Liburan Singkat ke Andalusia (Bagian 1): Dari Bordeaux ke Kota Sejuta Cahaya, Sevilla

Bulan September yang lalu terasa begitu padat dan melelahkan. Cuaca musim gugur di Prancis juga mulai dingin. Suatu hari ketika kami mampir ngopi setelah belanja di pasar, suami nyeletuk, “Liburan Toussaints nanti kita jalan-jalan, yuk!”. Mendengar kata liburan, mood saya langsung berubah. “Yuk! Mau ke mana kita?”.
Setelah mempertimbangkan biaya dan jarak, akhirnya kami putuskan untuk pergi ke Sevilla, sebuah kota di wilayah Andalusia alias selatan Spanyol yang menyimpan sejarah zaman kejayaan Islam. Ini adalah tempat yang sudah lama ingin saya kunjungi. Alhamdulillah, kami berangkat tanggal 18 Oktober dari Bordeaux ke Sevilla melalui Barcelona dengan maskapai Vueling.
Penerbangan Bordeaux–Barcelona dan Barcelona–Sevilla sama-sama menempuh waktu sekitar satu jam. Kami tiba pukul setengah dua siang. Pohon-pohon palem dan sinar matahari yang hangat membuat kepenatan musim gugur langsung terasa sirna. Kami segera menuju Hotel Puerta de Triana yang terletak di Jalan Reyes Católicos, tak jauh dari Kanal Alfonso III dan dekat sekali dengan jembatan yang menghubungkan kota tua dengan distrik Triana.

Ishbiliyyah—begitu kota ini pernah disebut—menyimpan banyak sejarah zaman keemasan Islam. Sebelum ditaklukkan oleh Raja Frederik III dari Spanyol Utara, Sevilla dan seluruh bagian selatan Spanyol adalah wilayah kekuasaan bangsa Moor dari Dinasti Umayyah sampai Al Muwahhid. Hingga kini, peninggalan bangsa Moor masih bisa kita temukan di Sevilla: Istana Alcazar, menara masjid La Giralda yang kini menjadi menara lonceng Katedral Sevilla, dinding menara masjid pertama di Sevilla yang kini menjadi pintu masuk taman Gereja San Salvador, hingga pengaruh pada detail arsitektur, seni musik, dan bumbu masak saffron.

Setelah menyimpan barang bawaan di hotel, kami langsung keluar untuk makan siang. Di sepanjang Jalan Reyes Católicos yang adem karena pepohonan, di kiri-kanan hotel kami banyak terdapat restoran. Namun, tujuan kami adalah sebuah tempat yang menarik perhatian saat kami baru datang dari bandara.

Di pinggir kanal, di pangkal Jembatan Triana, ada sebuah gedung bekas pasar ikan abad ke-19 yang dirancang oleh Gustave Eiffel (perancang Menara Eiffel), yang sekarang berubah menjadi pusat makanan bernama Mercado del Barranco. Baik interior maupun teras luarnya dihiasi dengan tanaman tropis yang membuat suasana makan terasa menyenangkan di bawah sinar matahari yang hangat.

Sevilla adalah tujuan wisata yang ramah bagi wisatawan muslim. Selain mudah menemukan restoran halal, makanan setempat juga rata-rata berbahan dasar sayuran dan seafood. Cicipi tapas, finger food ala Spanyol yang terdiri atas beragam pilihan: ikan, zaitun, terong, tomat, keju, cumi, udang, baby gurita, dan lain-lain. Atau boquerones fritos, ikan kecil-kecil yang digoreng tepung, empanadas.



Kami memesan patatas bravas, kentang panggang saus tomat berempah dan mayones beraroma bawang putih dengan irisan daun ketumbar serta cabai hijau yang lezat. Kami juga memesan kroket udang, sayuran panggang seperti terong, zucchini, jamur, asparagus, jagung bakar, serta salmon dan quinoa. Pengaruh kuliner Afrika Utara dan Levant juga ditemukan di sini, seperti tadjine dan mezze. Kami memesan favorit kami, yaitu muttabal alias pasta dari terong panggang yang dicampur dengan hummus, bawang putih, perasan jeruk lemon, dan minyak zaitun. Satu hal yang saya suka dari Spanyol adalah minyak zaitunnya lebih cair, ringan, dan baunya tidak terlalu kuat.

Setelah menghabiskan secangkir espresso, kami beranjak menuju kota. Berbekal peta dari resepsionis hotel, kami menyusuri gang-gang kecil yang cantik. Sepanjang jalan, pandangan saya tak lepas dari jendela-jendela kayu yang berukir, teras-teras balkon dengan kaca yang indah, yang hampir dimiliki oleh tiap bangunan di kota ini. Arsitektur bangunan di Sevilla memang merupakan perpaduan antara arsitektur mudejar (sebutan bagi muslim di zaman pertengahan), renaisans, dan barok. Dengan kekayaan budaya seperti ini, pantas saja banyak orang jatuh cinta pada Sevilla.


Di antara bangunan klasik tadi terdapat sebuah bangunan kontemporer yang menyerupai jamur raksasa terbuat dari konstruksi kayu. Bangunan itu bernama Setas de Sevilla, karya seorang arsitek Jerman, Jürgen Mayer. Di sana kita bisa melihat Sevilla dari ketinggian, melihat museum arkeologi, atau sekadar berfoto. Bangunan tersebut berada di Plaza de Encarnación dan dikelilingi banyak restoran dan bar.
Oh ya, jika Anda ke Sevilla, jangan lupa beli oleh-oleh yang satu ini: “Kue Suster”. Tak jauh dari Setas, ada sebuah biara bernama Convento de Santa Inés. Para biarawati di sana membuat beragam kue tradisional homemade. Kue-kuenya berbahan dasar almond, kayu manis, pala, vanila, madu, jeruk, dan lain-lain. Harganya berkisar 5 sampai 6 euro.



Untuk membelinya, cukup pencet bel, sebutkan nama kue yang kita inginkan, dan letakkan uangnya di jendela putar. Suster yang baik hati akan meletakkan kue pesanan kita tanpa harus bertatap muka. Hari itu kami membeli Magdalena Leché, bolu susu dengan sedikit aroma kayu manis. Bolu ini sampai lima hari pun masih tetap lembut dan enak, lho. Satu porsinya juga cukup banyak. Dengan harga 6 euro kami dapat sekantong plastik Magdalena Leché sebanyak hampir satu lusin!

Dari Biara Santa Inés, kami meneruskan perjalanan menuju Palacio de Las Dueñas. Ini adalah sebuah istana kediaman milik keluarga bangsawan Alba yang sebagian areanya dibuka untuk umum. Istana ini dibangun pada abad ke-15 milik keluarga bangsawan Pineda. Setelah dijual untuk menebus anaknya yang ditawan oleh bangsa Moor, bangunan ini kemudian berpindah kepemilikan beberapa kali dan terakhir dimiliki oleh keluarga Alba. Banyak bangsawan kerajaan dan tokoh penting pernah menginap di sini, termasuk Permaisuri Eugenia yang mahkotanya hampir dicuri dari Museum Louvre saat kami berada di Sevilla. Bahkan konon, Amerigo Vespucci—pengelana Spanyol yang pertama kali menuju benua Amerika itu—menikah di kapel yang berada di istana ini. Istana ini sungguh indah, dan lagi-lagi memadukan gaya arsitektur gotik, Islam, dan renaisans. Tiket masuk Palacio de Las Dueñas bisa dibeli di tempat dengan harga €14.




Menjelang sore kami mampir di sebuah taberna. Sambil minum limun, ngopi, dan mencicipi kue Magdalena, kami melepas penat. “Eh, di sini ada masjid nggak ya?” kata suami, “Kita belum salat zuhur dan asar.” Qadarullah, di belakang kami ternyata ada sebuah masjid kecil milik yayasan Muslim Sevilla. Namanya Fundación Mezquita de Sevilla yang terletak di Plaza Ponce de León. Tempat ini dibeli oleh seorang mantan pemain bola Sevilla dan dibangun dari sumbangan masyarakat Muslim.


Melihat kami celingukan, seorang pria membuka pintu dari dalam. Karena dia nggak bisa berbahasa Inggris maupun Prancis, dan kami nggak bisa berbahasa Spanyol, kami cuma bilang, “Zuhur?” sambil menunjuk jadwal salat di depan pintu. Dengan bahasa isyarat, dia bilang waktu salat berjamaah untuk zuhur sudah lewat, tapi kami boleh masuk untuk salat. Karena saya sedang tidak salat, saya ‘ngobrol’ saja dengan bapak ini. Dia bertanya dalam bahasa Spanyol (alhamdulillah saya mengerti sedikit), “Anda asalnya dari mana?” Ketika saya sebut “Indonesia”, senyumnya langsung lebar. Lalu menunjukkan saya lemari kaca berisi buku-buku dan cenderamata dari Indonesia. Ternyata Ustazah Oki Setiana Dewi pernah berkunjung ke sini. Ada juga cenderamata dari lembaga PKPU (Pos Keadilan Peduli Umat) serta dari Kemendikbud RI. Dengan ramah, beliau mengundang kami datang esok hari ke acara pertemuan Muslim Sevilla. Sayang sekali kami tidak bisa datang.


Setelah suami selesai salat, kami pamit dan beranjak kembali ke arah Reyes Católicos. Setelah perjalanan dari Bordeaux tadi pagi, badan rasanya perlu istirahat. Kaki pun terasa pegal. Sebelum lanjut malam mingguan dengan berjalan-jalan menyusuri Kanal Sungai Guadalquivir, kami kembali ke hotel untuk tidur siang. (Bersambung).

