HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (65A)

Karya RD. Kedum

“Kau harus paham, Bulan. Demi hubungan baik kita, dan demi kelangsungan adat istiadat kita. Siapa lagi yang akan menjaga, melaksanakannya, dan melestarikannya. Kitalah, Nak. Bak paham perasaanmu. Tapi sebagai anak semata wayang, apa pesan Bak dan Mak-mu, patut kau pertimbangan. Ini demi kebaikanmu, dan kebaikan kita semua. Yakinlah, tidak ada orang tua yang ingin anaknya menderita. Bak ingin kamu bahagia, Nak.” Suara Bak, ayah Putri Bulan lembut menekan. Sementara Mak hanya diam saja di sudut ruang sambil menahan air mata yang hendak jatuh.

Beliau jadi ingat ketika masa lajangnya dulu. Dirinya sudah punya pilihan hati, seorang pemuda berasal dari bukit Tabalagan. Saat ini pemuda pilihannya tersebut menjadi kepala suku di salah satu rompok bukit barisan di bumi Rafflesia. Saat itu, Mak merasakan dunianya kiamat, ketika kedua orang tuanya memaksanya menikah dengan ayah Putri Bulan sekarang, tanpa dilandasi cinta sedikit pun. Bahkan ingin rasanya saat itu ia mengakhiri hidupnya. Dia anggap orang tuanya adalah makhluk terkejam yang ia temui. Hingga sekarang, jika mau jujur, hatinya masih terpaut dengan lelaki yang dia cintai itu. Apa yang dia jalani hidup bersama Riu Saputra, Bak Putri Bulan hanya sekadar menjalankan kewajiban karena telah diikat tali pernikahan. Berulang kali dia mencoba untuk menerima kenyataan, menyadarkan diri jika dirinya telah menjadi istri Riu Sapura, kepala suku di bawah kekuasaan kerajaan Datuk Ratu Samban di gunung Bungkuk. Sudah tak terhitung, ia mencoba menumbuhkan perasaan cinta untuk Riu Sapura, bahkan sampai kini masih terus berusaha belajar menyintainya, bahkan Putri Bulan telah tumbuh menjadi gadis cantik dan dewasa hasil dari masa pencahrian itu, tapi masih juga gagal. Cinta itu tidak pernah tumbuh sempurna. Kadang merasa bersalah, dan berdosa. Namun tetap saja kalah. Mak tidak menemukan jalan untuk ke luar dari rongrongan batin yang gila itu. Akhirnya ia jalani hidup bersama Riu Sapura, ayah Putri Bulan dengan perasaan datar saja. Sekarang kejadian yang sama nampaknya akan terjadi pada putri tunggalnya, Putri Bulan.

“Yaa Allah…mengapa luka hatiku harus kembali terkoyak dan dialami oleh anakku, Putri Bulan?” Akhirnya Mak tak mampu membendung air mata. Serupa mata air, terus mengalir bahkan tubuhnya terguncang-guncang sesegukan. Bertahun-tahun pula dirinya menyembunyikan perasaan di hadapan Riu Sapura. Ia tunduk dan berusaha mejadi istri yang setia. Tapi jauh di lubuk hati ada cinta yang tak pernah mati meski berulang kali membunuhnya. Mak berusaha menekan perasaannya hingga urat-urat tangannya menegang. Pikirannya pun seperti melayang ke alam lain. Betapa berat menahan perasaan yang satu ini. Puluhan tahun dia coba mengubur masa lalunya, berusaha melupakannya. Sekarang seperti pintu berkarat terkuak kembali, bergegas mencari sinar matahari. Semakin terang. Mak menahan dadanya. Tiba-tiba terasa sesak dan hendak meledak.

“Bak, aku paham keinginam Bak. Aku hargai keinginan Bak. Orang tua mana yang menginginkan anaknya menderita. Pasti ingin anaknya bahagia. Tapi Bak, apa Bak yakin ketika aku menjadi istri Darang Kuning, aku akan bahagia? Dari sisi mana Bak katakan aku akan lebih baik? Sementara aku tidak kenal sama sekali dengan sosok yang hendak Bak jodohkan itu padaku. Bulum tentu pula dia menerima dan menyintai aku.” Jawab Putri Bulan dengan nada tenang. Dia berusaha menahan gejolak di hatinya. Meski Baknya terkenal tegas dan bengis, namun Putri Bulan tidak gentar. Dia berusaha membuka cakrawala baru pada Baknya. Baknya harus tahu bahwa orang lain juga punya keinginan, punya rencana, dan yang penting punya perasaan yang tidak sama dengan dirinya. “Ah! Perasaan itu bisa berubah setelah kamu bersatu, Bulan. Lihat Bak dan Makmu.” Ujar Bak lagi. Akhirnya dengan pelan Putri Bulan menyatakan masih ada waktu untuk berpikir jernih sebelum memutuskan. Jangan buru-buru. Putri Bulan membujuk Baknya dengan lembut sambil memegang lengannya manja. Akhirnya orang tua itu luluh juga. Melihat anaknya lembut dan tidak keras melawannya Bak tidak bisa bicara apa-apa. Malah manggut-manggut sambil berkata datar, dan berpesan agar jangan lama-lama, karena orang tua Darang Kuning menunggu jawaban mereka. Putri Bulan mengangguk sambil tersenyum manis. Selanjutnya minta izin ke dalam. Ketika berbalik badan, tanpa minta izin lagi, Putri Bulan meluncur ke tepi sungai Air Putih sambil berurai air mata. Dia menangis sepuas-puasnya. Apa yang disampaikan Bak hendak menjodohkannya pada Darang Kuning seperti petir di siang hari. Bagaimana mungkin Baknya tega memaksanya, menerima lamaran orang tua Darang Kuning, padahal Baknya tahu jika Macan Kumbang beberapa kali bertemu dengannya, mengenalkan diri, dan dari bahasa tubuhnya sebenarnya pahamlah Bak jika Macan Kumbang tidak hanya sekadar ingin kenal. Apa yang harus dia ceritakan jika Macan Kumbang tahu? Demi mengingat ini Putri Bulan kembali menangis. Mengapa selama ini Baknya seakan memberikan peluang dan menerima Macan Kumbang? Mengapa Bak seakan merestui dan selalu mengizikan jika mereka bertemu atau pergi berdua? Mengapa Bak seakan menerima kehadirannya Macam Kumbang untuk mengisi hari-hari anaknya? Mengapa tidak dari awal Bak melarang Macan Kumbang agar menjauhi anaknya atau mengingatkan dirinya agar tidak dekat dengan Macan Kumbang? Berbagai pertanyaan ‘mengapa’ di benak Putri Bulan seakan percikan api berpendar-pendar hendak membakar. Tidak ada yang bisa dilakukan Putri Bulan selain rasa perih yang teramat dalam. Rasa takut kehilangan Macan Kumbang, rasa takut melawan Bak dan Maknya, rasa takut hidup bersama orang yang belum dikenalnya, rasa takut memaksakan diri harus mengalihkan perasaan cintanya, dan lain sebagainya membuat Putri Bulan seakan tidak menginjakkan kaki di alam bunian lagi. Tapi seperti melayang di awang-awang tanpa mengerti harus kemana. Akhirnya Putri Bulan telungkup di atas batu besar, menangis sepuasnya. “Tuhan! Izinkan aku menentukan nasibku sendiri. Izinkan aku melabuhkan cintaku sesuai dengan anugerah rasa yang Engkau berikan, Yaa Rabb…!” Putri Bulan berteriak sekencang-kencangnya. Suara Putri Bulan yang diiringi dengan tenaga dalamnya justru membuat batu dan air sungai bembuncah, memercik ke sana kemari. Batu pun berhamburan, mengagetkan semua satwa yang ada di sekitar sungai.

“Hei! Beraninya kau mengganggu tidurku perempuan kuntil. Kurang ajar!!” Sosok ‘antu banyu’ menyembul dari salah satu lubuk sungai. Putri Bulan kaget bukan main. Dia tidak menyangka jika teriakannya akan membuat batu dan air membuncah dan mengganggu tidur salah satu makhluk sungai yang tengah tidur. “Maafkan aku Paman, aku tidak menyangka teriakanku mengganggu tidur Paman.” Ujar Putri Bulan sambil menyeka air mata. Ternyata makhluk asral dari air itu tidak terima apa pun alasan Putri Bulan. Dia masih marah. Lalu melakukan penyerangan pada Putri Bulan. Karena merasa bersalah, Putri Bulan berusaha tidak memberikan perlawanan, Putri Bulan hanya menghindar ke sana ke mari. Melihat Putri Bulan hanya menghindar, Antu Banyu merasa diremehkan, dan membuatnya semakin marah. “Mengapa kamu hanya menghindar saja perempuan kunti. Hayo lawan aku. Aku paling benci diajak bermain-main. Jangan salahkan aku jika kau celaka atau mati!” Antu Bayu semakin gencar melakukan penyerangan. Beberapa kali pukulannya mengenai semak belukar. Hasilnya semuanya menjadi hancur-lebur. Belum lagi tebasan ekor dan tubuhnya yang seperti ular itu, mengibas-ngibas cepat dan memiliki kekuatan luar biasa. Sejenak wilayah sungai riuh seperti hutan yang terbakar. Bunyi berderak-derak kadang seperti letupan memekakkan telinga. Putri Bulan paham kemarahan Antu Banyu ini, tapi saat ini dirinya sungguh tidak ingin bertempur. Makanya dia tidak melakukan pembalasan sedikit pun. Akhirnya Putri Bulan memutuskan melarikan diri dari serangan Antu Banyu untuk menghindari pertempuran. Putri Bulan enggan melayani berbagai macam pertarungan saat ini. Masih banyak hal yang harus dia selesaikan terutama mengendalikan perasaannya seperti ditimpa ratusan gunung itu. “Maafkan aku Paman, aku enggan bertarung denganmu.” Putri Bulan melesat meninggalkan sisi sungai Air Putih, membiarkan Antu Banyu ngamuk sendiri. Dia hapus jejaknya agar Antu Banyu tidak mengejarnya.

Dalam pelarian, Putri Bulan sambil berpikir mencari tempat yang aman untuk membaca nasib dan perjalanan hidupnya. Selama ini dirinya berusaha menjadi anak tunggal yang patuh, karena kepatuhannya pula sehingga Datuk Ratu Agung percaya padanya dan diangkat sebagai salah satu hulubalang kerajaan Gunung Bungkuk. Hanya dia perempuan termuda yang menguasai hampir seluruh ilmu kebatinan yang diwariskan Datuk Ratu Agung. Karena kebersihan hatinya, membuat Ratu Agung sangat percaya dan menyayanginnya. Putri Bulan salah satu orang kepercayaan Ratu Agung. Tapi ketika berhadapan dengan perasaan seperti ini, sungguh Putri Bulan merasa dirinya tidak berguna sama sekali. Tidak ada artinya ilmu kebatinan yang dia miliki. Sungguh tidak perdampak pada perasaan cinta dengan berbagai macam problemnya. Putri Bulan kembali menitikkan air mata sembari terus berlari ke arah yang tidak jelas. Sementara Mak, usai pertemuan dengan Bak masuk ke dalam melampiaskan tangisnya yang tersisa. Dia pun berusaha mengendalikan diri agar tidak terlihat Bak jika dia menangis. Biarlah dia saja yang tahu, jika perasaan hancur hatinya masih tersimpan hingga kini. Setelah menyeka air mata, dan mengubah air mukanya, Mak ke luar kamar dan berusaha tersenyum mencari Putri Bulan. Mak sudah berkeliling mencari Putri Bulan. Hampir setiap sudut rumah sudah dicarinya. Namun Putri Bulan belum terlihat batang hidungnya. Mak berusaha ke luar lalu mencari tempat berbagai kemungkinan kira-kira Putri Bulan berada. Sengaja Mak tidak bertanya pada orang -orang yang ditemuinya. Setelah sekian lama mencari, belum juga ada tanda-tanda keberadaan Putri Bulan, baru Mak berusaha membatin memanggil Putri Bulan. Berkali-kali beliau melakukannya, namun tetap gagal. Putri Bulan tidak bisa dihubungi. Mak mulai risau. Apa yang harus beliau jawab kalau Bak bertanya tentang keberadaan Bulan? Akhirnya Mak duduk sambil menyimpan perasaan khawatirnya. Beliau berharap Putri Bulan bisa bersikap dewasa dan terbuka. Lalu berharap Bak berubah lalu menyadari sikapnya untuk tidak memaksakan kehendak. Zaman sudah berubah. Terlalu naib mempertahankan adat dan keturunan sementara hak azazi seseorang ditepisnya sama sekali. Sampai kapan kebiasaan mengekang anak perawan dengan alasan orang tua selalu memberikan yang terbaik? Bukannya sampai saat ini Mak tidak merasakan hal yang terbaik kecuali terpaksa menjalaninya dan berpura-pura tidak ada masalah dan menerima? Padahal semua karena terpaksa. Sampai kapan hidup ini penuh kepuraan-puraan? Pura-pura mau? Pura-pura menerima sementara di dalam batin, dia kubur segala keinginan. Membiarkan batin menjerit karena tak mampu berbuat apa-apa. Ini bukan persoalan adat! Adat hanya dikambinghitamkan untuk mewujudkan keinginan pribadi. Keinginan orang tua, yang memandang persoalan hati dengan sebelah mata. Terlalu remeh mengagap perasaan bisa diubah. Padahal jika ditanya satu-satu di antara orang yang mengalami nasib sama seperti Mak, mungkin jawabannya sama. Menderita!!

Mak jadi ingat bagaimanan pertama kali kenal dengan Bak di pelaminan. Rasa bersalah dan penghianat membelenggu batinnya hingga kini. Berapa lama dia dipresi karena tak kuat menghadapi kenyataan. Dia paksakan diri mematuhi kehendak orang tuanya. Alasannya sama persis seperti disampaikan Bak pada Putri Bulan. “Ingin anaknya bahagia.” “Aku tidak ingin Putri Bulan mengalami hal yang pernah kualami.” Mak membatin. Akhirnya Mak berpikir bagaimana caranya meyakinkan Bak agar tidak memaksakan kehendaknya. Jika Putri Bulan menolak, apakah masih harus dipaksa? Mak harus bicara.Sekarang muncul lagi perasaan risau Mak. Tidak seperti biasanya Putri Bulan tidak bisa dihubungi. Naluri seorang ibu tidak bisa dibohongi. Meski Putri Bulan tetap tersenyum manja, lalu menjawab dengan nada datar seakan tiada beban, namun Mak merasakan di dalam dada Putri Bulan menyimpan gejolak yang tidak bisa orang lain rasakan. Apalagi selama ini Mak tahu betul melihat bahasa tubuhnya Putri Bulan dan Macam Kumbang memiliki perasaan yang sama. Mereka saling menyimpan perasaan itu dengan cara mereka sendiri. Sikap mereka berdua sangat dewasa, bahkan terlihat akrab seperti bersaudara. Tapi Mak tahu, pandangan mata ke duanya mengisyaratkan perasaan mereka. Ah! Mak menepis analisa perasaannya. Rasanya Mak kembali ke masa puluhan tahun yang lalu. Air matanya kembali merembes tak mampu dihalangi. Mak berdiri di sisi jendela rumah bubungan lima warisan orang tua Bak. Rumah yang cukup besar dibandingkan dengan rumah yang ada di sekitarnya. Apakah ada jaminan rumah yang besar ini penghuninya bahagia? Mak melempar pandang jauh ke lembah. Ingin rasanya menyusup ke lembah sedalam-dalamnya menyembunyikan perasaannya kembali.

“Ada apa, Delima? Andung perhatikan dari tadi dirimu resah. Ada masalah apa?” Suara Andung pengasuh dirinya dan Putri Bulan sejak kecil, tiba-tiba berdiri di belakangnya. Mak segera menyusut air matanya. “Ah tidak ada apa-apa, Andung. Aku hanya memperhatikan lembah. Rasanya ingin sekali turun ke sana.” Suara Mak menyembunyikan perasaannya. Andung menghampiri dan memegang pundak Mak. “Kamu jangan membohongi, Andung, Nak. Andung paham dirimu sejak kecil, demikian juga Putri Bulan. Andung paham siapa kalian. Jadi jangan bohongi Andung.” Suara Andung lembut. Mak terperanga. Andung memang seperti orang tuanya sendiri. Beliau adalah pengasuh dirinya sejak beliau masih kecil, hingga Putri Bulan pun ikut diasuhnya. Oleh sebab itu beliau sudah seperti orang tua sendiri. Andung dianggapnya sebagai pengganti almarhum ibunya. Mak langsung memeluk Andung menumpahkan perasaannya. “Andung masih ingat bagaimana ketika aku dipaksa Bak menikah dengan Riu Sapura? Andung yakin pada waktu itu aku bahagia? Andung yakin sekarang pun aku bahagia menjadi istri Riu Sapura?” Tanya Mak beruntun. Mendengar itu Andung terbengong. Dadanya ikut bergetar. Beliau masih ingat bagaimana dia berusaha membujuk Dahlia agar menerima nasibnya dengan ikhlas. Meyakinkan Dahlia bahwa perjodohan itu adalah takdirnya, sudah digariskan Allah. Bagaimana dia ikut menangis ketika melihat Dahlia jatuh sakit dan ingin bunuh diri. Bayangan duka itu ikut mempengaruhi jiwa Andung. Dia sangat tahu perasaan Dahlia perempuan yang diasuhnya sejak orok. Wanita tua itu seperti patung tak mampu berkata apa-apa. Ditatapnya wajah Mak dengan penuh tanda tanya. “Andung berharap kamu baik-baik saja, Nak…” Suara Andung lirih. Dibiarkannya Mak menumpahkan tangis di pangkuannya. Tangan tuanya mengelus-ngelus punggung Mak dengan penuh kasih sayang.

Andung seperti di bawa puluhan tahun silam ketika Dahlia mengalami peristiwa yang mengguncangkan jiwanya, Andung berusaha menyalurkan perhatian dan kasih sayangnya dengan cara mengelus dengan penuh kasih sayang punggung Dahlia. Menenangkannya, mendengarkan keluh kesahnya. Persis seperti sekarang. “Aku tidak ingin Putri Bulan mengalami nasib sepertiku, Andung. Cukup aku saja yang merasakan betapa menderita hidup dengan orang yang tidak pernah kita cintai. Betapa beratnya hidup berpura-pura. Meski kata Andung belajarlah menerima takdir, sudah kucoba, Andung. Tapi aku gagal. Aku berpura-pura menerima takdir, padahal hati tidak. Aku mencoba menyintai Riu Sapura, tapi hingga kini aku tidak paham apakah sudah tumbuh rasa cinta itu atau tidak? Aku tidak pernah tahu, Andung. Aku tidak pernah merasakan getar rindu atau apalah namanya padanya. Hingga kini, Andung. Aku tidak pernah bisa meski Putri Bulan kini sudah tumbuh dewasa. Aku lelah Andung menyimpan perasaan pura-puraku. Aku merasa berdosa.” Tangis Mak meledak.

Andung mengajak Mak masuk ke kamarnya lalu menguncinya. Dibiarkannya Mak menangis sepuasnya hingga sarung bantal basah semua. “Mengapa masa lalu itu kau ungkit lagi, Nak. Bukannya Andung selalu berpesan jangan pernah berhenti untuk belajar. Belajar menerima kenyataan. Belajar untuk menakhlukan kehendak hati, dan belajar menerima takdir. Jangan sesali apa yang sudah terjadi. Tapi berusahalah mengisi hari ini dengan sesuatu yang lebih baik,” ujar Andung pelan setengah berbisik. Meski perasaannya pun berat, tapi Andung selalu berusaha untuk menjadi penasehat anak yang telah diasuhnya sejak kecil ini. Hingga kini Andung tetap berada di garda paling depan meluruskan jika ada hal yang kurang tepat. Dirinya semacam konselor bagi Dahlia. Perempuan anggun pendiam dan lembut dalam bertutur di matanya. Perempuan yang selalu tersenyum, yang meneduhkan banyak orang. Andung baru menyadari jika di balik kelembutan itu ada luka yang disembunyikannya diam-diam. Oh! Dahlia!

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *