Pesona Islam Órgiva di Pegunungan Alpujarras

Catatan Caesar M Putri

Setelah sekian lama kami hanya berencana untuk mengunjungi Provinsi Andalusia, akhirnya liburan Setmana Santa yang bertepatan dengan Ramadhan tahun ini, kami diberi kesempatan menikmati provinsi yang memiliki segala keindahan yang dihadirkannya. Seperti kebanyakan orang, kami merencanakan untuk melihat sejarah Islam dan keindahan kota-kota di wilayah Andalusia yaitu Granada, Cordoba, Sevilla dan Malaga. Kecantikan kota Granada dengan Istana Alhambranya adalah magnet terkuat bagi wisatawan hampir dari seluruh penjuru dunia, sehingga tiket masuk ke Istana tersebut harus sudah kami kantongi sebulan sebelumnya. Jadwal kunjungan ke Istana Alhambra adalah di hari ketiga sedangkan hari pertama kami gunakan untuk melepas lelah setelah menempuh perjalanan sekitar 10 jam dari statiun Barcelona menuju statsiun Granada. Walupun kami sudah memilih kereta cepat Renfe sebagai moda transportasi yang membawa kami ke Granada, namun transit sekitar dua jam di Statsiun Puerta de Atocha, Madrid, membuat perjalanan ini lebih lama dibanding jika menggunakan kereta langsung Barcelona-Granada yang pastinya jauh lebih mahal. 

Pegunungan Alpujarras menghiasi kota Órgiva

Di hari pertama, kami berjalan-jalan menyusuri taman dan kota Granada, hingga sebuah pesan melalui WhatsApp saya terima dari seorang teman di Finlandia. “mbk Caesar, jika ke Granada usahakan untuk berkunjung ke Órgiva dan Lanjarón, dua-duanya cantik”. Begitu kira-kira pesan yang saya terima. Kebetulan beliau sekeluarga lebih dulu mengunjungi dua kota tersebut untuk mengikuti pesantren kilat tahun lalu. Menutup percakapan kami di whatsapp, beliau mengatakan “mb, disana ada seorang tour guide muslim asli Spanyol yang bisa berbahasa Indonesia, kalau mb nanya orang-orang di sana pasti tahu, namanya Pak Yasin”. Percakapan terakhir itu tidak terlalu saya pikirkan karena kecil kemungkinan saya mencari seseorang di suatu kota, apalagi saya sepertinya tidak membutuhkan tour guide selama di sana. 

Jalanan di Órgiva

Atas rekomendasi tersebut, akhirnya kami memutuskan menuju Órgiva dan Lanjarón, dari aplikasi google map, menunjukkan bahwa bus dalam kota yang akan menuju halte bus Alsa antar kota, akan datang dalam waktu delapan menit. Seketika kami berlari bergegas mencari halte bus, alhamdulillah ternyata halte hanya berjarak sekitar 30-meter dari tempat kami berdiri. Setelah sekitar perjalana 30 menit, sampailah kami di sebuah halte bus Alsa di pinggir kota Granada yang akan menggantar kami ke Órgiva. Ada dua orang yang sudah menunggu bus tersebut dan setelah memastikan dengan mereka bahwa halte tersebut adalah halte yang memang kami cari, kami menunggu dan hanya sekitar lima menit bus Alsa datang. Bus berkelak-kelok menyusuri jalanan menanjak membelah pegunungan berbatu cadas yang berkerlip terkena sorotan teriknya matahari Andalusia. Di kanan kiri terlihat perkebunan Zaitun, terbentang luas di bukit-bukit yang terlihat tandus namun subur. Kesuburan tanah di kota tersebut tak lepas dari keberadaan Sierra Nevada, sebuah gunung tertinggi di semenanjung Iberia yang puncaknya tertutup salju abadi. Salju abadi di Sierra Nevada ini menjadi sumber air utama di kota-kota yang berada di pegunungan Alpujarras dan menjadikanya kota yang subur dengan berbagai macam buah-buahan. Kota Órgiva dan Lanjarón ini terletak bersebelahan, dan berjarak sekitar Sembilan kilometer. Kami yang mengandalkan transportasi umum dan datang agak siang, maka harus memilih satu kota saja yang akan dikunjungi. Órgiva adalah pilihan kami karena kota ini merupakan ibu kota dari deretan kota-kota yang terletak di pegunungan Alpujarras, Granada.

Bagi saya dan suami, mengunjungi kota seperti ini menarik karena bisa memberikan pengalaman bagi anak-anak. Kota ini pula telah menjadi saksi sejarah perjalanan Islam di bumi Andalusia yang kini disebut dengan nama Spanyol. Pegunungan Alpujarras merupakan benteng terakhir dinasti Islam di Andalusia. Sultan Abu Abdallah Muhammad XII atau Sultan Muhammad XII of Granada yang di Eropa terkenal dengan sebutan Sultan Boabdil dan pengikutnya sempat bertahan di wilayah ini setelah terusir dari Granada. Sultan Boabdil adalah generasi ke-22 dan menjadi pemimpin terakhir kerjaan Islam di Spanyol. Namun, akhirnya raja Ferdinan berhasil menumpas perlawanan muslim terakhir di sana dan sultan dipaksa untuk meninggalkan wilayah Alpujarras. Dalam sejarah dikatakan bahwa ketika meninggalkan Granada menuju ke pengasingan di Afrika Utara, sang Sultan membalikkan badanya untuk terakhir kali melihat kota yang dicintainya dan melepaskanya dengan air mata.

Setelah menempuh sekitar satu jam, sopir bus menyebutkan kota Lanjarón, diucapkan Lanharón dengan akses Spanyolnya yang kental. Pintu bus terbuka, para penumpang tujuan Lanjarón turun. Namun sang sopir, belum menutup pintu bus kembali, memastikan semua penumpang dengan tujuan Lanjarón turun semua. Seketika sopir beranjak dari kursi kemudi sambil mencari seorang perempuan muda berpenutup kepala khas muslim Spanyol, menginfokan bahwa bus sudah sampai Lanjarón. Supir bus yang berdedikasi, memastikan semua penumpang tujuan Lanjáron turun dan tidak terbawa sampai Órgiva. Hal ini dikarenakan antara Lanjarón dan Órgiva hanya bisa di akses dengan bus yang ada setiap dua jam sekali, atau hanya dengan kendaraan pribadi menempuh medan yang menajak.

Pusat kota Órgiva

Dua puluh lima menit dari Lanjarón, tibalah kami di kota Órgiva. Tujuan pertama kami adalah Plaza de la Alpujarra, di komplek tersebut terdapat tourist information office dan juga Balai kota Órgiva. Kesan pertama yang saya dapatkan dari kota ini adalah sepi, namun karena saat itu adalah musim libur Paskah, maka saya temui beberapa orang membawa dahan pohon zaitun yang mereka dapatkan dari gereja yang berada di pinggir jalan utama. Sebuah gereja berwarna orange bernama Parroquia de Nuestra Señora de La Expectación dengan dua tower menjulang tinggi, menambah ke artistikan kota Órgiva. Café-café berada di sepanjang jalan ikut meramaikan sepinya kota Órgiva. Sesampainya di tourist office, kami dijelaskan bebrapa tujuan wisata di Órgiva, tidak banyak destinasi wisata di sana dan berada hanya di sekitaran jalan yang kami lalui. Namun pemandangan pegunungan Alpujarra yang menghiasi kota Órgiva menambah kecantikan kota seluas 134-kilometer persegi tersebut. Terlihat beberapa turis berjalan menikmati kota dan setelah mengambil beberapa foto di pusat kota Órgiva, kami turun untuk berkeliling ke pelosok-pelosok rumah dan sungai.

Balai kota Órgiva
Plaza di Órgiva
Suasana di sekitar plaza Órgiva

Di jalan, seorang laki-laki bergamis mengucapkan salam kepada kami, sembari mengayuh sepedanya.  Seorang perempuan muda yang mendorong kereta bayi menghampiri kami sembari menanyakan dengan Bahasa Spanyol yang artinya “apakah kalian mencari sesuatu?” dilanjutkan dengan menggunakan aksen Inggris kental yang menandakan bahwa dia berasal dari negara yang sekarang berada di bawah kendali Raja Charles III. Kami bercakap-cakap untuk saling mengenal, dan dengan ramah wanita tersebut mengantarkan kami ke sebuah pasar tradisional. Pasar tersebut merupakan bagian dari kegiatan yang diadakan oleh asosiasi sosial-budaya, Huella Meraki, yang berada di pingir sungai Chico. Berada di alam terbuka, memasuki pasar tersebut seperti berada di luar Spanyol karena hampir sebagian besar pengunjung, pedagang dan anak-anak yang bermain di sana berbicara dengan aksen inggris kental, terlihat bahwa kebanyakan dari mereka bukanlah warga asli Spanyol. Barang daganganya pun dijajakan dengan cara tradisional ditaruh di atas meja atau di atas karpet dibawah rindangnya pepohonan. Tidak ada kios, dagangan yang kebanyakan berupa barang vintage tersebut dibawa menggunakan mobil namun karena kami datang agak siang maka beberapa pedang sudah mulai membereskan dagangan ke mobil.  Sebuah café kayu berdiri lima meter dari jalan masuk area pasar, yang manambah kuatnya nuansa alam tempat tersebut. Kesederhanaan terpancar dari para pedangang dan pengunjung yang ada di situ, atau lebih tepatnya mirip bergaya hidup Hippie atau Hippye. Menariknya tidak ada yang memegang handphone atau gadget, setiap orang berinteraksi dan mengobrol seperti jaman ketika teknologi komunikasi belum pesat seperti saat ini.  Seorang laki-laki tua yang sedang duduk di sebuah batu seketika berkata kepada saya “are you from Indonesia?” sebuah tebakan yang sempurna! karena selama di Spanyol saya selalu dikira orang Filipina atau Malaysia. “I am, how do you know that I am Indonesian?“ tanya saya. Dia menjawab bahwa setengah jam yang lalu juga ada pengunjung orang Indonesia yang tinggal di desa Cerro Negro, Órgiva. Setelah selesai bercakap-cakap saya melanjutkan mendatangi beberapa penjual, hingga saya tertarik dengan sebuah batu seharga 1€ yang di jual oleh perempuan setengah baya, kami bercakap-cakap cukup lama hingga perempuan beraksen inggris tersebut menyebutkan bahwa pengunjung di sini berasal dari berbagai macam kewarganegaraan and agama. Dia meneyebutkan bahwa di Órgiva ini ada dua perwakilan muslim yang sangat bagus hubunganya dengan warga sekitar. Mungkin melihat saya berjilbab, maka wanita tersebut menunjukkan dua pusat budaya islam yang berada di Órgiva. 

Suasana Pasar
Café kayu
Café kayu

Órgiva ternyata menjadi pilihan tempat tinggal bagi sebagian orang Spanyol dan Eropa lainya yang kembali ke Islam. Penduduk kota Órgiva sekitar 6.000 jiwa dan menariknya lagi terdiri dari 68 kewarganegaraan. Tidak seperti muslim di Barcelona atau kota-kota besar di Spanyol yang di dominasi imigran dari Maroko atau Pakistan, muslim di Órgiva sebagian besar adalah orang Eropa asli yang kembali ke Islam dan memilih menetap di sana. Seperti yang dijelaskan oleh wanita tadi, di Órgiva terdapat dua pusat budaya islam, satu di tengah kota, yang hanya berjarak beberapa meter dari gereja, bernama Centro Sufi Órgiva Tariqa Naqshbandi sedangkan satunya lagi berjarak dua kilometer diluar kota Órgiva, bernama Haqqani Zawiya (Dergah Sufi Haqqani). Bagi wisatawan yang ingin menjalankan sholat di Órgiva, dua tempat ini juga difungsikan sebagai masjid. Sedangkan pengunjung yang memiliki kendaraan pribadai Haqqani Zaqiya yang berlokasi menghadap pegunungan Alpujarras menjadi pilihan yang paling tepat karena posisinya yang menyatu dengan alam. Menariknya lagi, pusat budaya islam ini terbuka bagi siapa saja, orang Kristen, Yahudi, Hippies, dan lain sebagainya untuk belajar dan menegetahui tentang Islam. Sehingga tidak heran jika kehidupan di dua desa ini menjadi daya tarik tersendiri bagi penduduk Eropa pencari kehidupan spiritualitas di benua biru ini. 

Gereja di Órgiva
Haqqani Zawiya/Dergah Sufi Haqqani

Kami tidak mengambil banyak foto selama berkeliling, karena lebih ingin menikmati suasana alam di Órgiva. Setelah selesai mengelilingi kota Órgiva yang subur dengan tanaman lemon, zaitun, delima, jeruk, apokat dan lain sebagainya, akhirnya kami menuju halte bus Alsa yang akan mengantarkan kami kembali ke Granada. Tempat pemberhentian bus tersebut berada di depan Supermarket DIA, karena tidak adanya tempat duduk maka kami duduk di depan DIA dengan dua calon penumpang lainya. Bus dijadwalkan akan datang tiga puluh menit lagi, tiba-tiba sebuah mobil sedan silver berhenti di depan saya, seorang laki-laki Spanyol mengucapkan “Assalamualikum” dan bertanya “do you need any help?”, dengan Bahasa Inggris aksen Spanyol, laki-laki tersebut berkata “tadi ketika saya melintas, saya melihat kalian duduk dan saya kira butuh bantuan maka saya putar balik mobil”.  Saya kaget dan menjawab “no, I am waiting bus to Granada, thank you”. Terlihat sebuah tulisan arab menggantung di spion tengah mobilnya, saya tanyakan “are you a Muslim?”. Dia menjawab “I am”. Akhirnya kami bercakap-cakap hingga saya mengatakan bahwa saya memiliki teman di Granada. Laki-laki tersebut menanyakan, “siapa nama temanmu?”. Saya jawab “orang Indonesia, pasti anda tidak kenal, namanya Faiza”. “oh Faiza, orang Muhammadiyah kan?” dijawabnya dengan Bahasa Indonesia lancar. Langsung pikiran saya teringat pada pesan teman saya dari Finlandia tadi pagi. Saya kemudian bertanya “siapa nama anda?” “Yasin” jawabnya. Saya pun tercengangang, “Yasin?” Mashaa Allah “tadi pagi teman saya baru saja menginfokan tentang nama anda, saya tidak pernah berfikir bahwa kita dipertemukan di sini tanpa sengaja”. Yasin mengajak kami ke rumahnya untuk bertemu keluarganya, karena ternyata anak-anak kami seumuran. Dia juga mengajak berbuka bersama di masjid, namun karena keterbatasan waktu maka kami tidak bisa memenuhi ajakanya dan inshaa Allah di lain waktu silaturahim ini bisa terjaga. Tidaklah setiap kejadian di dunia ini adalah kehendak-Nya? 

Kunjungan kami ke Órgiva ini memberikan kesan yang berbeda dari kunjungan-kunjungan lain di kota di Spanyol. Keanekaragaman budaya, etnis dan agama menyatu secara apik di kota indah yang dikelilingi pegunungan Alpujarras. Kota yang disebutkan sebagai tempat bermukimnya para mualaf dari berbagai negara di Eropa ini diberkahi dengan kesuburan tanah dan buah-buahan. 

Andalusia, 11 Ramadhan 1444H/02 Abril 2023 M

4 tanggapan untuk “Pesona Islam Órgiva di Pegunungan Alpujarras

  • 18 April 2023 pada 17 h 09 min
    Permalink

    Tulisan yang sangat menarik sn informatif karena orang tahunya cuma Sevilla, Grenada dan Alhambra.

    Balas
    • 22 April 2023 pada 21 h 13 min
      Permalink

      Terimakasih mb, semoga bermanfaat😍

      Balas
  • 18 Juni 2023 pada 6 h 03 min
    Permalink

    Baru nemu blognya..,tulisan nya sungguh informatif. Bisa jadi masuk agenda berikutnya utk explore jejak Islam di Spanyol. Apakah mbak & keluarga menetap di Spanyol?
    Sekira boleh berbagi email? Sy mau tanya2 info lbh lanjut ttg komunitas muslim di Spanyol. Terimakasih
    -julintari@gmail.com

    Balas
    • 16 Juli 2023 pada 9 h 17 min
      Permalink

      terimakasih sekali kak. alhamdulillah jika memberikan manfaat. siap saya hubungin lewat email ya. nanti saya kontak.

      Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *