HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (68A)

Karya RD. Kedum

Sejak ada dukun yang mati di Bengkulu ternyata cukup menghebokan dunia perdukunan. Banyak dukun-dukun secara gaib mencari tahu siapa Putri Selasih.

Nyaris setiap malam di atas bubungan rumahku ada cahaya-cahaya bahkan seperti bola lampu berputar-putar hendak masuk. Cahaya mirip bola lampu itu semacam santet miriman para dukun untuk menyerangku. Seperti malam ini, tidak kurang sepuluh cahaya berseleweran di atas atap rumahku. Angsa milik tetangga menjerit-jerit fidak seperti biasanya. Begitu juga anjing melolong panjang. Semua mengisyaratkan jika mereka melihat makhluk asral di sekitar sini. Hewan-hewan itu memang memiliki kepekaan. Mereka bisa melihat dan merasakan jika ada makhluk asral di antara mereka. Padahal belum terlalu malam, waktu baru menunjukkan pukul 22.00 Wib.

Beberapa tentanggaku berdiri di tengah jalan lurus memandang ke bubungan rumah kami. Santet para dukun itu bisa terlihat oleh mata manusia biasa. Pertanda mereka tengah unjuk gigi untuk memamerkan kesaktian mereka. Sengaja membuat suasana mencekam lalu akan muncul berbagai rumor. Tak sedikit tentanggaku berteriak-teriak menyebut dan menunjuk “Tuju! Tuju!”.

Mitos yang beredar, jika melihat tuju lalu menyebut dan menunjuknya maka tuju tidak akan sampai pada yang dituju. Tuju itu akan jatuh dengan sendirinya. Padahal tidak demikian. Mengenai orang yang dituju atau tidak bergantung keimanan seseorang, kedekatannya pada sang khalik, dan kebersihan batinnya. Beribadah yang kencang, perbanyak zikir dan mendekatkan diri dan mohon perlindungan pada sang Khalik maka dengan sendirinya Nur Allah akan menaungi seisi rumah.

Energi negatif ysng hendak menyerang penghuni rumah tidak akan bisa masuk. Prinsipnya penghuni rumah harus rajin ibadah, ikhlas karena Allah Ta’alah, maka dengan sendirinya amal ibadah menjadi pagar tidak akan bisa ditembus oleh sihir dan makhluk yang berniat jahat.

“Dedek…Dedek…keluarlah dulu dari rumahmu. Lihat, banyak sekali cahaya-cahaya aneh di atap rumahmu. Itu tuju, Dek!!” Dang Iyan tetangga seberang jalan memanggil-manggilku. Aku langsung ke luar rumah. Aku mencoba memberi pengertian pada mereka biarlah kami tetap dalam rumah. Aku menolak tawarannya agar mengungsi ke rumahnya saja. Ibu dan Bapak mengetahui banyak yang terbang-terbang sekitar rumah jadi cemas. Kusarankan mereka segera wudhu lalu solat sunat. Aku sampaikan pada keduanya rumah kita sudah dipagari sejak awal. Energi jahat itu tidak akan bisa masuk. Aku tahu kedua orang tuaku saling pandang dan bertanya satu sama lain. Tapi tidak terucap. Akhirnya mereka patuh saja, wudhu dan salat sunat dilanjutkannya berzikir. Selanjutnya aku izin masuk kamar.
“Dek, minta bantuan dengan kawan gaibmu, sama nenek gunung, Macan Kumbang.” Ujar Ibu. Aku tersenyum menenangkannya. Kujawab saja tanpa diminta mereka sudah menjaga kita sejak awal. Mendengar pernyataanku, baru wajah ibu cerah. Aku melirik Bapak sembari mengangkat alis. Bapak lebih paham tentang aku. Beliau tahu jika aku tidak akan tinggal diam.

Aku duduk di atas sajadah. Aku mulai fokus dengan kiriman-kiriman sang dukun dari berbagai sumber itu. Aku naik ke atas bubungan, kuhantam lalu kukembalikan sebagian kepada pengirimnya. Sebagian lagi kulebur. Beberapa saat aku bertempur dengan kekuatan-kekuatan gaib para dukun. Seperti gelombang, mereka kembali menyerangku bersamaan. Ada serangan dari Selatan, ada dari Utara, ada juga dari seputaran kota Bengkulu dengan macam-macam jenis dan bentuknya. Aku nyaris terjerengkang kala beberapa jenglot milik para dukun menyerangku dari depan dan belakang. Aku merasakan energi mereka luar biasa. Kekuatan para iblis ini tak bisa dianggap enteng.

Aku masih bertahan sembari melakukan penyerangan pada kekuatan-kekuatan yang datang. Sepintas aku melihat ada sekelebatan bayangan warna putih menghadang beberapa serangan jenglot. Gerakannya cepat sekali. Nyaris hanya seperti kabut tipis. Benturan demi benturan memercikkan bunga api. Beberapa jenglot kutangkap lalu kulebur jadi abu. Selebihnya dihantam oleh sekelebatan putih yang melintas seperti angin itu. Aku tidak tahu siapa bayangan putih itu. Dia membantuku. Gerakannya cepat sekali. Namun yang jelas, aku merasakan kekuatannya yang luar biasa ketika menggempur serangan para jenglot milik para dukun itu. Lalu ada satu sosok lagi ikut berkelebat di sampingku seakan ikut melindungi aku. Sementara aku masih fokus melakukan perlawanan setiap serangan.

Mataku terbelalak ketika dari arah timur bola api menyala sebesar bola kaki terbang menujuku. Dalam jarak puluhan meter saja tubuhku seperti tertarik oleh energinya.
“Hiiiiiaaat!!!” Aku bersama kelebatan putih serentak menggempur api yang terbang. Api ini sengaja hendak menyerang aku. Hawa panas yang ditimbulkannya seakan membakar dada dan tanganku yang berusaha mendorongnya. Beberapa kali aku menghantamkan pukulan untuk menghalangi energinya. Tak lama api padam, digulung bayangan putih yang membantuku. Dalam hati aku akui kekuatan para dukun ini. Aku masih terus berkelebat ke sana kemari menyapu sisa -sisa kekuatan yang dikirim para dukun. Demikian juga dua bayangan yang membantuku masih bergerak ke sana kemari.

Hiiiaaat! Hiiiaaat!!
Sekelabatan bayangan terbang di belakangku tengah berusaha menakhlukan sosok kepala bertaring dan bertanduk. Satu lagi sosok kepala muncul, perempuan yang berambut panjang. Teriakan takbir beberapa kali kudengar mematahkan serangan lawan. Aku jadi ingat sosok leak yang pernah bertempur padaku di perbatasan lampung beberapa tahun lalu. Kepala, lalu isi perutnya terburai. Tapi yang kulihat kali ini bukan leak, kalau di Sumatera Barat, sosok kepala nenek ini disebut “palasik”. Makhluk ini suka meghisap darah bayi. Ternyata dia pun memiliki kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Kuat dan ganas. Beberapa kali aku melihat sekelebatan cahaya lalu gelombang angin saling dorong. Tak lama aku mendengar suara erangan panjang dari dua makhluk itu. Keduanya dihancurkan oleh sosok putih yang hingga kini aku tidak tahu siapa.

Tak lama, suasana di sekitar rumahku kembali hening. Serangan-serangan makin lama makin lemah. Beberapa serangan yang masih tersisa kutarik lalu kukembalikan pada Sang dukun. Batinku melihat beberapa orang dukun terluka parah. Sebagian ada yang masih pingsan tak bergerak-gerak. Sebagian energinya kucabut lalu kubuang. Sebagian lagi aku biarkan mereka sekarat menunggu ajalnya. Aku menggosok-gosok telapak tangan. Paling tidak beberapa bulan ke depan praktik perdukunan akan sepi. Karena para dukunnya harus pulih dulu dari luka dalamnya. Yang lebih penting adalah mereka bisa ikut merasakan betapa sakitnya senjata makan tuan.
“Hmmm…banyak sekali bangsa manusia yang jahat kan, Selasih? Bangsamu itu banyak jadi budak jin. Bahkan tidak salah-salah, banyak mereka yang sehari-harinya berprofesi sebagai tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan lain-lain.” Aku menoleh. Masya Allah, kelebatan warna putih tadi adalah Datuk Sarik dan eyang Kuda. Beliau berdualah rupanya yang membantuku melawan serangan gaib para dukun itu.
“Terimakasih Eyang, Datuk. Eyang dan Datuk telah membantuku menghancurkan kiriman-kiriman para dukun itu.” Ujarku mendekat. Selanjutnya kata Eyang Kuda, ini baru permulaan. Tidak menutup kemungkinan mereka akan melakukan serangan kembali.
“Kau harus tetap waspada, Selasih. Tingkatkan instingmu. Aku merasakan angin dari Selatan tengah berkumpul untuk kembali melakukan penyerangan” Ujar datuk Sarik dengan wajah serius. Eyang Kuda mengangguk membenarkan. Aku juga mengaguk sambil menakar-nakar kekuatan mereka.

“Ternyata kiriman ini berasal dari tiap penjuru. Kuat sekali mereka,Tuk.” Ujarku. Kekuatan para dukun dari ‘Besisir’ demikian aku menyebutnya tidak bisa dianggap remeh. Ilmu-ilmu kuno umumnya masih terpelihara dengan baik meski zaman sudah modern seperti saat ini. Bahkan setiap orang dari Besisir tersebut baik muda, tua, laki-laki mau pun perempuan umumnya memiliki pegangan sebagai jaga-jaga diri secara turun temurun. Bahkan pelet “siburuk tulang” salah satu ilmu yang paling terkenal berasal dari sana. Konon belum ada obatnya hingga saat ini. Maka siapa pun yang terkena pelet ini, sampai mati dia tetap akan tegila-gila, patuh, pada yang memeletnya. Banyak hal yang tidak masuk akal efeks pelet ini. Misalnya gadis berusia belasan, tegila-gila minta dinikahi oleh kakek usia tujuh puluhan. Sampai si kakek mati, dia tetap cinta. Dalam pandangannya, si kakek renta terlihat selalu muda, ganteng, dan gagah. Tak ada cacatnya, dan selalu patuh dengan apa saja yang diperintahkannya.

Di antara yang mengirimkan serangan padaku malam ini tidak sedikit berasal dari mereka yang masih mengolah ilmu warisan ini. Dukun dari Besisir. Bahkan jin dari laut ikut mendukung dan memberikan kekuatan pada mereka. Aku melihat mereka seperti gelombang ombak berduyun-duyun ke luar dari dalam laut. Lalu deru angin persis badai. Di alam nyata, dorongan angin itu seperti akan menyapu apa saja yang ada di bumi saking kencangnya.

Aku dan eyang Kuda masih duduk di atas bubungan. Sesekali Eyang berkeliling sekadar untuk memastikan apakah pagar gaib yang kupasang masih utuh atau tidak. Datuk Sarik izin kembali ke gunung Bungkuk. Dari eyang Kuda aku tahu jenis-jenis ilmu jahat yang dimiliki para dukun. Selama ini aku hanya melihat bentuk dan efeks ilmu-ilmu yang dimiliki para dukun tanpa tahu apa namanya. Dari eyang Kuda juga aku tahu kekuatan masing-masing ilmu itu.
“Kebanyakan mereka bekerjasama dengan iblis. Tidak sedikit jenglot-jenglot yang mereka miliki itu, mereka ambil dari cadas dan bukit-bukit batu tepi laut Selatan. Mereka adalah betapa-betapa yang menuntut ilmu betarakarang. Ilmu yang tidak membuat mereka mati,” lanjut eyang Kuda kembali. Aku manggut-manggut. Pengalaman di tanah rafflesia ini, sungguh berbeda dengan kebiasanku sebelumnya. Biasanya aku berurusan dengan nenek gunung dan masalahnya. Tapi sekarang malah menjarah ke wilayah dukun santet. Aku garuk-garuk kepala yang disambut eyang Kuda dengan senyum.

Hari masih pagi, aku masih ngantuk usai bertempur tadi malam. Tapi pagi ini aku akan bersama teman-teman Ratu Samban Hiking Club akan melakukan ekspedisi ke Bengkulu Selatan. Kebetulan beberapa orang kawan club-ku berasal dari Bengkulu Selatan. Ada yang dari Seginim, dari Talo, dari Kota Manna, dan Kedurang. Ini ekspedisi perdana bagiku ke Bengkulu Selatan sejak aku bergabung dengan club pecinta alam. Beberapa keperluan sudah kusiapkan jauh hari.

Kemarin, aku sengaja minta dispensasi untuk bisa ikut serta dalam ekspedisi ini. Meski resikonya aku dipangil BK-ku, dengan alasan seringkali meninggalkan sekolah alasannya pun sama, kalau tidak lintas alam, ekspedisi ke pedalaman, naik gunung atau bukit, kadang menyisir mangrove sepanjang sisi laut menanam bakau di pulau Baii.
“Tidak boleh! Sudah cukup. Kali ini kamu tidak boleh izin lagi. Point kesalahan yang kamu peroleh sudah hampir mencapai titik akhir. Kamu bisa dikeluarkan dari sekolah.” Acam Ibu Mardianis.
Aku tersenyum menatap beliau. Kucoba mempengaruhi beliau via batin agar beliau lembut lalu mengizinkan aku. Aku hanya butuh semacam memo beliau untuk kubawa ke TU membuat surat rekomendasi, tandatangan kepala sekolah, lalu kuberikan pada setiap guru mata pelajaran.
“Iiih…kamu ini selalu bikin gemes, senyum-senyum. Hati-hati di sana. Jangan lupa bawa oleh-oleh.” Tiba-tiba beliau berubah seratus persen. Tangannya segera mengambil secarik kertas, berupa blanko izin untuk membuat rekomendasi. Lalu beliau tandatangani dan disodorkannya padaku. Aku segera meraih, dan mencium tangannya dengan senyum. Aku segera berlari menuju ruang TU. Baru jarak berapa meter beliau berteriak.
“Dedek!! Kok kamu saya izinkan sih?” Ibu Mardianis bingung. Tangannya menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. Aku melihat ekspresi bingungnya.
“Ibu kan guru BK-ku yang tercantik dan terbaik di dunia,” ujarku sambil memberikan ciuman dari jauh. Beliau makin bingung tapi tidak bisa harus berbuat apa. Dalam hati aku senyum-senyum sendiri. Biarlah beliau bingung untuk sementara. Nanti juga beliau akan pulih seperti semula. Soal aku akan beliau marahi tak apalah asal aku sudah pulang dari ekspedisi ke Bengkulu Selatan.
“Jahil!!” Selasih ketus. Aku hanya mesem-mesem tanpa suara. Dia juga tidak perlu kuceramahi. Selasih lebih tahu apa yang ada dalam hatiku. Kubiarkan Selasih mendengus kesal.

Aku berlari gembira ketika sudah mendapatkan rekomendasi. Saking gembira nyaris aku menabrak Bapak kepala sekolah. Aku buru-buru minta maaf. Bang Muchtar guru teaterku yang berdiri dekat pintu sanggar melihat aku berlari gembira mengekoriku dengan tatapannya. Aku pura-pura tidak melihat. Sebab beliau marah gara-gara beberapa kali aku tidak ikut latihan. Padahal akan ada pentas. Karena beliau marah, malah membuatku makin menjauhinya. Aku makin tak peduli dengan jadwal latihan. Jangankan latihan, lewat ruang sanggar saja aku sudah enggan. Beberapa kali teman-temanku ngajak latihan, aku tolak alasanku, aku tertinggal jauh, nanti kalau aku masuk kawan-kawan malah jadi kacau. Padahal bukan itu masalahnya, pertama aku lebih memilih pecinta alam, ke dua aku malas dimarah-marahi oleh pelatihku.
“Dedek! Sini dulu!” Teriak Bang Muchtar. Aku pura-pura tidak mendengar lantas beliau kembali memanggilku lebih kencang dari pertama. Akhirnya aku menoleh sambil menjawab “Iya Bang!’. Beliau melambaikan tangan agar aku mendekat. Akhirnya merasa tidak keenakan aku hampiri beliau.
“Kenapa kamu kayak menghindar dari saya. Kamu kecantol salah satu anak pecinta alam itu, ya?” Ujarnya tanpa memberi kesempatan aku menyampaikan alasan. Apa maksud kalimat terakhirnya. Rasanya aku tidak terlalu bodoh untuk tahu maknanya? Apa urusannya jika aku kecantol dengan salah satu kawan pecinta alam atau tidak? Aku jadi agak tersinggung dengan pernyataan terakhirnya.
“Maaf, Bang. Saya harus menyelesaikan surat ini dulu. Besok aku mau ke Selatan,” ujarku meninggalkannya dan berlari. Aku tidak peduli dengan panggilannya berkali-kali. Deal! Aku tidak akan ikut vokal grup dan teater di sekolahku lagi. Titik!

Ternyata, peristiwa petang itu berbuntut panjang, Bang Muchtar membuat surat yang dititipnya pada salah satu teman sekelasku. Lalu berpesan pula melarang aku pergi ke Bengkulu Selatan. Besok pukul 10.00 wib dia akan datang ke rumah menemuiku, dan aku tidak boleh ke mana-mana. Harus menunggunya. Aku makin tidak simpatik padanya. Bapak ibuku saja tidak melarang kegemaranku satu ini, mengapa dia menghalang-halangiku? Enak saja. Aku meletakkan suratnya di atas rak buku tanpa membuka apalagi membacanya.

Aku segera pamit dengan Bapak dan Ibu. Jika memungkinkan kami akan pulang sore nanti. Tapi jika tidak maka kami akan nginap di Selatan. Bapak dan Ibu melepaskan dan berpesan hati-hati. Aku tidak berpesan perihal Bang Muchtar mau datang pagi ini. Biarlah semua berjalan apa adanya. Aku ke luar gang untuk naik angkot lalu menuju Anggut, kumpul di sekretariat.

Sampai di sekretariat aku lihat kawan-kawanku sudah kumpul semua. Semua perlengkapan pun sudah siap. Tinggal sekali angkut saja. Kami masih menunggu Bang Adi mengambil surat izin ekspedisi yang ketinggalan di rumahnya. Seperti biasa, jika hendak melakukan perjalanan seperti ini kami duduk melingkar terlebih dahulu, lalu mendengarkan beberapa hal penting dari senior kami, tentang gambaran medan yang akan dilalui. Termasuk juga apa yang harus kami lakukan, terkahir berdoa bersama.

Aku mencatat dalam benak daerah tujuan. Dusun Tinggi Sebakas. Ada energi yang membuatku tertarik untuk ke sana. Sudah lama aku mendengar nama dusun ini dari kawan-kawanku. Konon Dusun Tinggi Sebakas adalah dusun yang terletak di atas bukit. Menurut cerita dari mulut ke mulut dusun itu hilang disumpah oleh Si Pahit Lidah. “Wallahu Alam.” Untuk menuju ke sana konon medannya tidak terlalu sulit. Bukan seperti ke Seberang Endikat atau ke gunung Bungkuk. Membayangkan empat sampai lima jam berjalan kaki memasuki hutan dan kebun lalu menyeberangi sungai, sudah terlintas medannya. Semoga air sungai tidak naik, jika sungai meluap, alamat sampai ke seberang harus tertunda hingga surut.

Bersambung…

Satu tanggapan untuk “HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (68A)

  • 2 Agustus 2020 pada 1 h 20 min
    Permalink

    setiap hari aku tunggu sambungan ceritra nya,,!!menarik,,,

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *