HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT III (43B)

Karya RD. Kedum

“Hidup itu jangan banyak mengeluh. Jangan pula mengukur seberapa berat cobaan yang menimpa kita. Apa yang kita terima belum sebanding dengan apa yang kita berikan pada sang khalik, mulai dari kita bangun tidur, kebangun lagi. Kita diberi nafas, pertanda kita masih hidup. Kita diberi akal, pertanda kita diberi kesempatan untuk berpikir. Mari kita belajar membenahi diri. Kakek yakin, Cucu kakek satu ini kelak akan mejadi orang besar. Karena Allah sudah ajarkan makna hidup sebenarnya sebagai pondasi sejak kecil. Kesulitan yang kau rasakan dan kau lihat di depan mata saat ini, itulah pendidikan yang sebenarnya, kalau kamu mau tahu.” Suatu kali Kakek Haji Yasir berbicara padaku, ketika aku mengungkapkan kekecewaanku tentang banyak hal padanya. Cukup lama beliau memerhatikanku. Menatap rautku yang beliau katakan pucat dan tirus. Padahal aku tidak sakit.

Aku nikmati elusan telapak tangan kakek yang kasar. Sesekali jarinya mengurai rambutku yang panjang. Aku baring berbantal paha kakek yang mulai kurus. Aroma khas asap dan kebun kopi menguap dari kain sarung yang dipakainya. Tapi aku suka. Apalagi ditambah aroma asap rokok nipahnya. Aku juga ikut-ikutan gaya kakek duduk setengah bersila, membuka sebatang rokok nipah, menekuk-nekuknya agar tidak kaku, mengambil sedikit tembakau, lalu membukus dan menggulungnya sampai kencang. Kuambil penekil (pemantik) lalu menyalakannya. Kuhisap dalam-dalam. Seakan-akan kenikmatan menghisap tembakau dan rokok nipah ini dapat mengusir segala risau. Kerap aku terbatuk-batuk karena aroma tembakau kakek  yang keras. Ditemani secangkir kopi, tenyata memang nyaman. Pantas kakek dari dulu lebih memilih hidup di kebun yang kerap kukatakan ‘bumi pengasingan’. Kakek selalu menolak jika diajak tinggal ke kota. Bahkan tinggal di dusun pun menolak. Alasannya di kota itu berisik, tidak ada air pancuran. Baru sekarang aku paham sepenuhnya mengapa Kakek memilih hidup seperti di pengasingan. Rupanya hidup sederhana, di kelilingi  pohon dan satwa yang bebas, tidak banyak hal yang dipikirkan. Tidak juga banyak keinginan.  Tidak ada waktu untuk mengupat atau mengulik-ngulik kekurangan maupun kelebihan orang. Hidup dibiarkan mengalir apa adanya. Waktu untuk ibadah lebih banyak. Bisa berzikir kapan  suka tanpa ada yang mengusik. Puasa sunah, membaca al quran, lalu melihat-lihat kebun, membersihkan rumput, memetik kopi dan lain-lain. Begitu setiap hari. Hidup jadi lebih ringan. Jiwa sehat, pikiran sehat.

“Rindu Kakek Haji Majani.” Ujarku tiba-tiba. Sudah lama tidak jumpa beliau.
“Adikku satu itu sudah mulai sakit-sakitan. Makanya dia jarang ke luar dusun. Bersyukur dia masih bisa aktif di masjidnya mengisi pengajian dan imam.” Ujar kakek menekan rindu. Hening sejenak. Kami bergumul dengan pikiran masing-masing. Lalu kakek melempar pandang lurus ke hamparan kebun kopi. Di bawah dedap dan petai cina, kopi tengah berbuah lebat. Pohon-pohon  kopi itu selalu mendapat siraman doa kakek agar senantiasa sehat dan berbuah.

Nyanyian sesiagh makin lama makin kencang dan ramai mengisi lembah dengan suara alaminya. Semakin tinggi matahari, semakin kencang pula suara serangga kecil itu. Alam pebukitan tidaklah lengkap jika tidak ada suara makhluk yang nyaring itu.
Di atas dedap, sepasang tupai bercengkrama. Persis sepasang tupai yang kulihat tahun lalu. Sesekali mereka seperti menujuk padaku. Aku memalingkan muka dan menutup telingaku. Dorongan untuk tahu isi pembicaraan mereka seperti hendak meledak. Aku menahan diri untuk terus mengunci pengetahuan warisan kakek Njajau. Aku mengalihkan pandangan, menatap kakek Haji Yasir, mengabaikan obrolan sepasang tupai.

“Insya Allah, mudah-mudahan penen kopi kita melimpah. Jika cuaca tidak berubah, tahun ini kopi kita berbuah lebat, Dek. Kamu mau beli apa kalau sudah panen. Ambillah berapa kamu suka. Mau beli baju, sepatu, sandal, buku, tas, bedak, atau mau beli kalung panjang?” Ujar kakek tertawa. Kerut diwajahnya membuat matanya yang sipit makin kecil. Aku ikut tersenyum bahagia. Terbayang kakekku dulu pasti  bertubuh besar tinggi dan ganteng. Terlihat dari perawakannya. Hidungnya mancung, kulitnya kuning langsat, bidang dadanya lebar. Hanya saja sekarang karena sudah sepuh, tubuh kakek mulai mengkerut, bungkuk.
Andaikan kakek tahu, sudah lama aku tidak punya keinginan membeli apa yang  disebutkannya. Karena untuk membeli barang-barang itu bagiku terlalu mewah. Ada hal yang lebih penting, yaitu memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sedang asyik bercengkrama, tiba-tiba nenek Kam datang. Langkahnya nyaris tak terdengar. Aku segera bangun menyalaminya. Memeluk nenek Kam erat-erat.
“Kenapa kau tidak mau menemui nenek lagi, ha? Kau tahu kalau semua nenek gunung sangat merindukanmu. Sampai kapan kau mendiamkan kami?” Ujar nek Kam setengah berisik sembari menciumku  hangat. Nyaris aku menitikan air mata. Bagaimana pun di dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku sangat merindukan nenek Kam dan nenek gunung lainnya.
“Sampai aku merasakan cukup untuk merenung sendiri, bisa menerima kenyataan sepenuhnya. Dan yang penting adalah meyakinkan diri jika manusia hanya punya sedikit kemampuan, Nek.” Ujarku seadanya. Aku masih berusaha bertahan dengan prinsipku untuk tidak berinteraksi dengan dimensi lain sedekat dulu.
“Nanti nenek keburu mati, Dek!” Aku terperanjat mendengarnya. Mengapa nenek Kam berbicara seperti itu? Apa hubunganya aku menolak ajakan dengan kematiannya? Bagaimana pun juga aku tidak ingin nek Kam cepat mati. Aku berusaha menyembunyikan perasaan sedihku.
“Jika ajal menjemput sebelum aku tunaikan keinginan Nenek, mohon maaf, dan ikhlaskan aku Nek.” Ujarku menekan perasaan.

Jujur saja, aku memang belum bisa mengembalikan kepercayaan batinku sepenuhnya untuk kembali beraktivitas penuh petualang bersama nenek gunung. Apa lagi ketika melihat kenyataan, tatapan sinis orang kampung pada Bapak dan Ibu. Di mana-mana Bapak dan Ibu selalu menjadi ekor mata orang yang menatap mereka dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mereka seperti menatap hina melihat kondisi Bapak dan ibuku kembali ke dusun karena Bapak Ibu seperti menata kehidupan baru, kembali mulai dari nol. Nada bicara mereka nyaris semua meremehkan, merendahkan, dan selalu berbicara bersayap-sayap. Akhir-akhirnya pembicaraannya mengarah pada kehidupan Bapak Ibu saat ini.

Pernah suatu hari, Bapak dan Ibu tengah merumput tidak jauh dari jalan tempat orang lalu lalang. Para pejalan kaki membicarakan mereka. Mereka tidak tahu ada ibu dan Bapak di dekat sana. Dengan suara besar mereka berkata,
“Ai..lebat juga buah kopi Hasan. Bisa beli sandal, nyetock beras untuk mereka makan sekeluarga. Sekarang Hasan dengan Ruhai bininya dah pulang ke sini. Kembali ke asal dia. Jadi petani!” Kata salah satu mereka sambil setengah tertawa.
“Iya, kalau melihat ketika dia jadi pengusaha kaya, siapa sangka akan kembali makan tanah kayak kita,” lalu orang-orang itu tertawa serentak. Mereka melanjutkan pembicaraan sepanjang jalan sembari menyebut nama Ibu dan Bapak. Yang berbicara dengan suara lantang itu bukan orang lain. Tapi masih terhitung saudara. Mereka seakan puas dan bahagia melihat kondisi Bapak dan Ibu. Bapak dan Ibu saling pandang sembari berurai air mata. Keduanya menangis di tengah kebun kopi. Pernah juga ketika Ibu membawa beberapa ekor ayam jago peliharaan Bapak untuk dijual di kalangan (pasar sepekan) dusun. Uang hasil penjualan ibu belikan minyak, sabun, ikan asin, salai, kentang dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Wadah membawanya, ibu gunakan kinjagh. Yaitu keranjang rotan yang talinya ditahan di kepala. Apa kata orang kampung ketika menyapa Ibu.
“Lukmane Ruhai, gipacak ngambin kinjagh. Gi teghingat? (Bagaimana Ruhai. Masih  bisa membawa kinjagh. Masih ingat?)” Serasa diusap dengan kotoran sapi wajah ibu ketika itu. Bagaimana mungkin tidak teringat? Apakah selama ini ada tingkah ibu yang berlebihan meski hidup berkecukupan? Apakah selama ini Ibu melupakan adat dan tradisi kehidupan Besemah. Mengapa orang-orang ini selalu menyapa sinis? Sepanjang jalan pulang ibu menangis dalam hati. Sampai di pondok beliau tidak bisa berbicara. Suaranya tercekat di tenggorokan.
Mendengar cerita itu, dadaku terasa sesak. Dalam hati aku berdoa, semoga suatu saat mereka  yang sinis-sinis itu balik menemui   Ibu Bapakku untuk minta tolong dalam hal apa saja, sampai mereka mengemis-ngemis!

Hal senada pernah juga kualami ketika aku pergi ke pasar, bersua dengan salah satu kerabat Ibu yang berdagang  di kaki lima. Ketika melihat aku dengan sinis beliau berkata dengan temannya sesama pedagang. “Dulu anak ini, bapaknya kaya betul. Tidak ada yang menyangka akan pailit. Sekarang hidupnya tidak jauh dengan kita, mencari hari ini untuk makan hari ini juga,” dan itu diucapkan di hadapanku. Ingin rasanya kusuap mulutnya dengan lumpur yang menyebar di badan jalan. Akhirnya aku berlari ke sawah tepi kota. Aku menangis sepuasnya di sana.
“Mengapa tidak dibuat miring saja bibirnya. Atau dia tidak bisa bicara. Biar dia berhenti menjelekan orang. Terutama menghinamu, menghina kita” Ujar Selasih.
“Kalau bukan ingat pesan Ibu, ingin kusuap dengan lumpur di jalan itu mulutnya. Ibu melarang membalas pada siapapun yang menyakiti kita. Apa lagi bila menyakiti dengan perkataan. Kita coba bersabar selagi kita mampu. Kalau sudah tak mampu, akan kubuat babak belur, sampai setengah mampus perempuan itu!” Lanjutku lagi. Aku merasakan ada bara di dadaku. Tanganku seakan menegang ingin meremuk-remuk wajah perempuan itu.

Saking sedihnya, rasanya aku tidak ingin pulang ke rumah. Kalau bukan memikirkan takut membuat susah kakakku aku ingin bermalam di pinggir sawah saja malam itu. Akhirnya jelang magrib aku pulang juga. Perkataan kerabat Ibu itu selalu terngiang. Bahkan terbawa mimpi. Mungkin dia anggap aku terlalu kecil untuk paham perkataannya. Sejak itu aku tidak mau menginjakkan kaki lagi ke pasar. Aku khawatir kalap ketika melihat wajah perempuan jahat itu.

Hari-hariku memang lebih banyak menyendiri. Kuhabiskan waktuku membaca buku pelajaran, melukis dinding kamarku dengan kapur. Bermain gitar dan bernyanyi sendiri. Kalaupun ke luar paling kegiatan sekolah, latihan pramuka, latihan teater, atau latihan menyanyi untuk persiapan lomba dan mengisi acara. Aku bukan tidak punya kawan karib.
Aku saja yang enggan untuk banyak bermain. Paling ketika ada jam kosong aku dan kawan-kawanku akan keluar pagar sekolah, masuk ke kebun memetik jambu biji yang tersebar di kebun dekat sekolah.

Terkadang teringat kawan SD-ku ketika kami bermain layang-layang, kelereng, yeye, gasing, egrang dengan di belakang ruko Bapakku dulu. Apa kabar mereka?
Meski tinggal di kota kecil, nyaris aku tidak pernah bertemu apalagi bermain dengan kawan-kawan SD-ku itu. Kami seperti putus hubungan sejak musibah itu. Atau tepatnya setelah pindah sekolah. Sebagian kawanku memang tidak tinggal di Pagaralam lagi. Mereka ada yang melanjutkan sekolah di Lampung, Palembang, Prabumulih, dan Jakarta.

Mengenang masa bahagia bersama kawan-kawanku, kerap membuatku tersenyum. Namun ketika berakhir dengan tragis, aku merasakan anak yang paling malang di dunia. Aku merasa ada bagian masa kecilku yang hilang. Aku belum siap untuk kehilangan keceriaan itu sebenarnya. Lalu kembali aku merasa berdosa dan bersalah. Ini sangat berat. Bertahun-tahun rasa bersalah membebani batin. Aku sudah beberapa kali mencoba untuk kembali semangat. Untuk kembali menerima keadaan. Tapi itu teori saja. Dalam praktiknya aku gagal!

“Malam ini kamu harus ikut aku!” Nenek Kam sedikit menekan. Aku menatap beliau dengan perasan tidak menentu. Nyaris satu tahun lebih aku tidak peduli kehidupan dunia lain. Setahun bukan waktu lama, masih terlalu singkat untukku bisa bangkit dan melupakan peristiwa menyakitkan itu. Hal itu juga yang membuatku enggan berinteraksi dengan dimensi lain.
“Maafkan aku, Nek. Aku tidak mau ikut. Biarlah aku seperti ini saja. Aku sudah tidak mau menggunakan semua kemampuanku. Aku ingin hidup normal sebagaimana manusia biasa. Suatu saat, setelah batinku siap, akulah yang akan menemui para sesepuhku itu. Lagian pula tidak ada hal yang darurat di alam sana bukan? Penangkapan liar pada nenek gunung tidak ada, nenek gunung memakan manusia tidak ada. Semuanya aman-aman saja bukan?” Ujarku panjang lebar. Aku tahu, perkataanku sedikit banyak membuat nenek Kam sedih. Tapi biarlah nenek Kam juga tahu, kalau aku juga punya hak untuk menolak.

Lama mata nenek Kam memandangku lekat-lekat. Aku menjadi takut. Lalu nenek Kam menunjuk ke luar jendela.
“Dek, kemari,” ujarnya. Aku mendekat dan ikut memandang ke luar jendela.
“Lihat itu…” Nenek Kam menunjuk ke arah rumpun pisang di belakang pondok.
Masya Allah!! Aku terbelalak. Aku melihat emas batangan menumpuk dekat rumpun pisang itu. Milik siapa? Dalam hatiku bertanya
“Itu emas batangan murni. Jika nenek mau, kapan saja nenek bisa ambil emas itu. Termasuk juga kamu bisa ambil sesukamu, untuk  menggantikan harta  bapakmu yang habis. Mau?” Tanya Nek Kam. Aku tidak bisa bayangkan ekspresiku saat itu. Mungkin pucat, mungkin juga senang. Yang jelas dadaku berdegup kencang. Aku seperti dihadapkan dua tikungan. Antara mau dengan tidak. Jika kuminta aku akan jadi kaya. Maka tidak ada lagi orang-orang yang menghina Bapak dam Ibu. Meremehkan mereka dan lain-lain. Tapi akan berganti dengan sanjugan. Yang tidak bersaudara mengaku saudara, tidak kenal mengaku sangat kenal. Di sisi lain aku tidak mau berurusan dengan hal-hal yang menuntut imbalan, perjanjian gaib yang hanya membuat manusia ketergantungan. Cukuplah!

“Ah tidak Nek, nanti yang punya emas itu marah. Itu bukan milik kita. Kecuali si pemiliknya memberikan padaku tanpa imbalan apa-apa, baru aku mau.” Ujarku
“Benar, kamu tidak mau emas itu? Meski cuma satu?” Tanya Nek Kam lagi. Aku menggeleng cepat.
“Bagus!! Kamu memang cucuku yang cantik. Ternyata hatimu masih bersih. Tidak salah nenek bangga padamu.  Itu harta gaib, Cung. Dijaga oleh para jin. Jika kita mengambilnya, memang kita akan kaya, Cung. Namun kekayaan itu tidak akan membuat kita tenang, damai. Justru kita akan jadi manusia rakus, mengharapkan lebih dari yang sudah kita miliki. Kita akan berupaya  agar harta terus melimpah. Tidak ada kata cukup. Otak kita hanya berisi uang, dan harta. Keinginan-keinginan semakin banyak. Kita akan lupa tujuan hidup sebenarnya.” Sambung nek Kam lagi.
“Apa hubungannya dengan kita, Nek?”  Tanyaku lagi.
“Cung, Nenek hanya ingin jelaskan padamu. Harta itu hanya perhiasan  dunia. Tidak ada yang abadi. Harta juga tidak dibawa mati. Kita hanya membawa kain kafan jika mati. Jika kamu tadi mengatakan mau emas ghaib itu, maka kamu tengah membuka pintu kesulitan selanjutnya. Kamu terikat perjanjian dengan bangsa jin. Harta tidak abadi, Cung. Hanya memberikan kesenangan sesaat. Jadi, harapan nenek, ikhlaskan apa yang telah terjadi pada Bapak dan Ibumu. Jangan berlarut menyalahkan diri sendiri. Sekarang yang perlu kau pikirkan bagaimana mengubah nasib Bapak Ibu melalui dirimu, menjadi kebanggan orang tuamu. Itu saja cara kamu membahagiakan mereka. Balaslah rasa bersalahmu dengan keberhasilanmu.” Nenek Kam kembali berbicara.

Aku masih berdiri di sisi jendela. Setumpuk emas yang kulihat tadi sudah raib. Aku hanya tertarik memikirkan apa yang nenek Kam sampaikan.
“Iya Nek, aku akan ubah pikiranku.” Ujarku membuang pandangan jauh ke ujung kebun kakek Haji Yasir. Sepasang burung pipit bolak-balik memberi anaknya makan. Si anak terus mencicit memanggil induk dan bapaknya minta makan. Hmm…induk dan Bapak pipit  begitu sayang dengan anaknya. Aku jadi ingat Bapak Ibuku yang saat ini penampilannya jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Jika dulu Bapak selalu pakai kemeja rapi, pakai sepatu hitam mengkilap karena Ibu paling rajin menyemir sepatu Bapak, dan menyiapkan pakaian Bapak sebelum tidur. Sekarang, kulit Bapak lebih hitam dan kering, wajahnya kelihatan  kusut karena kumis dan brewoknya tidak terawat. Rambutnya sudah mulai memutih. Sedangkan ibu, dulu saban hari memakai kebaya, berkain sarung batik. Sekarang lebih suka memaka celana blacu, dilapis dengan kain yang sudah layu bunga. Berbaju blacu pengganti kebaya, tengkulok kusam karena peluh. Dulu telapak tangan ibu mulus, kulitnya halus kuning langsat. Sekarang kering dan kasat. Kedua matanya itu tidak bisa berbohong. Bapak dan Ibu sama-sama lelah. Diam-diam aku sering sesak menahan tangis melihat kondisi mereka. Ingin sekali segera membahagiakannya segera mengakhiri penderitannya.

Aku menarik nafas panjang. Lalu mendekat  pada nenek Kam yang sedang asyik ngobrol dengan kakek. Keduanya sedang terlibat obrolan serius nampaknya. Menyebut-nyebut batas tanah warisan leluhur mereka. Aku baru saja hendak menyimak obrolan mereka berdua. Tiba-tiba ada Macan Kumbang berdiri dekat pintu memandang padaku. Aku langsung  terlonjak berdiri, berlari mendekatinya. Aku tak dapat menahan diri. Sebenarnya aku sangat rindu padanya. Kami berpelukan erat lama sekali sampai terguling-guling di lantai. Aku sesegukan tak mampu menahan tangis haru. Macan Kumbang pun demikian. Berulang kali Macan Kumbang mencium, lalu memelukku kembali sambil berurai air mata. Kami seperti dua sahabat yang terpisah lama. Setelah puas baru kami saling pandang dengan wajah basah lalu tertawa saling rangkul. Kakek Haji Yasir menatapku heran.
“Dedek sedang melepas rindu dengan Macam Kumbang, Kak Haji. Mereka sedang berpelukan sambil bertangis-tangisan.” Nenek Kam ikut  menyusut air mata.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *