ETERNAL, Seni Tiga Pelukis Bandung

Tiga pelukis Bandung mempresentasiakn karya mereka dalam pameran yang bertajuk ”Eternal”. Frasa ini dipilih untuk menjadi sebuah tajuk pameran karena memiliki sifat dari seni itu sendiri, yaitu bahwa seni itu abadi sedang hidup adalah singkat atau sesaat.

Tondi Hasibuan, Andi Sopiandi, Supriatna, Aisul Yanto

Pameran yang bertajuk Eternal ini dipresentasikan oleh tiga orang pelukis dari kota Bandung yaitu Tondi Hasibuan, Supriatna dan Andi Sopiandi. Masing- masing pelukis memiliki latar belakang dan pengalaman hidup yang berbeda- beda. Dari perbedaan tersebut di atas menghasilkan juga karya- karya kreatif yang berbeda gaya ungkap visual dan filosofi kedalaman dari para pelukisnya. Jam terbang mereka bertiga, telah malang melintang menggelar pameran karya-karya mereka baik di dalam maupun di luar negeri dalam event yang bergengsi.

Pameran Lukisan Eternal ini dipercayakan kepada dua orang untuk mengkurasi, yaitu Aisul Yanto dari Jakarta dan Geronimo Cristobal dari New York. Keduanya mengadakan dan memiliki pameran ini untuk dipersembahkan kepada masyarakat seni rupa Indonesia dan masyarakat luas di gedung Balai Budaya.

“Kami memilih tempat ini karena Balai Budaya adalah sebuah gedung yang tidak saja memiliki sejarah panjang, tempat lahirnya berbagai pemikiran dan praktik kebudayaan di Indonesia. Tetapi ia telah berfungsi sebagai penanda kebudayaan dan rumah/ rorompok ( bahasa Sunda) bagi peradaban,” tutur Aisul Yanto.

Ketiga seniman dalam event ini akan mempresentasikan masing-masing 8- 10 karya dalam ukuran yang cukup besar.

Tondi Hasibuan karya- karyanya mengambil isian dari berbagai peristiwa stori dan histori baik yang ada di negeri ini maupun yang ada di berbagai negeri lain, ia mendapatkan pendidikan seni di Australia dan Inggris, latar belakang inilah salah satu yang mendorong bahasa rupa yang ia tampilkan dekat dengan pengaruh dari berbagai pencapaian yang ada di khasanah seni rupa modern di belahan dunia barat oleh para tokoh Cubism, tetapi karyanya tetap berasa sangat Asia, alias Nusantara.

The Conversation karya Tondi Hasibuan

Lihat salah satu karyanya yg mengambil tema tentang sejarah Raja Brawijaya beserta penasehatnya, sang Semar yang sebenarnya adalah pelukisan dari situasi dan kondisi yang ada. Warnanya berasa warna tropis dengan warna merah, kuning, jingga, coklat tanah menyimbolkan sebuah kehangatan, bahasa rupa yang ia tampilkan di dalam nafas kubis.

“Penggambaran deformasi wajah, tubuh dan anggota tubuh di setiap
lukisannya saling berkelindan mencipta ruang kedalaman, tergambar penyederhanaan/stilisasi dari bentuk daun. Ini menjadi salah satu ciri dan gaya dari karya seni saya.” Jelas Tondi Hasibuan kepada Surat Dunia.

Aisul Yanto mengomentari karya Tondi Hasibuan bahwa bagi seniman ini, daun memiliki sebuah filosofi yang bermakna menghubungkan semua aspek kehidupan yaitu daun-daun kehidupan itu sendiri yang selalu memiliki keberadaanya sendiri. Karya-karyanya merepresentasikan dirinya pribadi sebagai manusia timur dengan cakupan bahasa rupa barat yang tetap beraroma dan rasa eksotisme timur.

Supriatna pelukis yang mendapatkan pendidikan seninya dari seni rupa ITB- Bandung, sejak kecil telah tertarik dengan dunia seni rupa, awal karya-karyanya ketika masih menimba ilmu dan setelah kelulusan dari almamaternya berada di jalur abstrak, tetapi kemudian karena pengaruh lingkungan dimana ia berkarya baik sebagai seniman dan sebagai pendidik, ia malah tertarik kembali dengan bentuk, khususnya figur-figur penari/ perempuan, dengan komposisi yang berbagai macam sudut pandang.

Nyi Ronggeng karya Supriatna

Rasa artistiknya tak lepas dari rasa artistik almamaternya, artinya ada pengaruh dari para maestro dan profesor yang ada institusi dimana ia menimba ilmu seni rupa. Ia telah menemukan jalurnya sendiri dalam berkesenian dan menemukan kepribadianya.

“Bagi saya sosok perempuan adalah sesuatu yang tidak saja indah tetapi juga memiliki nilai yang sakral sebagai bentuk keterhubungan dengan keIlahian.” Tutur Supriyatna mengapa ia memilih perempuan dalam karya seninya di pameran ini.

Pelukis ketiga yaitu Andi Sopiandi. Pelukis yang belajar secara sendiri dan mandiri, belajar dari berbagai buku dan dengan cara melihat banyak pameran seni rupa, karena kegigihan dan kemauan kerasnya untuk belajar terus, menghantar dirinya ketika duduk di bangku SMA telah berani dan berhasil menggelar pameran tunggalnya yang pertama (di SMA Angkasa-Bandung). Dari peristiwa ini mendorong dirinya untuk menekuni seni lukis-rupa sebagai jalan hidupnya hingga hari ini.

Istirahat sejenak karya Andi Sopiandi

“Saya memang banyak memainkan kanvas saya dalam merekam keindahan alam/ lanskap dengan rasa warna-warna yang segar, sebagai endapan alam bawah sadar yang menyimpan kenangan sebagai seorang pecinta alam,” Andi Sopiandi menjelaskan kepada Surat Dunia mengenai pilihan dari karya seninya.

Bahasa rupa pada karya-karyanya yang mengambil tema lanskap, dikerjakan dengan teknik yang sangat halus dengan dominasi warna-warna teduh hijau/ biru, sedikit transparan mengingatkan akan kerja pelukis Wahdi dengan lanskap-lanskapnya dengan teknis yang lebih transparan lagi. Satu karyanya yang menggambarkan sebuah perahu yang bersandar (Nelayanku kemana? 2015) dan Situ Cangkuang III memiliki pencapaian pengolahan warna yang sangat matang, sangat colouris dan indah. Mengingatkan akan karya Abas Alibasyah pada periode atau seri Pemandangan di Senen dan seri Lotus.

Dalam proses perjalanan kreatifnya pelukis Andi Sopiandi telah menemukan jalan yang sesuai dengan dirinya, dan telah menemukan diri sendiri, itu termanifestasikan di dalam karya- karyanya yang sangat khas dirinya.

Kepada Surat Dunia Aisul Yanti menerangkan, karya-karya mereka bertiga dari Bandung ini, serasa menyambung kembali benang merah sejarah yang pernah terjalin antara Bandung dan Balai Budaya, 66 tahun yang lalu 11 pelukis muda/ mahasiswa dari kota Bandung al; Pelukis But Muchtar, Srihadi Sudarsono, Ach. Sadali, Sie Hauw Tjong, Soedjoko dll. menggelar pameran seni rupa/lukis di Balai Budaya, d/h Jl. Sunda no.47 Menteng, dari tanggal 20-27 Nopember 1954. Dan para pelukis muda itu, saat ini telah menjadi para maestro seni rupa, guru besar, profesor seni rupa.

Pameran para pelukis muda/ mahasiswa ini ditulis oleh pelukis Trisno Sumardjo di majalah mingguan Siasat, 5 Desember 1954, kemudian dibalas oleh tulisan Soedjoko menjadi sebuah polemik seni dan budaya, yang melahirkan istilah atau mazhab Bandung dan Yogya dalam bidang seni rupa yang monumental itu. Hari ini sejarah itu terhubung kembali dengan peristiwa pameran Eternal oleh tiga pelukis Bandung ini.

Peristiwa 1954 itu menelurkan sebuah perbedaan pemikiran dalam memandang persoalan seni rupa pada zamanya, sebagai sebuah dinamika perjalanan sejarah kebudayaan. Maka hari ini peristiwa pameran “Eternal” adalah sebuah peristiwa kesejagadan, karena sesuai dengan semangat zaman/zeitgeist yang telah masuk di dalam ceruk peradaban digital, sebuah peristiwa dapat tersiarkan dengan cepat tanpa batas ruang dan waktu. Memberi tanda dan harapan lewat kekekalan sifat seni yang selalu memberikan daya hidup pada peradaban yang kini sedang didera pandemi hampir di seluruh bagian dunia.

Pameran ini dapat menjadi sebuah simbol sebagai peristiwa penutup tahun pandemi, menyongsong hari- hari zaman baru yang gemilang, dengan habitus baru sebagai sebuah keniscayaan.

Pameran Lukisan ini digelar di gedung Balai Budaya Jakarta Jl. Gereja Theresia no.47 Menteng-Jakarta, dari tanggal 20-30 Desember 2020.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *