HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (66A)
Aku setengah berlari menyisir teras sekolah. Sahabat yang biasa pulang bareng kutinggalkan tanpa pamit. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.30 Wib. Usai maghrib aku harus sudah berada di gunung Bungkuk. Pak Uncu Deram, adik bungsu Bak Putri Bulan akan menjemputku. Jantungku sedikit bergetar, artinya malam ini aku akan bertemu dengan Bak dan Umak, orang tua Putri Bulan. Aku merasa tidak enak karena berani ikut campur urusan perjodohan tempo hari. Bahkan calon pengantin pria sudah kukirim ke gunung Dempu.
“Selasih…” Aku menoleh. Ternyata ada Eyang Kuda berjalan di belakangku. Aku berhenti sejenak. Tumben, ada apa Eyang menyusulku? Aku membatin.
“Kenapa buru-buru? Kayak dikejar hantu saja?” Candanya. Aku tertawa.
“Apa iya aku takut dikejar hantu Eyang? Bukankah hantu yang takut denganku? Karena tampangku lebih serem dari mereka,” ujarku balik bercanda. Akhirnya aku dan Eyang berjalan pelan menuju simpang kampung Bali tempat biasa aku menunggu angkot. Sampai di sana ternyata aku tidak diizinkan Eyang menunggu angkot. Aku malah diajak terus berjalan.
“Berjalan lebih cepat sampai daripada angkot, hayoo.” Eyang menarik tanganku. Aku kembali tertawa. Eyang seperti lupa jika saat tertentu aku ingin menjadi manusia biasa. Berjalan, naik angkot, hidup sewajarnya, merasakan duduk berdesakan, menikmati aroma tubuh manusia, kadang harus menahan nafas karena aroma manusia yang bermacam-macam, mendengar teriakan penumpang minta berhenti, atau teriakan supir yang bertanya pada penumpang, atau pada calon penumpang, suara deru mobil, bau asap kendaraan, dan lain sebagainya. Kalau harus selalu menggunakan kemampuan, kapan aku bisa menikmati hidup sebagai manusia? Tapi tak apalah kali ini aku mengalah. Eyang bermaksud mengantarku karena aku memang buru-buru.
“Malam ini aku akan ke gunung Bungkuk, Eyang. Nanti usai salat magrib aku akan dijemput pak Uncu Deram, pamannya Putri Bulan.” Ujarku diperjalanan.
“Iya, Eyang tahu. Kamu habis bertempur dengan Darang Kuning kan?” Ujar Eyang Kuda. Aku kaget.
“Kok Eyang, tahu?” Eyang kuda tertawa ringan. Lalu beliau berkata, mulai aku berangkat sampai aku pulang, aku selalu di bawah pengawasannya. Ketika betisku tertancap jarum beracun, katanya beliau ingin sekali segera menolong, tapi akhirnya diurungkannya, beliau ingin melihat bagaimana aku mengatasi masalah. Dalam hati aku gemes juga. Masak aku dibiarkan terluka? Eyang kejam juga, batinku.
“Bukan kejam, tapi kamu memang harus tahu mengatasi masalah dalam situasi sempit bagaimana pun. Tapi akhirnya Nyai Siti Abdillah membantumu,” ujar Eyang membaca pikiranku. Aku menatap Eyang Kuda. “Eyang kenal nenek Siti Abdillah?” Tanyaku.
“Siapa yang tidak kenal perempuan suci itu. Hampir sepanjang pulau Sumatera kenal beliau. Beliau adalah perempuan solehah yang kerap diundang mengkaji agama di alam bunian. Muridnya banyak. Beliau perempuan sufi yang sepanjang hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah SWT.” Sambung Eyang Kuda. Aku hanya bisa manggut-manggut. Bersyukur sekali aku bisa berjumpa dengan beliau.
Dalam waktu singkat aku dan Eyang Kuda sudah sampai di rumah. Eyang duduk sebentar di sudut ruang tamu. Tak lama aku melihat Eyang Kuda berlari ke ujung rumah. Entah apa yang dilakukannya. Ternyata Eyang mengejar makhluk asral yang berusaha mengintip aku. Kukira siluman ular yang suka duduk di mangga depan. Ternyata makhluk lain dari rawa-rawa belakang . Tak lama Eyang kuda seperti bergerak memagari kembali area rumah.
“Eyang ikut ke gunung Bungkuk, tunggu Eyang ya, Eyang akan salat magrib di masjid Jamik dulu.” Tiba-tiba Eyang Kuda menghilang. Seperti biasa beliau seketika sebelum aku menjawabnya. Aku buru-buru mandi lalu langsung memakai kostum yang biasa kupakai untuk pergi. Usai salat magrib aku sudah siap menunggu pak Uncu Deran dan Eyang Kuda.
Nyaris aku terjatuh ketika tiba-tiba Eyang Kuda menepuk pundakku. Saking tinggi ilmu meringankan tubuhnya, kerap kali angin yang mendesir tak terasa olehku. Tak berapa lama, angin berhembus. Aku sudah menduga pasti pak Uncu Deran datang. Aku belum kenal beliau. Aku baru tahu namanya dan sapaannya saja ketika Putri Bulan memberitahuku.
“Assalamualaikum Putri Selasih, apakah sudah siap? Aku disuruh Putri Bulan menjemputmu.” Suara lembut pak Uncu Deran dari luar. Beliau tidak berani masuk. Ternyata beliau lelaki gagah yang lembut. Aku mengangguk, sekaligus kusampaikan Eyang Kuda juga akan ikut ke sana mendampingiku. Uncu Deran tersenyum dan menyalami Eyang kuda. Mereka berkenalan lalu sejenak berbincang-bincang.
“Aku sudah sering mendengar nama Datuk, sering juga Datuk disebut-sebut Tuanku Ratu Agung. Datuk tunggangan sang Pahlawan Nasional itu bukan? Baru kali ini bisa betatap muka. Inilah hikmah aku disuruh menjemput Putri Selasih, rupanya untuk berjumpa dengan Datuk.” Sapa Uncu Deran ramah menyapa Eyang Kuda dengan sebutan Datuk. Aku tak menyangka, Ternyata Eyang tenar juga di alam gaib. Akhirnya kami bertiga berangkat. Kami melayang sejajar. Aku diapit Eyang Kuda dan pak Uncu Deran.
Ketika kami baru melintas dua tiga sungai, tiba-tiba aku melihat cahaya api seperti bola menggelinding ke sana ke mari di bumi. Dan itu tidak hanya satu, tapi beberapa. Aku tertarik ingin tahu.
“Pak Uncu, Eyang, lihat itu. Aku ke sana sebentar!” Teriakku. Tanpa persetujuan keduanya aku langsung meluncur turun untuk memastikan mengapa bola api itu menggelinding ke sana ke mari membakar setiap benda yang dilaluinya. Api kulihat menyala menjadi beberapa titik dan melebar. Angin berhembus kencang. Aku melihat ada mkhluk yang meniup api agar menyala. Sementara Sumber api seperti menyedot angin membuat pohon-pohon yang dilaluinya rebah. Memang sudah beberapa hari ini bumi Rafflesia tidak turun hujan. Aku melihat padang ilalang di sela-sela hutan kecil ini kering. Api dengan mudah melalapnya.
Otakku langsung berpikir kebakaran ini disengaja! Aku melihat makhluk api sengaja menggelinding ke sana kemari agar api melebar. Setengah emosi, tanpa bertanya-tanya lagi, bola api yang lincah itu kuhantam dengan pukulan halilintarku.
DuuuaRRR! Api makin tinggi membumbung. Bola api tak lagi menggelinding, namun seperti bola mantul di tempat. Selanjutnya kuangkat tanganku tinggi-tinggi. Kupanggil bai hujan (ibu hujan), kutambahkan kekuatan es-ku, lalu kusemai pada api yang menjalar. Api mengecil seketika. Tidak semuanya mati. Aroma hangus daun yang terbakar lalu tersiram air menguap khas.
“Kurang ajar! Ada anak kadal rupanya berani mematikan apiku.” Tiba-tiba aku melihat beberapa sosok seperti api. Wajah mereka rata-rata keriput dan bermata merah, bertelinga lancip, dan bertanduk. Melihat gelagat mereka, sekilas membuatku berpikir, ternyata kebakaran di muka bumi ini ada campur tangan makhluk asral juga. Hal ini terlihat langsung bagaimana mereka mengubah diri mejadi bola api lalu menggelinding ke sana ke mari untuk membuat api cepat menjalar.
Tanpa bertanya dan minta izin Eyang Kuda dan Pak Uncu Deran lagi, aku langsung menyerang pasukan makhluk berupa api itu. Sengaja aku tidak menggunakan pukulan badai. Kuangkat tanganku ke atas kepala, kuhimpun kekuatan hujan dan es. Dalam sekejab, bumi yang semula berapi kini nampak seperti bara. Melihat hujanku mulai menggulung, sosok api mulai menyerangku. Kuhantamkan hujan berbarengan dengan es. Suara berdesis di mana-mana. Sebagian ada yang kena hantam dan tubuh mereka terbelah-belah, ternyata pecahan-pecahan tubuh mereka berubah wujud menjadi titik api-titik api kembali. Aku segera meningkatkan pukulan hujan esku. Benturan-benturan kembali terjadi. Makhluk api ini ternyata dasyat juga. Latupan-letupan bara yang mereka simpan di bawah tanah adalah strategi kelicikan makhluk aneh ini. Akhirnya aku melesat ke sisi api dengan cepat kugulung bara yang tersimpan di bawah tanah. Dalam sekejab gulungan tanah berupa bara membukit. Kudorong hingga ke sisi. Sosok-sosok api itu berusaha melawan untuk membentangkan kembali bara yang kudorong. Ternyata Eyang Kuda tidak sabar, ketika sosok-sosok itu berusaha menghalangi gulungan tanah yang berapi dengan cepat beliau menghantamkan pukulan yang membekukan para sosok asral. Tenyata tidak sampai disitu, Eyang Kuda menggerak tangannya seperti mengais tanah lalu jadilah sebuah lubang yang menganga. Sekali sapu makhluk-makhluk asral itu beliau seret jadi satu ke dalam lubang. Melihat mereka telah beku aku hantamkan kembali bola esku sehingga mereka berbalut jadi satu. Eyang kuda kembali menutupnya dengan tanah. Sementara gulungan bara telah berubah menjadi tanah kembali.
Yakin semua api telah mati, kami segera melanjutkan perjalanan.
“Jeli sekali matamu, Selasih. Kukira tadi kenapa kamu kok langsung meluncur saja ke arah itu.” Ujar pak Uncu Deran. Aku hanya tersenyum. Kukatakan, tiap kali melihat cahaya api tubuhku pasti bergetar. Partama terbayang ketika ruko Bapakku yang terbakar, api membumbung di depan mata, ke dua, aku benci sekali melihat api yang telah membumihanguskan hutan, terutama hutan yang diubah manusia menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Baru kutahu, ternyata tidak selamanya kebakaran lahan disebabkan oleh manusia. Tetapi ada juga campurtangan bangsa jin dan iblis. Eyang Kuda membenarkan. Tidak hanya kebakaran, banjir dan gempa bumi pun ada juga campurtangan makhluk asral. Ada yang bernilai positif namun ada juga yang negatif. Yang negatif seperti yang kita lihat tadi, sengaja membuat kehancuran di muka bumi, sedangkan yang positif seperti yang dilakukan sebagian gunung, bukit, laut, hingga saat ini masih menahan diri untuk tidak murka. Mengapa mereka masih menahan diri tidak lain karena masih ada makhluk yang ikhlas, khusuk beribadah dan berdoa. Karena masih ada makhluk tua renta rajin ibadah, selanjutnya karena masih ada bayi-bayi yang netek pada ibunya. Hal itulah di antaranya yang menghalangi murka Allah dan murka alam semesta. Aku diam menelaah apa yang disampaikan Eyang Kuda. Persis seperti yang pernah disampaikan mualim guru ngajiku. Maka bersyukurlah jika masih ada orang tua rentah yang ahli ibadah, bayi-bayi yang menyusu pada ibunya. Karena merekalah murka Allah itu bisa ditahan. Duh! Dalam sekali kajian Eyang Kuda. Wajar saja jika kakek-kakekku kerap kali berpesan, berzikir teruslah berzikir untuk melatih batinmu menuju Allah. Maksudnya, agar kita jangan putus untuk mengingat yang Maha Kuasa setiap waktu. Bahkan dalam hentakan nafas pun iringi degan zikir.
Gunung Bungkuk sudah didepan mata. Aku jadi ingat bagaimana ketika aku hendak ke mari, memilih jalan yang melingkar biasa dilalui oleh para pendaki, lalu bertemu dengan nenek-nenek, nyatanya seorang laki-laki yang menyamar. Datuk Sarik, sahabat Eyang Kuda yang kocak dan jahil membuat aku batal ke puncak gunung Bungkuk kala itu. Kalau teringat itu aku mau tertawa. Karena dengan bangga Datuk Sarik mengatakan senang bisa mengelabui aku. Sampai-sampai Eyang pun tahu jika aku suka lalai, kerap mengganggap remeh instingku. Aku tidak sadar kalau dikibuli datuk Sarik kala itu.
Huf! Kami bertiga serentak turun persis di pintu gerbang bagian timur. Dua nenek gunung menyambut kedatangan kami. Ke dua telapak tangan mereka di arahkannya ke masing-masing tubuh kami, mirip seperti mendeteksi benda aneh. Kecuali pak Uncu Deran yang tidak diperiksa. Tak lama keduanya memberi hormat, menyuruh kami masuk.
Seperti pintu gerbang-pintu gerbang perkampungan alam gaib lainnya, pintu gerbang di gunung Bungkuk pun memiliki ciri khas juga. Dari pak Uncu Deran kuketahui jika ini pintu gerbang ke dua di puncak. Untuk sampai kemari, ada dua pintu gerbang, satu pintu gerbang di lembah, yaitu sisi barat dan timur, lalu di puncaknya pun demikian ada dua pintu gerbang di barat dan timur. Aku terkagum-kagum melihat pahatan tiang pintu gerbang. Motif daun pakis dan rebung, semua terbuat dari emas. Lalu di tengah tiang ada sebuah lempengan bulat besar di tengahnya ada motif mirip pedang lalu di sisinya bertulisan arab gundul mirip seperti huruf yang tertuang di batik-batik khas Bengkulu, yaitu batik besurek. Aku memperkirakan ini adalah lambang kerajaan. Sisi kiri dan kanan sama persis.
Masih di dekat pintu gerbang, pak Uncu Deran mengarahkan kami untuk mencuci kaki terlebih dahulu. Aku dan Eyang menuju pancuran kecil yang berderet seperri tenpat wudu. Lagi-lagi aku terkagum-kagum. Pancuran-pancuran ini semuanya berwarna emas. Melihat airnya bening dan terasa dingin, aku tidak hanya membasuh kaki. Tapi aku langsung wudu agar terbasuh semuanya. Baru setelah itu kami berjalan menyisir jalan yang licin dan bersih. Di bangian tengah jalan ditanam rumput kecil yang terpelihara. Di sisi kiri kanan jalan tumbuh pohon-pohon berdaun kecil mirip daun pohon asam dan kelor. Lalu jarak beberapa meter ada tempat duduk menyerupai perahu. Semuanya ditata sedemikian rupa. Indah sekali. Selanjutnya di sisi pohon hamparan kebun anekah buah, lalu di seberangnya terbentang sawah. Siapa sangka jika dilihat dengan kasat mata daerah ini hanya lempengan batu besar dan hitam berdiri kokoh, berundak-undak dan licin, ditumbuhi pohon-pohon tak seberapa lebat dengan akar-akarnya yang kokoh menggapai tanah. Ternyata, di alam tak kasat mata di atas batu ini membentang sebuah wilayah yang kaya dan berwibawa. Baru pintu gerbangnya saja terlihat betapa agung dan kayanya kerajaan gaib ini. Bagaimana jika masuk ke istananya? Masya Allah, aku berdecak kagum dibuatnya.
Tak berapa lama, kami memasuki perkampungan. Lagi-lagi aku berdecak kagum. Di sepanjang jalan aku melihat rumah panggung berjajar rapi, berandanya berdinding papan pilihan yang diukir, tangga tiap rumah dibuat melengkung lebar di bawah. Semakin ke atas semakin kuncup seluas pintu masuk yang berpintu. Rata-rata setiap beranda ada kursi tamu yang bentuknya minimalis dan santai. Lampu hias tergantung di tengah-tengah beranda. Asri sekali. Di sisi tangga ada tempayan berisi air untuk para tetamu ataupun siapa yang naik mencuci kaki terlebih dahulu. Aku melihat beberapa orang lalu-lalang tanpa alas kaki. Jadi wajar saja jika di dekat tangga disediakan tempayan tempat air. Jendela rumah berdaun lebar sisi kiri dan kanan. Sementara di bawah rumah panggung, aku melihat alat menenun tergantung rapi. Beberapa kain tenun terbentang di bawah rumah. Kuamati sejenak motifnya, ada motif lepus, bungo jinten, bungo cino, semuanya nampak mengkilap karena ditenun dengan benang emas. Motif-motif ini kerap kulihat pada songket palembang. Tapi setelah kupikir, perbauran budaya bukan hanya di alam nyata saja, tekhnologi dan budaya di alam gaib pun sama. Apalagi Bengkulu baru berapa tahun menjadi provinsi, sebelumnya Bengkulu adalah salah satu Kabupaten di bawah pemerintahan Daerah Sumatera Selatan. Jadi wajar jika di kampung ini songket dijadikan sebagai pekerjaan sampingan. Sama persis dengan masyarakat suku Melayu Palembang.
“Itu rumah Putri Bulan. Nampaknya ramai. Rupanya mereka sudah menunggu kita.” Ujar pak Uncu Deran. Beliau sedikit berteriak mengucapkan salam ketika masih di pangkal tangga. Lalu mencuci kaki dan menggesurnya pada keset yang sudah disediakan. Aku dan Eyang Kuda ikut mencuci kaki persis seperti yang pak Uncu Deran lakukan. Lalu menaiki anak tangga. Di sebelah kiri ada lelaki yang menyambut pak Uncu Deran dan Eyang Kuda. Pak Uncu Deran langsung menyarungkan kain yang disodorkan lelaki yang menyambut kami dengan ramah. Selanjutnya yang perempuan, menyambutku dengan kain dan tengkuluk. Aku jadi ingat ketika aku pulang ke dusun Puyang Pekik Nyaring. Di sini sama, aku dipakaikan kain. Bedanya kain yang kupakai kain lasem lengkap dengan tengkuloknya. Setelah berpakaian lengkap baru kami diizinkan masuk.
Sebelum masuk selintas aku melihat tempat duduk perempuan dan laki-laki berbeda. Para lelaki diruang depan, setelah beranda, sedangkan perempuan memasuki satu pintu lagi, lantainya lebih tinggi dari lantai sebelumnya, di ruang ini yang duduk perempuan semua. Antara penghubung ruang laki-laki dan perempuan ada ruang lagi yang terbuka, lantainya tinggi dengan lantai para perempuan, di sana duduk beberapa orang sepuh, nampaknya Bapak Putri Bulan dan sesepuhnya yang lain mungkin juga para Datuknya, duduk beralas bantal warna -warni. Aku terpukau dengan rumbai-rumbai yang menghiasi dinding dan jendela. Warna dan motifnya mirip dengan motif minang kabau dihiasi manik-manik aneka warna. Terlihat sangat meriah.
Dalam hati aku berpikir, ini acara kenduri atau apa? Mengapa ramai dan harus pakai kain segala? Ketika aku dan Eyang Kuda masuk semua tamu yang ada berdiri dan memberi hormat. Aku kikuk dibuatnya. Apakah berjabatan tangan atau tidak?
“Maaf para sanak, Bak, Datuk, Pak Uncu, Ingah, Mak Dang, dan lain-lain, apakah saya harus sujud satu-satu?” Tanyaku dengan sapaan daerah yang serampangan. Sebab aku takut dibilang tak beradat. Aku lupa bertanya pada pak Uncu Deran sebelumnya.
“Tidak juga tidak apa, Putri Selasih. Silakan langsung masuk ke tengah.” Seseorang sepuh menyilakan aku masuk ke tempat perempuan. Akhirnya aku langsung masuk disambut Putri Bulan dengan pelukan haru. Lama sekali Putri Bulan memelukku. Aku tahu Putri Bulan tak mampu berkata-kata untuk mengungkapkan rasa syukur dan terimakasihnya karena aku dianggap telah berjuang untuknya. Aku tahu matanya basah, namun ditahannya. Akhirnya aku hanya mendengar lirih ucapan terimakasih ke luar dari mulutnya berulang-ulang. Putri Bulan melonggarkan pelukan. Kami bertatapan. Sama tersenyum. Hanya hati kami yang sibuk bercerita masing-masing tentang banyak hal yang belum sempat diungkap.
Bersambung…