HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (86B)

Karya RD. Kedum

Aku duduk di tepi kolam yang mengarah ke laut. Tubuhku terasa lelah. Bersama Paman Gola dan Nyi Ratih, kami baru saja menarik rakyat kerajaan yang masih tersebar. Sebagian besar mereka tidak tahu jika kerajaan Timur Laut Banyuwangi telah berdiri kembali. Yang menguras tenaga adalah saat menarik dan mengajak mereka untuk ke jalan kebenaran. Tidak sedikit pula mereka menolak. Memang tidak mudah untuk mengajak kebaikan. Apalagi sudah bertahun-tahun mereka semacam hewan liar tanpa pemilik. Setiap saat mereka berusaha untuk bertahan hidup lebih aman dan nyaman. Sebagian lagi ada semacam pengungsi, hidup di tempat-tempat kotor, di laut, pantai, rawa-rawa, hutan, dan gunung. Tidak sedikit yang masih bertahan di sepanjang pantai. Jika nasib mereka baik, mereka ada yang diizinkan tinggal di rumah-rumah ibadah bangsa manusia, yaitu di pure-pure.

Aku bersyukur Puyang Purwataka dan Eyang Putih banyak membantu mengarahkan rakyat mengisi struktur kerajaan. Ada yang diangkat menjadi pengurus rumah tangga kerajaan. Mungkin semacam abdi dalem. Ada yang menjadi patih, ponggawa, prajurit, sampai ke tugas dan tanggujawab yang paling kecil. Wajah cerah dan semangat rakyat kerajaan membuatku semakin semangat.

“Kanjeng Ratu, di luar ada tamu yang tidak hamba kenal. Namun beliau mengaku rakyat kerajaan. Jumlah mereka lebih kurang tiga puluh orang. Selama ini mereka mengaku tinggal di lereng gunung Slamet, gunung Lawu, sebagian besar mereka adalah petapa. Lalu ada juga yang hidup di pesisir” Seorang pengawal menghadap padaku. Sejenak aku menatapnya. Beliau ini sosok lelaki, yang baru saja mengenal Budha Dharma. Sebelumnya, katanya tidak kenal Tuhan bahkan tidak percaya sama sekali. Beliau termasuk makhluk liar dan ganas. Kemampuan yang beliau miliki hanya untuk mencelakakan, menyakiti, menyesatkan bangsa manusia. Beliau adalah jawarah, antar sesama pun beliau suka bertarung dan menyatakan dirinya paling sakti. Tidak heran jika beliau banyak pengikutnya, rata-rata pengikutnya adalah makhluk yang ditakhlukannya. Ternyata setelah dibersihkan, beliau memiliki tanggungjawab yang tinggi.

Aku berterimakasih dengan Eyang Gola. Beliaulah yang telah mampu mengarahkan beliau untuk kembali. Tentu saja dengan persyaratan yang sudah tertulis. Pada akhirnya, Nyi Ratih juga membantu memusnakan ilmu hitamnya, serta memutuskan hubungannya dengan kaum manusia.

Panjagaan pintu gerbang sengaja kubuat berlapis. Tidak semua makhluk bisa masuk ke dalam istana. Melihat aku bergerak hendak ke luar, tiba-tiba Nyi Ratih mendahului.
“Izinkan hamba melihat mereka lebih dulu, Kanjeng. Hamba paham apakah mereka warga kita atau bukan” Ujarnya. Aku mengangguk setuju. Tak lama Nyi Ratih menuju pintu istana bersama seorang pengawal.

Pandanganku masih kulempar ke laut lepas. Beberapa hari ini angin tidak terlalu kencang. Laut nampak tenang. Ombak bergulung seperti liukan tubuh penari. Beberapa sosok penjaga istana berjalan pelan di belakangku. Aku tahu, mereka takut sekali jika aku merasa terganggu. Di luar istana kulihat beberapa rakyatku berjalan beriringan. Aroma gaharu menyeruak hingga ke dalam istana. Sebagian mereka membawa canang menuju pure guna melaksanakan sembahyang pagi ini. Mereka akan melaksanakan ibadah. Sementara di masjid, para santri kulihat ada yang mengaji, solat, dan ada yang berzikir. Akhirnya aku memilih ke masjid, aku ingin beribadah saja, mengadukan semua masalah.

Usai solat duha, sejenak aku berzikir. Pelan-pelan ada kerinduan menyusup pada kampung halaman. Di alam nyata, aku baru beberapa hari pergi. Tapi di alam tak kasat mata rasanya aku sudah sangat lama. Sebagaimana manusia, ada juga rasa jenu muncul tiba-tiba. Apalagi di tempat baru, situasi baru, status baru. Aku menahan diri untuk betah beberapa saat di alam ini. Setelah semuanya beres aku berencana akan pulang.

Aku bersyukur ada Nyi Ratih, Eyang Putih, Puyang Purwataka, dengan segenap jiwa mereka membatuku. Merekalah yang menyeleksi rakyat kerajaan untuk menjabat sesuai dengan keterampilan masing-masing. Termasuk juga melatih mereka sesuai jabatannya. Belum lagi tokoh-tokoh agama baik makhluk gaib mau pun dari alam nyata, tak ketinggalan memberikan sumbang saran. Kalau pun ada hal -hal yang tidak mulus, semuanya bisa diatasi. Misalnya keengganan beberapa makhluk melepas ilmu-ilmu mereka yang kuanggap tidak baik. Akhirnya dengan tegas aku katakan pada mereka untuk ke luar dari kerajaan. Tidak sedikit makhluk asral yang kubuang ke laut dan tidak kuizinkan pulang karena mereka melawan dan tidak mau tunduk pada peraturan kerajaan.

Memimpin sebuah kerajaan, sementara aku tidak punya pengalaman sama sekali, tidaklah mudah. Meski dibenakku berjejal berbagai macam program yang akan kuterapkan di kerajaan ini, namun ternyata tidaklah mudah. Karakter, budaya, keyakinanan yang berbeda, perlu sedikit hati-hati demi menghindari arogansi. Apalagi berhadapan dengan makhluk yang sudah Kehilangan jati diri. Ternyata tidak jauh berbeda dengan manusia. Perlu pendekatan secara psikologi untuk menakhlukkan mereka agar paham dan menerima sesuai peraturan baru. Karena siang dan malam batinku selalu berhadapan dengan hal ini, muncul perasaan jenuh. Bahkan sangat jenuh.

“Om suwastyastu. Kemarilah, Cucuku. Nini mau bertemu” Tiba-tiba aku dikagetkan suara Nini Ratu. Suara beliau sangat jelas dan jernih. Aku terkesima, suara Nini Ratu tidak menapakkan seorang yang sangat sepuh seperti ketika pertama kali aku berjumpa.
“Iya Eyang. Saya akan segera menemui Eyang. Selanjutnya bersama kita pulang ke kerajaan, Eyang. Sudah waktunya Eyang pulang. Istana kita sudah selesai, Eyang. Rakyat kita pun sudah banyak yang kembali” Ujarku sedikit senang. Aku berharap usaha yang sudah kulakukan beliau setuju dan menerima, meski sebelumnya beliau mengatakan semua diserahkannya padaku. Mendengar tawaranku untuk menjemput Eyang pulang ke istana, membuat Eyang tertawa kecil. Aku segera pamit dengan Nyi Ratih sejenak meninggalkan kerajaan. Selanjutnya kerajaan kutitip pada beliau.

Pertapaan Nini Ratu yang menghadap ke laut siang ini nampak terang. Burung camar terbang ke sana ke mari. Angin laut berhembus pelan meski laut berombak.
“Masuklah Cucuku, Kanjeng Ratu” Nada suara Nini Ratu gembira. Aku segera melangkahkan kaki masuk ke dalam gua, lalu memberikan hormat pada beliau. Senyum Nini Ratu mengembang tiada henti.
“Sengaja aku mengajakmu ke mari. Di sini lebih nyaman bercerita dibandingkan di istanamu. Nini Sudah tahu semuanya, Cu. Nini melihat bagaimana kesungguhan orang-orang yang telah membantu pembagunan istana kita. Kau hebat, Cucuku. Hanya dalam hitungan jam, istana kau buat seperti sudah berdiri lama. Yang membuat Nini bangga padamu, kau mampu mengubah akhlak rakyat kerajaan Timur Laut Banyuwangi. Hal yang tidak pernah terjadi sepanjang sejarah kerajaan kita” Nini Ratu lagi. Aku sampaikan semua karena doa dan dorongan Nini Ratu serta orang-orang baik yang ada di sekitar kita. Ternyata Nini Ratu setuju dengan aturan yang telah kuterapkan di kerajaan.

“Nini bahagia dan sangat bersyukur memiliki Cucu sepertimu. Pimpinlah kerajaan sebaik-baiknya. Nini tahu, Cu. Perasaanmu tengah gunda. Nini tahu kau ingin kembali wujud pada asalmu. Sebenarnya hal itu paling mudah dan kapan saja bisa kau lakukan. Tapi rasa tanggujawabmu, membuat kau masih menahan diri. Tidak apa, Cu. Pelan-pelan roda pemerintahan kerajaan akan berjalan lancar dengan sendirinya. Saat semuanya sudah berjalan baik, maka kau bebas untuk meninggalkan kerajaan dalam waktu lama. Namun pesan Nini, jangan lepaskan begitu saja. Meski dirimu bisa komunikasi dengan Nyi Ratih dan lainnya kapan saja, tapi ada waktunya kau harus lihat langsung kerajaan” Nasehat Nini Ratu melegahkan perasaanku.
“Ampunkan hamba, Nini. Benar, sebagai manusia, aku juga punya tanggujawab sosial dalam kehidupan nyata. Aku mencintai kerajaan Timur Laut Banyuwangi, tapi aku juga punya keluarga, Bapak, Ibu, saudara. Mereka juga membutuhkan aku sebagai manusia biasa, Nini. Terima kasih atas pengertian dan nasehat Nini” Ujarku memberi hormat pada beliau. Beliau kembali tersenyum.

Entah berapa lama aku berada di tempat pertapaan Nini Ratu ini. Yang jelas banyak sekali nasehat, petuah yang beliau berikan padaku tentang berbagai macam hal kepemimpinan kerajaan . Beliau bercerita pula tentang pengalaman-pengalaman ketika beliau memerintah menghadapi karakter rakyat rata-rata brutal.
“Ibarat merancang sebuah lukisan, engkau telah mengarsir badan kanvas dengan benar, Cu. Caramu memperlakukan mereka dengan cara lembut dan manusiawi, menjadi strategi tepat menghadapi makhluk-makhluk kerajaan yang liar. Hal yang Nini bangga padamu, kau tidak mengganggap mereka hina, meski tak sedikit mereka masih membanggakan diri merasa paling sakti dan lain sebagainya. Semoga ketegasanmu dengan membuang dan menghukum mereka yang membangkang, jadi pelajaran untuk yang lain. Tunjukkan kesungguhanmu, jika kau tidak main-main. Nini suka caramu itu” Kembali Nini Ratu memuji. Ketika aku mengajak beliau untuk kembali ke kerajaan, bersua dengan rakyatnya yang telah berubah, beliau menolak dengan tegas.
“Cukuplah Nini melihat mereka dari jauh saja, Cucuku. Nini telah gagal memimpin mereka dulu. Jika Nini pulang dan bersua mereka, Nini khawatir pikiran mereka berubah lalu berkhinat padamu” Ujar Nini Ratu lagi. Aku mencoba memaknai maksud Nini Ratu. Aku berusaha memahami hal mungkin tersembunyi di balik tuturnya. Sebab, hingga saat ini aku kerap berpikir, apa alasannya Nini tidak mau lagi menjadi Ratu. Perihal dia kecewa karena tak bisa memiliki kekasih hatinya, rasanya terlalu remeh jika itu jadi alasannya.

Setelah mendapatkan wejangan dan nasihat yang banyak, aku berniat pulang. karena Nyi Ratih mengabarkan ada beberapa makhluk yang hendak menerobos ke istana ingin bertemu denganku. Beliau adalah rakyat kerajaan yang sudah lama menghilang. Mendengar kerajaan sudah berdiri, mereka ramai-ramai pulang. Namun mereka keberatan untuk dibersihkan oleh Nyi Ratih. Bahkan mereka hendak menyerang Nyi Ratih dan pengawal penjaga istana.
“Pulang Cucuku, kelak ketika purnama tiba, kuharap engkau ke mari untuk terakhir kali” Aku terkejut mendengar pernyataan Nini Ratu. Mengapa beliau mengatakan untuk terakhir kali?
“Nini Ratu hendak kemana?” Ujarku khawatir. Beliau tersenyum manis sekali.
“Mengapa kau risau, Kanjeng Ratu. Bukankah dalam agamamu sudah jelas bahwa jodoh, rezeki, maut itu pasti dan sudah ada yang mengatur? Dan setiap makhluk hidup pasti akan mati, pergi selamanya. Begitu juga dalam ajaran Hindu Dharma, kematian bukan sesuatu yang menakutkan. Kita hanya berpindah alam saja. Nini merasakan sudah waktunya Nini kembali. Aku sudah sangat merindukan Sang Hyang Widhi. Setelah kepergianku kelak, kau harus kuat. Seorang Ratu, harus tegar. Harus mampu mengendalikan diri dan emosi” Nasihat Nini kembali. Aku mengangguk dan memberi hormat meski dalam hati aku protes. NininRatu akannpergi kemana? Mengapa melebar berbicara kematian segala? Akhirnya aku izin pulang. Sebelum pulang, beliau memeluk dan menciumku berulang kali. Aroma wangi yang ke luar dari tubuhnya, kuhirup dalam-dalam. Sebelum melangkah pergi, aku menanyakan keberadaan Paman Naga. Beliau menjawab, Paman Naga akan datang setelah bulan purnama kelak bersamaku.

Aku sedikit terburu-buru pulang ke istana. Setelah sampai, benar di luar istana terjadi keributan. Pintu gerbang masih tertutup rapat. Pagar gaib yang kupasang masih utuh. Aku segera menuju luar. Ternyata di luar memang ada tiga sosok asral bertubuh macan dengan wajah beringas memaksa hendak masuk. Alasannya dulu mereka adalah sesepuh kerajaan. Bahkan mereka bertiga menantang Nyi Ratih karena Nyi Ratih memghalangi mereka masuk.
“Berhenti! Ada apa ribut-ribut di sini?” Tanyaku menghalangi serangan tiga sosok itu.
“Oh! Ini baginda Ratu yang baru. Kami sesepuh kerajaan Timur Laut Banyuwangi ini. Sekarang kami hendak pulang. Mengapa kami dihalangi?” Ujar salah satu mereka dengan nada marah.
“Bisakah yang sopan sedikit, paman Hura. Kau sedang berhadapan dengan Kanjeng Ratu” Nyi Ratih membentuk salah satu sosok harimau itu. Aku segera memberi aba-aba agar Nyi Ratih tenang dan menahan diri.
“Sangat tahu! Makanya aku bertanya mengapa kami dihalangi. Kanjeng Ratu ini tidak kenal siapa kami. Kami jawarah, pendekar Timur Laut Banyuwangi” Ujar salah satu mereka lagi dengan bangga. Nada bicara mereka sombong, terasa sangat meremehkan. Aku ingat nasehat Nini Ratu barusan, jika aku harus tetap tenang dan dewasa dalam menghadapi masalah. Jangan mudah terpancing emosi. Perlakukanlah semua makhluk dengan manusiawi. Untuk itulah aku mencoba mengendalikan diri.

Aku melangkah ke depan hanya beberapa jarak dengan tiga sosok yang berwajah beringas. Aku tahu Nyi Ratih tengah siap-siap melakukan perlawanan sekaligus jaga-jaga dari hal yang tidak diinginkan.
“Selamat datang di kerajaan Timur Laut Banyuwangi, Paman. Saya percaya, Paman bertiga dulu adalah sesepuh kerajaan. Sekarang tapuk kepemimpinan ada di tanganku, Paman. Jadi paman bertiga harus mematuhi aturan kerajaan. Jika paman berkenan, maka saya izinkan masuk. Tapi jika tidak hanya ada dua hal, ingin bebas dan tidak kembali lagi ke mari, lepas dari rakyat kerajaan, atau kupenjarakan hingga akhir zaman. Peraturan bisa paman baca di sana, sudah terpampang lebar” Ujarku menunjuk sisi gerbang istana.
“Bagaimana, Paman? Setuju? Saya ingin kerajaan Timur Laut Banyuwangi ini berdiri jaya selamanya. Cukuplah sejarah pahit yang lalu, telah menenggelamkan kejayaan kerajaan ini karena dihuni oleh sosok-sosok semacam Paman bertiga. Saya bersama Nyi Ratih akan membersihkan paman bertiga terlebih dahulu. Memutuskan hubungan Paman bertiga dengan golongan manusia, menghilangkan semua ilmu yang hanya membuat kehidupan Paman makin rusak. Izinkan saya membersihkan ilmu yang tidak manfaat yang ada di dalam diri paman. Paman bertiga harus mengubah wujud menjadi lebih baik seperti yang lainnya. Lalu membekali diri dengan ilmu agama. Di dalam istana ada pure dan ada masjid tempat belajar. Jika paman berkenan dan setuju maka saya dan Nyi Ratih akan membantu”

Lama aku menunggu jawaban ketiganya. Mereka saling pandang. Nampaknya syarat yang kami tawarkan cukup berat untuk mereka.
“Mengapa harus pakai syarat segala? Bukankah kami bertiga adalah warga kerajaan?” Salah satu mereka kembali protes
“Bukankah sudah saya jelaskan dari awal, Paman. Paman tinggal pilih sesuai syarat yang sudah saya tawarkan” Ujarku kembali. Melihat mata mereka memerah aku mengurungkan niat untuk melanjutkan debat. Aku hanya ingin mengajak mereka berpikir.
“Kami ada karena ditugaskan untuk menggoda iman manusia, Kanjeng. Jika kami tidak bekerjasama dengan mereka siapa yang akan menjadi kawan kami” Mereka kembali berdalih mempengaruhi manusia demi untuk menjadi teman. Padahal maksudnya menjerumuskan golongan manusia untuk menyembah mereka lalu ketika mati masuk neraka bersama mereka.
“Menjadi teman kalian di neraka? Itu maksudnya? Paman, jin dan manusia diciptakan tiada lain untuk menyembah Sang Maha Khalik, Tuhan yang menciptakan alam semesta dan seisinya. Tuhan yang menciptakan saya dan Paman. Tidak ada Tuhan memerintahkan kalian untuk menghancurkan, menjerumuskan manusia. Kecuali iblis yang tercipta dari api. Dilepar dari surga karena membangkang pada perintah Allah. Bergantung dengan kalian Paman, jika berkenan ke jalan kebaikan, mari sama-sama kita membenahi diri. Tidak ada kata terlambat untuk tobat. Hidup yang paling indah adalah ketika kita bermanfaat untuk makhluk lain. Jiwa kita akan tenang dan terarah. Tidak seperti kehidupan Paman sekarang, setiap desah nafas selalu mencari sela untuk mencelakakan umat manusia. Tinggalkanlah perbuatan dosa itu, Paman. Mari kita belajar hidup tenang, mengimami satu keyakinan, bahwa ada Tuhan dalam diri kita” Ujarku kembali berusaha menyentuh hati mereka.
“Aaah, kau pandai sekali Kanjeng. Kau mulai mempengaruhi kami dengan ajian-ajianmu. Aku tahu Kanjeng berbicara sembari meniupkan pengaruh itu untuk membuka mata kami dengan memperlihatkan tempat yang indah. Tempat apa itu” Ujarnya. Aku tersenyum mendengarnya.
“Ternyata Paman hebat sekali. Yang kuperlihatkan itu adalah gambaran surga, Paman. Tempat orang-orang soleh dan soleha”
“Apa itu soleh soleha?”
“Soleh itu untuk lelaki yang tekun ibadah, sementara soleha untuk wanita yang taat ibadah. Jadi kalau kita rajin ibadah maka surgalah hadiahnya. Surga itu hanya untuk orang-orang yang soleh soleha” Lanjutku lagi. Melihat ekspresi mereka sudah berubah, aku semakin optimis jika ketiganya bisa kupengaruhi.
“Sebaliknya, Paman. Jika kita tidak taat dan selalu ingkar maka kita akan masuk neraka” Aku kembali membaca beberapa doa membuka indera mereka untuk melihat gambaran neraka, api yang menyala dan orang-orang yang disiksa. Mata mereka serentak terbelalak.
“Kanjeng, kami akan masuk kemana?”
“Bergantung amal dan perbuatan Paman. Jika paman patuh padaku, Insya Allah ketika mati, Paman akan masuk surga. Tapi jika Paman ingkar, maka neraka telah menunggu Paman” Ujarku.

Akhirnya, setelah berdebat sederhana akhirnya ketiga Paman macan itu sepakat ingin masuk surga. Mereka juga sepakat kubersihan setelah kukatakan syaratnya harus bersih lahir batin. Nyi Ratih bertugas membersihkan mereka lahir batin. Tak berapa lama ketiga sosok itu sudah berubah menjadi sosok yang bersih, tidak menyeramkan lagi. Mereka menjadi sosok lelaki yang gagah.
“Nyi Ratih, apakah boleh anak buah kami ikut?” Ujar salah satu Paman Macan yang disambut setuju oleh Nyi Ratih. Tak lama masing-masing mereka menarik pengikut-pengikut mereka. Tak berselang lama puluhan, bahkan ratusan makhluk asral milik masing-masing Paman Macan sudah berbaris di depan istana. Dengan tegas ketiganya mengatakan akan mengajak pasukannya untuk bersyahadat pula. Nyi Ratih kembali membersihkan mereka lalu memberikan pakaian yang wajib mereka pakai.

Selanjutnya ketiga Paman Macan dan anak buahnya kuajak menuju masjid lalu kuserahkan dengan Kyai dan satri yang berada di sana. Tak lama aku menyaksikan ketiga Paman Macan itu bersyahadat diikuti anak buahnya. Melihat perubahan itu, aku menitikkan air mata. Ada rasa haru ketika ketiganya tersedan-sedan mengucapkan dua kalimah syahadat setelah diberi siraman rohani terlebih dahulu oleh Kyai. Mereka seperti baru sadar jika hidup ini ada tujuan. Bukan semata-mata berbuat kebatilan.

Hatiku seketika bergetar. Masya Allah, beginilah proses hidayah itu. Aku membatin.
“Terimakasih Kanjeng Ratu. Terimakasih telah membuka hati kami” Ujar salah satu Paman Macan. Ketiganya memberi hormat padaku diikuti anak buahnya. Aku hanya mampu mengangguk haru tanpa mampu berkata-kata. Bagiku yang paling indah dalam hidup ini adalah ketika berhadapan dengan moment-moment religi seperti ini. Ada kebahagiaan tersendiri sejuk menyiram batin. Perasaan seperti lama lengketnya di jiwa.

“Terimakasih Kyai telah membantu meluruskan iman rakyatku” Ujarku menyimpan haru.
“Sama-sama Kanjeng, saya justru sangat bahagia bisa membantu Kanjeng Ratu mensyahadatkan bangsa kami” Ujar beliau dalam dealek Madura yang kental. Mereka akan diajar berbagai macam hal di masjid ini. Sepenuhnya kuserahkan pada Kyai dan santrinya.

Baru saja aku hendak ke luar masjid, lagi-lagi aku menerima laporan Nyi Ratih, tentang kepulangan beberapa rakyat dan semuanya beliau proses. Ketika kutanyakan sudah berapa jumlah rakyat kerajaan yang kembali. Beliau mengatakan ada sekitar tiga ribu. Aku sangat bersyukur, lambat laun wilayah kerajaan yang luas ini akan kembali terisi. Yang membuatku semakin bersyukur adalah sikap dan pribadi mereka lebih beradab dari sebelumnya. Kerjakeras tokoh-tokoh agama, mendidik mereka menjadi pribadi yang beradab berkembang pesat. Berkali-kali kutanamkan agar agama menjadi pondasi rakyat kerajaan.

“Jangan paksakan mereka harus memeluk apa, biarkan merek berpikir sendiri. Yang penting jangan muncul perselisihan karena paham dan keyakinan yang berbeda. Aku juga tidak ingin terjadi perselisihan di kerajaan karena beda pemahaman. Namun bagaimana perbedaan ini menjadi dinamis dan tetap menjaga toleransi.” ujarku suatu hari pada Nyi Ratih dan pengawal-pengawal kerajaan. Ketika melihat langsung kegiatan ibadah kedua agama. Nyaris aktivitas kedua agama ini sama aktifnya. Meski jumlah yang muslim dibandingkan dengan pemeluk Hindu, jauh berbeda namun semuanya tetap berjalan baik. Tidak ada gejolak untuk saling menistakan. Aku baru saja duduk ketika tiba-tiba beberapa orang pandita menghampiriku.
“Ada apa Pandita? Ada sesuatu yang pentingkah?” Tanyaku sedikit heran usai mereka mengucapkan salam dan memberi hormat.
“Ampunkan kami, Kanjeng. Kami sengaja ke mari mewakili sulingih, mpu, dan pandita lainnya. Sebelumnya mohon maaf jika kami lancang Kanjeng. Kami bermaksud menawarkan pada rakyat kita, jika mereka ingin memeluk Islam, maka izinkanlah mereka bersyahadat, Kanjeng. Maksud kami, agar masjid dan Pure jamaahnya berimbang, Kanjeng” Ujar Pandita Siwa Sri Satya Membuka pembicaraan.

Mendengar usul beliau aku jadi berpikir. Apakah hal ini tidak akan memunculkan masalah? Jangan karena aku muslimah lantas rakyatku wajib muslim pula. Agama adalah pilihan yang berkaitan dengan keyakinan. Apalah artinya punya agama namun tidak bisa mengaplikasikan keyakinan dalam kehidupan sehari-hari.
“Terimakasih atas usul Pandita dan Sulinggih, sebuah usul yang baik. Namun saya khawatir nanti akan muncul perasaan merasa tidak enak, demi saya karena saya muslimah, lalu rakyatku ramai-ramai memeluk Islam. Padahal tidak ada paksaan dalam Islam, Pandita. Saya tidak ingin rakyatku memeluk agama karena terpaksa. Baik agama Islam mau pun Hindu. Jangan pula paman merasa tidak enak dengan saya karena jamaah masjid sangat sedikit. Semua aktivitas masih dibantu oleh relawan kita Kiayi dan santrinya. Biarlah waktu saja yang berbicara. Kelak ada masanya kedua pemeluk agama ini akan berimbang. Yang penting bagi saya jagan pernah ada perselisihan karena beda paham dan keyakinan. Hal seperti ini saya tidak mau. Kalau terjadi masalah agama, maka sayalah yang akan turun tangan langsung. Jika saya yang turun tangan maka hanya dua hal, kuhukum atau kubuang” Ujarku.

Aku sengaja berbicara sedikit tegas pada mereka agar tidak dianggap aji mumpung. Pandita Siwa Sri Satya dan yang lainnya menggangguk paham.
“Bagaimana Nyi Ratih? Apakah Nyi ada saran?” Tanyaku.
“Hamba sependapat dengan Kanjeng Ratu. Tidak boleh ada kesalahapahaman perihal agama ini, dan tidak ada paksaan harus memeluk agama tertentu. Masalah Pandita hendak menawarkan pilihan pada rakyat, saya rasa juga tidak perlu Kanjeng. Biarlah semua berjalan apa adanya. Yang penting adalah kita tetap menjaga agar tidak ada perselisihan” Ujar Nyi Ratih. Meski sebenarnya aku tidak yakin dikerajaan ini akan muncul perselisihan karena beda keyakinan. Karakter rakyat sebagian besar ketika diajak pada kebaikan terlihat antusias sejak awal. Justru mereka merasa bersyukur kerajaan ini kembali berdiri, mereka diterima serta mulai menyesuaikan diri dengan tradisi baru kerajaan memiliki agama, beribadah, dan bisa berbaur menjadi satu meski berbeda.

Akhirnya Pandita, Sulinggih dan Mpu, undur diri dari hadapanku. Mereka kembali ke aktivitas masing-masing. Sebagai guru Hindu Dharma, mereka terlihat bersemangat mengajarkan kebaikan pada jamaahnya. Meski baru beberapa hari namun kemajuan tersebut sangat terasa.

Setelah sendiri, aku kembali bingung hendak melakukan apa. Akhirnya aku bangkit, aku berniat keliling kerjaan. Beberapa pengawal istana yang bertugas mendekati dan mengikuti aku dari belakang. Aku jadi kikuk dikawal sedemikian rupa namun ketika teringat jika aku adalah ratu, akhirnya aku diam saja. Mereka adalah orang-orang pilihan Nyi Ratih, yang bertugas menjagaku.

Aku berjalan paling depan. Sesekali aku bertanya pada mereka perihal keadaan istana. Ketika melewati masjid agung, aku melihat banyak sekali rakyatku yang mengintip di luar jendela.
“Mengapa mereka pengawal? Mengapa mereka memgintip dari jendela? Mengapa mereka tidak masuk saja?” Ujarku sedikit heran.
“Mereka anak-anak rakyat kita, ingin tahu bagaimana umat muslim beribadah, Kanjeng. Hampir setiap waktu puluhan anak yang mengintip. Mereka tidak berani masuk” Ujar Pengawal. Akhirnya kusuruh salah satu pengawal memanggil anak-anak itu.

“Apa yang kalian lakukan di sana, anak-anak?” Ujarku pada sekelompok anak kecil. Jika di alam nyata usia mereka baru enam dan tujuh tahun. Namun di alam gaib, usia mereka sudah lima puluh tahunan. Namun dimatiku mereka nampak sama besar, dan sama bentuknya. Mereka lucu-lucum

Mendengar aku yang memanggil, semula mereka takut. Tidak ada satu pun mereka berani menjawab.
“Mengapa kalian tidak masuk saja? Kalian tertarik melihat umat muslim belajar?” Tanyaku lagi. Baru mereka menjawab serentak. Rupanya sehari-hari pekerjaan anak-anak ini memperhatikan semua aktivitas Kyai, santri, dan jamaah lainnya.
“Kalian tidak boleh mengintip. Tapi masuk saja. Nanti saya sampaikan dengan Kyai, jika kalian ingin melihat mereka belajar” Ujarku lagi. Mendengar itu anak-anak ini sangat antusias. Mereka berteriak beramai-ramai sembari menarik tanganku sambil tertawa. Tiba-tiba aku serasa guru TK tengah tamasya religi bersama anak-anak.

Di pelataran masjid beberapa santri langsung menyambut kami. Kusampaikan anak-anak ini ingin melihat aktivitas umat muslim yang sedang belajar agama.
“Kami mau belajar bernyanyi” Kata salah satu anak.
“O, itu mengaji namanya adik-adik, bukan bernyanyi. Tetapi membaca Al-quran, kitab suci umat muslim. Sama seperti guru kalian membaca kitab wedha di pure” Lanjut salah satu santri lagi. Tanpa diperintah anak-anak ini langsung berlarian menuju beberapa santri yang sedang mengaji, ada yang tengah solat, dan berzikir. Aku bingung dan tertawa melihatnya. Ternyata anak-anak di alam gaib yang berbudaya tidak jauh berbeda dengan anak-anak di alam nyata.

Akhirnya aku minta para pengawal untuk kembali ke istana meninggalkan aku di masjid. Aku berniat tetap dalam masjid memilih tempat yang agak jauh dari orang ramai. Aku duduk timpuh usai salat sunah dua rakaat. Berzikir sejenak, dan berdoa. Selanjutnya aku melakukan perjalanan ke gunung Dieng menemui Eyang Putih guruku. Tiba-tiba aku sangat rindu beliau. Aku ingin melepaskan rasa penat yang sangat. Berharap ada pelajaran baru yang akan beliau berikan padaku.

“Kenapa kau pulang ke mari, Cu. Bagaimana dengan kerajaanmu? Aman?” Eyang Putih bertanya setelah aku duduk di hadapannya. Aku mengangguk sembari memegang tangannya. Penampilan gembel beliau membuat aku ingin tersenyum. Rasa-rasa di hadapanku bukan guruku Eyang Putih. Di kediaman beliau aku melihat beberapa orang tamu dari bangsa manusia. Namun para tamu itu tidak dihiraukan Eyang. Mereka golongan manusia soleh yang sengaja menemui Eyang dalam bentuk nyata. Kata Eyang, sebelumnya mereka sering berinteraksi di alam gaib.

Jika mereka ingin minta petuah, atau ingin belajar pada Eyang, tindak akan dilayaninya jika dalam bentuk fisik seperti ini. Makanya para tamu sudah bertahan beberapa hari, melakukan tirakat di musolah Eyang Putih agar bisa berinteraksi batin dengan Eyang pada malam harinya.

Aku bercerita pada Eyang Putih jika sebelum kemari aku bersua dengan Nini Ratu. Selanjutnya kuceritakan jika beliau memintaku menemuinya kembali tepat bulan purnama kelak. Kuceritakan juga jika beliau menolak ketika kuajak untuk pulang ke istana. Mendengar penuturanku Eyang Putih nampak agak terkejut. Matanya tajam menatapku.
“Ada apa Eyang?” Ujarku penasaran.
“Jadi bulan purnama kelak kau menemui beliau lagi?”
“Iya, sesuai permintaan Nini Ratu” Jawabku. Lama Eyang Putih diam. Aku menunggu-nunggu penjelasan beliau. Namun mata beliau memandang ke arah lembah. Aku tidak berani untuk menembus kedalaman hati Eyang Putih untuk membaca pikirannya. Aku takut ketahuan dan dianggap tidak sopan.
“Nini Ratumu itu hebat. Belum ada yang mampu menembus tempat beliau bertapa. Beberapa tempat yang biasa didatangi teman-teman Eyang, bukan tempat menetap Nini Ratu sekarang. Beliau memiliki kemampuan yang luar biasa. Kalau Eyang, paling bisa berinteraksi dengan beliau lewat batin. Itu pun tidak mudah. Karena ketika berinterakasi, maka beliau akan berada di tepi tebing gunung Ijen. Hanya kau yang bisa menembus pertapaan beliau” Lanjut Eyang Putih membuatku terkagum-kagum dengan ceritanya.
“Eyang pernah bersua langsung dengan Nini Ratu?”Tanyaku penasaran. Eyang Putih menjawab, beliau hanya mau interaksi lewat batin saja. Belum pernah bersua berhadapan. Namun beliau banyak tahu siapa Nini Ratu.
“Sebelum Eyang ke gunung Dempu, bersama Puyang Pekik Nyaring leluhurmu, Eyang sudah diberi tahu jika kau ada kaitannya dengan Nini Ratu. Tapi, Eyang tidak terlalu memperhatikan ketika itu. Eyang baru ingat ketika kau bersua dengan Nyi Ratih.” Ujar Eyang Putih sembari membuang muka padaku. Aku hanya mendengar gumamannya antara jelas dan tidak.
“Perempuan itu kerap kali mengirimkan sinyal jika akan hadir seseorang menemuinya maka ke gunung Ijen. Ibarat cahaya dia akan menghidupkan lorong gelap yang selama ini ia biarkan seperti tak berpenghuni.” Eyang Putih kembali berbicara. Sebenarnya aku ingin bertanya apa maksudnya? Sinyal yang bagaimana? Tapi akhirnya kuurungkan demi melihat beliau tidak suka aku bertanya. Mungkin karena beberapa tamunya mendekati kami. Akhirnya aku diam saja sembari menunggu tamu Eyang mendekat.

“Permisi, maaf Eyang, mbak, ini ketela rebus dan teh poci hangat” Seorang lelaki muda dengan sopan menyerahkan secerek teh dan dua cangkir kecil. Dari mulut cerek air masih mengepulkan asap pertanda masih panas. Aku buru-buru mengucapkan terimakasih. Sementara Eyang Putih diam saja, bahkan menyingkirkan ubi rebus seperti tidak suka. Tapi nampaknya semua sudah paham siapa Eyang. Meski melihat tingkah Eyang seperti itu, tetap saja mereka menaruh hormat pada Eyang.

Sejenak kami berdua diam sepeninggal tamu Eyang yang menyiapkan teh panas itu. Sebenarnya aku menunggu pembelajaran baru dari beliau, ingin sekali kembali diajak ke tempat-tempat yang menurutku dapat menyentuh batinku hingga ke paling dasar. Tapi sejauh ini, sinyal untuk belajar pada alam dan lingkungan itu nampaknya belum ada. Akhirnya aku hanya menatap Eyang yang duduk meleprok di tanah sambil mengorok-ngorek batu seperti anak kecil.
“Kau harus siapkan diri jika kelak kau akan kehilangan. Tebalkan iman” Suara Eyang Putih seperti petir di siang bolong. Kepalanya menunduk tanpa menatapku.
Kehilangan? Aku makin bingung dibuatnya. Dalam hati, sulit sekali menafsirkan maksud perkataan Eyang Putih. Atau aku yang lamban berpikir? Kurang peka. Entahlah!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *