Berlebaran di Cannes

Sejak menikah dan merantau, baru dua kali saya berkesempatan berlebaran di tanah air. Selain itu, kami biasa merayakan Idul Fitri di KJRI Marseille yang berjarak 200 km dari tempat tinggal kami. Mengapa harus ke KJRI?. Selain bahwa 17 tahun yang lalu informasi tentang masjid masih sulit didapatkan, juga untuk menemukan suasana berkumpul dengan saudara sebangsa. Dan tentunya untuk menikmati hidangan khas Indonesia…!

Sayang sekali, kereta api yang biasa kami ambil untuk mengejar waktu sholat yang dijadwalkan mulai pukul 9.00 tidak beroperasi pada hari Sabtu dan Minggu. Jarak dua jam perjalanan tak mungkin dikejar dengan kereta jam 7. Karena selain berkereta, kami masih harus naik metro dan dilanjutkan berjalan kaki sekitar 700 m untuk meraih wisma Indonesia di Marseille.
Kali ini, kami memutuskan untuk sholat id di masjid terdekat.

Masjid Al Madina Al Mounawara terletak di pusat kota Cannes, berjarak kurang dari dua km dari tempat tinggal kami di Le Cannet.

Masjid yang menempati bangunan biasa dan diresmikan pada tahun 2001 ini adalah salah satu dari dua masjid yang terdapat di Cannes. Masjid ke dua, yang baru diresmikan tahun 2014 yang lalu, dibangun berbentuk seperti masjid yang kita kenal.Sholat dijadwalkan mulai pada pukul 8.00. Saat kami tiba sekitar pukul 7.15, sudah banyak jamaah yang berdatangan. Ruang khusus wanita yang hanya dijatah tiga shaf sudah penuh. Beruntung saya dan anak saya mendapatkan dua tempat terakhir, tepat di ambang pintu! Yang datang menyusul, dipersilakan sholat di teras hingga di lorong pintu masuk.

Sebelah kami seorang  ibu dengan anak perempuannya yang sebaya dengan anak saya. Sang ibu memuji mukena kami yang bermotif bunga-bunga.  Memberi nuansa dalam dominasi warna hitam abaya kebanyakan jamaah wanita.

Kami ajak anak-anak kami untuk bertakbir bersama. Tiba-tiba seorang petugas yang sebelumnya saya lihat berjaga di pintu masuk datang. Dia meminta para jamaah untuk semakin merapat. Alunan takbir di ruang wanita agak terganggu. Seorang nenek mencoba menolak. Tapi tak ada pilihan. Saya bertukar senyum saja dengan ibu sebelah saya…

Pemimpin takbir menghentikan panduannya. Meminta para jamaah pria untuk merapat lagi. Menghimbau yang masih di luar untuk segera masuk ke lingkungan masjid. Mengingatkan semua jamaah tentang larangan sholat di jalan, dengan resiko peringatan plus denda yang dilimpahkan ke masjid. Imam menekankan semangat berbagi di hari Fitri. Yang penting sholat sah! Tak apa sambil berdempetan mengorbankan kenyamanan.

Saya bertukar pandang dengan kenalan baru saya sambil mengangkat bahu. Dan saat takbir dilanjutkan, tenggorokan saya tercekat. Mata saya memanas. Bukan… Bukan karena makin sesaknya ruang wanita setelah jatah tiga shaf dipadatkan menjadi 4 shaf. Bukan itu. Saya baru merasakan betapa perjuangan untuk sholat Idul Fitri yang hanya setahun sekali saja begini susahnya. Apalagi Idul Fitri yang kemaren jatuh di hari Minggu. Suatu kesempatan langka bisa sholat bersama tanpa perlu cuti kerja dan memintakan ijin sekolah anak-anak.

Tak terasa air mata menggenang. Teringat nikmatnya sholat Id di tanah air. Di alun-alun, tanah lapang atau halaman masjid yang luas. Jalan yang ditutup tanpa ada yang protes. Bahkan mereka yang bukan muslim turut membantu menertibkan dan mengamankan.

Teringat suatu hari Idul Fitri yang bertepatan dengan hari Natal saat saya kecil dulu. Suara takbir beriringan dengan lonceng gereja dalam harmoni. Saat para tetangga keluar rumah sama-sama dengan tujuan beribadah tapi di tempat yang berbeda; ada yang pergi sholat, ada yang berangkat misa. Saling bersalaman saat bertemu. Saling mengucapkan selamat hari raya…

Sedih rasanya memikirkan penerapan sistem sekuler di Prancis yang tak mendukung kebebasan beragama. Miris mengamati kontradiksi di Prancis terhadap kaum muslim. Di satu sisi tidak mengijinkan rakyatnya sholat di jalan, tapi di sisi lain masih saja ada yang mempersulit pembangunan masjid yang layak.

Alhamdulillaah saya dan muslim Cannes masih bisa memiliki masjid yang cukup memadai. Meski dengan kondisi berdesakan, sholat Id tetap dilaksanakan tepat waktu dengan khidmat. Khusyu’? Wallaahu ‘alam. Perlu taktik untuk bisa sujud dengan tuma’ninah di tempat terbatas.
Sholat diikuti dengan khutbah dalam dua bahasa; Arab dan Prancis. Khotib mengingatkan para jamaah, terutama kaum muda, untuk tidak terpancing keadaan menyangkut kaum muslim yang terjadi belakangan ini. Kita harus peduli, tapi tak ada manfaatnya bereaksi dengan kekerasan. Semua harus dilakukan dengan jalan legal. Khatib berharap pada para pemuda untuk banyak belajar. Tak hanya ilmu agama, namun juga ilmu duniawi. Raih ilmu setinggi-tingginya. Buka wawasan seluas-luasnya, dengan tetap berpedoman pada nilai-nilai agama.

Sesudah rangkaian ibadah berakhir, kami bersalam-salaman, saling mengucapkan selamat hari raya. Aïd mubarak!. Pengurus masjid membagikan kantung-kantung kado berisi camilan, gula-gula, dan mainan sederhana untuk anak-anak kecil, layaknya sepulang dari pesta.

Beberapa ibu berbagi permen dan coklat. Di depan masjid disediakan air minum dan makanan kecil untuk yang berminat. Dan kamipun berduyun-duyun pulang.Mereka bergegas untuk segera bisa berkumpul dengan keluarga besar masing-masing. Kami berjalan pelan, berusaha memperpanjang nikmatnya nuansa hari raya. Sambil menunggu waktu keluarga di Indonesia selesai dengan acara-acara mereka, untuk kemudian kami bisa bersilaturahmi meskipun hanya lewat dunia maya…

Selamat Hari Raya Idul Fitri!
Le Cannet, 26 Juni 2017

Teriring rindu untuk keluarga dan tanah airku…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *