HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT II (24)
Pulang sekolah sungguh tidak membuatku bergairah. Rumah sepi seperti kuburan. Ibuku nampaknya masih ‘merewang’ di rumah saudaranya yang hajatan, entah di dusun mana.
Bibik Sumi dan kawan-kawannya tidak bekerja hari ini karena petang kemarin Bapak sudah mengirim sepuluh truk biji kopi ke Lampung dan Palembang untuk dieksprort. Aku hanya melihat beberapa anak buah Bapak menuangkan kopi dari karung kecil dari penjual eceran ke lantai sudut gudang. Gudang yang luas nampak seperti lapangan bola kaki, lengang.
Aku masuk rumah, meletakkan tas, ganti baju sendiri lalu ke luar lagi. Biasanya ada Bik Sum yang menemaniku makan. Tapi kali ini tidak. Aku enggan ke dapur. Aku malas untuk makan.
Nenek Kam pulang kampung pagi tadi. Sebenarnya aku masih ingin beliau berlama-lama. Tapi sekali lagi beliau meyakinkan sebentar lagi akan libur sekolah dan nenek Kam menungguku di dusun. Akhirnya aku mengalah. Berbagai alasan yang dibuat nenek Kam agar aku mengikhlaskan beliau pulang kampung.
“Buah sali, bacang, ghukam kita sedang berbuah, Cung. Kalau tidak dijaga nanti habis dimakan kera dan beruk. Ketika kamu pulang, semua bisa habis. Nenek akan jaga pohon-pohon itu agar ketika kamu pulang, kamu bisa memetik buah-buahan itu sendiri.” Ujar Nenek Kam membesarkan hatiku. Kusambut dengan anggukan pelan setengah setuju.
Aku sedikit terhibur ketika melihat nenek Kam mengenakan pakaian yang dibelikan Ibu, pagi tadi. Pas sekali baju kebaya kurung itu. Nenek Kam nampak cantik dan jauh lebih muda. Wajahnya segar karena beliau juga bahagia mengenakan baju dan tekolok anyarnya.
Ketika berangkat sekolah, aku tahu Macan Kumbang mengiring di belakangku. Tapi aku tidak berani menyapanya nyata-nyata khawatir kawanku heran jika melihat aku ngobrol dengannya. Sampai di pintu gerbang Macan Kumbang berbalik badan. Mungkin pulang ke rumah atau ke gunung Dempu aku tidak tahu. Yang jelas dia pasti akan bersama dengan nenek Kam. Itu pagi tadi, ketika nek Kam dan Macam Kumbang masih di sini.
Aku menghempaskan pantat di kursi. Sejenak duduk bingung harus melakukan apa dan kemana. Akhirnya aku pamit dengan Bapak minta izin ke rumah Bik Sumi di Bedeng Munir. Kampung Bedeng Munir tidak jauh dengan rumahku. Karena tempatnya di belakang ruko-ruko jadi tidak terlihat dari jalan raya. Apalagi untuk ke sana lewat gang sempit.
Aku melintas di gang sempit yang agak gelap karena diapit sisi kanan kiri ruko-ruko berdinding papan. Setelah keluar dari gang itu baru terlihat terang dan luas. Karena di ujung lorong ada lapangan terbuka dikelilingi rumah-rumah sederhana beratap rendah. Pohon-pohon kecil dan rumpun bambu di sisi jurang dan parit kecil yang membelah jurang dan lembah.
Banyak sekali anak-anak bermain di sana meski langit sedikit terik. Ada yang main petak upet, kelereng, benteng, cak ingkeng, yeye dan permainan lainnya. Bebeberapa orang memanggilku mengajak main bersama. Aku menggeleng karena memang niatku bukan untuk bermain. Aku hanya ingin ke rumah Bik Sumi.
Sampai di ujung lapangan, ada jembatan bambu yang sudah miring. Di bawahnya mengalir air di balik semak-semak berbatu. Rumah Bik Sumi terletak di atas tebing. Tebing menuju rumah Bik Sumi dihubungkan jembatan bambu yang sudah miring itu. Aku mendongak ke atas, hanya terlihat ujung atap rumahnya.
Ada sekitar lima puluh meter jalan kecil menanjak berliku dipenuhi batu-batu, baru bisa sampai ke rumah Bik Sumi. Dengan sedikit susah payah, aku mulai menaiki jalan menanjak itu. Sesekali aku harus berpegangan ke akar pohon yang menonjol ke luar. Untung jalan kering kalau turun hujan, bisa dipastikan pasti akan lebih sulit lagi. Bertahun-tahun Bik Sumi dan Mang Sam melakoni hidup seperti ini.
Sesampai di halaman rumah Bik Sumi aku melihat pintu terbuka hanya setengah. Rumah Bik Sumi sangat sederhana, berdinding bambu. Sebagian dinding ditambal dengan seng bekas. Atap seng berlubang sudah penuh dengan batu dan kayu sebagai penahan agar atap tidak melayang ketika ditiup angin. Beberapa cahaya matahari seperti mata menembus hingga ke lantai. Aku mengintip ke dalam dengan maksud ingin mengagetkan Bik Sumi. Tapi nampak sepi. Aku hanya melihat kursi cacing yang talinya sebagian sudah menjuntai dan diganti alas kayu.
Meski berlantai tanah namun nampak bersih. Tidak satupun aku melihat sampah tergeletak di dalamnya dan tempat tidur dari kayu berkasur tipis tanpa alas. Di sampingnya menjuntai kelambu yang sengaja digulung.
Aku mendorong pintu rumah Bik Sum
lebih lebar sambil memanggil-manggil beliau. Mengetahui tidak ada
orang, aku mencoba mendorong pintu agar lebih lebar sambil memanggil Bik
Sum.
“Biiik, Bibik…” Seruku beberapa kali. Tidak ada jawaban.
Akhirnya aku menutup pintu rumahnya. Kampung Bik Sum ini termasuk aman.
Di seberang ada dua rumah berhadapan, pun sangat sederhana. Bahkan aku
melihat dindingnya dilapisi dengan plastik lebar.
Meski pintu rumah tidak dikunci tidak ada orang yang berani masuk. Lagian pula apa yang mau diambil orang dari rumah Bik Sumi? Tidak ada barang berharga di sini. Bahkan rak piring dan lemari pakaian yang beliau pajang di rumahnya itu di angkut dari rumahku, diberi Ibu.
Akhirnya aku memilih duduk di samping rumahnya. Pohon bambu yang tumbuh subur di samping rumah Bik Sumi membuat rumahnya teduh. Rumpunya sudah sangat besar. Rumpun bambu inilah ikut menyanggah tanah curam di samping rumah beliau.
Desau angin menyentuh daun bambu suaranya benar-benar mengasyikan. Batangnya meliuk-liuk tiap kali ditiup angin kencang. Aku jadi ingat kata bijak yang disampaikan oleh Bapakku suatu hari ketika beliau menasehati kakak dan sepupuku.
“Belajarlah pada rumpun bambu, rebungnya tidak akan tumbuh jauh dari rumpun. Meski batangnya menjulang namun akar-akarnya mencengkram tanah, menahan rumpun dengan kuat. Daunnya akan selalu mengikuti arah angin tanpa membuat rumpun atau batangnya tumbang dan patah”.
Meski aku tidak terlalu paham apa maksudnya namun tak urung aku mengangguk-angguk memperhatikan rumpun bambu yang gemulai seperti orang menari. Beberapa daunnya yang kering jatuh di halaman rumah yang bersih. Nampak sekali jika halaman ini selalu dijaga kebersihannya oleh Bik Sumi. Beberapa bunga tumbuh subur untuk menahan tanah agar tidak longsor. Bik Sumi menanam pohon katu sepanjang bibir jurang. Selain menjadi pagar hidup, daunnya bisa dikonsumsi untuk sayuran.
Jambu bijinya pun sedang berbuah lebat. Beberapa buah jambu terlihat berlubang dimakan tupai. Aroma khasnya sampai pula ke hidungku ketika angin berhembus pelan. Seekor ular berwarna hijau, bertubuh kurus dan panjang melintas santai tidak jauh dari hadapanku. Mungkin dia tengah mencari mangsa. Aku hanya menatapnya dan membiarkannya meliuk-liuk hingga lenyap di rumpun bambu.
Akhirnya aku memilih duduk di bangku bambu yang menghadap ke gunung Dempu. Siang ini gunung Dempu terlihat sangat bersih. Rumah-rumah terlihat kecil dilihat dari sisi rumah Bik Sumi ini. Demikian juga anak-anak yang sedang bermain di lapangan terbuka tempatku melintas tadi. Mereka seperti titik yang bergerak ke sana ke mari. Aku menikmatinya dengan perasaan yang tidak jelas.
Sebenarnya aku datang ke sini tidak lain untuk membuang rasa sepi dan sedihku dan berharap ada Bibik Sumi yang akan menghiburku. Padahal Nenek Kam baru pulang pagi tadi tapi rasanya aku sudah berpisah bertahun-tahun. Apalagi membayangkan tidur nanti malam. Aku akan tidur sediri. Aku tidak akan mendengar ocehannya meski dalam keadaan lelap. Aku juga tidak akan melihat macan Kumbang yang gagah tidur di tumpukan karung kopi. Mengedipkan mata, mengacungkan jempol, tersenyum manis padaku.
Tidak terasa air mataku mengambang. Aku tidak bisa menahan rasa sedihku. Aku seperti hidup sediri. Dan rasa sepi itu benar-benar merasuk jiwaku.
“Bukankah ada aku?” Suara Putri Selasih.
“Tetap saja meski ada kamu hidupku tidak genap” Jawabku.
“Jangan sedih seperti itu. Aku juga jadi sedih. Harusnya kamu tadi ikut bermain dengan anak-anak itu atau bermain dengan kawan-kawanmu. Ke rumah Merry, Nita, Endang, Nurli, kan bisa” Ujarnya.
“Halaaa…bilang saja kalau kamu yang mau main ke sana, bukan aku. Kamu mau melihat Kak Ujang, kakaknya Nita yang ganteng itu kan? Kecil-kecil genit!” Ujarku lagi.
“Wew…siapa yang mau melihat kak Ujang? Aku kan cuma menyarankan biar kamu nggak cengeng. Masak cucu nenek Kam cengeng? Baru ditinggal beberapa jam saja menangis? Kecil sekali mentalmu” Nada Putri Selasi berkelit.
“Lah tempo hari kamu sendiri yang bilang kalau kakaknya Nita sangat ganteng. Lalu nanya namanya siapa. Di sekolah juga, kamu melirik-lirik Djony, Herry, Budiman, sahabatku kan? Apalagi melihat Djony, kamu bilang bibirnya merah mirip kancil makan tupak” Kembali aku membalasnya. Putri Selasih mendengus. Kali ini dia tidak mampu menjawab pertanyaanku. Habis akal mungkin.
“Kamu tu ngarang-ngarang. Padahal kamu sering dilirik sama anak Riye Dusun Ulu?” Jawab Putri Selasih.
“Siapa itu anak Riye Dusun Ulu. Aku tidak kenal” kataku.
“Itu Remas Samar, anak Riye Dusun Ulu di gunung Dempu. Kamu kan ke rumahnya sama Nenek Kam ketika ke sana” Sambung Putri Selasih. Aku berkerut. Siapa yang dibilang Putri Selasih. Remas Samar anak Riye Dusun Ulu? Yang mana pula itu. Apa salahnya kalau dia melirik aku. Pasti ingin tahu siapa yang datang bersama nenek Kam. Wajar saja menurutku.
“Nggak wajar! Masak habis itu dia bertanya dengan nenek Kam, siapa namamu” balas Putri Selasih.
“Wew kamu yang ketahuan ngarang-ngarang. Wajar saja dia bertanya karena aku tamu. Itu pun tidak nanya langsung padaku. Tapi sama nenek Kam? Aku saja tidak paham bagaimana orangnya. Sudah ah, aku malas membahas hal-hal kayak gini. Aku rindu dengan nenek Kam dan Macan Kumbang. Jam segini sudah sampai apa belum ya?” Akhirnya aku menutup perdebatan tidak penting dengan Putri Selasih.
“Sudah, dari pagi tadi Nenek
sampai di dusunnya. Sekarang Nenek Kam sedang selonjor di beranda
rumahnya. Sementara orang yang berbarengan dengan beliau belum sampai”
Kata Putri Selasih.
“Maksudmu?” Tanyaku lebih lanjut. Rupanya, nenek
Kam dan macan Kumbang sudah duluan sampai di dusun. Ketika beliau turun
dari angkutan desa di simpang Bandar jalan pintas menuju dusun, beliau
langsung naik ke punggung Macan Kumbang. Sementara yang berjalan
beriringan dengan orang yang Bapak titipi untuk menemani Nenek Kam,
tidak tahu sama sekali kalau yang berjalan dengannya bukan nenek Kam.
Mendengar itu, aku menarik nafas lega.
Semakin lama desau angin kurasakan semakin berbeda. Daun bambu masih gemerisik ketika ditiup angin. Tapi aku merasakan angin berpusar di sekelilingku. Tiba-tiba dihadapanku berdiri tubuh besar hitam, bekulit kasar dan tebal, mirip seperti kulit kerbau. Matanya berkilat-kilat seperti cahaya.
“Mengapa kalian di sini? Mengapa tidak minta izin masuk ke wilayahku. Ini bukan tempat bermain kalian. Wilayah ini sudah kuhuni ratusan tahun lamanya” Suaranya berat sekali.
“Maaf kakek, rumah Kakek kan di rumpun bambu itu. Siapa yang menggangu. Saya main ke rumah Mang Sam dan Bik Sumi. Mengapa harus minta izin dengan kakek?” Ujarku lembut.
“Ah, sama saja! Ini rumahku. Kalian pergi dari sini. Aku tidak suka. Apalagi harimau putih sepertimu. Mirip kucing kampung” Ujarnya mengejek. Aku langsung naik pitam. Alangkah tidak sopannya orang tua ini. Bisa pula mengejek Putri Selasih dengan sebutan kucing kampung. Apa dia tidak pernah berkaca bagaimana tampangnya. Aku mengayunkan tangan dan memohon tanganku berubah menjadi cermin. Lalu kuhadapkan pada Kakek yang kasar ini. Kusuruh dia melihat sosoknya. Si Kakek memalingkan wajah menutup matanya. Aku tidak paham, apakah beliau silau atau takut melihat sosoknya sendiri. Tangannya menepis-nepis angin pertanda tidak suka.
“Mengapa Kek? Maksudku, kakek berkaca agar tahu apakah tampang kakek bagus atau tidak. Mana yang bagus harimau putih apa Kakek” Ujarku lagi. Mata berkilatnya semakin membara. Ketika dia melangkah maju aku merasakan bumi sedikit bergetar. Apa karena tubuhnya yang besar atau karena kesaktian yang dia miliki. Aku tidak tahu.
“Kalian anak kecil yang tidak sopan. Akan kulempar kalian ke lembah itu”. Ujarnya garang. Tangannya yang besar serupa alat berat yang siap mencengkram tubuh kecilku. Aku menahan nafas. Ketika tangannya hendak menyentuh tubuhku, tiba-tiba sekelebat bayangan kuning mencakar tangan si Kakek yang besar tinggi itu.
“Golgo! Jangan coba-coba kau sentuh cucuku! Kau akan berhadapan denganku. Berani kau menyentuh dia, akan kuhancurkan istanamu.” Aku kaget. Ternyata bayangan kuning itu adalah tubuh nenek ceriwis, adik gaibnya nenek Kam. Entah darimana datangnya tiba-tiba beliau ada di sini. Aku melihat bulu tengkuknya berdiri. Nampaknya beliau siap bertarung. Kukunya yang tajam seperti terbenam mencengkram tanah. Aku heran, bagaimana nenek ceriwis ini tahu jika makhluk di hadapannku ini namanya Golgo? Mereka kenal?
Melihat nenek ceriwis, rupanya kakek yang bernama Golgo sedikit mundur. Cakaran nenek ceriwis telah melukai tangannya. Nampaknya beliau paham tidak sanggup menghadapi nenek ceriwis meski dia perempuan. Lama-kelamaan aku melihat kakek Golgo memasuki pintu gerbang dan menghilang.
Nenek ceriwis menatapku dengan senyum. Tanpa berkata-kata, beliau mengangkat dagunya pertanda situasi sudah aman. Belum sempat aku mengucapkan terimakasih tiba-tiba tubuh nenek ceriwis berubah seperti kabut dan menghilang. Sejenak aku terbengong. Angin dan daun bambu masih asik bercanda, menyanyikan lagu alam yang unik dan indah.
Bersambung…
Kapan jadi novel ?