. Apalagi disuguhkan dengan kopi hangat. Kata kakek Haji Yasir ketika makan kelicuk, pasti ia teringat ketika beliau menjadi ‘riye’ gotong-royong membuka jalan bersama penduduk Seberang Endikat dari simpang Bandar, sampai ke dusun Tebat Langsat. Hampir setiap hari masyarakat dusun bergantian mengantarkan makanan ringan. Salah satunya kelicuk.

“Taaak bekelicuk gemuk manis, bekupi secangkir. Ude, padagh asenye peghut. Ghadu haus” Itu kode keras Kakek Haji Yasir ketika minta dibuatkan kelicuk makanan kesukaannya, dengan membayangkan makan kecil manis gurihnya, ditambah dengan secangkir kopi hangat. Kata kakek perut pasti semakin nyaman. Kalau sudah seperti itu, biasanya ibu akan segera membuatnya. Oleh sebab itu, tiap kali ada penduduk yang panen, Ibu akan memesan untuk membeli padi pulutnya. Baik beras pulut yang putih mau pun padi beram atau pulut hitam.

“Bangun Dek!” Nenek Kam mencolek punggungku.

Aku langsung berbalik. Rupanya Nenek Kam sudah membuat penghuni pondok lelap. Meski kami bergerak ke sana kemari, Bapak, Ibu dan Kakek tidak akan terbangun.

Aku segera bangkit sambil merapikan selimut ibu. Macan Kumbang sudah menunggu di luar.

“Nek, siapa yang tinggal?” Tanyaku. Maksudku apakah perlu aku memecah diri, atau pergi bersama fisikku.

Nenek Kam hanya mengayunkan tangan agar aku segera ikut dengannya, dengan fisikku sekalian. Kalau sudah seperti ini, aku seperti bukan melihat Nenek Kam lagi. Perempuan yang dalam kesehariannya ringkih, bergerak lamban, dan terlihat sepuh. Tapi kalau malam seperti ini Nenek Kam kulihat seorang perempuan muda cantik, gesit, dan gagah, Relingin namanya.

Kami berlahan menuju pintu ke luar. Macan Kumbang duduk-duduk di bawah pohon kopi bersama satu sosok yang belum kukenal. Aku segera menghampirinya.

“Kita mau kemana, Kumbang?” Tanyaku.

Macan Kumbang hanya menunjuk kawannya dengan bibir. Artinya kami akan ikut dia. Aku moleh langsung pada temannya dan tersenyum.

“Kenalkan, aku Kamang Depa, Putri Selasih. Kawan lama Macan Kumbang dari Merapi” Lanjutnya penuh kelembutan.

Merapi? Aku berpikir sejenak. Maksudnya gunung Merapi? Merapi mana?

“Nama dusun kami, Merapi, Putri Selasih. Bukan gunung Merapi” Dia buru-buru menjelaskan melihat ekspresiku.

Aku mengangguk meski tidak paham di mana dusun Merapi yang beliau maksud. Apakah masih masuk wilayah Besemah atau bukan. Aku juga belum paham mengapa dia mengajak kami ke dusunnya?
Akhirnya aku berpikir positif saja. Tak ada salahnya memang aku ikut, sekalian jalan-jalan ke daerah yang baru. Apalagi ikut Nenek Kam. Kadang-kadang perjalanannya persis ular tersesat.

Aku segera naik ke punggung Macan Kumbang. Sedangkan Nenek Kam ke punggung Kamang Depa. Tak berapa lama, kami berempat dibawa berlari kencang sekali, menembus kabut yang mulai turun.

Aku menikmati pemandangan malam. Melalui dusun-dusun hening yang masih lelap. Melintasi kebun, ladang, sawah, hutan kecil dan sungai-sungai yang meliuk dari perbukitan. Menatap bintang timur yang bersinar lebih terang dari bintang-bintang kecil yang berkedip-kedip mengelilinginya.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *